Minggu, 21 Agustus 2011

Media, Iklan Politik dan Kampanye


Media, Iklan Politik dan Kampanye


Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si


“...Politik dalam abad ke-21 bekerja
dalam satu dunia realitas maya (virtual reality)
di mana ‘penampakan’ lebih penting daripada ‘realitas’.
Genre perpolitikan modern juga tidak ‘fakta’ tidak juga ‘fiksi’,
tetapi gabungan daripada fakta dan fiksi
yang disebut dengan ‘faction’”.
(Garton Ash)



Evolusi Media dan Politik Modern

Melihat kenyataan praktik berpolitik terutama strategi-strategi berbagai kekuatan politik dalam memenangkan konstestasi dan posisi politik tidak terlepas dari keberadaan media. Media dan terutama media massa modern tidak lagi hanya dibaca sebagai sarana meliankan sudah menjadi subjek aktor sekaligus entitas penting perpolitikan modern. Catatan kritik dari Garton Ash dalam pembuka paper ini memperlihatkan satu bentuk baru politik bagaimana peran media telah menciptakan satu kultur dan habitus perpolitikan yang banyak hal mengedepankan politik kemasan media. Tidak salah jika biaya terbesar dalam politik modern hari ini salah satunya ada dalam sektor pemanfaatan jasa-jasa yang berdekatan dengan politik kemasan tersebut. Asumsi bahwa hadirnya media telah memaksa satu dunia yang makin mengecil dan memadat dengan semakin mengecilnya batas ruang dan waktu justru tidak memperkecil biaya dan sekaligus ‘kerumitan politik’. Tata kelola politik tak lagi mengecil dalam artian tersederhanakan dalam institusi-institusi yang makin terasionalisasikan. Politik modern justru melahirkan jenis-jenis kelembagaan politik baru yang makin bertumbuh kembang.

Politik modern hari ini tidak dibentuk oleh suatu birokrasi totaliter yang tunggal tetapi oleh pola permainann yang menghubungkan kedekatan, kebiasaan antar politisi, para pembuat pidato (spin doctors), para konsultan hubungan publik dan para jurnalis yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan media.(1) Lembaga-lembaga penyiaran dan institusi-institusi media massa itu tak lagi bisa hanya diletakan sebagai sesuatu yang netral dan niscaya. Pola dan struktur kepemilikan media serta relasinya dengan berbagai kepentingan politik menyebabkan apa yang kita tonton dan kita sekaligus fahami mengeni media massa tidaklah berdiri dengan bebas.

Ruang publik tak lagi terepresentasikan sebagai ruang masyarakat untuk mendapat informasi semata. Ruang publik sudah begitu terpolitisiasi bukan karena ia hanya menjadi sasaran, tetapi ruang publik telah menjadi medium penting dalam pertarungan politik. Tak jarang pula presentasi publik diam-diam teleh bergeser menjadi propaganda politik yang dikemas sedemikan rupa. Apalagi kita sadar bahwa perkembangan atas penguasaan teknologi media massa tak jauh dari kedekatan para pemilik dan aktor-aktor politik yang masing-masing berkepentingan atas kemenangan politik mereka. Dalam risetnya tentang perkembangan teknologi televisi, Raymond Williams, juga menegaskan bahwa relasi teknologi media dan politik ini sudah hadir bahkan sejak kelahirannya.(2)

Sebagaimana yang sudah dijelaskan di ata,s kedekatan dan persinggungan antara media dan politik yang nampak dalam berbagai tampakan diskursus yang dibangun di media massa bukan hanya bisa dibaca sebagai ‘produk mutualisme’ atau ikatan saling menguntungkan. Pada kenyataannya justru media yang ada sejatinya secara ontologis dibentuk dalam kesengajaan untuk menjadi bagian pola dan struktur politik yang ada. Pemilik-pemilik modal ekonomi besar yang berkepentingan atas perjalanan ekonominya tidak mau beresiko mengalami hambatan karena problem ketiadaan institusi penopang seperti agen propaganda media. Maka relasinya menjadi setubuh dengan gagasan kekuasaan ekonomi tersebut. Lihat saja berbagai kekuatan media massa besar tersebut sejatinya dimiliki oleh para pemilik modal besar dan kekuasaan ekonomi yang ada. Bahkan Peter Golding dan Graham Murdoch sudah jauh-jauh memberikan titik tekannya bahwa struktur industrialisasi media yang terkosentrasi sesungguhnya adalah tahapan akhir dalam siklus perkembangan menuju lembaga indsutrial modern.(3) Dalam titik ini nalar analisis yang kita penting pakai adalah bahwa nalar baca terhadap logic berpikir kepentingan ekonomi industrial perlu menjadi perhatian serius.

Kemunculan corak media massa yang lebih berwatak industri bisnis ini sekaligus secara massif juga mampu mengkontruski corak hidup masyarakat secara luas sampai pada tingkat kesadaran sehari-hari. Perkembangan media ini mampu menjadi alat penting untuk mempengaruhi cara pandang dan perilaku masyarakat secara ideologis. Pada kemampuan inilah maka banyak kekuatan industri dan sekaligus politik meletakan media modern sebagai kekuatan terpentingnya. Maka membaca keterkaitan media dan politik beserta pemanfatan-pemanfatannya akan sangat butuh pendekatan ekonomi politik yang lebih utuh.(4) Pendekatan yang lebih mencakup aspek ‘insrumental’, ‘struktural’ dan juga ‘konstruksi media’. Masing-masing akan menggenapi satu sama lainnya.

Dalam pandangan instrumentalis tentu saja media diletakan sebagai alkat dan sarana dalam menunjang daripada kepentingan politik. Secara instrumentalis kritis, media massa adalah alat dari kepenjangan kelas kepentingan yang dominan. Pada pandangan ‘strukturalis’, entitas struktur sebagai sesuatu yang determinan dan monopolistik yang mampu menciptakan dan mempengaruhi isi media menjadi sangat penting. Produksi dan kosumsi media semata-mata hanya dilihat sebagai representasi dari kekeuatan struktur dominan yang ada. Pada pandangan ‘konstruktivis’ , struktur dipandang sebagai sebuah entitas yang bergerak dan dinamis yang juga ditentukan oleh kreatifitas agen. Media tidak hanya berdiri sebagai alat ataupun juga representasi kekuasaan melainkan ruang dinamika kreatif dari berbagai dialektika antara struktur dan agen.


Iklan Modern dan Industrialisasi Politik

Dimensi kepentingan dari apa yang disebut sebagai nalar ekonomi adalah keuntungan (profit) dan akumulasi modal kapital. Apa yang ada dalam tubuh dimensi ini adalah sebuah medan transaksi jual beli dimana arus utamanya adalah bagaimana keuntungan bisa diraih dengan bentuk sarana yang ada. Dimensi politik sejatinya lebih menawarkan satu gambaran yang lebih luas. Politik adalah sebuah cara hidup bagaimana kepentingan publik bersama bisa diraih. Setidaknya prinsip normatif sederhana ini ada dalam cita-cita tubuh politik yang paling’ mendasar. Tetapi sebagaimana kekawatiran ‘kaum dystopian’(5) tentang ‘ruang publik politis yang sudah tergantung pada teknologi media, ruang publik menjadi hilang dan akhirnya greget politik hanhyalah jatuh pada nalar transaksional ekonomi privat.

Satu fenomena modern yang begitu dekat dengan perbincangan transformasi politik di era industrialisasi modern adalah ‘iklan politik’. Sebelum mendalami dimensi iklan politik, lebih awal penting untuk meletakan fungsi pengertian dari iklan sendiri. Iklan sarat dengan persoalan bisnis, ekonomi dan perdagangan. Ikan secara etimologi mengandung pengertian kegiatan ekonomi untuk membantu capaian pemasaran baik barang atau jasa dalam suatu sistem ekonomi., menurut Thomas M Garret, SJ, ‘iklan dipahami sebagai aktifitas penyampaian-penyampaian pesan visual atau oral kepada khalayak, dengan maksud menginformasikan atau mempengaruhi mereka untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi terhadap idea-idea, minstitusi-institusi atau pribadi-pribadi yang terlibat dalam iklan tersebut’.(6) Jamaison dan Campbell mendefinisikan ‘iklan sebagai penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak sasaran tertentu untuk menerima penawaran produk, jasa, atau gagasan, dengan mengeluarkan biaya untuk ruang dan waktu dalam bentuk tertentu.(7) Dalam definisi yang lebih sederhana barangkali iklan bisa difahami sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media.

Bagaimana selanjutnya tentang pengertian iklan politik? Tentu saja titik penekanan daripada iklan politik ada dalam domain hidup politik. Artinya bisa difahami bahwa iklan politik ada dalam konteks apa yang dimengerti sebagai cara dan usaha untuk memenagkan konstesatasi politik yang ada. Kecuali karena perkembangan dari kemajuan teknologi komunikasi sendiri, iklan politik berkembang seiring dengan kebutuhan yang tidak terlepaskan dari apa yang menjadi kebutuhan politik dan apa yang menjadi kebutuhan bisnis ekonomi. Dalam pandangan umum, apa yang masih dimengerti sebagai produk yang akan dijual dalam kepentingan ekonomi adalah sebentuk gagasan, produk, atau jasa tertentu. Sementara berdiri pada aras nalar yang sama, apa yang ingin dijual dalam kepentingan iklan politik adalah juga menyangkut produk, jasa dan juga gagasan yang berkait erat dengan politik. Tentu batasan pada dua hal itu amat tipis, karena sejatinya dimensi politik dan ekonomi dalam perkembangannya sendiri saling berkelindan satu dengan yang lain.

Hangat dan berkembangnya fenomena iklan politik tentu tidak bisa melepaskan dengan konteks perkemnbangan sosio ekonomi politik sebuah negara. Trend ‘iklan politik’ santer berkembang saat dirasakan bahwa media terutama media televisi pada saat itu untuk dipakai sebagai corong dari pemenangan kandidat tertentu dalam pemilu. Amerika Serikat tentu bisa disebut sebagai negara pertama yang menerapkan sistem iklan politik. Struktur ekonomi politik yang lebih liberal dengan coraknya yang sangat kapitalistik memang memungkinkan ‘iklan politik’ sangat bertumbuh subur dan diberi kesempatan masuk pada media-media publik Amerika Serikat. Iklan politik adalah salah satu dari perkembangan dari apa yang disebut sebagai ‘modernisasi kampanye’. Titik terpenting yang juga bisa difahami adalah bahwa industri periklanan modern menempatkan kampanye politik sebagai sebuah bisnis baru yang menjanjikan. Banyak profesi-profesi dan lembaga-lembaga baru yang berkait dengan itu. Ketika terjadi perkembangan dari apa yang disebut sebagai ‘industrialisasi’ ini, maka fungsi dan peran lembaga-lembaga profesi seperti ‘konsultan politik’ dan lembaga jasa pemenangan pemilu menjadi diminati sebagai lahan pekerjaan baru yang menjanjikan. Naiknya pembiayaan politik pada perkembangan kontemporer hari ini salah satunya disebabkan karena hadirnya pola dan bentuk kelembagaan ini.

Apa yang sebenarnya bergeser pada hadirnya lembaga-lembaga baru seperti “konsultan politik”? Beberapa penelitian menyebutkan bahwa konsultan politik meningkat dan pada akhirnya terjadi peralihan organisasi kampanye dari yang semula dikelola oleh lingkaran dalam (inner crcle) seperti ‘kader partai’ menjadi dikelola oleh pihak eksternal dalam hal ini ‘marketing expert’.(8) Satu sisi yang akan menjadi konsekuensi terhadap perubahan ini adalah. Pertama tentu saja adalah menggejalanya pragmatisme politik karena bingkai besarnya tak jauh dari sekedar orientasi dan hitung-hitungan bisnis, Kedua, modernisasi politik diam-diam juga menghadirnya gejala depolitisasi yang merambah ruang publik politis. Apa yang didapat dalam diskursus politik sekedar menyempit pada pragmatisme kepentingan dan orientasi jangka pendek semata. Ketiga, yang juga menjadi imbas dari pergeseran ini adalah terjadinya ‘deideologi partai-partai politik’ dimana pertimbangan yang lebih berbasis nilai dan ideologi akan bergeser kepada basis komersial. Konsekuensi dari deideologi politik ini juga akan merempah pada kecenderungan apa yang disebut sebagai ‘personalisasi politik’. Letak kekuatan dari politik tidak lagi pada konsolidadi dan kekuatan gagasan dan ideologi tetrapi pada sosok dan figur personal yang akan dijual dalam pasar politik.

Trend perkembangan modernisasi politik yang menerapkan beberapa gaya kampanye politik yang makin terindustrialisasi biasanya kerap juga disebut sebagai bentuk ‘sekularisasi politik’. Kecenderungan ini hampir sudah merambah di berbagai negara dengan kadar intensitas dan kualitas yang berbeda. Biasanya negara-negara yang menerapkan pergeseran ini mengalami beberapa kondisi dan kecenderungan yakni : Pertama, munculnya saluran-saluran komunikasi massa di negeri-negeri tersebut; Kedua, runtuhnya keterikatan-keterikatan pada pada ideologi-ideologi politik utama; Ketiga, melemahnya partai-partai tradisional dan identifikasi kepartaian dari para pemilih. Kehadiran perubahan gaya politik terutama gaya kampanye politik tidak lepas juga dari pengaruh apa yang disebut nsebagai ‘Amerikanisasi’(9) politik. Sebuah konsep pengertian dimana pengaruh nalar berpolitik gaya liberal Amerika yang semakin merambah juga pada negara-negara lain terkhusus negara-negara dunia berkembang semacam Indonesia. Gejala Amerikanisasi dalam kampanye pemilu setidaknya menurut Blumer dan Gurevitch (1995) mengandung karakteristik yang bisa dilihat yakni : (1) Dijadikannya televisi sebagai tempat utama kampanye pemilu; (2) Dijadikannya ‘image making’ sebagai aktifitas politik krusial; (3) Aktifitas politisi dijahit sedemikian rupa dan disesuaikan dengan logika media; (4) Disusunnya gaya-gaya serta aturan-aturan yang dinilai mampu menjadikan iklan politik sebagai akmpanye yang efektif.

(1) Lihat, Erhard Eppler, Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal, Penerbit Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 201.

(2) Lihat, Raymond Williams, Televisi (terjemahan), Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2009, hal. 186. Menurutnya ‘banyak dari perkembangan teknologi yang berada di tangan korporasi-korporasi besar yang punya ikatan hubungan erat dengan maksud-maksud militer, politik dan komersial.

(3) Lihat, Peter Golding dan Graham Murdock eds, The Political Economy of The Media, Volume I, Edward Edgar Publishing Limited, 1997, hal. 5 – 21.

(4) “Pendekatan ekonomi politik” adalah sebuah pendekatan kajian terhadap media yang banyak mengeksplorasim keterkaitan peran struktur ekonomi dan politik dalam berbagai problem yang dihadapi oleh media. Pada pandangan pendekatan ini, struktur-struktur kepemilikan atas berbagai sumber daya media beserta relasi struktur yang dibangun atasnya amat menentukan bagaimana media itu bergerak. Bdk, Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2004.

(5) Lihat, Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital : Tantangan Kehidupan Politik di Ruang Cyber, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 6 – 14. Kaum ‘Dystopian’ adalah salah satu epistmeik gambaran pemikiran yang sangat hati-hati dan cenderung melakukan penolakan kritis terhadap determinasi teknologi atas dunai politik dan terutama proses hidup manusia. Teknologi menurut pandangan ini akan berdampak cukup besar terhadap lahirnya berbagai keretakan, kekacauan dan problem sosial manusia. Ada berbagai kualitas hidup manusia yang akan terganggu dan berubah dan pada titik akhir terjadinya alienasi hidup manusia. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh faham pemikiran ‘fenomenologis’ kritis. Beberapa pemikiran yang cukup kritis hadir pada Edmund Huserl, Martin Heidegger, Benjamin Barber, Hannah Arendt dan David Thoreau.

(6) Lihat, Jeremias Jena, “Etika dalam Iklan”, Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, (No 3, 1997) hal. 47.

(7) Lihat, Benny H. Hoed, “Transformasi Budaya dalam Bahasa Iklan”, dalam Dari Logika Tuyul ke Erotisme, yayasan Indonesiatera, Magelang, 2001, hal. 95.

(8) Lihat, Akhmad Danial, Iklan Politik : Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2009, hal. 54.

(9) Menurut Swanson dan Mancini, minimal bisa disebutkan beberapa karakteristik dari hadirnya American Style dalam politik : (1) terjadinya personalisasi politik; (2) Saintifikasi politik; (3) Terpisahnya partai dari warga negara; (4) Struktur komunikasi yang otonom dimana media sangat berkuasa. Lihat, Akhmad Danial, Ibid, hal. 65.

Tidak ada komentar: