Jumat, 26 Agustus 2011
Mengenang Petrus Bimo Anugrah
Perkenankan saya hanya mau memposting sebuah pengalaman dan renungan batin seorang Petrus Bimo Anugrah, mahasiswa Ilmu Komunikasi 1990 Universitas Airlangga Surabaya, salah satu diantara pejuang dan aktifis reformasi yang menjadi korban dari sistem represif Orde Baru. Sebuah tafsir ungkapan doa dari Doa Bapa Kami :
Bapa Kami
dimodifikasi oleh Bimo Petrus Anugerah)
Bapa Kami yang ada di surga
Engkaulah Allah yang memihak orang melarat, bukan pada orang yang gila harta
Engkaulah Allah yang berdiri di sisi orang yang tertindas, bukan pada orang yang gila kuasa
Engkaulah Allah yang berbelas kasih pada orang yang hina, bukan pada orang yang gila hormat
Dimuliakanlah Nama-Mu
Di antara para petani, yang menggarap sawah – sawah tergadai
Di lingkungan para buruh, yang harus berteduh di gubuk kumuh
Di kalangan anak asongan, yang harus mandi di sungai tercemar
Di antara rakyat kecil, yang tergusur demi suksesnya pembangunan
Datanglah kerajaan-Mu
Yakni di dunia baru
Yang berlandaskan cinta kasih
Yang berhaluan kebebasan
Yang betatanan keadilan
Jadilah kehendak-Mu di atas bumi
Untuk memberi makan pada yang lapar
Untuk memberi minum pada yang haus
Untuk memberi tumpangan pada para pendatang
Untuk memberi pakaian pada yang telanjang
Untuk melawat mereka yang sakit
Untuk mengunjungi mereka yang ada dalam penjara
Untuk memperjuangkan hak – hak mereka yang tertimpa ketidakadilan
Seperti di dalam surga
Yang berpihak pada rakyat kecil
Yang mengutuk segala bentuk intimidasi
Yang menghilangkan segala upaya pembodohan masyarakat
Yang membongkar segala praktik bisnis tanpa moral
Yang membongkar segala praktik penyalahgunaan kekuasaan
Berilah kami rejeki pada hari ini
Agar kuat dan bekobar dalam membongkar budaya bisu
Agar kuat dan pantang mundur dalam melawan budaya takut
Agar kuat dan berani melawan budaya pakewuh
Dan ampunilah kesalahan kami
Karena kami diam, ketika hutan – hutan dibabat untuk arena balap mobil
Karena kami bungkam, ketika rumah dan ladang digusur untuk lapangan golf
Ketika kami bisu, ketika sawah –sawah dirampas untuk rumah mewah
Karena kami acuh, ketika rakyat kecil disingkirkan demi gemerlapnya keindahan
kota
Seperti kami pun mengampuni
Mereka yang bersalah pada rakyat
Melalui sistem pembodohan nasional
Sehingga rakyat hanya mampu berkata “ya”, ya dan ya”
Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan
Sehingga kami ikut melakukan kekerasan, seperti mereka yang tidak mengenal Tuhan
Sehingga kami hanya mampu melontarkan kritik, tanpa kami sendiri bertindak adil, jujur dan bertanggungjawab
Sehingga kami berpihak dan membantu orang kecil, tetapi kami sendiri tidak terlepas dari permainan manipulasi
Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat
Yakni pikiran untuk memonopoli kekayaan alam
Perkataan untuk memanipulasi pendapat umum
Perbuatan yang melecehkan keinginan rakyat
Amin.
Kamis, 25 Agustus 2011
BUNGA KECIL AUREL
BUNGA KECIL AUREL
Matamu bening memandang
Tanganmu lembut belajar mengepal
Bibir mungilmu tak henti untuk melatih senyum
Diantara kelucuanmu untuk mengeja makna
Bunga Kecilku....
Jikapun tangis itu pecah
Sesungguhnya Ia bukanlah kesedihan
Ia menancap sebagai tanda peringatan
Bahwa saat perjalanan itu akan tiba
Dengan segala cara kamu menjamahnya
Bunga kecilku
Masa depan hadir dalam pelukmu
Dibawa berlari oleh kaki-kaki mungil
Tergenggam dalam kepalan jari-jari
Bunga kecilku
Betapa kamu lahir dari jalinan peristiwa
Yang pernah hidup dalam lintasan waktu
Terapit diantara mimpi dan kenyataan
Memberiku banyak janji dan harapan
Hari esok tentu bukan milikku semata
Kamu adalah bagian berharga yang harus mengisinya
Bunga kecilku....
Saat aku tertatih untuk menerka sekian tanya
Di saat keletihan itu memeluku
Dan diantara keputusasaan menggodaku
Kamu sering membangunkanku
Bahwa hidup bukanlah garis kepastian takdir
Atau seonggok sekenario jadi
Tetapi mengada dalam ritme yang dinamis
Menjadi satu tubuh dengan jantung kedewasaan
Seperti senyum mungilmu
Yang tak bosan untuk mengajariku
Untuk setia pada apa yang harus disuarakan
Dan menolak setiap hasrat pelarian diri.
(Bantul, 26 Agustus 2011)
Selasa, 23 Agustus 2011
Saat 'aku' menyapa 'Aku'
Saat 'aku' Menyapa 'Aku'
Kembangku...
Garis warna itu masih terlihat kabur
membentuk sketsa tak beraturan
Belum ada rupa..belum ada gambar
Yang ada serba kebermungkinan
menampilkan guratan kisah yang tak jelas
Yang pergi dan yang hadir seolah merupa sama
Mengumpul dalam koridor yang seragam
Barangkali ini kisah mozaik hidup sejatinya
Kita harus terima sebagai pilihan
terlahir bukan dari dan untuk lakon naskah yang baku
Kembangku...
Ketika lakon mimpi itu pernah kita pancangkan
Sejatinya ia kerab menyisakan tanya
Kapan gerak narasi pendulum itu akan berhenti?
Tak lagi gemar mencipta kegamangan
Sejenak memberiku nalar ketegasan
pada sketsa gambar yang pasti
Dalam rupa yang tak lagi samar
Pada tepi yang sudah bergaris
Di mana 'aku' bisa menyapa 'Aku'
Pada setiap perlintasan waktu
Tanpa harus tersandera dan terhenti oleh masa lalu
(Tanah Bumbu, 24 Agustus 2011)
Kembangku...
Garis warna itu masih terlihat kabur
membentuk sketsa tak beraturan
Belum ada rupa..belum ada gambar
Yang ada serba kebermungkinan
menampilkan guratan kisah yang tak jelas
Yang pergi dan yang hadir seolah merupa sama
Mengumpul dalam koridor yang seragam
Barangkali ini kisah mozaik hidup sejatinya
Kita harus terima sebagai pilihan
terlahir bukan dari dan untuk lakon naskah yang baku
Kembangku...
Ketika lakon mimpi itu pernah kita pancangkan
Sejatinya ia kerab menyisakan tanya
Kapan gerak narasi pendulum itu akan berhenti?
Tak lagi gemar mencipta kegamangan
Sejenak memberiku nalar ketegasan
pada sketsa gambar yang pasti
Dalam rupa yang tak lagi samar
Pada tepi yang sudah bergaris
Di mana 'aku' bisa menyapa 'Aku'
Pada setiap perlintasan waktu
Tanpa harus tersandera dan terhenti oleh masa lalu
(Tanah Bumbu, 24 Agustus 2011)
Minggu, 21 Agustus 2011
Jurnalisme, Kebebasan dan Tanggungjawab
Jurnalisme, Kebebasan dan Tanggungjawab
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Setiap bakat alamiah dari setiap mahluk
ditakdirkan untuk berkembang sepenuh-penuhnya
menuju tujuan kodratnya”
(Immanuel Kant)
“Surat kabar tanpa etika bukan hanya tak mampu
melayani kepentingan khalayak,
melainkan justru akan menjadi bahaya bagi khalayak”
(Joshep Pulitzer)
Idealisme jurnalisme yang berharap mampu menjadi media dan ruang publik yang bisa digunakan sebagai sarana komunikasi dan informasi antar manusia tentu saja akan berhadapan dengan persoalan ‘kebebasan’ dan ‘tanggungjawab’. Kompleksitas persoalan kerja-kerja jurnalisme tentu akan selalu berkelindan dengan masalah tersebut. Memang dimensi kebebasan bukanlah satu-satunya yang menjadi entitas penting dalam mewujudkan cita-cita kondisi masayarakat yang adil, damai dan sejahtera. Namun bisa dipastikan bahwa tanpa ada dimensi tersebut maka cita-cita masyarakat yang baik itu tak akan pernah terwujud.(1) Problem kebebasan dan tanggungjawab tentu melekat pada tugas dan peran wartawan. Ia juga melekat pada dimensi kelembagaan, yakni pers sebagai institusi. Dalam peranan dan kerjanya wartawan akan terikat dengan fungsi, aturan dan tugas yang diembannya. Kebebasan dan tanggungjawabnya tak hanya berhadapan dengan fungsi internal di mana ia menjadi pekerja pers yang berhadapan dengan aturan sistem persuahaan. Wartawan dalam praktiknya juga akan berhadapan dan berkelindan dengan kondisi ekternal yang juga selalu bisa memunculkan benturan terhadap cita-cita kebebasan dan tanggungjawabnya. Semisal dalam proses memburu berita di lapangan, tak jarang wartawan menemukan dialektika lapangan yang sarat dengan berbagai dimensi tantangan dan bahkan ancaman terhadap hak dan perannnya yang harus dijalankan.
Kebebasan dalam Taman Etika : ‘Yang Sosial” dan ‘Yang eksistensial’
Pada tingkat institusi pers, problem kebebasan dan tanggungjawab juga menjadi problem sentral. Institusi pers sekaligus merupakan bagian institusi sosial yang hidup dalam ranah sistem sosial yang lebih luas. Pada dirinya ia tidak bisa berlaku begitu saja ‘liberal’ (bebas tanpa batas). Untuk pemenuhan tugas dan fungsinya sebagai pengolah, penyaji, dan penyebar informasi, pers sendiri tentu mempunyai tugas kerja yang harus dilindungi oleh dimensi kebebasan. Dimensi kebebasan yang dimiliki oleh fungsi pers dalam norma aturan sistem pers Indonesia memang secara definitif tidak berlangsung secara liberal. Ada norma dan etika yang memang harus dijunjung tinggi. Peran norma dan etika ini dalam beberapa hal yang berada dalam dimensi tanggungjawab. UU No. 40 tahun 1999 yang mengatur tentang pers secara jelas menyebutkan bahwa “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud dari kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Pada poin lain, di UU ini juga secara eksplisit memang sudah menyebut banyak tentang ‘kebebasan yang dilingkupi oleh tanggungjawab dan etika’.(2) Memang persoalan akan makin rumit ketika dalam praktiknya memang ada dan masih banyak penyimpangan dan bahkan pelanggaran terhadap prinsip ini. Pada batas-batas tertentu pelanggaran yang terjadi justru selalu sering berangkat pada dalih-dalih pemahaman atas ‘kebebasan’ dan ‘tanggung jawab’ yang keliru.
Problem yang menarik perlu didiskusikan adalah tentang elaborasi makna dan pemahaman tentang kebebasan dan tanggungjawab terutama dalam dimensi problem etika. Kita coba perlahan cermati dimensi etis dan filosofis tentang apa yang dimaksud tentang ‘kebebasan’ dan ‘tanggungjawab’. Mendudukkan secara mendalam tentang apa yang dimaksudkan tentang kebebasan dan tanggungjawab pada tugas dan fungsi jurnalisme, menjadi amat berguna. Memang makna ‘kebebasan pers’ sendiri sejatinya lebih dekat dengan pemahaman sebagai ‘kebebasan yang yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat kepada pers’.(3) Artinya dimensi sosial terutama struktur sistem (yakni negara/pemerintah dan masyarakat) mempunyai peran untuk menjamin kebebasan pers. Artinya sebelum kita memasuki bagaimana senyatanya peran itu sudah diberikan atau tidak, maka penting kiranya membongkar dan menelusuri mengapa ‘entitas kebebasan’ amatlah menjadi kata kunci yang harus bisa dipahami secara benar.
Kebebasan yang sering masih ada dalam pemahaman umum masih terbatas pada “kehendak untuk bebas dan melakukan sesuatu tanpa paksaan dan tanpa hambatan”. Seseorang dikatakan meiliki kebebasan jika ia tidak terpenjara, terikat, terkontrol, atau tergantung dimensi lain. Tentu saja pemahaman ini tidak seluruhnya salah, namun ada makna ‘kebebasan’ yang lebih mendalam yang bisa dirujuk. Kebebasan lebih mengandung pengertian sebagai “kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri”.(4) Seandainya kemampuan ini tidak dimiliki manusia maka apapun niat kebebasan yang diberikan negara atau masyarakat tetap saja tidak berfungsi dan juga tidak bermanfaat. Dalam pengertian kebebasan semacam ini lebih biasa dimengerti sebagai ‘kebebasan eksistensial’. Kebebasan dalam artian kemampuan kita untuk menentukan tindakan kita sendiri disebut ‘kebebasan eksistensialis’. Selanjutnya kebebasan yang kita terima dari orang lain disebut sebagai ‘kebebasan sosial’.(5) Kebebasan eksistensial tidak menekankan segi ‘bebas dari apa’ tetapi ‘bebas untuk apa’. Poin ‘tindakan’ dalam pengertian kebebasan ini amat penting, karena hanya pada manusialah ‘unsur tindakan’ ini bisa terwujud. “Tindakan” adalah sebuah aktifitas manusia yang disengaja dengan maksud dan tujuan kepentingan tertentu. Kemampuan tindakan yang ada pada manusia bersumber pada kemampuan manusia untuk ‘berpikir’ dan ‘berkehendak’ dan terwujud dalam ‘tindakan’.(6)
Tentu saja, baik ‘kebebasan eksistensial’ maupun ‘kebebasan sosial’ tentu tidak bisa melepaskan dengan konteks disekitarnya baik secara sosiologis, politik, ekonomi, kekuasaan ataupun kesajarahan dialektika manusia. Sejarah euforia dan tuntutan akan hakikat kebebasan berkelindan dengan tahap-tahap sejarah dinamika masyarakat manusia. Bahkan dengan catatan yang amat tegas, pemikir liberal seperti John Stuart Mill menegaskan bahwa “dinamika pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan merupakan ciri yang paling jelas dalam sejarah”.(7) Tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai perkembangan sistem politik hingga saat modern ini juga amat dipengaruhi oleh dinamika rasionalitas kebebasan ini. Ambil contoh sistem politik demokrasi yang merupakan cermin realitas bagaimana akal budi kebebasan telah mendorong perubahan pada tingkat sistem politik. Sebelum kebebasan mendapat tempatnya, maka kekuasaan yang absolut yang menjadi sentral menentukan hidup manusia. Manusia adalah subjek pasif yang ditentukan oleh bagaimana kekuasaan menentukan mereka. Setelah masa pencerahan dan berkembangnya rasionalitas manusia maka kesadaran individualitas yang bersumber bukan pada otoritas luar tetapi otoritas diri manusia mulai mendapat tempatnya. Manusia menjadi tuan pada dirinya sendiri. Manusia telah mengalami tahapan evolusi dirinya ke arah kebebasan dengan melepaskan sumber-sumber pengikat sebelumnya seperti alam, mkitos dan juga kekuasan yang asbsolut. Tahapan selanjutnya yang nampak adalah manusia kemudian berkuasa atas alam. Penghancuran terhadap dimensi eksternal bukan hanya perlu, melainkan merupakan syarat penting untuk mencapai tujuan luhur yakni ‘kebebasan individu’.(8)
Pertumbuhan Dialektis Gagasan ‘Kebebasan’ Hingga Krisis Manusia Modern
Pertumbuhan gagasan manusia terhadap ide dan roh kebebasan memiliki karakter yang dialektis. Erich Fromm menuliskan dialektika kebebasan manusia sangat menarik:
“Pada satu sisi, pertumbuhan kebebasan manusia merupakan satu proses tumbuhnya kekuatan dan integrasi terhadap alam, proses tumbuhnya kekuatan akal budi manusia dan munculnya solidaritas dengan orang lain. tetapi pada sisi lain, pertembuhan individuasi ini berarti tumbuh ‘keterasingan’, ‘ketidakamanan’ dan dengan demikian tumbuhnya ‘keraguan’ tentang peran seseorang dalam semesta, keraguan tentang makna hidup seseorang, dan tumbuhnya rasa ‘ketakberdayaan dan ketakbermaknaan diri seseorang sebagai individu.”(9)
Kalimat Erich Fromm ini sejatinya ingin mengatakan aspek “ambiguitas kebebasan” yang mempunyai dua dimensi konsekuensi yang hingga hari ini sebenarnya menjadikan banyak problem kebebasan yang paradoks. Bukan pada penyelewengan dan distorsi yang terjadi sesudahnya, tetapi secara psikologis sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari makna ‘kebebasan’. Tarik-menarik antara ‘keterikatan pada faktor luar atau otoritas-otoritas eksternal (sistem)’ dan ‘kehendak kebebasan manusia’, barangkali menjadi narasi kisah panjang yang belum berhenti sampai hari ini. Tentang karakteristik ambiguitas itu secara menarik oleh Mill dilukiskan sebagai berikut :
“Ambruknya sistem masyarakat Feodal Abad Pertengahan memberikan satu arti pokok bagi semua lapisan masyarakat: individu merasa kesepian dan terasing. Dia bebas. Kebebasan ini berakibat ganda. Manusia tercerabut dari keamanan yang telah ia nikmati, dari perasaan memiliki yang tidak dapat diragukan, dan iapun terkoyak hingga lepas dari dunia yang telah memuaskan pencariannya akan keamanan baik secara ekonomis maupun spiritual. Ia menjadi kesepian dan cemas. Namun ia juga bebas untuk bertindak dan berpikir secara independen, untuk menjadi tuan bagi dirinya sendiri dan memanfaatkan hidupnya seperti yang ia inginkan – bukan melakukan seperti yang diperintahkan kepadanya.”(10)
Dalam perkembangan masyarakat modern(11) , dimensi kebebasan manusia yang terwujud dalam karakteristik individualitasnya juga mengalami perubahan. Dalam banyak hal situasi ketimpangan dan jarak ketertinggalan antara ‘kebebasan dari’ dan ‘kebebasan untuk’ menyebabkan bahaya sendiri bagi kehidupan manusia. Akibat dari ketidakseimbangan ini mengakibatkan berbagai krisis kemanusian termasuk di dalamnya, menurut Erich Fromm adalah yang disebut sebagai “pelarian diri”. Sebuah kondisi masyarakat di mana terjadi ‘pelarian diri’ yang panik dari kebebasan ke dalam ikatan-ikatan baru atau paling tidak ke dalam ketidakacuhan total.(12)
Ketika subjek manusia dalam alam kebebasan tak mampu menjawab ‘kebebasan untuk apa’ maka ia akan mudah terasing dari diri dan dunianya maka ketika situasi ini tak lagi bisa ditanggung, maka ia kemudian akan melarikan diri pada bentuk mekanisme baru di mana ia terlepas dan merasa bisa mengindar dari krisis tersebut. Dalam catatan Erich Fromm(13) tentang krisis masyarakat modern, ia mempunyai kecenderungan mencipatakan kondisi pelarian diri manusia yakni: Pertama, ‘otoritarisme’, sebuah kondisi kecenderungan untuk menghilangkan kemandirian diri seseorang sendiri dan untuk melebarkan dirinya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya agar mendapatkan kekuatan yang dirasa kurang dari dirinya. Bentuk yang paling sering dan nyata adalah ‘masokistis’(14) dan ‘sadistis’.(15) Kecenderungan dua tindakan itu sebenarnya merupakan pelarian diri dari kesepian yang tidak tertahankan. Kadang bentuk perasaan ini nampak sebagai hal yang irasional dan patologis; Kedua, adalah “kedekstruktifan”, yakni penghancuran total atas eksistensi diri. Jika pada ‘masokistis’ dan ‘sadistis’ lebih pada hubungan yang aktif dan pasif, pada kedekstuktifan capaiannya adalah penghilangan diri atas kenyataan dunia. Bunuh diri merupakan gambaran yang bisa dirujuk untuk kecenderungan ini; Ketiga, adalah “penyesuaian secara total”, yaitu kondisi psikotis dimana orang kemudian dengan merasa kehilangan kediriannya kemudian secara otomatis meleburkan diri pada pola-pola dan mekanisme-mekanisme yang bisa sama dengan orang lain. Mekanisme ini sejatinya merupakan pelarian diri dari rasa ketakutan dan kesendirian. Maka ia berpikir, bahwa batas ‘saya’ dan ‘dunia’ kemudian sudah tidak ada. Harga yang kemudian dibayarkan adalah bahwa subjek kemudian kehilangan ‘dirinya’.
Seperti yang dimengerti tentang kebebasan eksistensial ataupun sosial ia selalu melekat dalam relasinya dengan kehendak orang lain. Artinya apa yang mengancam kebebasan kita bukan kekuatan-kekuatan alam yang buta, bukan juga tindakan yang tidak disengaja, tetapi adalah maksud dan kehendak orang lain.(16) Dengan demikian yang dimaksud dengan kebebasan sosial sejatinya mengandung pemahaman dasar bahwa “keadaan dimana kemungkinan kita untuk bertindak tidak dibatasi dengan sengaja oleh orang lain.”
Mengurai Esensi Tanggungjawab
Dalam dimensi kebebasan sosial tentu kita akan mudah paham dan sepakat bahwa kebebasan ini akan sangat terbatas karena karakteristik sosialnya. Pertanyaan pentingnya justru ada pada catatan menarik “Sejauh mana dan dengan cara mana, kebebasan boleh dibatasi? Atau lebih mudahnya ada dalam pertanyaan: alasan apa yang dapat membenarkan pembatasan kebebasan manusia oleh masyarakat? Secara implisit sebenarnya ungkapan pertanyaan ini juga memberikan pemahaman pada kita bahwa ada batas-batas pembatasan yang memang diperbolehkan dan ada juga pembatasan-pembatasan yang tidak diperbolehkan. Pada titik ini memang akan banyak mengangkat perrdebatan-perdebatan dengan pertimbangan rujukan moral dan nilai masing-masing.
Namun dari refleksi dari esensi kebebasan dan tanggungjawab itu sendiri maka pembatasan-pembatasan bisa diberikan dengan mengandaikan beberapa prinsip : Pertama, hak manusia atas kebebasan yang sama. Artinya selama kebebasan kita mengganggun hak kebebasan orang lain maka tindakan kita bisa diberi pembatasan. Kedua, kita sebagai bagian anggota masyarakat. Artinya kepentingan bersama seluruh masyarakat menjadi pagar dalam perlu tidaknya pembatasan itu diberikan. Franz Magnis Suseno merangkum secara kritis apa yang menjadi catatan atas fungsi pembatasan kebebasan ini. Menurutnya “masyarakat berhak untuk membatasi kebebasan kita sejauh itu perlu untuk menjamin hak-hak semua anggota masyarakat dan demi kepentingan dan kemajuan masyarakat sebagai keseluruhan, menurut batas wewenang masing-masing.”(17) John Stuart Mill juga mempunyai pembahasan yang hampir serupa dengan premis Suseno di atas. Bagi Mill “satu-satunya alasan yang sah untuk memberlakukan paksaan terhadap seseorang, ialah mencegah dia merusakkan atau merugikan orang-orang lain”.(18) Bagaimana bentuk pembatasan bisa dilakukan? Suseno mencatat ada tiga hal penting untuk pembatasan kebebasan(19) : (1) melalui pemaksaan atau pemerkosaan fisik; (2) Melalui tekanan atau manipulasi psikis; (3) Melalui pewajiban dan larangan.
Dalam dimensi yang luas sejatinya apa yang disebut sebagai ;tanggungjawab; bukanlah kondisi antagonis ataupun pembatasan pada kebebasan. Jika dimaknai sebagai pembatasan maka yang terjadi tanggungjawab hanya dimengerti sebagai prasyarat instrumental yang pada dirinya bisa dilanggar dengan mudah. Tanggungjawab sebagaimana kebebasan juga merupakan ciri eksistensi hidup manusia. Orang seringkali mengartikan bahwa beban tanggungjawab sebagai kondisi luar yang dipaksakan pada kebebasan diri. Artinya juga bahwa ketiadaan tanggungjawab akan menciptakan ruang kebebasan yang lebih bagi manusia. Jika ditelisik, justru hal ini bisa berkebalikan. Justru ketika tanggungjawab itu semakin tinggi artinya manusia sejatinya justru telah mengaktualisasikan kebebasannya secara lebih. Andai kata orang menolak untuk bertanggungjawab tidaklah berati bahwa kebebasan dirinya akan semakin luas. Dalam banyak hal bisa jadi bahwa penolakan untuk bertanggungjawab adalah orang yang tidak kuat untuk melakukan apa yang dinilainya sendiri sebagai paling baik. Pertanggungjawaban dalam memperjuangkan kebebasan harus dilakukan secara terbuka dengan menghindari upaya manipulasi demi pelarian dari tanggungjawab. Dengan keterbukaan ini maka sejatinya kebebasan dan tanggungjawab bukanlah sebuah entitas yang dianggap saling meniadakan.
(1)Tengok gagasan menarik Albert Camus tentang peran kebebasan pers yang mengatakan bahwa “kebebasan pers tidaklah menjamin suatu negeri mencapai keadilan dan kedamaian, tetapi tanpa kebebasan pers, suatu negeri pasti tidak mencapai keduanya,. Karena keadilan hanya akan terbukti bila rakyat dihormati hak-haknya, dan hak tidak ada artinya jika tidak diwujudkan”. Lihat, Albert Camus, Krisis Kebudayaan, yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1990.
(2) Sebut saja pada Bab II pasal 4, UU Pers No 40 tahun 1999 yang tertulis bahwa “Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara; terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran; dan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari , memperoleh dan menyebarkan gagasan dan informasi”.
(3) Lihat, Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
(4) Lihat, Franz Magnis Suseno, Etika Dasar : Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985, hal. 22.
(5) Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 22.
(6) Lihat, Franz Magnis Suseno, Ibid, hal. 26.
(7) Lihat, John Stuart Mill, On Liberty : Perihal Kebebasan, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 1. Apa yang ingin dijelaskan oleh John Stuart Mill dalam pemahaman tentang ‘kebebasan’ lebih berdimensi sosial ketimbang eksistensial yang menyangkut ‘kebebasan sispil’ dan ‘warga negara’. Konteksnya tentu adalah sejarah kebangkitan semangat pemberontakan dan perlawanan sipil di abat pencerahan ketika terjadi gelombang rasionalitas masyarakat untuk menentang sistem ‘despotisme monarki’ dan ‘aristokrasi’
(8) Lihat, Erich Fromm, lari Dari Kebebasan, Penerbit Pustaka Pelajar, 1999, hal. 2.
(9) Lihat, Erich Fromm, Ibid, hal. 33 – 34. Maka bagi Fromm. Relasi keterkaitan ‘entitas gagasan kebebasan’ dengan faktor-faktor ekonomis, psikologis dan ideologis amatlah erat.
(10) Lihat, Erich Fromm, Ibid, hal. 93. Ketercerabutan yang dimaksudkan oleh Mill bisa terjadi pada berbagai ikatan-ikatan primer yang sebelumnya menjadikan ketergantungan manusia. Ikatan primer ini adalah ikatan organik yang lazim dalam perkembangan manusia. Ketika manusia masih berada dalam ikatan primer ini maka ‘individualitas’ belumlah terjadi. Contoh yang dimaksud sebagai ‘ikatan primer’ itu bisa terhadi pada : ikatan anak pada ibunya, anggota komunitas primitif dengan keluarga dan alamnya, atau manusia abad Pertengahan dengan Gereja dan kasta sosialnya.
(11) Perubahan yang terjadi terutama terjadi pada perubahan-perubahan sistem ekonomi produksi yakni pergeseran sentralisme ekonomi dari kaum bangsawan ke arah para borjuasi kecil atau kaum kaya baru. Ranah pemikiran, kultural, kebudayaan, filsafat dan teologi juga berubah. Pada saat ini, rasionalitas modern telah lambat laun menggantikan berbagai ajaran mitos dan dogmatisme yang hampir bertahan dalam kunkungan aristokrasi dan monarkhi kerajaan.
(12) Lihat, Erich Fromm, Ibid, hal. 35.
(13) Apa yang ingin disimpulkan Erich Fromm adalah bahwa dalam situasi masuarakat modern ternyata kondisi kebebasan seringkali kemudian menjadi paradoks dan ambigu. Ketidakberdayaan dan ketidakamanan individu yang kesepian dalam masyarakat modern, yang telah terbebas dari semua belenggu yang sesekali memberi makna dan keamanan hidup. Banyak individu kemudian tidak dapat menanggungketerasingan ini Ketakutan dan keraguannya membuat bentuk pelarian diri dan melumpuhkan seluruh hidupnya. Usaha yang ia lakukan kemudian melarikan diri dalam kebebasan yang negatif yakni penyangkalan diri. Lihat, Erich Fromm, Ibid, hal. 256.
(14) Bentuk perasaan yang nampak dalam kondisi tindakan ‘masokistis’ adalah perasaan rendah diri ‘inferioritas’, tidak berdaya dan tidak berarti. Dalam kondisi ini, orang-orang melihat kecenderungan untuk melemahkan diri sendiri, membuat dirinya lemah dan dan tidak menguasai sesuatu dan yang terakhir mencari ketergantungan pada kekuatan lain di luar dirinya sendiri.
(15) Kecenderungan ‘sadistis ‘sebaliknya membuat orang lain tergantung pada dirinya dan menanamkan kekuasaan mutlak bagi orang lain. Kecendrungan sikap ini juga nampak pada hasarat membuat kekuasaan absolut bagi orang lain dan bahkan amat senang jika orang lain sengsara dan menderita.
(16) Lihat, Franz Magnis Suseno, Op.Cit, hal. 28.
(17) Lihat, Franz Magnis Suseno, Op.Cit, hal. 35 - 36.
(18) Lihat, Alex Lanur dalam kata pengantarnya di buku John Stuart Mill, On Liberty : Perihal Kebebasan, Penerbit yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998, hal. xvii.
(19) Lihat, Franz Magnis Suseno, Op.Cit, hal. 37.
Selamat belajar !
Doa para koruptor negara
Bapa kami yang menguasai IMF, Bank Dunia dan Gedung Putih
Dimuliakanlah semua kepentinganmu
Datanglah ekspansi perdaganganmu
Jadilah kekuasaan bisnismu
Di atas republik kami seperti di dalam neraka
Berilah kami kolonisasi
Pada setiap hidup kami
Dan ampunilah kesalahan yang suka korupsi
Seperti kamipun menutup mata yang korupsi di negri kami
Janganlah sekali-kali masukan kami dalam penjara
Tetapi bebaskanlah kami dan teman-teman kami dari setiap dakwaan
(Doa para koruptor negara)
Teruntuk Kembang Matahari
Teruntuk Kembang Matahari
Kembangku
Kutahu..sekian waktu kau akan mekar di tirai bambu...
Bergulat dengan ampuhnya jurus sang naga
Memungut butir mutiara ketimuran
Dalam pelukan hangat tembok raksasa
Tak bosan untuk belajar mengeja
Menghafal setiap aksara keindahannya
Dalam lantunan kalimat tanpa kasta
Kembangku...
Takdir tak jauh bergeser
Tekad telah kaubentangkan
Tak henti merawat setiap akar mimpimu
Hingga menguat dalam jantung sang bumi
Kembangku
Saat pohon pertiwi ini mulai meranggas
Hatiku yakin kau akan hadir
Bersemi dalam urutan waktu yang tepat
Menebar benih semua kemungkinan
Dimana sang senja malas menyambut malam
Nyanyianmu akan datang
Mengabarkan setiap janji pergantian waktu
Sehingga setiap orang akan bebas bermimpi
Dalam riuh sejuk nyanyi kehidupan
(Tanah Bumbu, 21 Agustus 2011)
Demokrasi, Kebebasan Pers dan Politik Media
Demokrasi, Kebebasan Pers dan Politik Media
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Bahwa kemerdekaan pers merupakan
salah satu wujud kedaulatan rakyat dan
menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
yang demokratis, sehingga kemerdekaaan mengeluarkan
pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum
dalam pasal 28 Undang-Undang dasar 1945 harus dijamin”
(UU RI No 40 Tahun 1999 Tentang Pers)
Media massa secara praktik telah menjadi bagian integral dan tidak terpisahkan dalam domain hidup sosial masyarakat. Kiprah keberadaannya tidak lagi menjadi sekedar instrumen pelengkap dari sebuah sistem hidup. Ia menjadi bagian dan faktor determinan amat penting dalam sistem yang lebih luas. Begitu vitalnya peran yang bisa dihadirkan, media massa telah meletakkan posisinya yang amat penting pada posisi perjalanan bangsa. Ia menjadi bagian penuh dari dunia hidup masyarakat sendiri. Sejarah juga memberi catatan bagaimana media massa ikut berdinamika dalam pasang surut kompleksitas persoalan negara. Kerekatan ini mempertegas tesis penting bahwa media massa sejatinya tidak pernah menjadi realitas pada dirinya sendiri. Ada banyak dimensi dan variabel yang melingkupi keberadaan media. Sistem politik, ekonomi dan budaya adalah dimensi-dimensi struktural penting dalam merias wajah dan watak yang dimunculkan media.
Kekuasaan politik Orde Baru adalah kasus yang bisa memberi contoh sangat jelas. Begitu lama watak otoritarianisme teleh menjebak media massa hanyut dalam sistem yang sangat represif. Media massa tak ubahnya hanya sekedar corong dan mesin propaganda bagi kekuasaan. Rasionalitas birokratis dan peran maha besar negara dalam mengatur media begitu sangat kuat. Tak ada penghargaan atas ruang publik yang demokratis. Dikte negara atas media menyentuh banyak dimensi baik konten, legislasi maupun pemusatan modal kepemilikan yang memusat pada kuasa ekonomi kroni.
Transisi politik 1998 ikut membawa dorongan perubahan bagi wajah media massa. Banyak pihak sedikitnya berharap dan percaya bahwa ’determinasi negara’ sepertinya sudah lewat. Kebangkitan masyarakat sipil menjadi harapan baru bagi keberlangsungan politik media yang lebih demokratis dan deliberatif. Tidak sedikit pula kebijakan-kebijakan dalam sektor legislasi pengelolaan media mengalamai perubahan-perubahan. Pendekatan ekonomi dan politik yang mengutamakan penghargaan kedaulatan publik (public-based power) menjadi harapan dari perubahan besar transformasi media massa Indonesia.
Demokrasi dan Kebebasan Pers
Begitu pentingnya ‘kemerdekaan’ dan ‘kebebasan pers’ untuk menyumbang proses demokrasi sudah menjadi premis utama dari teori-teori tentang demokrasi terkhusus mereka yang mengangkat demokrasi secara liberal. Pers tidak hanya diletakkan sebagai instrumen alat yang terpisah dan hanya menjadi sarana semata. Pers bahkan telah menjadi ruang dan dimensi utuh dari gambaran nyata hidup berdemokrasi. Salah satu argumen dari cara pandang ini adalah bahwa ‘kemerdekaan pers’ merupakan wujud sejatinya dari sebuah kemerdekaan dasar untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat. Dalam era di mana pers belum begitu terbangun, tentu cara mengeluarkan pendapat dan pikiran seringkali melalui proses lisan berbicara yang kerap kita kenal dengan tradisi retorika. Namun setelah era tulisan dan juga era dunia digital maya yang makin berkembang, maka medium dan sarana berdemokrasi dalam pers menjadi pilihan-pilihan yang semakin dominan dan amat penting.
‘Kebebasan pers’ adalah istilah untuk menunjukan jaminan atas hak warga memperoleh informasi sebagai dasar untuk membentuk sikap dan pendapat, baik dalam konteks sosial mapun estetis.(1) Premis di atas menunjukan sebuah ‘fungsi imperatif’ daripada sebuah hak. Apa yang dimaksudkan sebagai fungsi imperatif? Menurut Ashadi Siregar, kebebasan pers bukan merupakan hak bagi media pers, melainkan sebagai landasan bagi kewajiban yang lahir dari fungsi imperatif yang harus dijalankan.(2) Fungsi imperatif yang dimaksudkan oleh Siregar adalah hakikat fungsi pertalian antara kemerdekaan berdemokrasi, warga negara dan juga fungsi pers untuk menyalurkannya. Maka dalam sudut pandang politik, kemerdekaan pers merupakan sebuah ilustrasi gambaran adanya sebuah ruang kemerdekaan bagi pengetahuan masyarakat dan bagaimana masyarakat menyalurkan pengetahuan dan gagasan politiknya dalam ruang yang lebih besar yakni kehidupan berdemokrasi negara. Bisa dikatakan dalam kalimat yang lebih sederhana bahwa kebebasan pers tidak ada pada dirinya sendiri. Kemerdekaan pers bukan hanya terletak pada eksistensi keberadaan dirinya sendiri melainkan bermatarantai dan berelasi dengan proses hidup demokrasi.
‘Sejarah pergulatan politik’ dan sekaligus ‘sejarah pergulatan pers’ merupakan dua hal yang masing-masing saling menyumbang perubahan diantara dua dimensi ini. Situasi dan karakter politik sebuah negara tentu akan amat berpengaruh terhadap wajah pers yang dimunculkan dan sebaliknya, pers sebagai struktur kekuatan politik juga mempunyai banyak potensi untuk menyumbang perubahan-perubahan dan dinamika politik yang ada.(3) Pada kondisi tertentu pers bisa hanya menjadi kaki tangan dan alat dari determinasi kepentingan kekuasaan. Dalam kondisi konstalasi politik tertentu pers kemudian bisa menjadi ‘independen’ dan berseberangan dengan kekuasaan yang ada. Di antara kedua kondisi tersebut, pers juga bisa menjadi bagian dinamisator dan instrumen penting untuk menjadi sarana membangun mediasi berbagai kekuatan-kekuatan politik tertentu. Media pers sejatinya kemudian tidaklah netral. Berbagai dimensi yang menopangnya menjadi bagian yang penting untuk membaca kepentingan yang dihadirkan. Era politik berdemokrasi sekarang, media pers begitu menjadi ruang dan sarana yang maha ampuh untuk membangun citra dan bahkan tentang ciri-ciri demokrasi yang direpresentasikan oleh pers itu sendiri.(4) Kampanye, penggalangan opini dan hegemoni kekuasaan bisa dibangun dengan sarana pers tersebut.
Demokrasi sebagai sebuah gambaran definisi adalah proses pemerintahan yang dipegang oleh rakyat. Definisi dasar ini secara ontologis relatif diterima oleh berbagai definisi terutama dinamika konsep mengenai demokrasi. Berbagai dinamika politik dan ekonomi pada setiap jamannya menyebabkan definisi tentang ‘demokrasi’ tidak terbentuk secara beku dan stabil. Di antara dinamika mengenai rumusan tentang kondisi demokrasi yang beragam, tentu kita penting merumuskan beberapa benang merah atau hakikat dari demokrasi ini. Meminjam rumusan dari Georg Sorensen mengenai inti dari demokrasi politik akan ditemukan tiga dimensi penting mengenai demokrasi yakni : ‘kompetisi’, ‘partisipasi’ serta ‘kebebasan sipil dan politik’.(5) Tiga dimensi ini penting untuk menjadi alat ukur untuk melihat sejauh mana kualitas demokrasi yang dijalankan sebuah negara. Utopia etis dari segala teori yang membincangkan demokrasi adalah prinsip sistem politik yang meletakan kedaulatan rakyat sebagai yang terutama. Sebuah perjalanan sejarah yang tak dapat dipungkiri di hampir sebagian besar negara bahwa sistem kelola politik yang menempatkan figur kekuasaan yang terpusat (otoriter/totaliter/absolut) pada seseorang atau segelintir orang tidak lagi dipraktikan. Demokrasi dianggap menjadi mantra jawaban untuk menjadi instrumen pengelolaan politik yang paling relevan.
Tiga prinsip yakni ‘kompetisi’, ‘partisipasi’ dan ‘kebebasan politik dan sipil’ adalah dimensi kondisi penting bagi minimal berjalannya demokrasi. ‘Kompetisi’ menggambarkan ruang terjadinya kompetisi yang luas dan bermakna diantara individu dan kelompok pada seluruh poisisi kekuasaan pemerintahan yang efektif, dalam jangka waktu yang teratur dan meniadakan penggunaan kekerasan.(6) ‘Partisipasi’ menggambarkan keterbukaan yang inklusif dalam pengelolaan politik terutama penentuan kememimpinan dan pengelolaan kebijakan. Contoh partisipasi politik yang amat kentara bisa kita saksikan pada saat pemilu yang harus dilangsungkanj secara terbuka, bebas dan adil bagi semua orang. ‘Kebebasan politik dan sipil’ lebih menggabarkan situasi di mana terbukanya secara merdeka berbagai proses pendapat, gagasan, pikiran, berserikat dan yang lebih besar adalah kebebasan pers untuk menunjang dua dimensi yang lain yakni penguatan kompetisi dan partisipasi yang lebih bebas dan adil. Mendorong partisipasi warga dalam berdemokrasi sama ungkapannya dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas warga untuk memperoleh hak-hak politik dan kebebasan dalam berdemokrasi. Kompetisi dalam dimensi ini mensyaratkan tidak adanya hak ‘monopoli’ dan ‘pemusatan’ atau ‘pengistimewaan individu atau kelompok’ tertentu dalamkebijakan serta partisipasi politik. Pemusatan dan sentralisme hanya akan melahirkan sistem politik yang totaliter dan otoriter.
Mengurai Tesis Dasar Tentang ‘Kebebasan” dan ‘Demokrasi”
Memperbincangkan demokrasi berkait dengan pers tentu saja akan mengangkat entitas penting yakni ‘kebebasan’. Sebuah entitas yang akan mengkontraskan dengan kondisi keterikatan, pemaksaan, penindasan dan monopoli yang satu atas yang lainnya. Tidak bisa dibayangkan bahwa cita-cita demokrasi melepaskan dengan unsur kebebasan ini. Seorang yang terikat, terpenjara dan tidak bebas tentu tidak akan mampu mengaktualisasikan dirinya dan tentu juga tidak akan mungkin mampu memperjuangkan hak-hak sipil warga negara seperti ikut dalam partisipasi politik. Warga negara, kelompok atau organisasi tertentu yang selalu dipinggirkan dan dimarginalisasi tentu juga tidak akn mungkin mempunyai kesempatan yang egaliter dan demokratis untuk melalngsungkan hak-hak politiknya. Maka ruang kemerdekaan dan kebebasan menjadi syarat mutlak bagi berlangsungnya apa yang disebut sebagai bangsa atau negara yang demokratis. Beban persoalannya kemudian adalah bahwa ‘makna kebebasan’ tidaklah entitas yang berdiri otonom dan bisa steril dari tarik menarik kepentingan atasnya. Klaim atas nama kebebasan tidak jarang justru telah banyak membangun kondisi ketidakbebasan bagi orang atau kelompok lain.
Apa yang difahami sebagai ‘kebebasan’(7) dan ‘keterbukaan’ sebagai unsur demokratisasi dalam bangunan perspektif liberal(8) , tidak begitu saja kemudian bisa mengangkat derajat solidaritas, keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik. Keterbukaan dan kebebasan tidak menutup ruang atas lahirnya manifes eksploitasi baru. Kebebasan lebih bercitra ‘pasar’ ketimbang demokrasi sesungguhnya. Nalar budaya yang dibangun adalah ‘kompetisi’ dan bukan ‘solidaritas’. Warga negara menjadi subjek anonim. Anonimitas mendorong individualisme yang bergerak tak ubahnya seperti kerumunan konsumen pasar. Makna politik akhirnya menyempit tak ubahnya medan transaksional tukar beli. Kemanfaatan politik menjadi memusat hanya pada sejauh mana ia mampu mendorong ‘laba’ atau’profit’ politik yang terkosentrasi pada minoritas yang terbatas. Bagi Hannah Arendt, politik tak ubahnya akan hanya menjadi ‘pasar’ jika ruang pablik politis terdistorsi oleh nalar kepentingan kapital.
Problem menjadi semakin akud, manakala transisi politik demokrasi tidak dibarengi dengan keseriusan mengawal aspek terpentingnya yakni ‘komitmen keperpihakan’. Komitmen etis tak lagi ada ketika ruang demokratisasi bisa disulap menjadi sekedar ruang kompetisi tanpa batas. Tentu saja yang akan menjadi pemenang adalah mereka yang mempunyai perangkat modal kekuasaan yang lebih terutama kapital sumber daya dan logistik uang. Hukum dan kebijakan yang diharap menjadi pengendali dan pelindung masyarakat sekedar menjadi tangan panjang dari kekuatan pasar. Apalagi senyatanya bahwa klaim ‘transparasi’, ‘partisipasi’, ‘kebebasan’, ‘kemerdekaaan bersuara’, hanya berlaku pada momen dan konteks terbatas. Lebih hanya menjadi fiksi dan manipulasi ketimbang sebuah habitus dan budaya politik yang nyata. Pada panggung belakang sudah terproteksi dalam nalar yang sudah baku yakni ‘rasionalitas sarana’ dengan capaiannya jelas yakni ‘kekuasaan tak terbatas’
Pemilu sebagai gambaran sederhana atas wujud demokrasi tidak beranjak dari residu persoalan yang makin menguat. Oligarkhi nepotisme kekuasaan pada sistem otoritarianisme tak berubah. Justru pemilu pasca reformasi melahirkan sistem oligarkhi dengan kecenderungan ‘plutokrasi’(9) yang lebih terdeferiansi dalam berbagai mutualismenya. Kekuatan intervensi modal, money politik, baiaya lonjakan pemilu, kekerasan sosial, dan hilangnya nalar keperpihakan pada kelas rakyat mayoritas justru semakin menguat. Pepatah dan metafora ‘menuang anggur lama dalam botol yang baru’ seolah menjadi kenyataan. Kebebasan kian hari justru menjadi ‘mimpi horor’ bagi jaminan kehidupan manusia. Dengan kebebasan itu pula rezim lama berhasil menutup segala ingatan kolektif massa tentang kejahatan yang pernah diperbuat. Dengan kebebasan pula rezim telah membangun rehabilitasi pencitraan diri. Tak menjadi sulit bagi seorang ‘penjahat masa lalu’ mengubah diri menjadi ‘pahlawan’ pada saat ini. Cita-cita kebebasan dalam sistuasi seperti ini menjadi terasa ‘menjengkelkan’ dan ‘absurd’. Menjadi mengembang sebagai ‘fiksi’ ketimbang membumi dalam kenyataan.
Sedikit meminjam catatan kritis dari Vedi R. Hadiz(10) dalam meneropong kasus kebebasan demokrasi dan transformasi demokrasi di Indonesia, kenyataannya Indonesia tidak sedang dalam ‘transisi politik’. Pertama, format demokrasi yang sekarang ditegakkan adalah sebuah sistem yang ditandai oleh praktik-praktik politik uang dan kriminalitas politik yang sama sekali tak beranjak dari sistem yang lama yakni nalar politik Orde Baru. Kedua, tidak ada satu sistem kendaraan reformasi murni yang efektif. Ketiga, menurut Hadiz, kerangka perubahan politik yang baru itupun lahir dan berkembang dalam sifat khusus dari kekuatan-kekuatan sosial yang bertarung dalam memperebutkan kekuasaan menyusul jatuhnya Soeharto. Menyoal transisi demokrasi dan analisisnya tentang demokrasi di Indonesia ia secara kritis menambahkan bahwa :“...bahwa demokrasi, dalam kondisi tertentu, tidak kalah bergunanya bagi berbagai kepentingan ‘predatoris’, sebagaimana rezim otoritarian yang antidemokrasi, dengan suatu syarat bahwa kelompok-kelompok dominan ini mampu menguasai dan memanfaatkan lembaga-lembaga demokratik secara paksa”(11) . Formasi institusional politik boleh berubah tetapi yang berkuasa tetap rezim dan aktor-aktor yang sama.
Negara, Pasar, dan Masa Depan Kebebasan Pers
Pengalaman sejarah beberapa negara sering membuktikan dengan jelas bahwa kerangka negara yang otoriter dan memusat pada nalar tatalitarianisme lebih banyak akan membungkan kompetisi, partisipasi dan sekaligus kebebasan pers. Dalam sisten negara yang menganut faham totaliter dan otoriter birokratik tentu saja peran negara menjadi amat besar. Semua pengelolaan sistem dan aturan regulasi serta ketersediaan ruang-ruang berpendapat dan berpartisipasi akan ditentukan semata oleh hak monopoli negara. Determinasi kuasa negara amat menentukan wajah pers. Negara pada posisi tertentu sekaligus juga memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur segalanya. Namun hari ini situasi semacam itu makin berkurang seiring proses demokratisasi yang berkembang pesat. Berbagai kekuatan di luar negara seperti ‘pasar’ dan ‘civil society’ juga terlibat menetukan berjalannya wajah pers. Kekuasaan tak lagi terpusat pada kewenangan negara.
Apakah pasca berakhirnya kekuasaan negara ini kemudian jawaban akan kebebasan pers kemudian sudah terang dan jelas? Apakah dengan sendirinya ketika berakhirnya era monopoli negara ini maka dengan sendirinya capaian kebebasan pers akan terwujud? Pertanyaan ini penting untuk diangkat terutama melihat berbagai situasi kontemporer pers hari-hari ini. Tentu saja pertanyaan kritis ini juga didorong oleh kegelisahan melihat bahwa ada wujud re-otoritarianisme pers yang tak lagi berangkat pada kedudukan sentral negara tetapi oleh jerat kuasa pasar yakni korporatokrasi pers. Pers boleh saja sudah keluas dari mulut harimau negara tetapi saat ini tidak menutup banyak kemungkinan bahwa kita sudah mulai memasuki era dimana pers masuk dalam mulout buaya pasar kapitalisme. Pers demokratis tentu saja mensyaratkan adanya ruang publik yang demokratis di mana masyarakat terlibat secara aktif dan partisipatif dalam membangun pers yang egaliter. Ruang publik ini akan menjadi tempat bertumbuhnya pers yang tidak koruptif dan hanya menjadi kaki tangan dari determinasi kekuasaan negara atau pasar. Namun apakah situasinya memang demikian seperti yang diandaikan dalam pemahaman ruang publik secara normatif?
Catatan kritis dari Robert Mc Chesney untuk memahami ruang publik demokratis ini perlu dipertimbangkan menjadi bahan diskusi. Bagi Chesney, “ruang publik sebagai potensi demokratis media akan tenggelam ketika ‘rasionalitas birokrasi’ atau ‘rasionalitas modal’ mulai mengambil alih dan mendominasi fungsi, sistem kerja dan orientasi produksi media”.(12) . Pemikiran Chesney ini lebih ingin menunjukan bahwa kemungkinan adanya bentuk lain terjadinya represi atas ‘kebebasan pers’ tidak semata karena peran tunggal negara tetapi juga bisa datang dari nalar modal atau pasar. Lebih yang mengerikan lagi adalah ketika kedua kekuatan (negara dan pasar) ini telah bersama-sama melakukan apa yang disebut sebagai penghancuran ruang publik kebebasan pers. Manifestasi bentuk pembelengguan ini biasanya terwujud dalam salah satunya yakni aturan regulasi dan kebijakan tentang kehidupan pers.(13) Nalar orientasi pers menjadi dominan pada kepentingan bisnis nampak di situ. Pers kemudian dimaknai lebih pada ‘nalar strategis’ dan ‘nalar instrumental belaka’. Gagasan Habermasian tentang media sebagai institusi sosial yang memfasiloitasi masyarakat menjalankan diskursus sosial yang komunikatif demi pencapaian kepentingan masyarakat yang demokratis seakan justru menjauh. Profit keuntungan kian menjadi target capaian ketimbang peran-peran sosial yang harus dikembangkan.
Politik atas media hari-hari ini tidak jauh lebih mendudukan media menjadi penyalur dari kepentingan para pemilik modal. Gejala privatiasi media dan komersialisasi ranah-ranah ruang publik media menunjukan bukti-bukti tersebut. Politik kebijakan pemerintah di bidang media dan komunikasi tidak berlandaskan pada suatu ‘imperatif’(14) untuk menciptakan ruang publik yang demokratis dan deliberatif, namun lebih didasarkan pada ‘rasionalitas strategis’ untuk mengarahkan praktik bermedia sesuai dengan kepentingan pemegang kekuasaan.(15) Menurut Agus Sudibyo dalam bukunya, komodifikasi media penyiaran mendorong rupa-rupa kekerasan simbolik di ruang publik, yang terwujud dalam ‘reduksi’ dan penyeragaman minat dan kebutuhan khalayak, serta represi terhadap berbagai representasi yang bersifat lokal, berasal dari masa lalu atau yang berasal dari tradisi. Jika demikian maka yang terjadi jauh dari cita cita keadaban publik dan yang justru akan mengembang adalah ‘keadaban konsumsi’. Masyarakat tidak dimaknai sebagai subjek aktif yang berperan dalam menyangga tiang-tiang demokrasi pers melainkan hanya menjadi objek sasaran strategis dari kepentingan pasar.
(1) Lihat, Ashadi Siregar, Etika Komunikasi, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2008, hal. 230.
(2) Lihat, Ashadi Siregar, Ibid, hal. 231.
(3) Perubahan-perubahan fungsi dan peran pers dalam konstalasi struktur ruang politik tentu saja amat ditentukan dengan berbagai variabel media pers terutama dimensi ekonomi politik yang menopangnya. Pers di era otoritarianisme Orde Baru lebih banyak menyuarakan suara-susra kepentingan negara dan nyaris menutup pada lahirnya suara-suara alternatif yang hidup pada diri masyarakat. Pers menjadi sangat determinan untuk melangsungkan proses kepentingan kekuasaan.
(4) Lihat, Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Demokrasi. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal 227. Mengutip dari gagasan Jean Baudrillard, Haryatmoko memberi catatan bahwa dalam rangka membangun politik penggalangan opini dan politik pencitraan, politisi mengerahkan segala sarana persuasi yang paling transparan, yakni ‘representasi’, sampai dengan ‘manipulasi’ dan ‘simulasi’.
(5) Lihat, Georg Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi : Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah, Penerbit Pustaka Pelajar kerjasama dengan Centre for Critical Social Studies (CCSS), Yogyakarta, 2003, hal. 39.
(6) Lihat, Georg Sorensen, Ibid, hal. 19
(7) Apa hakikat ‘kebebasan’ dalam ‘korelasinya’ dengan kehidupan masyarakat warga dan potensi-potensi negativitasnya bisa melihat tulisan Fitzerald K.Sitorus, “Masyarakat Warga dalam Pemikiran G.W.F Hegel” dalam buku: F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis dari Polis Sampai Cyberspace, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 201o, hal. 123.
(8) Seringkali apa yang terjadi dalam domain perspektif liberal lebih tepat menggambarkan ‘pers yang bebas’ ketimbang ‘kebebasan pers’. Padahal dua pengertian ini amatlah berbeda. ‘Pers yang bebas’ tentu saja menggambarkan kondisi pers yang dibangun atas kepentingan nalar kebebasan bagi pers itu sendiri. Makna kebebasan pers lebih jauh dari itu. Ia lebih merupakan fungsi imperatif yang dilekatkan pada tugas dan fungsi pers untuk menjadi entitas kesatuan dengan kehendak dan kepentingan seluruh masyarakat.
(9) Sistem ‘plutokrasi’ lebih menunjukan kecenderungan sistem yang beradaptasi pada praktik lanjutan demokrasi representatif liberal dengan capaian-capaian prosedural terbatas dan lebih beradaptasi pada ‘kekuasaan otokrasi’ yang lihai memainkan manipulasi-manipulasi dalam pemilu.,
(10) Lihat, Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Indonesia Pasca-Soeharto, Penerbit LP3ES, Jakarta, 2005, Kerangka mendasar teoritik dari buku ini dituliskan bahwa “Kerangka Institusional kekuasaan dapat berubah–misalnya ke arah yang lebih demokratis dan terdesentralisasi sebagaimana di Indonesia setelah jatuhnya Soeharto, tetapi relasi kekuasaan yang menopangnya mungkin saja bertahan dalam konteks intitusional yang baru”.
(11) Lihat, Vedi R. Hadiz, Ibid, hal. 271.
(12) Lihat, Robert Mc Chesney, Corporate Media and The Threat Democracy, Seven Stories Press, The Open Media Pamphlet Series, 1997, hal. 29. Dikutip dari buku Agus Sudibyo, Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009, hal. xix.
(13) Beberapa jejak yang bisa tertangkap adalah watak dari beberapa kebijakan peraturan tentang pers dan penyiaran di Indonenesia saat ini. Beberapa produk undang-undang seperti UU Penyiaran no. 32 tahun 2002 dan yang lainnya seringkali tidak menunjukan kearah transformasi demokratisasi pers melainkan lebih mengarah pada peningkatan kewenangan dan kekuasaan yang dominan ke arah Pasar. Lihat, Agus Sudibyo, Kebebasan Semu, Penjajahan Baru di Jagat Media, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009
(14) Lihat, Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 332. Imperatif dalam bahasa Latin ‘imperare’ yang berarti memerintah. Konsep ini banyak dikembangkan salah satunya oleh Imanuel Kant yang mengartikannya sebagai sistem moral yang didasarkan pada perintah. Sebuah perintah yang menyuruh orang bertindak berdasarkan kebijaksanaan dan/atau kepentingan pribadi dan bukan berdasarkan kewajiban terhadap prinsip-prinsip moral.
(15) Lihat, Agus Sudibyo, Ibid, hal. xxxii. Kondisi kecenderungan ‘nalar instrumentalis’ ini amat menarik disebut sebagai sebuah kondisi ‘anomali’, sebuah kondisi dimana akumujlasi modal menjadi satu-satunya determinan dalam bisnis media. Komersialisasi dan komodifikasi media tanpa batas sudah menjadi karakter dominan dalam jagat politik media saat ini.
Selamat Belajar !
Media, Iklan Politik dan Kampanye
Media, Iklan Politik dan Kampanye
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
“...Politik dalam abad ke-21 bekerja
dalam satu dunia realitas maya (virtual reality)
di mana ‘penampakan’ lebih penting daripada ‘realitas’.
Genre perpolitikan modern juga tidak ‘fakta’ tidak juga ‘fiksi’,
tetapi gabungan daripada fakta dan fiksi
yang disebut dengan ‘faction’”.
(Garton Ash)
Evolusi Media dan Politik Modern
Melihat kenyataan praktik berpolitik terutama strategi-strategi berbagai kekuatan politik dalam memenangkan konstestasi dan posisi politik tidak terlepas dari keberadaan media. Media dan terutama media massa modern tidak lagi hanya dibaca sebagai sarana meliankan sudah menjadi subjek aktor sekaligus entitas penting perpolitikan modern. Catatan kritik dari Garton Ash dalam pembuka paper ini memperlihatkan satu bentuk baru politik bagaimana peran media telah menciptakan satu kultur dan habitus perpolitikan yang banyak hal mengedepankan politik kemasan media. Tidak salah jika biaya terbesar dalam politik modern hari ini salah satunya ada dalam sektor pemanfaatan jasa-jasa yang berdekatan dengan politik kemasan tersebut. Asumsi bahwa hadirnya media telah memaksa satu dunia yang makin mengecil dan memadat dengan semakin mengecilnya batas ruang dan waktu justru tidak memperkecil biaya dan sekaligus ‘kerumitan politik’. Tata kelola politik tak lagi mengecil dalam artian tersederhanakan dalam institusi-institusi yang makin terasionalisasikan. Politik modern justru melahirkan jenis-jenis kelembagaan politik baru yang makin bertumbuh kembang.
Politik modern hari ini tidak dibentuk oleh suatu birokrasi totaliter yang tunggal tetapi oleh pola permainann yang menghubungkan kedekatan, kebiasaan antar politisi, para pembuat pidato (spin doctors), para konsultan hubungan publik dan para jurnalis yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan media.(1) Lembaga-lembaga penyiaran dan institusi-institusi media massa itu tak lagi bisa hanya diletakan sebagai sesuatu yang netral dan niscaya. Pola dan struktur kepemilikan media serta relasinya dengan berbagai kepentingan politik menyebabkan apa yang kita tonton dan kita sekaligus fahami mengeni media massa tidaklah berdiri dengan bebas.
Ruang publik tak lagi terepresentasikan sebagai ruang masyarakat untuk mendapat informasi semata. Ruang publik sudah begitu terpolitisiasi bukan karena ia hanya menjadi sasaran, tetapi ruang publik telah menjadi medium penting dalam pertarungan politik. Tak jarang pula presentasi publik diam-diam teleh bergeser menjadi propaganda politik yang dikemas sedemikan rupa. Apalagi kita sadar bahwa perkembangan atas penguasaan teknologi media massa tak jauh dari kedekatan para pemilik dan aktor-aktor politik yang masing-masing berkepentingan atas kemenangan politik mereka. Dalam risetnya tentang perkembangan teknologi televisi, Raymond Williams, juga menegaskan bahwa relasi teknologi media dan politik ini sudah hadir bahkan sejak kelahirannya.(2)
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di ata,s kedekatan dan persinggungan antara media dan politik yang nampak dalam berbagai tampakan diskursus yang dibangun di media massa bukan hanya bisa dibaca sebagai ‘produk mutualisme’ atau ikatan saling menguntungkan. Pada kenyataannya justru media yang ada sejatinya secara ontologis dibentuk dalam kesengajaan untuk menjadi bagian pola dan struktur politik yang ada. Pemilik-pemilik modal ekonomi besar yang berkepentingan atas perjalanan ekonominya tidak mau beresiko mengalami hambatan karena problem ketiadaan institusi penopang seperti agen propaganda media. Maka relasinya menjadi setubuh dengan gagasan kekuasaan ekonomi tersebut. Lihat saja berbagai kekuatan media massa besar tersebut sejatinya dimiliki oleh para pemilik modal besar dan kekuasaan ekonomi yang ada. Bahkan Peter Golding dan Graham Murdoch sudah jauh-jauh memberikan titik tekannya bahwa struktur industrialisasi media yang terkosentrasi sesungguhnya adalah tahapan akhir dalam siklus perkembangan menuju lembaga indsutrial modern.(3) Dalam titik ini nalar analisis yang kita penting pakai adalah bahwa nalar baca terhadap logic berpikir kepentingan ekonomi industrial perlu menjadi perhatian serius.
Kemunculan corak media massa yang lebih berwatak industri bisnis ini sekaligus secara massif juga mampu mengkontruski corak hidup masyarakat secara luas sampai pada tingkat kesadaran sehari-hari. Perkembangan media ini mampu menjadi alat penting untuk mempengaruhi cara pandang dan perilaku masyarakat secara ideologis. Pada kemampuan inilah maka banyak kekuatan industri dan sekaligus politik meletakan media modern sebagai kekuatan terpentingnya. Maka membaca keterkaitan media dan politik beserta pemanfatan-pemanfatannya akan sangat butuh pendekatan ekonomi politik yang lebih utuh.(4) Pendekatan yang lebih mencakup aspek ‘insrumental’, ‘struktural’ dan juga ‘konstruksi media’. Masing-masing akan menggenapi satu sama lainnya.
Dalam pandangan instrumentalis tentu saja media diletakan sebagai alkat dan sarana dalam menunjang daripada kepentingan politik. Secara instrumentalis kritis, media massa adalah alat dari kepenjangan kelas kepentingan yang dominan. Pada pandangan ‘strukturalis’, entitas struktur sebagai sesuatu yang determinan dan monopolistik yang mampu menciptakan dan mempengaruhi isi media menjadi sangat penting. Produksi dan kosumsi media semata-mata hanya dilihat sebagai representasi dari kekeuatan struktur dominan yang ada. Pada pandangan ‘konstruktivis’ , struktur dipandang sebagai sebuah entitas yang bergerak dan dinamis yang juga ditentukan oleh kreatifitas agen. Media tidak hanya berdiri sebagai alat ataupun juga representasi kekuasaan melainkan ruang dinamika kreatif dari berbagai dialektika antara struktur dan agen.
Iklan Modern dan Industrialisasi Politik
Dimensi kepentingan dari apa yang disebut sebagai nalar ekonomi adalah keuntungan (profit) dan akumulasi modal kapital. Apa yang ada dalam tubuh dimensi ini adalah sebuah medan transaksi jual beli dimana arus utamanya adalah bagaimana keuntungan bisa diraih dengan bentuk sarana yang ada. Dimensi politik sejatinya lebih menawarkan satu gambaran yang lebih luas. Politik adalah sebuah cara hidup bagaimana kepentingan publik bersama bisa diraih. Setidaknya prinsip normatif sederhana ini ada dalam cita-cita tubuh politik yang paling’ mendasar. Tetapi sebagaimana kekawatiran ‘kaum dystopian’(5) tentang ‘ruang publik politis yang sudah tergantung pada teknologi media, ruang publik menjadi hilang dan akhirnya greget politik hanhyalah jatuh pada nalar transaksional ekonomi privat.
Satu fenomena modern yang begitu dekat dengan perbincangan transformasi politik di era industrialisasi modern adalah ‘iklan politik’. Sebelum mendalami dimensi iklan politik, lebih awal penting untuk meletakan fungsi pengertian dari iklan sendiri. Iklan sarat dengan persoalan bisnis, ekonomi dan perdagangan. Ikan secara etimologi mengandung pengertian kegiatan ekonomi untuk membantu capaian pemasaran baik barang atau jasa dalam suatu sistem ekonomi., menurut Thomas M Garret, SJ, ‘iklan dipahami sebagai aktifitas penyampaian-penyampaian pesan visual atau oral kepada khalayak, dengan maksud menginformasikan atau mempengaruhi mereka untuk membeli barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi, atau untuk melakukan tindakan-tindakan ekonomi terhadap idea-idea, minstitusi-institusi atau pribadi-pribadi yang terlibat dalam iklan tersebut’.(6) Jamaison dan Campbell mendefinisikan ‘iklan sebagai penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak sasaran tertentu untuk menerima penawaran produk, jasa, atau gagasan, dengan mengeluarkan biaya untuk ruang dan waktu dalam bentuk tertentu.(7) Dalam definisi yang lebih sederhana barangkali iklan bisa difahami sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media.
Bagaimana selanjutnya tentang pengertian iklan politik? Tentu saja titik penekanan daripada iklan politik ada dalam domain hidup politik. Artinya bisa difahami bahwa iklan politik ada dalam konteks apa yang dimengerti sebagai cara dan usaha untuk memenagkan konstesatasi politik yang ada. Kecuali karena perkembangan dari kemajuan teknologi komunikasi sendiri, iklan politik berkembang seiring dengan kebutuhan yang tidak terlepaskan dari apa yang menjadi kebutuhan politik dan apa yang menjadi kebutuhan bisnis ekonomi. Dalam pandangan umum, apa yang masih dimengerti sebagai produk yang akan dijual dalam kepentingan ekonomi adalah sebentuk gagasan, produk, atau jasa tertentu. Sementara berdiri pada aras nalar yang sama, apa yang ingin dijual dalam kepentingan iklan politik adalah juga menyangkut produk, jasa dan juga gagasan yang berkait erat dengan politik. Tentu batasan pada dua hal itu amat tipis, karena sejatinya dimensi politik dan ekonomi dalam perkembangannya sendiri saling berkelindan satu dengan yang lain.
Hangat dan berkembangnya fenomena iklan politik tentu tidak bisa melepaskan dengan konteks perkemnbangan sosio ekonomi politik sebuah negara. Trend ‘iklan politik’ santer berkembang saat dirasakan bahwa media terutama media televisi pada saat itu untuk dipakai sebagai corong dari pemenangan kandidat tertentu dalam pemilu. Amerika Serikat tentu bisa disebut sebagai negara pertama yang menerapkan sistem iklan politik. Struktur ekonomi politik yang lebih liberal dengan coraknya yang sangat kapitalistik memang memungkinkan ‘iklan politik’ sangat bertumbuh subur dan diberi kesempatan masuk pada media-media publik Amerika Serikat. Iklan politik adalah salah satu dari perkembangan dari apa yang disebut sebagai ‘modernisasi kampanye’. Titik terpenting yang juga bisa difahami adalah bahwa industri periklanan modern menempatkan kampanye politik sebagai sebuah bisnis baru yang menjanjikan. Banyak profesi-profesi dan lembaga-lembaga baru yang berkait dengan itu. Ketika terjadi perkembangan dari apa yang disebut sebagai ‘industrialisasi’ ini, maka fungsi dan peran lembaga-lembaga profesi seperti ‘konsultan politik’ dan lembaga jasa pemenangan pemilu menjadi diminati sebagai lahan pekerjaan baru yang menjanjikan. Naiknya pembiayaan politik pada perkembangan kontemporer hari ini salah satunya disebabkan karena hadirnya pola dan bentuk kelembagaan ini.
Apa yang sebenarnya bergeser pada hadirnya lembaga-lembaga baru seperti “konsultan politik”? Beberapa penelitian menyebutkan bahwa konsultan politik meningkat dan pada akhirnya terjadi peralihan organisasi kampanye dari yang semula dikelola oleh lingkaran dalam (inner crcle) seperti ‘kader partai’ menjadi dikelola oleh pihak eksternal dalam hal ini ‘marketing expert’.(8) Satu sisi yang akan menjadi konsekuensi terhadap perubahan ini adalah. Pertama tentu saja adalah menggejalanya pragmatisme politik karena bingkai besarnya tak jauh dari sekedar orientasi dan hitung-hitungan bisnis, Kedua, modernisasi politik diam-diam juga menghadirnya gejala depolitisasi yang merambah ruang publik politis. Apa yang didapat dalam diskursus politik sekedar menyempit pada pragmatisme kepentingan dan orientasi jangka pendek semata. Ketiga, yang juga menjadi imbas dari pergeseran ini adalah terjadinya ‘deideologi partai-partai politik’ dimana pertimbangan yang lebih berbasis nilai dan ideologi akan bergeser kepada basis komersial. Konsekuensi dari deideologi politik ini juga akan merempah pada kecenderungan apa yang disebut sebagai ‘personalisasi politik’. Letak kekuatan dari politik tidak lagi pada konsolidadi dan kekuatan gagasan dan ideologi tetrapi pada sosok dan figur personal yang akan dijual dalam pasar politik.
Trend perkembangan modernisasi politik yang menerapkan beberapa gaya kampanye politik yang makin terindustrialisasi biasanya kerap juga disebut sebagai bentuk ‘sekularisasi politik’. Kecenderungan ini hampir sudah merambah di berbagai negara dengan kadar intensitas dan kualitas yang berbeda. Biasanya negara-negara yang menerapkan pergeseran ini mengalami beberapa kondisi dan kecenderungan yakni : Pertama, munculnya saluran-saluran komunikasi massa di negeri-negeri tersebut; Kedua, runtuhnya keterikatan-keterikatan pada pada ideologi-ideologi politik utama; Ketiga, melemahnya partai-partai tradisional dan identifikasi kepartaian dari para pemilih. Kehadiran perubahan gaya politik terutama gaya kampanye politik tidak lepas juga dari pengaruh apa yang disebut nsebagai ‘Amerikanisasi’(9) politik. Sebuah konsep pengertian dimana pengaruh nalar berpolitik gaya liberal Amerika yang semakin merambah juga pada negara-negara lain terkhusus negara-negara dunia berkembang semacam Indonesia. Gejala Amerikanisasi dalam kampanye pemilu setidaknya menurut Blumer dan Gurevitch (1995) mengandung karakteristik yang bisa dilihat yakni : (1) Dijadikannya televisi sebagai tempat utama kampanye pemilu; (2) Dijadikannya ‘image making’ sebagai aktifitas politik krusial; (3) Aktifitas politisi dijahit sedemikian rupa dan disesuaikan dengan logika media; (4) Disusunnya gaya-gaya serta aturan-aturan yang dinilai mampu menjadikan iklan politik sebagai akmpanye yang efektif.
(1) Lihat, Erhard Eppler, Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal, Penerbit Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 201.
(2) Lihat, Raymond Williams, Televisi (terjemahan), Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2009, hal. 186. Menurutnya ‘banyak dari perkembangan teknologi yang berada di tangan korporasi-korporasi besar yang punya ikatan hubungan erat dengan maksud-maksud militer, politik dan komersial.
(3) Lihat, Peter Golding dan Graham Murdock eds, The Political Economy of The Media, Volume I, Edward Edgar Publishing Limited, 1997, hal. 5 – 21.
(4) “Pendekatan ekonomi politik” adalah sebuah pendekatan kajian terhadap media yang banyak mengeksplorasim keterkaitan peran struktur ekonomi dan politik dalam berbagai problem yang dihadapi oleh media. Pada pandangan pendekatan ini, struktur-struktur kepemilikan atas berbagai sumber daya media beserta relasi struktur yang dibangun atasnya amat menentukan bagaimana media itu bergerak. Bdk, Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2004.
(5) Lihat, Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital : Tantangan Kehidupan Politik di Ruang Cyber, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hal. 6 – 14. Kaum ‘Dystopian’ adalah salah satu epistmeik gambaran pemikiran yang sangat hati-hati dan cenderung melakukan penolakan kritis terhadap determinasi teknologi atas dunai politik dan terutama proses hidup manusia. Teknologi menurut pandangan ini akan berdampak cukup besar terhadap lahirnya berbagai keretakan, kekacauan dan problem sosial manusia. Ada berbagai kualitas hidup manusia yang akan terganggu dan berubah dan pada titik akhir terjadinya alienasi hidup manusia. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh faham pemikiran ‘fenomenologis’ kritis. Beberapa pemikiran yang cukup kritis hadir pada Edmund Huserl, Martin Heidegger, Benjamin Barber, Hannah Arendt dan David Thoreau.
(6) Lihat, Jeremias Jena, “Etika dalam Iklan”, Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXIII, (No 3, 1997) hal. 47.
(7) Lihat, Benny H. Hoed, “Transformasi Budaya dalam Bahasa Iklan”, dalam Dari Logika Tuyul ke Erotisme, yayasan Indonesiatera, Magelang, 2001, hal. 95.
(8) Lihat, Akhmad Danial, Iklan Politik : Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2009, hal. 54.
(9) Menurut Swanson dan Mancini, minimal bisa disebutkan beberapa karakteristik dari hadirnya American Style dalam politik : (1) terjadinya personalisasi politik; (2) Saintifikasi politik; (3) Terpisahnya partai dari warga negara; (4) Struktur komunikasi yang otonom dimana media sangat berkuasa. Lihat, Akhmad Danial, Ibid, hal. 65.
Ruang Publik dan Partisipasi
Ruang Publik dan Partisipasi
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Maka itu, ruang publik politis tidak lain daripada
hakikat kondisi-kondisi komunikasi yang dengannya
sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif sebuah publik
yang terdiri daripada warganegara dapat berlangsung”
(Jurgen Habermas)
Setidaknya, pandangan awam tentang apa yang dimengerti tentang ruang publik (public sphere), sementara lebih banyak menunjuk pada sebuah ruang dan tempat yang dibentuk dan diperlukan bagi kebutuhan publik. Taman kota, tempat rekreasi, gedung pemerintah, atau segala tempat yang memang diperuntukan untuk publik biasa akan segera disebut sebagai ‘ruang publik’. Tentu saja, cakupan pengertian ini tidak seluruhnya salah, namun masih banyak hal yang bisa kita perbincangkan mengenai apa dan bagaimana ruang publik sebagai sebuah definisi dan fenomena seringkali kita dengar hari ini. Bahkan di beberapa hal sudah menunjukan intensitas yang sering. Kita bahkan banyak juga mendengar beberapa persoalan yang menyangkut ‘ruang publik ‘terutama kekawatiran kehidupan ruang publik dalam dunia hidup yang makin ‘terkapitalisasi’ dan ‘terkomodifikasi’. Untuk yang terakhir ini, ruang publik sudah dianggap ‘tercemar’ oleh nalar dan bias kepentingan bisnis yang mengejar akumulasi keuntungan bagi dirinya.
Kita setidaknya harus mulai mendudukan definisi dan pengertian secara lebih luas dan mendalam. Tugas ini bagian cara dari ikut serta memposisikan dan meletakkan ruang publik dari kecenderungan bias komodifikasi ini. Kita ketahui bahwa perbincangan tentang ‘publik’ dalam kontalasi sistem kehidupan sosial politik kita sebenarnya menempatkan diskursus yang paling sering nterdengar. Bukan karena apa-apa, ‘publik’ dan ‘ruang publik’ sebenarnya lekat dengan entitas kehidupan sebuah kehidupan politik sebuah negara. Banyak unjuk rasa, demonstrasi, debat pendapat, riuh politik elite, dan berbagai persoalan berpolitik selalu melakatkan dengan apa yang disebut sebagai ‘publik’. Penyebutannya hampir sama dengan apa yang sering kita dengan sebagai warga negara, rakyat atau masyarakat. Publik sebagai entitas politis merupakan sebuah ranah yang dipakai sekaligus sebagai bagaian membangun legitimasi politis dalam negara-negara yang mengaku demokratis.
Tentu saja setiap kebijakan negara, pengelolaan sistem politik tak bisa menghindari dengan kewajiban untuk menempatkan publik sebagai sasaran dan capainnya. Secara normatif publik menjadi lekat dengan orientasi politik itu sendiri. Lepas bahwa apa ia sekedar dipakai untuk menjadi lip service atau benar-benar terwujud, yang pasti publik ada gawang dan batas yang harus dihargai sebagai entitas penting. Bahkan kita tidak bisa memungkiri dalam abad ini ruang publik sudah menjadi konsep kunci yang harus diperhitungkan dalam perbincangan masyarakat dan demokratisasi terutama situasi global saat ini. Tesis seperti tidak berlebihan manakala, ruang global telah memberi akses yang luas teruatama kehadiran media untuk bisa menjadi tempat penyaluran aspirasi warga negara. Namun juga kita perlu banyak memberi beberapa catatan kritik atas kecenderungan sebaliknya dari semua itu.
Sebut saja beberapa pengertian yang selalu menggandeng unsur publik ini : kebijakan publik, opini publik, keperpihakan publik, suara publik, hancurnya ruang publik dan berbagai dimensi hidup berpolitik yang lain yang selalu membawa entitas tersebut. Dalam era keterbukaan dan reformasi, publoim sendiri sudah menjadi lanskap perbincangan yang selalu hadir. Bahkan berbagai produk politik ekonomi yang saat ini dikeluarkan harus mau tidak mau meletakkan publik sebagai sasarannnya. Tuntutan dan kekuatan publik menjadi sebuah hal yang harus diperhitungkan tentu saja bukanlah fenomena yang hadir pada sebuah sistem yang otoriter. Kita tidak bisa membayangkan publik menjadi hidup dalam sebuah sistem politik yang penuh dengan pelarangan-pelarangan dan pembatasan-pembatasan bersuara. Jaman sistem Orde Baru, publik berada dalam subdominasi dan represi. Publik bahkan hanya menjadi pelengkap politik dan sarana tujuan yang sangat berorientasi kekuasaan. Boleh dikatakan bahwa, pada era demokratisasi politik, pemerintah, negara atau penguasa tidak lagi bisa semena-mena untuk tidak mendengar publik ini untuk berpendapat atau bersuara. Hadirnya berbagai teknologi media juga sedemikian rupa juga bisa memungkinankan publik memiliki ruang sarana yang lebih luas. Meskipun kita tidak bisa juga memungkiri bahwa ruang publik termediasi media yang demikian juga masih rentan dengan eksploitasi dan komodifikasi yang diam-diam juga sangat represif.(1)
Ruang publik menjadi sederhana bisa dimengerti, meminjam pemahaman David Marquand, dimengerti memiliki nilai-nilai sentral yakni ‘nilai-nilai kewargaan’, ‘persamaan’, ‘pelayanan’ dan ‘kepentingan umum’.(2) Artinya ia melekat pada warga masyarakat. Masyarakat sebagai entitas politik juga harus memiliki sarana dan cara bagaimana pendapat, kehendak dan juga hidupnya bisa terjamin melalui berbagai sarana-sarana tersebut. Ruang publik dimaknai sebagai cara untuk menjembatani aspirasi kehendak masyarakat sehingga bisa terdengar oleh pemerintah atau negara. Tentu saja mekanisme, bentuk dan model dalam menyampaikan bisa beragam. Ruang publik lebih tidak hanya sekedar tempat fisik yang sering saat ini dipahami awam, tetapi juga sebuah entitas ruang yang dimensinya luas. Ia bisa berupa kebudayaan, cara hidup, cara interaksi dan juga lanskap politis lainnya.
Jika lebih ditelusuri dengan lebih cermat maka sejatinta konsep ruang publik sebenarnya sudah berkembang jauh pada masa lalu dalam berbagai perdebatan teori politik ataupun ilmu hukum. Lucian Holscher, seorang penulis dan kontributor ensiklopedia bahkan berhasil memberikan catatan temuan menarik tentang sejarah ruang publik. Bagi temuannya, ruang publik sejatinya hadir akibat perkembangan hukum negara modern. Pada catatannya, konsep ‘publik’ sebenarnya adalah berarti ‘kenegaraan’. Konsep ‘publik’, ‘ruang publik’ atau ‘kepublikan’ sebenarnya bisa kita lacak juga dari jaman Yunani dan Romawi kuno. Dan menurutnya, menjelang akhir abad ke-18 konsep ini berkembang dalam hubungan yang erat dengan ‘klaim rasio pencerahan’.(3) Dan aspek historis pergeseran ini menarik untuik kita simak karena akan ikut serta menentukan bagaimana ‘ruang publik’ dimengerti dengan benar. Pergeseran yang paling nampak adalah bahwa jika sebelumnya ‘publik’ dimengerti sebagai tindakan-tindakan “kenegaraan” kemudian bergeser menjadi apa yang disebut sebagai: tindakan “partisipasi politis warganegara”.(4)
Konsep tentang ‘publik” tidaklah berasal dari Indonesia. Ia adalah konsep dari Barat dan kemudian dipakai dalam dikursus pengertian yang berkembang di Indonesia. Tengok saja pemahaman penting ini dalam era masyarakat Romawi. Dalam bahasa Romawi publik (publicus) memiliki dua pengertian yakni: Pertama, milik rakyat sebagai satuan politis atau milik negara; Kedua, mengandung arti ‘sesuai dengan rakyat sebagai seluruh penduduk yang biasa kita mengerti sebagai ‘umum’.(5) Pada definisi dan pengertian tersebut sudah terkandung dua pengertian yang menjadi kata kunci yakni suatu ‘ruang’ tempat hal-hal yang bersifat umum dibicarakan dan suatu subjek hukum, yakni rakat suatu negara. Jadi kata publik akan sangat lekat dengan entitas subjek hukum umum yakni ‘rakyat’ atau ‘warga negara’. Dan ruang yang dimaksud dalam pengertian itu juga menacu pada ‘ruang sosial’ tempat semua orang (umum) bisa melihat dan mendengar. Bandingkan perbedaannya dengan ‘privat’ yang selama ini kita pahami sebagai hal-hal yang menyangkut pribadi atau subjek individu yang sangat pribadi. Privat pada pengertian awal sebenarnya sebuah pengertian tentang ‘ruang’ yang berada di bawah kekuasaan pater familias (ayah). Selanjutnya nanti berbagai perbedaan tentang publik atau ruang publik juga kadangkala menyertakan distingsi perbedaannya dengan apa yang dimengert sebagai ‘privat’.
Pada abad ke-18, perkembangan makna tentang ‘publik’ ini telah begitu pesat terutama karena sering dikaitkan dengan perkembangan baru pada era tulisan. Misalnya era ketika tulisan dan bentuk-bentuk karya buku mulai berkembang maka kemudian memperkenalkan apa yang disebut sebagai ‘publik pembaca’. Ketika perluasan pentinganya komunitas warga atau demokratisasi warga masyarakat berkembang maka berkembang pula beberapa dimensi-dimensi baru dalam istilah pubik, bentuk-bentuk kreatifitas, kelembagaan dan tradisi-tradisi kebudayaan yangb berkembang mendorong muncul spesifikasi-spesifikasi tentang kelompok publik ini. Ambil saja contoh, ketika era kebudayaan dan tradisi teater (drama) berkembang, kemudian di sana juga berkembang apa yang disebut sebagaim ‘publik teater’. Tentu pada jaman-jaman terdahulu ini belum terjadi. Publik kemudian dalam perkembangan ini selalu dikaitkan dengan publik yang mempunyai kemampuan untuk memberi penilaian estetis, moral dan rasional atas sesuatu.(6)
Hadirnya berbagai media dan ruang sarana modern menyebabkan berbagai dimensi publik yakni kemerdekaan berpendapat dan berpartisipasi ikut juga berkembang. Bisa dikatakan bahwa ‘publik’ dalam pengertian modern lebih mempunyai karakter dengan dimensi media ini. Ciri makna baru tentang ‘publik’ menunjukan sebuah gambaran tentang ruang pertukaran opini dan partisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan. Publik tidak lagi sebagai pengertian fisik yang terbatas tetapi menjadi entitas yang amat lekat dengan cita-cita mendasar dari demokratisasi dan partisipasi warga negara. Ruang publik dalam pengertian selanjutnya menjadi kata kunci untuk harapan terciptanya ‘kebebasan individu’ dan ‘pluralisme’. Ruang publik akhirnya amat erat kaitannya dengan dimensi komunikasi karena di sana tempat berbagai diskursus yang bebas dan adil harus bisa terbangun. Ruang publik akan banyak mempertemukan dialog banyak warga masyarakat dalam ruang interaksi sosial tersu menerus. Jika ruang publik ini hilang maka bisa dikatakan bahwa ruang hidup sosial masyarakat sudah mati.
Maka jika kita pelajari dalam berbagai aspek historitas dan konteks perkembangan kekinian tentang apa yang difahami tentang ‘ruang publik’ bisa merujuk pada dua pemahaman, pertama, adalah mengacu pada pengertian ‘ruang yang dapat diakses semua orang’. Pengertian ini juga memberi pengertian adanya pembatasan diri secara spasial dari adanya ruang lain yakni ‘ruang privat’. Perbedaan antara ‘ruang publik’ dan ‘ruang privat’ pada pemahaman pertama ini terletak pada locus yang disasar. Ruang privat merupakan “locus intimitas” seperti keluarga dan rumah, sedangkan ‘ruang publik’ adalah “locus kewarganegaraan” yang lebih bersifat sosial. Dalam berbagai perkembangan isu tentang ruang publik dan ruang privat begitu gencar karena sebenarnya ruang pembatasa ini hari-hari ini mulai mengalami berbagai kekaburan. Salah satu poenyebabnya justru juga hadir dalam berbagai kecenderungan komersialisasi media massa. Padahal harapan dari pemahaman pertama adalah distingsi antara keduanya sebenarnya berfungsi untuk menjamin ruang hidupnya masing-masing. “Yang publik” tidak boleh semena-mena kemudian mengintervensi “Yang privat” dan juga berlaku sebaliknya. Isu-isu yang berkait dengan hal ini santer pada perdebatan tentang perkambangan sekularisasi. Apakah dimensi tertentu harus merupakan milik publik atau hanya menjadi bagian milik privat. Contoh yang menarik diberikan adalah dalam kasus meletakkan pamahaman dan penafsiran tentang relasi antara ‘negara’ dan ‘agama’ yang sampai saat ini masih selalu diperdebatkan.
Pemahaman kedua lebih mengacu pada pengertian yang lebih normatif yakni ‘peranan masyarakat dalam demokrasi’. Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa pengertian ‘ruang publik’ dalam definisi pertama ini mengandung pemahaman “suatu ruang komunikasi para warga negara untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan”.(7) Mekanisme dan cara-cara pengawasan terhadap berjalannya kekuasaan ini tidak mungkin bisa berjalan tanpa penyedian ruang publik yang demokratis seluas-luasnya bagi warga negara. Hannah Arendt dan Jurgen habermas adalah beberapa tokoh kunci yang melahirkan sumbangan besar terhadap pengembangan bacaan terhadap ruang publik ini. Bagi mereka ‘ruang publik’ amat berkaitan dengan aktifitas suatu “komunitas bahasa” dan bahkan dengan akal sehat manusia. Akal sehat dalam posisi ini menjadi fondasi dasar karena pengembangan raung publik tanpa rasionalitas akal sehat hanya akan menghadirkan berbagai bias dan distorsi yang merusak. Ruang publik yang demokratis selalu mensyaratkan sebuah kondisi tanpa dominasi dan dsikriminasi antara subjek yang satu dengan yang lain. Ruang publik yang demokratis selalu juga mensyaratkan hadirnya mekanisme yang adil dan egaliter yang memberi ruang kesepmpatan berbagai suara untuk dihargai. Tentu saja jika ruang itu kemudian terdominasi oleh bias kepentingan maka yang terjadi adalah hancurnya ruang publik. Salah satu menurut Hannah Arendt atau Jurgen Habermas yang mampu merusak dan mencemari ruang publik ini adalah ekspansi kepentingan pasar kapitalis yang menggunakan runag publik sebagai sarana tujuannya. Bukan partisipasi yang didapat tetapi sebuah mobilisasi.
Posisi dan kedudukan ‘ruang publik’ jika dilihat dari kaca mata ideal sebenarnya sebagai ruang yang otonom yang berbeda dari negara dan pasar. Ruang publik tidaklah hidup dari mekanisme administrasi dan birokrasi negara dan juga bukan lahir dari kehendak ketergantungan dengan ekonomi pasar kapitalis.(8) Maka ruang persyaratan yang wajib diperlukan bagi yterbentuknya ruang publik yang otonom adalah harus bisa melepaskan diri dengan dua cengkraman kekuasaan tadi. Maka tali erat antara legitimasi politik dengan publik akan bisa terwujud tanpa manipulasi jika legitimasi politik menghargai proses keterbukaan ruang publik ini. Akhirnya legitimasi politik harus berakar pada persetujuan yang dilandaskan pada komunikasi, bukan pada legitimitas semu yang mengacu pada tatanan atau kebenaran yang tidak bisa didiskusikan lagi.(9) Debat yang menggunakan argumentasi yang bersifat publik merupakan gambaran kongkrit yang harus diwujudkan bagi pembentukan demokratisasi dan partisipasi warga negara.
(1) Misalnya bisa kita lihat menggejalanya nalar dan sipirit kapitalisasi dan komersialisasi media. Orientasi bisnis media telah menggeser perannya sebagai bagian cermin ruang hidup masyarakat (tempat berkembangnya diskursus publik) menjadi sarana instrumental bagi kepentingan uang. Satu akibat lagi bahwa komersialisasi media selanjutnya justru telah banyak menghancurkan berbagai nilai dasar dan berbagai dimensi nilai yang lainnya seperti keberagaman dan nilai-nilai komunitas masyarakat. Lihat, Agus Sudibyo, Kebebasan Semu : Penjajahan Baru di Jagat Media, Penerbit Kompas, Jakarta, 2009, hal. 11.
(2) Lihat, Agus Sudibyo, Ibid, hal. 10.
(3) Catatan penting ini diambil dari buku F. Budi Hardiman (ed), Ruang Publik : Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2010, hal. 2. Dalam catatan Hardiman, klaim rasio pencerahan yang dimaksud adalah emansipasi dalari sistem dogmatisme. Dengan begitu, konsep ‘publik’ sebagai bentuk ‘kenegaraan’ adalah keberanian para warga negara untuk menggunakan rasionya secara mandiri dihadapan umum tanpa campur tangan otoritas.
(4) Lihat, F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 2.
(5) Lihat, F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 3.
(6) Lihat, F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 7.
(7) Lihat, F. Budi Hardiman, Ibid, hal. 11.
(8) Lihat, F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif : Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Publik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009, hal. 135.
(9) Lihat, Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat: Akar kekerasan dan Diskriminasi, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal. 27.
Kekuasaan dan Dominasi Wacana
Kekuasaan dan Dominasi Wacana
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
“mempelajari ideologi berarti mempelajari
cara-cara yang bagaimaana makna diarahkan untuk
membangun dan mempertahankan relasi dominasi”
(John B. Thompson)
Selama ini perbincangan tentang ‘kekuasaan’ merupakan sebuah tema yang cukup ramai didiskusikan di kalangan para praktisi politik maupun para intelektual ahli yang bergulat dengan berbagai persoalan tersebut. Agak cukup sulit untuk melepaskan tema ini ketika kita berhadapan dengan kajian manusia dan masyarakat. Mengapa bisa demikian? Apakah kekuasaan merupakan unsur hakiki yang hidup menyatu dengan kehidupan masyarakat sendiri? Apakah ia bisa ditempatkan sebagai sebuah kenyataan yang memang selalu hadir dalam kehidupan manusia? Ataukah ia merupakan sebuah defian gejala buruk yang menjadikan problem-problem tertentu dalam hidup manusia dan masyarakat.Tentu jika ‘problem kekuasaan’ tak lagi hanya berada dalam bidang dan fokus kajian tertentu saja, maka sejatinya perbincangan tentangnya amatlah luas hampir meliputi segala dimensi dan konteks hidup manusia. Untuk kepentingan paper ini, tentunya akan dibatasi hanya pada kajian kekuasaan dengan relasinya dengan wacana terutama tentang tema berkait ‘dominasi’. Perkembangan komunikasi massa hari-hari ini juga menjadi sebuah cakupan khusus yang menarik untuk didiskusikan.(1) Dalam ‘dimensi massa’ inilah perbincangan tentang kekuasaan, ideologi maupun dominasi menjadi sesuatu persoalan yang semakin penting. Kata-kata kunci yang amat penting untuk dibahas dalam peper ini adalah : ‘ideologi’, ‘kekuasaan’ dan ‘wacana’ dan ‘dominasi’.(2)
Keterkaitan antara persoalan ‘ideologi’ dan ‘kekuasaan’ sejatinya ada dalam keyakinan kritis bahwa berbagai bentuk ‘bahasa’, ‘percakapan’ dan ‘diskursus’ yang ada merupakan bentuk praktik ideologi yang nampak. Pada banyak hal wacana dan percakapan tertentu bisa menjadi sarana untuk melihat bagaimana ideologi kepentingan akan dibentuk dan diarahkan. Kekuasaan dominan dengan berbagai kemampuannya akan selalu menggunakan strategi dan upaya untuk melanggengkan kekuasaannya. Salah satu cara yakni tentu adalah menguasai medium wacana. Dengan begitu wacana yang diproduksi dan direproduksi akan diarahkan untuk membangun dan mempertahankan relasi asimetris kekuasaan tersebut. Kepentingan utamanya akan membangun citra dan rasionalisasi bahwa apa yang dilakukan dan dikerjakan oleh kekuasaan adalah ‘benar’ dan ‘absah’. Ketika sasaran wacana yakni ‘massa’, ‘komunita’s atau ‘masyarakat umum’ kemudian bisa mengamini bahwa praktik wacana yang dilakukan kekuasan itu benar dan absah maka sejatinya hegemoni dan dominasi wacana itu sudah berjalan dan berhasil.
Ambilah sebuah kasus tentang praktik kekuasaan yang memakai medium bahasa dan wacana. Contoh misal tentang pernyataan-pernyataan resmi pemerintah mengenai pentingnya pemotongan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) dengan jargon alasan ‘efisiensi’ dan ‘pemandirian ekonomi ‘masyarakat. Wacana itu kemudian bisa saja diterima oleh masyarakat dan dianggap sebagai kebenaran yang memang absah dilakukan, Problem masyarakat kecil yang kemudian kesusahan untuk membeli BBM dan mengalami dampak ekonomi yang memprihatinkan, tidak lagi dianggap penting dan bahkan dilupakan. Pada titik ini makia dominasi wacana sudah menjalar menjadi kesadaran yang hegemonik. Kekuatan diskursus kekuasaan melalui mesin-mesin media yang dikuasainya merupakan praktik sosial langsung dalam membentuk berbagai makna, mengontrol dan menentukan makna. Artinya kontrol kekuasaan melalui mekanisme ini tidak hanya berhenti secara determinan, melainkan kemudian meresap dan menyebar menjadi identitas kontrol diri yang hidup dalam kesadaran doksa masyarakat.
Contoh praktik sosial media yang amat kentara berkait dengan tema ini adalah tentang kebudayaan konsumerisme yang dibangun dan dikembangkan oleh mesin-mesin kekuasaan tanda yakni media massa melalui praktik komodifikasi iklannya. Dalam logika kekuasaan tanda ini, berbagai simbol digerakan untuk mengarahkan praktik kosumsi. Kemampuan lebih dari mesin hasrat media iklan adalah mampu mengubah apa yang sejatinya bukannya kebutuhan menjadi sesuatu yang harus menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat. Menurut Pierre Bourdieu, logika sosial kosumsi kemudian tidak tercermin dari kepemilikan secara individual ‘nilai guna’ barang atau pelayanan (logika kepuasaan), tetapi harus dilihat dari logika produksi dan manipulasi yang berwatak sosial.(3) Korporatokrasi sebagai gambaran kekuasaan mampu mengolah kekuasan dan kepentingannya melalui media-media propaganda iklannya. Tak hanya memberikan propaganda bahwa barang yang diproduksi pantas dan layak dibeli tetapi juga sekaligus mengarahkan nalar dan juga habitus bahwa kebudayaan konsumerisme adalah sesuatu benar adanya dan tidak harus dipersoalkan.
Secara tegas pula Bourdieu menyampaikan bahwa komunikasi sendiri merupakan pertukaran bahasa yang berlangsung sebagai hubungan kekuasaan simbolis di mana terwujud hubungan kekuatan antara pembicara dan mitra atau atau lawan bicara dalam suatu komunitas. Dalam domain seperti ini maka sejatinya segala praktik sosial selalu mengandung domain wacana dan selanjutnya segalam domain wacana selalu mengandaikan adanya relasi kekuasaan. Maka hubungan-hubungan sosial sekecil apapun jika dipahami sebagai ‘praktik sosial’ (4) selalu akan sarat dengan gambaran interaksi kekuasaan. Interaksi yang dimaksud diatas berlangsung dalam domain simbolis melalui medium kebahasaan dan wacana. Dimensi penting untuk kita meletakkan pemahaman wacana dalam segala pendiskusian tadi yakni bahwa ada empat kata kunci penting dalam wacana yakni: ada subjek yang mengatakan; ada dunia yang mau direpresentasikan; kepada siapa disampaikan; dan temporalitas atau konteks waktu. Di dalam 4 (empat) dimensi penting itu tentu saja bahwa untuk membedakan dengan ‘bahasa’ semata yakni bahwa ‘wacana’ mempunyai nilai ‘intensionalitas’ tertentu dalam-maksud-maksud yang disampaikan. ‘Intensionalitas’ yang dimaksudkan adalah isi kepentingan dan tujuan-tujuan wacana. Intensional juga mengartikan bahwa bahasa yang diungkapkan adalah diproduksi oleh subjek dan untuk sasaran subjek lain.
Cara membaca bagaimana wacana yang merupakan tindakan kekuasaan melalui bentuk-bentuk simbol makna ini menarik untuk dieksplorasi. Artinya bawa praktik kekuasaan dan juga kepentingan ideologi bisa dilihat dengan membuka modus operandi atau model-model bagaiamana praktik wacana itu dikerjakan.
Sebagaimana banyak telah dikembangkan terutama oleh pemikiran-pemikiran kritis struktural terdahulu bahwa kekuasaan pada praktiknya bisa dikembangkan melalui dua jalan sekaligus yakni melalui mesin-mesin represi yang lebih terlihat pada praktik institusi dan juga bisa dibaca melalui mesin –mesin aparatus ideologis yang dikembangkan melalui wacana dan bahasa. Namunpun demikian, praktik produksi wacana inipun tidak terlepas dari empat dimensi penting dalam pilar wacana yang sudah tersebut di atas. Untuk poin yang kedua adalah tugas dan maksud dari pemaparan paper ini. Dengan memahami bagaimana wacana dan dominasi wacana diproduksi sekaligus sebenarnya bisa menjawab ‘cara kerja ideologi’. Tentu banyak pemikir yang telah mengelaborasi tentang tema ini baik para pemikir klasik mapun kontemporer kritis saat ini lihat saja karya-karya seperti Karl Marx, Jurgen Habermas, Louis Althuser, Antonio Gramsci, Anthony Giddens dll. (5) Apa yang dikembangkan oleh pemikiran-pemikiran kristis tentang wacana dan ideologi tersebut adalah lebih ingin keluar dari anggapan mapan yang meletakkan pengertian ideologi dan wacana sebagai sesuatu konsepsi yang ‘netral’.(6) Mempelajari ideologi bagi konsepsi ‘kritis’ adalah merupakan cara mempelajari bagaimana cara makna dan pembangunan makna secara terus menerus menjalankan relasi dominasi.(7)
Pada paper ini akan dikenalkan dengan sebuah pendekatan kritis yang dielaborasi oleh Joh B. Thompson dalam membaca cara kerja ideologi yang selanjutnya cara kerja bagaimana hegemoni dan dominasi wacana bisa berjalan.(8) Namun sebelum mengurai cara kerja dominasi wacana tersebut perlu lebih dahulu menujukan tiga tahapan penting analisis yang harus dikerjakan (9) : Pertama yakni ‘tahapan analisis sosial historis’, yakni menekuni dan mengelanorasi kondisi sosial historis di mana masyarakat melakukan aksi dan interaksi. Tahapan ini juga sebagai cara amat penting untuk menganalisis kondisi-kondisi sosial historis secara menyeluruh baik ciri-ciri institusional maupun konteks kekhususan sejarah; Kedua, yakni ‘tahapan analisis diskursif’. Tahapan ini merupakan metode untuk mempelajari serangkaian-serangkaian ungkapan , bukan sekedar kejadian yang bersifat sosial dan sejarah, tetapi menyangkut konstruksi bahasa yang menunjukan kebermaknaan sebuah struktur simbol; Tahapan ketiga adalah ‘tahapan interpretasi’ yakni tahapan dalam menafsirkan berbagai diskursif dengan berbagai pendekatan yang ada. Ketiga tahapan ini akan sama-sama digunakan untuk menjadi dasar analisis keseluruhan tentang cara kerja ideologi.
Berkait cara kerja ideologi, Thompson sendiri memberikan beberapa analisis yang bisa dipelajari. Beberapa cara kerja ideologi yang bisa mampu membangun wacana yang dominatif dan asimetris ini adalah : ‘legitimasi’, ‘penipuan’, ‘unifikasi’, ‘fragmentasi’, dan ‘reifikasi’. Tentu masih banyak model cara kerja ideologi yang bisa dipelajari. Namun untuk fokus kajian paper ini kita mulai dengan apa yang dikembangkan dalam buku John B. Thompson. Beberapa cara kerja ideologi ini tidak bergerak sendiri dan dalam beberapa kasus saling berkelindan dan berkait satu dengan yang lain.(10)
Cara kerja ‘legitimasi’ mengandaikan bahwa kekuasaan yang dikembangkan melalui wacana ataupun bahasa merujuk pada kepentingan untuk membangun ‘kepatutan’ dan ‘kelayakan’ dukungan. Apa yang disasar adalah bangunan klaim wacana yang kemudian bisa dinggap absah dan patut menjadi kebenaran yang harus diterima. Erat dan kuatnya pemaknaan pada simbol tertentu ditentukan oleh seberapa jauh simbol sudah dianggap absah dan layak. Model kedua nakni ‘penipuan’ ingin menjukan bahwa makna sejatinya bisa ‘disembunyikan’, ‘diingkari’, ‘dikaburkan’ atau dihadirkan dengan pengalihan perhatian. Modus ketiga, ‘unifikasi’ mengandaikan bahwa relasi dominasi dapat dibangun dan dilestarikan dengan cara vmengkonstruksi tataran simbol dalam bentuk penyatuan yang membawahi individu-individu dalam satu kesatuan identitas kolektif serta tidak mentolerir poerbedaan-perbedaan. Makna simbol, pada dirinya mengandung kehendak untuk membangun persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan sekaligus. Modus keempat adalah dengan ‘fragmentasi’, yakni tidak dengan menyatukan tetapi mengkotak-kotakan. Ada dua cara dalam fragmentasi ini yakni dengan membangun pertentangan, perbedaan dan dan ketidaksamaan (diferensiasi) sekaligus juga dengan menghilangkan sesuatu yang kemudian dianggap ‘musuh’ atau ‘other’ (ekspurgasi). Modus operandi kelima adalah ‘reifikasi’ yakni sebuah modus cara kerja ideologi yang menganggap bahwa ‘relasi dominasi’ bisa dibangun dan dilestarikan dengan menunjukan ‘kesementaraan hubungan kesejarahan’ yang telah diangap permanen, , natural dan abadi. Praktik reifikasi selalu menghilangkan konteks sosial historisnya. Manusia kemudian dianggap sebagai sekumpulan identitas ‘anonim’. Bukan sebagai pribadi yang mempunyai keunikan dan identitas tertentu tetapi hanyalah sekelompok mahluk abstrak yang seragam.(11)
Bentuk dominasi yang dibangun dalam nalar wacana ini merupakan bagian yang amat penting yang harus difahamai di luar bentuk-bentuk dominasi lain yang lebih nampak. Karena bentuk strategi myang digunakan melalui medium bahasa maka tentu saja analisis yang harus dipakai tak sekedar bersifat instrumental belaka. ‘Interpretasi’ dan ‘reinterpretasi’ merupakan cara penting untuk mengunkap berbagai nalar dominasi wacana tersebut. Penerimaan masyarakat atas bentuk dominasi ataupun hegemini kekuasaan tentu saja tidak hanya dibaca dengan sederhana. Ada interpretasi subjek yang juga berperan. Pendekatannya tidak lagi hanya institusional atau norma aturan semata. Bagaimana orang, komunitas, massa atau publik bisa menerima apa yang sebenarnya menjadi wacana dominan tentu tak hanya bisa tertangkap secara institusional tetapi menyangkut peran kekuatan strategi bahasa yang kadang lebih bersifat sangat sublim dalam kesadaran manusia. Tentu saja pemakaina berbagai analisis semisal interaksi simbolik, etnografi, psikologi, sosiologi dan bidang yang lain amat sangat membantu dalam mengurai bentuk-bentuk dominasi dan kekuasaan yang hadir dalam tubuh masyarakat.
(1). Memang harus dimengerti bahwa dimensi ‘komunikasi massa’ hanyalah satu dari sekian dimensi berkait persoalan kekuasaan. Tetapi harus juga diakui bahwa ‘komunikasi massa’ merupakan sarana utama dari perbincangan tentang dominasi wawana di abad modern ini yang amat penting dan berpengaruh. Lihat, John B. Thompson, Kritik Ideologi: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2004, hal. 36.
(2). Tema-tema tentang ‘ideologi’ dan ‘kekuasaan’ merupakan tema sentral yang banyak dikaji dalam analisis wacana kritis. Kekuasaan tidak dipandang sebagai sesuatu ‘netral’, ‘wajar’ atau ‘alamiah’ semata. Kekuasaan dimengerti sebagai sesuatu proses yang dinamis. Pada dirinya maka akan terlihat ketegangan terus-menerus dan membentuk berbagai formasi wacana dalam masyarakat. Lihat, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Penerbit LKIS, Yogyakarta, 2011, hal 11.
(3) Dikutip dari buku Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat : Akar Kekerasan dan Diskriminasi, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal 21. Bahasa dalam pengertian yang diamaksud di sini tidak hanya dimaknai semata sebagai ‘instrumen komunikasi’ tetapi merupakan instrumen tindakan dan kekuasaan.
(4) Praktik sosial di sini dimengerti sebagai hubungan dialektis antara peristiwa diskursus dengan ‘situasi’, ‘institusi’ dan ‘struktur sosial’ yang membentuknya. Lihat, Norman Fairclough dan Ruth Wodak, “Critical Discourse Analysis”, dalam Teun A Van Dijk (ed), Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A Multidisiplinary Introduction, Vol. 2, London, Sage Publication, 1997, hal. 258.
(5) Untuk bacaan awal yang bisa membantu lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi : Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2003.
(6) Dalam konsepsi netral, ideologi dipahami hanya sebagai istilah dan pengertian deskriptif semata yakni sebagai ‘sistem berpikir’, ‘sistem kepercayaan’, ‘praktik-praktik simbolik’ yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Bahasa dan wacana yang dimengeri dalam konsepsi netral ideologi ini juga hanya dimengerti sebagai struktur yang dapat digunakan untuk komunikasi (alat) dan pertunjukan. Sedang konsepsi kritis jauh mamandang bahwa bahasa sebagai fenomena sosial yang melibatkan konflik manusia. Lihat, John B. Thompson, Ibid, hal. 15 – 17.
(7) Lihat, John B. Thompson, Ibid, hal 18.
(8) Untuk elaborasi lanjut tentang pandangan-pandangan kritis Thompson, Lihat, John B Thomposn, Kritik Ideologi: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, Penerbit Ircisod, Yogyakarta, 2004
(9) Lihat, John B. Thompson, Analisis Ideologi : Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, Ibid, hal. 26.
(10) Lihat, Tri Guntur Narwaya, Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2010, hal. 76.
(11) “Anonimitas” inilah yang diberbagai bentuk dominasi wacana selalu digunakan untuk membangun nalar unifikasi yang berbahaya dan di satu sisi juga sejatinya mereduksi manusia hanya menjadi kepingan-kepingan tanpa nama, tanpa bentuk dan juga tanpa identitas. Banyak kasus kekerasan massa dengan mengatasnamakan apapun dan dalam bentuk apapaun sejatinya telah memakai nalar anonimitas sehingga harkat kemanusiaan tidak lagi mendapat tempatnya. Lihat, F. Budi Hardiman, Memahami Negatifitas: Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma, Penerbit Kompas, Jakarta, 2005.
Selamat belajar !
Langganan:
Postingan (Atom)