Minggu, 21 Agustus 2011

Demokrasi, Kebebasan Pers dan Politik Media


Demokrasi, Kebebasan Pers dan Politik Media

Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si


“Bahwa kemerdekaan pers merupakan
salah satu wujud kedaulatan rakyat dan
menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang demokratis, sehingga kemerdekaaan mengeluarkan
pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum
dalam pasal 28 Undang-Undang dasar 1945 harus dijamin”
(UU RI No 40 Tahun 1999 Tentang Pers)



Media massa secara praktik telah menjadi bagian integral dan tidak terpisahkan dalam domain hidup sosial masyarakat. Kiprah keberadaannya tidak lagi menjadi sekedar instrumen pelengkap dari sebuah sistem hidup. Ia menjadi bagian dan faktor determinan amat penting dalam sistem yang lebih luas. Begitu vitalnya peran yang bisa dihadirkan, media massa telah meletakkan posisinya yang amat penting pada posisi perjalanan bangsa. Ia menjadi bagian penuh dari dunia hidup masyarakat sendiri. Sejarah juga memberi catatan bagaimana media massa ikut berdinamika dalam pasang surut kompleksitas persoalan negara. Kerekatan ini mempertegas tesis penting bahwa media massa sejatinya tidak pernah menjadi realitas pada dirinya sendiri. Ada banyak dimensi dan variabel yang melingkupi keberadaan media. Sistem politik, ekonomi dan budaya adalah dimensi-dimensi struktural penting dalam merias wajah dan watak yang dimunculkan media.

Kekuasaan politik Orde Baru adalah kasus yang bisa memberi contoh sangat jelas. Begitu lama watak otoritarianisme teleh menjebak media massa hanyut dalam sistem yang sangat represif. Media massa tak ubahnya hanya sekedar corong dan mesin propaganda bagi kekuasaan. Rasionalitas birokratis dan peran maha besar negara dalam mengatur media begitu sangat kuat. Tak ada penghargaan atas ruang publik yang demokratis. Dikte negara atas media menyentuh banyak dimensi baik konten, legislasi maupun pemusatan modal kepemilikan yang memusat pada kuasa ekonomi kroni.

Transisi politik 1998 ikut membawa dorongan perubahan bagi wajah media massa. Banyak pihak sedikitnya berharap dan percaya bahwa ’determinasi negara’ sepertinya sudah lewat. Kebangkitan masyarakat sipil menjadi harapan baru bagi keberlangsungan politik media yang lebih demokratis dan deliberatif. Tidak sedikit pula kebijakan-kebijakan dalam sektor legislasi pengelolaan media mengalamai perubahan-perubahan. Pendekatan ekonomi dan politik yang mengutamakan penghargaan kedaulatan publik (public-based power) menjadi harapan dari perubahan besar transformasi media massa Indonesia.


Demokrasi dan Kebebasan Pers

Begitu pentingnya ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan pers’ untuk menyumbang proses demokrasi sudah menjadi premis utama dari teori-teori tentang demokrasi terkhusus mereka yang mengangkat demokrasi secara liberal. Pers tidak hanya diletakkan sebagai instrumen alat yang terpisah dan hanya menjadi sarana semata. Pers bahkan telah menjadi ruang dan dimensi utuh dari gambaran nyata hidup berdemokrasi. Salah satu argumen dari cara pandang ini adalah bahwa ‘kemerdekaan pers’ merupakan wujud sejatinya dari sebuah kemerdekaan dasar untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat. Dalam era di mana pers belum begitu terbangun, tentu cara mengeluarkan pendapat dan pikiran seringkali melalui proses lisan berbicara yang kerap kita kenal dengan tradisi retorika. Namun setelah era tulisan dan juga era dunia digital maya yang makin berkembang, maka medium dan sarana berdemokrasi dalam pers menjadi pilihan-pilihan yang semakin dominan dan amat penting.

‘Kebebasan pers’ adalah istilah untuk menunjukan jaminan atas hak warga memperoleh informasi sebagai dasar untuk membentuk sikap dan pendapat, baik dalam konteks sosial mapun estetis.(1) Premis di atas menunjukan sebuah ‘fungsi imperatif’ daripada sebuah hak. Apa yang dimaksudkan sebagai fungsi imperatif? Menurut Ashadi Siregar, kebebasan pers bukan merupakan hak bagi media pers, melainkan sebagai landasan bagi kewajiban yang lahir dari fungsi imperatif yang harus dijalankan.(2) Fungsi imperatif yang dimaksudkan oleh Siregar adalah hakikat fungsi pertalian antara kemerdekaan berdemokrasi, warga negara dan juga fungsi pers untuk menyalurkannya. Maka dalam sudut pandang politik, kemerdekaan pers merupakan sebuah ilustrasi gambaran adanya sebuah ruang kemerdekaan bagi pengetahuan masyarakat dan bagaimana masyarakat menyalurkan pengetahuan dan gagasan politiknya dalam ruang yang lebih besar yakni kehidupan berdemokrasi negara. Bisa dikatakan dalam kalimat yang lebih sederhana bahwa kebebasan pers tidak ada pada dirinya sendiri. Kemerdekaan pers bukan hanya terletak pada eksistensi keberadaan dirinya sendiri melainkan bermatarantai dan berelasi dengan proses hidup demokrasi.

‘Sejarah pergulatan politik’ dan sekaligus ‘sejarah pergulatan pers’ merupakan dua hal yang masing-masing saling menyumbang perubahan diantara dua dimensi ini. Situasi dan karakter politik sebuah negara tentu akan amat berpengaruh terhadap wajah pers yang dimunculkan dan sebaliknya, pers sebagai struktur kekuatan politik juga mempunyai banyak potensi untuk menyumbang perubahan-perubahan dan dinamika politik yang ada.(3) Pada kondisi tertentu pers bisa hanya menjadi kaki tangan dan alat dari determinasi kepentingan kekuasaan. Dalam kondisi konstalasi politik tertentu pers kemudian bisa menjadi ‘independen’ dan berseberangan dengan kekuasaan yang ada. Di antara kedua kondisi tersebut, pers juga bisa menjadi bagian dinamisator dan instrumen penting untuk menjadi sarana membangun mediasi berbagai kekuatan-kekuatan politik tertentu. Media pers sejatinya kemudian tidaklah netral. Berbagai dimensi yang menopangnya menjadi bagian yang penting untuk membaca kepentingan yang dihadirkan. Era politik berdemokrasi sekarang, media pers begitu menjadi ruang dan sarana yang maha ampuh untuk membangun citra dan bahkan tentang ciri-ciri demokrasi yang direpresentasikan oleh pers itu sendiri.(4) Kampanye, penggalangan opini dan hegemoni kekuasaan bisa dibangun dengan sarana pers tersebut.

Demokrasi sebagai sebuah gambaran definisi adalah proses pemerintahan yang dipegang oleh rakyat. Definisi dasar ini secara ontologis relatif diterima oleh berbagai definisi terutama dinamika konsep mengenai demokrasi. Berbagai dinamika politik dan ekonomi pada setiap jamannya menyebabkan definisi tentang ‘demokrasi’ tidak terbentuk secara beku dan stabil. Di antara dinamika mengenai rumusan tentang kondisi demokrasi yang beragam, tentu kita penting merumuskan beberapa benang merah atau hakikat dari demokrasi ini. Meminjam rumusan dari Georg Sorensen mengenai inti dari demokrasi politik akan ditemukan tiga dimensi penting mengenai demokrasi yakni : ‘kompetisi’, ‘partisipasi’ serta ‘kebebasan sipil dan politik’.(5) Tiga dimensi ini penting untuk menjadi alat ukur untuk melihat sejauh mana kualitas demokrasi yang dijalankan sebuah negara. Utopia etis dari segala teori yang membincangkan demokrasi adalah prinsip sistem politik yang meletakan kedaulatan rakyat sebagai yang terutama. Sebuah perjalanan sejarah yang tak dapat dipungkiri di hampir sebagian besar negara bahwa sistem kelola politik yang menempatkan figur kekuasaan yang terpusat (otoriter/totaliter/absolut) pada seseorang atau segelintir orang tidak lagi dipraktikan. Demokrasi dianggap menjadi mantra jawaban untuk menjadi instrumen pengelolaan politik yang paling relevan.

Tiga prinsip yakni ‘kompetisi’, ‘partisipasi’ dan ‘kebebasan politik dan sipil’ adalah dimensi kondisi penting bagi minimal berjalannya demokrasi. ‘Kompetisi’ menggambarkan ruang terjadinya kompetisi yang luas dan bermakna diantara individu dan kelompok pada seluruh poisisi kekuasaan pemerintahan yang efektif, dalam jangka waktu yang teratur dan meniadakan penggunaan kekerasan.(6) ‘Partisipasi’ menggambarkan keterbukaan yang inklusif dalam pengelolaan politik terutama penentuan kememimpinan dan pengelolaan kebijakan. Contoh partisipasi politik yang amat kentara bisa kita saksikan pada saat pemilu yang harus dilangsungkanj secara terbuka, bebas dan adil bagi semua orang. ‘Kebebasan politik dan sipil’ lebih menggabarkan situasi di mana terbukanya secara merdeka berbagai proses pendapat, gagasan, pikiran, berserikat dan yang lebih besar adalah kebebasan pers untuk menunjang dua dimensi yang lain yakni penguatan kompetisi dan partisipasi yang lebih bebas dan adil. Mendorong partisipasi warga dalam berdemokrasi sama ungkapannya dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas warga untuk memperoleh hak-hak politik dan kebebasan dalam berdemokrasi. Kompetisi dalam dimensi ini mensyaratkan tidak adanya hak ‘monopoli’ dan ‘pemusatan’ atau ‘pengistimewaan individu atau kelompok’ tertentu dalamkebijakan serta partisipasi politik. Pemusatan dan sentralisme hanya akan melahirkan sistem politik yang totaliter dan otoriter.


Mengurai Tesis Dasar Tentang ‘Kebebasan” dan ‘Demokrasi”

Memperbincangkan demokrasi berkait dengan pers tentu saja akan mengangkat entitas penting yakni ‘kebebasan’. Sebuah entitas yang akan mengkontraskan dengan kondisi keterikatan, pemaksaan, penindasan dan monopoli yang satu atas yang lainnya. Tidak bisa dibayangkan bahwa cita-cita demokrasi melepaskan dengan unsur kebebasan ini. Seorang yang terikat, terpenjara dan tidak bebas tentu tidak akan mampu mengaktualisasikan dirinya dan tentu juga tidak akan mungkin mampu memperjuangkan hak-hak sipil warga negara seperti ikut dalam partisipasi politik. Warga negara, kelompok atau organisasi tertentu yang selalu dipinggirkan dan dimarginalisasi tentu juga tidak akn mungkin mempunyai kesempatan yang egaliter dan demokratis untuk melalngsungkan hak-hak politiknya. Maka ruang kemerdekaan dan kebebasan menjadi syarat mutlak bagi berlangsungnya apa yang disebut sebagai bangsa atau negara yang demokratis. Beban persoalannya kemudian adalah bahwa ‘makna kebebasan’ tidaklah entitas yang berdiri otonom dan bisa steril dari tarik menarik kepentingan atasnya. Klaim atas nama kebebasan tidak jarang justru telah banyak membangun kondisi ketidakbebasan bagi orang atau kelompok lain.

Apa yang difahami sebagai ‘kebebasan’(7) dan ‘keterbukaan’ sebagai unsur demokratisasi dalam bangunan perspektif liberal(8) , tidak begitu saja kemudian bisa mengangkat derajat solidaritas, keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik. Keterbukaan dan kebebasan tidak menutup ruang atas lahirnya manifes eksploitasi baru. Kebebasan lebih bercitra ‘pasar’ ketimbang demokrasi sesungguhnya. Nalar budaya yang dibangun adalah ‘kompetisi’ dan bukan ‘solidaritas’. Warga negara menjadi subjek anonim. Anonimitas mendorong individualisme yang bergerak tak ubahnya seperti kerumunan konsumen pasar. Makna politik akhirnya menyempit tak ubahnya medan transaksional tukar beli. Kemanfaatan politik menjadi memusat hanya pada sejauh mana ia mampu mendorong ‘laba’ atau’profit’ politik yang terkosentrasi pada minoritas yang terbatas. Bagi Hannah Arendt, politik tak ubahnya akan hanya menjadi ‘pasar’ jika ruang pablik politis terdistorsi oleh nalar kepentingan kapital.

Problem menjadi semakin akud, manakala transisi politik demokrasi tidak dibarengi dengan keseriusan mengawal aspek terpentingnya yakni ‘komitmen keperpihakan’. Komitmen etis tak lagi ada ketika ruang demokratisasi bisa disulap menjadi sekedar ruang kompetisi tanpa batas. Tentu saja yang akan menjadi pemenang adalah mereka yang mempunyai perangkat modal kekuasaan yang lebih terutama kapital sumber daya dan logistik uang. Hukum dan kebijakan yang diharap menjadi pengendali dan pelindung masyarakat sekedar menjadi tangan panjang dari kekuatan pasar. Apalagi senyatanya bahwa klaim ‘transparasi’, ‘partisipasi’, ‘kebebasan’, ‘kemerdekaaan bersuara’, hanya berlaku pada momen dan konteks terbatas. Lebih hanya menjadi fiksi dan manipulasi ketimbang sebuah habitus dan budaya politik yang nyata. Pada panggung belakang sudah terproteksi dalam nalar yang sudah baku yakni ‘rasionalitas sarana’ dengan capaiannya jelas yakni ‘kekuasaan tak terbatas’

Pemilu sebagai gambaran sederhana atas wujud demokrasi tidak beranjak dari residu persoalan yang makin menguat. Oligarkhi nepotisme kekuasaan pada sistem otoritarianisme tak berubah. Justru pemilu pasca reformasi melahirkan sistem oligarkhi dengan kecenderungan ‘plutokrasi’(9) yang lebih terdeferiansi dalam berbagai mutualismenya. Kekuatan intervensi modal, money politik, baiaya lonjakan pemilu, kekerasan sosial, dan hilangnya nalar keperpihakan pada kelas rakyat mayoritas justru semakin menguat. Pepatah dan metafora ‘menuang anggur lama dalam botol yang baru’ seolah menjadi kenyataan. Kebebasan kian hari justru menjadi ‘mimpi horor’ bagi jaminan kehidupan manusia. Dengan kebebasan itu pula rezim lama berhasil menutup segala ingatan kolektif massa tentang kejahatan yang pernah diperbuat. Dengan kebebasan pula rezim telah membangun rehabilitasi pencitraan diri. Tak menjadi sulit bagi seorang ‘penjahat masa lalu’ mengubah diri menjadi ‘pahlawan’ pada saat ini. Cita-cita kebebasan dalam sistuasi seperti ini menjadi terasa ‘menjengkelkan’ dan ‘absurd’. Menjadi mengembang sebagai ‘fiksi’ ketimbang membumi dalam kenyataan.

Sedikit meminjam catatan kritis dari Vedi R. Hadiz(10) dalam meneropong kasus kebebasan demokrasi dan transformasi demokrasi di Indonesia, kenyataannya Indonesia tidak sedang dalam ‘transisi politik’. Pertama, format demokrasi yang sekarang ditegakkan adalah sebuah sistem yang ditandai oleh praktik-praktik politik uang dan kriminalitas politik yang sama sekali tak beranjak dari sistem yang lama yakni nalar politik Orde Baru. Kedua, tidak ada satu sistem kendaraan reformasi murni yang efektif. Ketiga, menurut Hadiz, kerangka perubahan politik yang baru itupun lahir dan berkembang dalam sifat khusus dari kekuatan-kekuatan sosial yang bertarung dalam memperebutkan kekuasaan menyusul jatuhnya Soeharto. Menyoal transisi demokrasi dan analisisnya tentang demokrasi di Indonesia ia secara kritis menambahkan bahwa :“...bahwa demokrasi, dalam kondisi tertentu, tidak kalah bergunanya bagi berbagai kepentingan ‘predatoris’, sebagaimana rezim otoritarian yang antidemokrasi, dengan suatu syarat bahwa kelompok-kelompok dominan ini mampu menguasai dan memanfaatkan lembaga-lembaga demokratik secara paksa”(11) . Formasi institusional politik boleh berubah tetapi yang berkuasa tetap rezim dan aktor-aktor yang sama.


Negara, Pasar, dan Masa Depan Kebebasan Pers

Pengalaman sejarah beberapa negara sering membuktikan dengan jelas bahwa kerangka negara yang otoriter dan memusat pada nalar tatalitarianisme lebih banyak akan membungkan kompetisi, partisipasi dan sekaligus kebebasan pers. Dalam sisten negara yang menganut faham totaliter dan otoriter birokratik tentu saja peran negara menjadi amat besar. Semua pengelolaan sistem dan aturan regulasi serta ketersediaan ruang-ruang berpendapat dan berpartisipasi akan ditentukan semata oleh hak monopoli negara. Determinasi kuasa negara amat menentukan wajah pers. Negara pada posisi tertentu sekaligus juga memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur segalanya. Namun hari ini situasi semacam itu makin berkurang seiring proses demokratisasi yang berkembang pesat. Berbagai kekuatan di luar negara seperti ‘pasar’ dan ‘civil society’ juga terlibat menetukan berjalannya wajah pers. Kekuasaan tak lagi terpusat pada kewenangan negara.

Apakah pasca berakhirnya kekuasaan negara ini kemudian jawaban akan kebebasan pers kemudian sudah terang dan jelas? Apakah dengan sendirinya ketika berakhirnya era monopoli negara ini maka dengan sendirinya capaian kebebasan pers akan terwujud? Pertanyaan ini penting untuk diangkat terutama melihat berbagai situasi kontemporer pers hari-hari ini. Tentu saja pertanyaan kritis ini juga didorong oleh kegelisahan melihat bahwa ada wujud re-otoritarianisme pers yang tak lagi berangkat pada kedudukan sentral negara tetapi oleh jerat kuasa pasar yakni korporatokrasi pers. Pers boleh saja sudah keluas dari mulut harimau negara tetapi saat ini tidak menutup banyak kemungkinan bahwa kita sudah mulai memasuki era dimana pers masuk dalam mulout buaya pasar kapitalisme. Pers demokratis tentu saja mensyaratkan adanya ruang publik yang demokratis di mana masyarakat terlibat secara aktif dan partisipatif dalam membangun pers yang egaliter. Ruang publik ini akan menjadi tempat bertumbuhnya pers yang tidak koruptif dan hanya menjadi kaki tangan dari determinasi kekuasaan negara atau pasar. Namun apakah situasinya memang demikian seperti yang diandaikan dalam pemahaman ruang publik secara normatif?

Catatan kritis dari Robert Mc Chesney untuk memahami ruang publik demokratis ini perlu dipertimbangkan menjadi bahan diskusi. Bagi Chesney, “ruang publik sebagai potensi demokratis media akan tenggelam ketika ‘rasionalitas birokrasi’ atau ‘rasionalitas modal’ mulai mengambil alih dan mendominasi fungsi, sistem kerja dan orientasi produksi media”.(12) . Pemikiran Chesney ini lebih ingin menunjukan bahwa kemungkinan adanya bentuk lain terjadinya represi atas ‘kebebasan pers’ tidak semata karena peran tunggal negara tetapi juga bisa datang dari nalar modal atau pasar. Lebih yang mengerikan lagi adalah ketika kedua kekuatan (negara dan pasar) ini telah bersama-sama melakukan apa yang disebut sebagai penghancuran ruang publik kebebasan pers. Manifestasi bentuk pembelengguan ini biasanya terwujud dalam salah satunya yakni aturan regulasi dan kebijakan tentang kehidupan pers.(13) Nalar orientasi pers menjadi dominan pada kepentingan bisnis nampak di situ. Pers kemudian dimaknai lebih pada ‘nalar strategis’ dan ‘nalar instrumental belaka’. Gagasan Habermasian tentang media sebagai institusi sosial yang memfasiloitasi masyarakat menjalankan diskursus sosial yang komunikatif demi pencapaian kepentingan masyarakat yang demokratis seakan justru menjauh. Profit keuntungan kian menjadi target capaian ketimbang peran-peran sosial yang harus dikembangkan.

Politik atas media hari-hari ini tidak jauh lebih mendudukan media menjadi penyalur dari kepentingan para pemilik modal. Gejala privatiasi media dan komersialisasi ranah-ranah ruang publik media menunjukan bukti-bukti tersebut. Politik kebijakan pemerintah di bidang media dan komunikasi tidak berlandaskan pada suatu ‘imperatif’(14) untuk menciptakan ruang publik yang demokratis dan deliberatif, namun lebih didasarkan pada ‘rasionalitas strategis’ untuk mengarahkan praktik bermedia sesuai dengan kepentingan pemegang kekuasaan.(15) Menurut Agus Sudibyo dalam bukunya, komodifikasi media penyiaran mendorong rupa-rupa kekerasan simbolik di ruang publik, yang terwujud dalam ‘reduksi’ dan penyeragaman minat dan kebutuhan khalayak, serta represi terhadap berbagai representasi yang bersifat lokal, berasal dari masa lalu atau yang berasal dari tradisi. Jika demikian maka yang terjadi jauh dari cita cita keadaban publik dan yang justru akan mengembang adalah ‘keadaban konsumsi’. Masyarakat tidak dimaknai sebagai subjek aktif yang berperan dalam menyangga tiang-tiang demokrasi pers melainkan hanya menjadi objek sasaran strategis dari kepentingan pasar.

(1) Lihat, Ashadi Siregar, Etika Komunikasi, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2008, hal. 230.

(2) Lihat, Ashadi Siregar, Ibid, hal. 231.

(3) Perubahan-perubahan fungsi dan peran pers dalam konstalasi struktur ruang politik tentu saja amat ditentukan dengan berbagai variabel media pers terutama dimensi ekonomi politik yang menopangnya. Pers di era otoritarianisme Orde Baru lebih banyak menyuarakan suara-susra kepentingan negara dan nyaris menutup pada lahirnya suara-suara alternatif yang hidup pada diri masyarakat. Pers menjadi sangat determinan untuk melangsungkan proses kepentingan kekuasaan.

(4) Lihat, Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Demokrasi. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal 227. Mengutip dari gagasan Jean Baudrillard, Haryatmoko memberi catatan bahwa dalam rangka membangun politik penggalangan opini dan politik pencitraan, politisi mengerahkan segala sarana persuasi yang paling transparan, yakni ‘representasi’, sampai dengan ‘manipulasi’ dan ‘simulasi’.

(5) Lihat, Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi : Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Penerbit Pustaka Pelajar kerjasama dengan Centre for Critical Social Studies (CCSS), Yogyakarta, 2003, hal. 39.

(6) Lihat, Georg Sorensen, Ibid, hal. 19

(7) Apa hakikat ‘kebebasan’ dalam ‘korelasinya’ dengan kehidupan masyarakat warga dan potensi-potensi negativitasnya bisa melihat tulisan Fitzerald K.Sitorus, “Masyarakat Warga dalam Pemikiran G.W.F Hegel” dalam buku: F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 201o, hal. 123.

(8) Seringkali apa yang terjadi dalam domain perspektif liberal lebih tepat menggambarkan ‘pers yang bebas’ ketimbang ‘kebebasan pers’. Padahal dua pengertian ini amatlah berbeda. ‘Pers yang bebas’ tentu saja menggambarkan kondisi pers yang dibangun atas kepentingan nalar kebebasan bagi pers itu sendiri. Makna kebebasan pers lebih jauh dari itu. Ia lebih merupakan fungsi imperatif yang dilekatkan pada tugas dan fungsi pers untuk menjadi entitas kesatuan dengan kehendak dan kepentingan seluruh masyarakat.
(9) Sistem ‘plutokrasi’ lebih menunjukan kecenderungan sistem yang beradaptasi pada praktik lanjutan demokrasi representatif liberal dengan capaian-capaian prosedural terbatas dan lebih beradaptasi pada ‘kekuasaan otokrasi’ yang lihai memainkan manipulasi-manipulasi dalam pemilu.,

(10) Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Indonesia Pasca-Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, Kerangka mendasar teoritik dari buku ini dituliskan bahwa “Kerangka Institusional kekuasaan dapat berubah–misalnya ke arah yang lebih demokratis dan terdesentralisasi sebagaimana di Indonesia setelah jatuhnya Soeharto, tetapi relasi kekuasaan yang menopangnya mungkin saja bertahan dalam konteks intitusional yang baru”.

(11) Lihat, Vedi R. Hadiz, Ibid, hal. 271.

(12) Lihat, Robert Mc Chesney, Corporate Media and The Threat Democracy, Seven Stories Press, The Open Media Pamphlet Series, 1997, hal. 29. Dikutip dari buku Agus Sudibyo, Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009, hal. xix.

(13) Beberapa jejak yang bisa tertangkap adalah watak dari beberapa kebijakan peraturan tentang pers dan penyiaran di Indonenesia saat ini. Beberapa produk undang-undang seperti UU Penyiaran no. 32 tahun 2002 dan yang lainnya seringkali tidak menunjukan kearah transformasi demokratisasi pers melainkan lebih mengarah pada peningkatan kewenangan dan kekuasaan yang dominan ke arah Pasar. Lihat, Agus Sudibyo, Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009

(14) Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 332. Imperatif dalam bahasa Latin ‘imperare’ yang berarti memerintah. Konsep ini banyak dikembangkan salah satunya oleh Imanuel Kant yang mengartikannya sebagai sistem moral yang didasarkan pada perintah. Sebuah perintah yang menyuruh orang bertindak berdasarkan kebijaksanaan dan/atau kepentingan pribadi dan bukan berdasarkan kewajiban terhadap prinsip-prinsip moral.

(15) Lihat, Agus Sudibyo, Ibid, hal. xxxii. Kondisi kecenderungan ‘nalar instrumentalis’ ini amat menarik disebut sebagai sebuah kondisi ‘anomali’, sebuah kondisi dimana akumujlasi modal menjadi satu-satunya determinan dalam bisnis media. Komersialisasi dan komodifikasi media tanpa batas sudah menjadi karakter dominan dalam jagat politik media saat ini.

Selamat Belajar !

Tidak ada komentar: