Minggu, 21 Agustus 2011
Jurnalisme, Kebebasan dan Tanggungjawab
Jurnalisme, Kebebasan dan Tanggungjawab
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Setiap bakat alamiah dari setiap mahluk
ditakdirkan untuk berkembang sepenuh-penuhnya
menuju tujuan kodratnya”
(Immanuel Kant)
“Surat kabar tanpa etika bukan hanya tak mampu
melayani kepentingan khalayak,
melainkan justru akan menjadi bahaya bagi khalayak”
(Joshep Pulitzer)
Idealisme jurnalisme yang berharap mampu menjadi media dan ruang publik yang bisa digunakan sebagai sarana komunikasi dan informasi antar manusia tentu saja akan berhadapan dengan persoalan ‘kebebasan’ dan ‘tanggungjawab’. Kompleksitas persoalan kerja-kerja jurnalisme tentu akan selalu berkelindan dengan masalah tersebut. Memang dimensi kebebasan bukanlah satu-satunya yang menjadi entitas penting dalam mewujudkan cita-cita kondisi masayarakat yang adil, damai dan sejahtera. Namun bisa dipastikan bahwa tanpa ada dimensi tersebut maka cita-cita masyarakat yang baik itu tak akan pernah terwujud.(1) Problem kebebasan dan tanggungjawab tentu melekat pada tugas dan peran wartawan. Ia juga melekat pada dimensi kelembagaan, yakni pers sebagai institusi. Dalam peranan dan kerjanya wartawan akan terikat dengan fungsi, aturan dan tugas yang diembannya. Kebebasan dan tanggungjawabnya tak hanya berhadapan dengan fungsi internal di mana ia menjadi pekerja pers yang berhadapan dengan aturan sistem persuahaan. Wartawan dalam praktiknya juga akan berhadapan dan berkelindan dengan kondisi ekternal yang juga selalu bisa memunculkan benturan terhadap cita-cita kebebasan dan tanggungjawabnya. Semisal dalam proses memburu berita di lapangan, tak jarang wartawan menemukan dialektika lapangan yang sarat dengan berbagai dimensi tantangan dan bahkan ancaman terhadap hak dan perannnya yang harus dijalankan.
Kebebasan dalam Taman Etika : ‘Yang Sosial” dan ‘Yang eksistensial’
Pada tingkat institusi pers, problem kebebasan dan tanggungjawab juga menjadi problem sentral. Institusi pers sekaligus merupakan bagian institusi sosial yang hidup dalam ranah sistem sosial yang lebih luas. Pada dirinya ia tidak bisa berlaku begitu saja ‘liberal’ (bebas tanpa batas). Untuk pemenuhan tugas dan fungsinya sebagai pengolah, penyaji, dan penyebar informasi, pers sendiri tentu mempunyai tugas kerja yang harus dilindungi oleh dimensi kebebasan. Dimensi kebebasan yang dimiliki oleh fungsi pers dalam norma aturan sistem pers Indonesia memang secara definitif tidak berlangsung secara liberal. Ada norma dan etika yang memang harus dijunjung tinggi. Peran norma dan etika ini dalam beberapa hal yang berada dalam dimensi tanggungjawab. UU No. 40 tahun 1999 yang mengatur tentang pers secara jelas menyebutkan bahwa “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Pada poin lain, di UU ini juga secara eksplisit memang sudah menyebut banyak tentang ‘kebebasan yang dilingkupi oleh tanggungjawab dan etika’.(2) Memang persoalan akan makin rumit ketika dalam praktiknya memang ada dan masih banyak penyimpangan dan bahkan pelanggaran terhadap prinsip ini. Pada batas-batas tertentu pelanggaran yang terjadi justru selalu sering berangkat pada dalih-dalih pemahaman atas ‘kebebasan’ dan ‘tanggung jawab’ yang keliru.
Problem yang menarik perlu didiskusikan adalah tentang elaborasi makna dan pemahaman tentang kebebasan dan tanggungjawab terutama dalam dimensi problem etika. Kita coba perlahan cermati dimensi etis dan filosofis tentang apa yang dimaksud tentang ‘kebebasan’ dan ‘tanggungjawab’. Mendudukkan secara mendalam tentang apa yang dimaksudkan tentang kebebasan dan tanggungjawab pada tugas dan fungsi jurnalisme, menjadi amat berguna. Memang makna ‘kebebasan pers’ sendiri sejatinya lebih dekat dengan pemahaman sebagai ‘kebebasan yang yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat kepada pers’.(3) Artinya dimensi sosial terutama struktur sistem (yakni negara/pemerintah dan masyarakat) mempunyai peran untuk menjamin kebebasan pers. Artinya sebelum kita memasuki bagaimana senyatanya peran itu sudah diberikan atau tidak, maka penting kiranya membongkar dan menelusuri mengapa ‘entitas kebebasan’ amatlah menjadi kata kunci yang harus bisa dipahami secara benar.
Kebebasan yang sering masih ada dalam pemahaman umum masih terbatas pada “kehendak untuk bebas dan melakukan sesuatu tanpa paksaan dan tanpa hambatan”. Seseorang dikatakan meiliki kebebasan jika ia tidak terpenjara, terikat, terkontrol, atau tergantung dimensi lain. Tentu saja pemahaman ini tidak seluruhnya salah, namun ada makna ‘kebebasan’ yang lebih mendalam yang bisa dirujuk. Kebebasan lebih mengandung pengertian sebagai “kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri”.(4) Seandainya kemampuan ini tidak dimiliki manusia maka apapun niat kebebasan yang diberikan negara atau masyarakat tetap saja tidak berfungsi dan juga tidak bermanfaat. Dalam pengertian kebebasan semacam ini lebih biasa dimengerti sebagai ‘kebebasan eksistensial’. Kebebasan dalam artian kemampuan kita untuk menentukan tindakan kita sendiri disebut ‘kebebasan eksistensialis’. Selanjutnya kebebasan yang kita terima dari orang lain disebut sebagai ‘kebebasan sosial’.(5) Kebebasan eksistensial tidak menekankan segi ‘bebas dari apa’ tetapi ‘bebas untuk apa’. Poin ‘tindakan’ dalam pengertian kebebasan ini amat penting, karena hanya pada manusialah ‘unsur tindakan’ ini bisa terwujud. “Tindakan” adalah sebuah aktifitas manusia yang disengaja dengan maksud dan tujuan kepentingan tertentu. Kemampuan tindakan yang ada pada manusia bersumber pada kemampuan manusia untuk ‘berpikir’ dan ‘berkehendak’ dan terwujud dalam ‘tindakan’.(6)
Tentu saja, baik ‘kebebasan eksistensial’ maupun ‘kebebasan sosial’ tentu tidak bisa melepaskan dengan konteks disekitarnya baik secara sosiologis, politik, ekonomi, kekuasaan ataupun kesajarahan dialektika manusia. Sejarah euforia dan tuntutan akan hakikat kebebasan berkelindan dengan tahap-tahap sejarah dinamika masyarakat manusia. Bahkan dengan catatan yang amat tegas, pemikir liberal seperti John Stuart Mill menegaskan bahwa “dinamika pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan merupakan ciri yang paling jelas dalam sejarah”.(7) Tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai perkembangan sistem politik hingga saat modern ini juga amat dipengaruhi oleh dinamika rasionalitas kebebasan ini. Ambil contoh sistem politik demokrasi yang merupakan cermin realitas bagaimana akal budi kebebasan telah mendorong perubahan pada tingkat sistem politik. Sebelum kebebasan mendapat tempatnya, maka kekuasaan yang absolut yang menjadi sentral menentukan hidup manusia. Manusia adalah subjek pasif yang ditentukan oleh bagaimana kekuasaan menentukan mereka. Setelah masa pencerahan dan berkembangnya rasionalitas manusia maka kesadaran individualitas yang bersumber bukan pada otoritas luar tetapi otoritas diri manusia mulai mendapat tempatnya. Manusia menjadi tuan pada dirinya sendiri. Manusia telah mengalami tahapan evolusi dirinya ke arah kebebasan dengan melepaskan sumber-sumber pengikat sebelumnya seperti alam, mkitos dan juga kekuasan yang asbsolut. Tahapan selanjutnya yang nampak adalah manusia kemudian berkuasa atas alam. Penghancuran terhadap dimensi eksternal bukan hanya perlu, melainkan merupakan syarat penting untuk mencapai tujuan luhur yakni ‘kebebasan individu’.(8)
Pertumbuhan Dialektis Gagasan ‘Kebebasan’ Hingga Krisis Manusia Modern
Pertumbuhan gagasan manusia terhadap ide dan roh kebebasan memiliki karakter yang dialektis. Erich Fromm menuliskan dialektika kebebasan manusia sangat menarik:
“Pada satu sisi, pertumbuhan kebebasan manusia merupakan satu proses tumbuhnya kekuatan dan integrasi terhadap alam, proses tumbuhnya kekuatan akal budi manusia dan munculnya solidaritas dengan orang lain. tetapi pada sisi lain, pertembuhan individuasi ini berarti tumbuh ‘keterasingan’, ‘ketidakamanan’ dan dengan demikian tumbuhnya ‘keraguan’ tentang peran seseorang dalam semesta, keraguan tentang makna hidup seseorang, dan tumbuhnya rasa ‘ketakberdayaan dan ketakbermaknaan diri seseorang sebagai individu.”(9)
Kalimat Erich Fromm ini sejatinya ingin mengatakan aspek “ambiguitas kebebasan” yang mempunyai dua dimensi konsekuensi yang hingga hari ini sebenarnya menjadikan banyak problem kebebasan yang paradoks. Bukan pada penyelewengan dan distorsi yang terjadi sesudahnya, tetapi secara psikologis sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari makna ‘kebebasan’. Tarik-menarik antara ‘keterikatan pada faktor luar atau otoritas-otoritas eksternal (sistem)’ dan ‘kehendak kebebasan manusia’, barangkali menjadi narasi kisah panjang yang belum berhenti sampai hari ini. Tentang karakteristik ambiguitas itu secara menarik oleh Mill dilukiskan sebagai berikut :
“Ambruknya sistem masyarakat Feodal Abad Pertengahan memberikan satu arti pokok bagi semua lapisan masyarakat: individu merasa kesepian dan terasing. Dia bebas. Kebebasan ini berakibat ganda. Manusia tercerabut dari keamanan yang telah ia nikmati, dari perasaan memiliki yang tidak dapat diragukan, dan iapun terkoyak hingga lepas dari dunia yang telah memuaskan pencariannya akan keamanan baik secara ekonomis maupun spiritual. Ia menjadi kesepian dan cemas. Namun ia juga bebas untuk bertindak dan berpikir secara independen, untuk menjadi tuan bagi dirinya sendiri dan memanfaatkan hidupnya seperti yang ia inginkan – bukan melakukan seperti yang diperintahkan kepadanya.”(10)
Dalam perkembangan masyarakat modern(11) , dimensi kebebasan manusia yang terwujud dalam karakteristik individualitasnya juga mengalami perubahan. Dalam banyak hal situasi ketimpangan dan jarak ketertinggalan antara ‘kebebasan dari’ dan ‘kebebasan untuk’ menyebabkan bahaya sendiri bagi kehidupan manusia. Akibat dari ketidakseimbangan ini mengakibatkan berbagai krisis kemanusian termasuk di dalamnya, menurut Erich Fromm adalah yang disebut sebagai “pelarian diri”. Sebuah kondisi masyarakat di mana terjadi ‘pelarian diri’ yang panik dari kebebasan ke dalam ikatan-ikatan baru atau paling tidak ke dalam ketidakacuhan total.(12)
Ketika subjek manusia dalam alam kebebasan tak mampu menjawab ‘kebebasan untuk apa’ maka ia akan mudah terasing dari diri dan dunianya maka ketika situasi ini tak lagi bisa ditanggung, maka ia kemudian akan melarikan diri pada bentuk mekanisme baru di mana ia terlepas dan merasa bisa mengindar dari krisis tersebut. Dalam catatan Erich Fromm(13) tentang krisis masyarakat modern, ia mempunyai kecenderungan mencipatakan kondisi pelarian diri manusia yakni: Pertama, ‘otoritarisme’, sebuah kondisi kecenderungan untuk menghilangkan kemandirian diri seseorang sendiri dan untuk melebarkan dirinya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya agar mendapatkan kekuatan yang dirasa kurang dari dirinya. Bentuk yang paling sering dan nyata adalah ‘masokistis’(14) dan ‘sadistis’.(15) Kecenderungan dua tindakan itu sebenarnya merupakan pelarian diri dari kesepian yang tidak tertahankan. Kadang bentuk perasaan ini nampak sebagai hal yang irasional dan patologis; Kedua, adalah “kedekstruktifan”, yakni penghancuran total atas eksistensi diri. Jika pada ‘masokistis’ dan ‘sadistis’ lebih pada hubungan yang aktif dan pasif, pada kedekstuktifan capaiannya adalah penghilangan diri atas kenyataan dunia. Bunuh diri merupakan gambaran yang bisa dirujuk untuk kecenderungan ini; Ketiga, adalah “penyesuaian secara total”, yaitu kondisi psikotis dimana orang kemudian dengan merasa kehilangan kediriannya kemudian secara otomatis meleburkan diri pada pola-pola dan mekanisme-mekanisme yang bisa sama dengan orang lain. Mekanisme ini sejatinya merupakan pelarian diri dari rasa ketakutan dan kesendirian. Maka ia berpikir, bahwa batas ‘saya’ dan ‘dunia’ kemudian sudah tidak ada. Harga yang kemudian dibayarkan adalah bahwa subjek kemudian kehilangan ‘dirinya’.
Seperti yang dimengerti tentang kebebasan eksistensial ataupun sosial ia selalu melekat dalam relasinya dengan kehendak orang lain. Artinya apa yang mengancam kebebasan kita bukan kekuatan-kekuatan alam yang buta, bukan juga tindakan yang tidak disengaja, tetapi adalah maksud dan kehendak orang lain.(16) Dengan demikian yang dimaksud dengan kebebasan sosial sejatinya mengandung pemahaman dasar bahwa “keadaan dimana kemungkinan kita untuk bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain.”
Mengurai Esensi Tanggungjawab
Dalam dimensi kebebasan sosial tentu kita akan mudah paham dan sepakat bahwa kebebasan ini akan sangat terbatas karena karakteristik sosialnya. Pertanyaan pentingnya justru ada pada catatan menarik “Sejauh mana dan dengan cara mana, kebebasan boleh dibatasi? Atau lebih mudahnya ada dalam pertanyaan: alasan apa yang dapat membenarkan pembatasan kebebasan manusia oleh masyarakat? Secara implisit sebenarnya ungkapan pertanyaan ini juga memberikan pemahaman pada kita bahwa ada batas-batas pembatasan yang memang diperbolehkan dan ada juga pembatasan-pembatasan yang tidak diperbolehkan. Pada titik ini memang akan banyak mengangkat perrdebatan-perdebatan dengan pertimbangan rujukan moral dan nilai masing-masing.
Namun dari refleksi dari esensi kebebasan dan tanggungjawab itu sendiri maka pembatasan-pembatasan bisa diberikan dengan mengandaikan beberapa prinsip : Pertama, hak manusia atas kebebasan yang sama. Artinya selama kebebasan kita mengganggun hak kebebasan orang lain maka tindakan kita bisa diberi pembatasan. Kedua, kita sebagai bagian anggota masyarakat. Artinya kepentingan bersama seluruh masyarakat menjadi pagar dalam perlu tidaknya pembatasan itu diberikan. Franz Magnis Suseno merangkum secara kritis apa yang menjadi catatan atas fungsi pembatasan kebebasan ini. Menurutnya “masyarakat berhak untuk membatasi kebebasan kita sejauh itu perlu untuk menjamin hak-hak semua anggota masyarakat dan demi kepentingan dan kemajuan masyarakat sebagai keseluruhan, menurut batas wewenang masing-masing.”(17) John Stuart Mill juga mempunyai pembahasan yang hampir serupa dengan premis Suseno di atas. Bagi Mill “satu-satunya alasan yang sah untuk memberlakukan paksaan terhadap seseorang, ialah mencegah dia merusakkan atau merugikan orang-orang lain”.(18) Bagaimana bentuk pembatasan bisa dilakukan? Suseno mencatat ada tiga hal penting untuk pembatasan kebebasan(19) : (1) melalui pemaksaan atau pemerkosaan fisik; (2) Melalui tekanan atau manipulasi psikis; (3) Melalui pewajiban dan larangan.
Dalam dimensi yang luas sejatinya apa yang disebut sebagai ;tanggungjawab; bukanlah kondisi antagonis ataupun pembatasan pada kebebasan. Jika dimaknai sebagai pembatasan maka yang terjadi tanggungjawab hanya dimengerti sebagai prasyarat instrumental yang pada dirinya bisa dilanggar dengan mudah. Tanggungjawab sebagaimana kebebasan juga merupakan ciri eksistensi hidup manusia. Orang seringkali mengartikan bahwa beban tanggungjawab sebagai kondisi luar yang dipaksakan pada kebebasan diri. Artinya juga bahwa ketiadaan tanggungjawab akan menciptakan ruang kebebasan yang lebih bagi manusia. Jika ditelisik, justru hal ini bisa berkebalikan. Justru ketika tanggungjawab itu semakin tinggi artinya manusia sejatinya justru telah mengaktualisasikan kebebasannya secara lebih. Andai kata orang menolak untuk bertanggungjawab tidaklah berati bahwa kebebasan dirinya akan semakin luas. Dalam banyak hal bisa jadi bahwa penolakan untuk bertanggungjawab adalah orang yang tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya sendiri sebagai paling baik. Pertanggungjawaban dalam memperjuangkan kebebasan harus dilakukan secara terbuka dengan menghindari upaya manipulasi demi pelarian dari tanggungjawab. Dengan keterbukaan ini maka sejatinya kebebasan dan tanggungjawab bukanlah sebuah entitas yang dianggap saling meniadakan.
(1)Tengok gagasan menarik Albert Camus tentang peran kebebasan pers yang mengatakan bahwa “kebebasan pers tidaklah menjamin suatu negeri mencapai keadilan dan kedamaian, tetapi tanpa kebebasan pers, suatu negeri pasti tidak mencapai keduanya,. Karena keadilan hanya akan terbukti bila rakyat dihormati hak-haknya, dan hak tidak ada artinya jika tidak diwujudkan”. Lihat, Albert Camus, Krisis Kebudayaan, yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1990.
(2) Sebut saja pada Bab II pasal 4, UU Pers No 40 tahun 1999 yang tertulis bahwa “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran; dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari , memperoleh dan menyebarkan gagasan dan informasi”.
(3) Lihat, Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
(4) Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985, hal. 22.
(5) Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 22.
(6) Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 26.
(7) Lihat, John Stuart Mill, On Liberty : Perihal Kebebasan, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 1. Apa yang ingin dijelaskan oleh John Stuart Mill dalam pemahaman tentang ‘kebebasan’ lebih berdimensi sosial ketimbang eksistensial yang menyangkut ‘kebebasan sispil’ dan ‘warga negara’. Konteksnya tentu adalah sejarah kebangkitan semangat pemberontakan dan perlawanan sipil di abat pencerahan ketika terjadi gelombang rasionalitas masyarakat untuk menentang sistem ‘despotisme monarki’ dan ‘aristokrasi’
(8) Lihat, Erich Fromm, lari Dari Kebebasan, Penerbit Pustaka Pelajar, 1999, hal. 2.
(9) Lihat, Erich Fromm, Ibid, hal. 33 – 34. Maka bagi Fromm. Relasi keterkaitan ‘entitas gagasan kebebasan’ dengan faktor-faktor ekonomis, psikologis dan ideologis amatlah erat.
(10) Lihat, Erich Fromm, Ibid, hal. 93. Ketercerabutan yang dimaksudkan oleh Mill bisa terjadi pada berbagai ikatan-ikatan primer yang sebelumnya menjadikan ketergantungan manusia. Ikatan primer ini adalah ikatan organik yang lazim dalam perkembangan manusia. Ketika manusia masih berada dalam ikatan primer ini maka ‘individualitas’ belumlah terjadi. Contoh yang dimaksud sebagai ‘ikatan primer’ itu bisa terhadi pada : ikatan anak pada ibunya, anggota komunitas primitif dengan keluarga dan alamnya, atau manusia abad Pertengahan dengan Gereja dan kasta sosialnya.
(11) Perubahan yang terjadi terutama terjadi pada perubahan-perubahan sistem ekonomi produksi yakni pergeseran sentralisme ekonomi dari kaum bangsawan ke arah para borjuasi kecil atau kaum kaya baru. Ranah pemikiran, kultural, kebudayaan, filsafat dan teologi juga berubah. Pada saat ini, rasionalitas modern telah lambat laun menggantikan berbagai ajaran mitos dan dogmatisme yang hampir bertahan dalam kunkungan aristokrasi dan monarkhi kerajaan.
(12) Lihat, Erich Fromm, Ibid, hal. 35.
(13) Apa yang ingin disimpulkan Erich Fromm adalah bahwa dalam situasi masuarakat modern ternyata kondisi kebebasan seringkali kemudian menjadi paradoks dan ambigu. Ketidakberdayaan dan ketidakamanan individu yang kesepian dalam masyarakat modern, yang telah terbebas dari semua belenggu yang sesekali memberi makna dan keamanan hidup. Banyak individu kemudian tidak dapat menanggungketerasingan ini Ketakutan dan keraguannya membuat bentuk pelarian diri dan melumpuhkan seluruh hidupnya. Usaha yang ia lakukan kemudian melarikan diri dalam kebebasan yang negatif yakni penyangkalan diri. Lihat, Erich Fromm, Ibid, hal. 256.
(14) Bentuk perasaan yang nampak dalam kondisi tindakan ‘masokistis’ adalah perasaan rendah diri ‘inferioritas’, tidak berdaya dan tidak berarti. Dalam kondisi ini, orang-orang melihat kecenderungan untuk melemahkan diri sendiri, membuat dirinya lemah dan dan tidak menguasai sesuatu dan yang terakhir mencari ketergantungan pada kekuatan lain di luar dirinya sendiri.
(15) Kecenderungan ‘sadistis ‘sebaliknya membuat orang lain tergantung pada dirinya dan menanamkan kekuasaan mutlak bagi orang lain. Kecendrungan sikap ini juga nampak pada hasarat membuat kekuasaan absolut bagi orang lain dan bahkan amat senang jika orang lain sengsara dan menderita.
(16) Lihat, Franz Magnis Suseno, Op.Cit, hal. 28.
(17) Lihat, Franz Magnis Suseno, Op.Cit, hal. 35 - 36.
(18) Lihat, Alex Lanur dalam kata pengantarnya di buku John Stuart Mill, On Liberty : Perihal Kebebasan, Penerbit yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998, hal. xvii.
(19) Lihat, Franz Magnis Suseno, Op.Cit, hal. 37.
Selamat belajar !
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar