Ketika Sejarah (Kekuasaan) Berkuasa
Mengetengahkan cerita dan gambaran masa lalu adalah penting untuk membangun wacana ‘ikatan relasional’ antara ‘yang silam’ dengan ‘yang kini’. Legitimasi ‘masa kini’ sangat ditentukan oleh bagaimana ‘masa lalu’ dikonstruksi sehingga terbentang kesejarahan yang saling mendukung. Tidaklah mengherankan jika di mana-mana, penguasaan terhadap gambaran masa lampau menjadi sanga penting untuk penjagaan sistem.
Sedikitnya ada dua cara pengendalian narasi dalam sejarah yang berkait dengan modus kerja ‘narativasi’ dalam ideologi. Pertama, dengan penambahan unsur-unsur tertentu dalam sejarah. Praktik ini bisa dilakukan dengan pembuatan dokumen, buku sejarah, ataupun film yang mengisahkan keberhasilan, kejayaan dan tentu saja mitos-mitos yang menyertainya. Kedua, dilakukan dengan ‘kebisuan sejarah’. Praktik ini sangat berkait dengan pembangunan legitimasi. Sejarah yang bisa diakui benar hanyalah narasi sejarah yang disusun oleh institusi resmi yang ditunjuk negara.
Ada banyak rahasia sejarah yang sengaja disembunyikan untuk kepentingan tersebut. Dibanyak hal, kekuasaan harus menggunakan regulasi hukum resmi untuk mengontrol dan membentengi setiap usaha pembongkaran sejarah. Jika saja kekeliruan dan manipulasi sejarah sampai terbongkar, ia akan mereduksi legitimasi yang ada pada penguasa.
Kekuatan yang sanggup mengontrol dan menguasai isi sejarah, dialah yang mampu membangun opini dan pendapat umum bagi masyarakat. Untuk metode pertama, penguasa benar-benar akan sangat teliti dan jeli bagaimana narasi-narasi sejarah disusun dan diolah. ‘Penipuan’ (dissimulation) adalah salah satu modus operandi ideologi yang lain. Pada praktik ini, relasi dominasi dapat dibangun dan dipelihara dengan cara ‘disembunyikan’, ‘diingkari’ atau ‘dikaburkan’, atau dihadirkan dengan cara mengalihkan perhatian dari proses yang sedang berlangsung.
Sejarah sepertinya tetap menjadi medan pertempuran bagi yang berkuasa dan dikuasai. Ia hidup dan berkembang dalam setiap tarik menarik kepentingan. Sejarah yang kalah tentu saja akan dipinggirkan dan dilupakan. Sejarah yang menang akan dipuja dan dikenang dalam setiap upacara peringatan. Ia menjadi ’bahan ajar’ dan ’matakuliah wajib’ untuk semua saja. Sejarah yang kalah cenderung akan ditutup sebagai bahan bacaan. Kehadirannya adalah barang tabu yang bisa mengusik narasi yang sudah mapan.
Dialektika sejarah dalam praktiknya membawa pertarungan menang dan kalah. Bagi para pemenang, kisah yang bisa membangun legitimasi akan selalu dikenang. Reproduksi sejarah menjadi barang penting untuk dipompakan dalam kesadaran masyarakat. Seberapa jauh benar dan validnya bukan sesuatu yang penting. Bagi kekuasaan, pemanipulasian sejarah tidak lagi ditabukan. Ketundukan dan ketaatan adalah ujung akhirnya. Fakta sejarah yang tidak berkompromi dengan kehendak kekuasaan akan dikubur. Alih-alih membukanya untuk bisa dibaca sebagai keragaman sejarah, ‘sejarah lain’ adalah hantu yang bisa mengganggu kekuasaan.
Dalam kacamata ideal sejarah, kebenarannya tidak bisa berwujud tunggal. Kebenaran sejarah selalu hidup unik dengan seluruh keragamannya. Problemnya, sejarah pinggiran seringkali jauh dari penghormatan. Banyak kebenaran justru bisa digali di sana. Lebih jauhnya, menuliskan sejarah dengan benar merupakan jawaban kongkrit untuk mengembangkan peradaban manusia lebih adil. Cita-cita rekonsiliasi selalu membutuhkan ruang politik yang demokratis. Walau usaha kearah sana akan berhadapan dengan sekian tantangan, memberi kesempatan luas untuk ’ruang tutur korban’ merupakan langkah yang sangat tepat.
Pertanyaan besarnya, bagaimana sejarah bisa ditempatkan secara benar dalam ruang politik yang despotik dan otoritatif? Seperti yang digagas oleh Heather Sutherland sebagai “historizing history”, penting sekali menempatkan sejarah dalam konteksnya yang benar. Upaya ini barangkali terkesan sangat utopis. Negara sebagai medan ketegangan belum menunjukan keperpihakan tersebut. Wajah kongkritnya bisa ditengok dalam isi pendidikan sejarah. Buku sejarah secara umum masih syarat dengan berbagai bias kekuasaan. Apa yang pernah dipaparkan oleh McGregor dalam buku ‘Ketika Sejarah Berseragam’ barangkali masih relevan, pengajaran sekolah masih sering dimaknai menjadi proyek bahasa negara ketimbang proyek pencerahan bagi siswa untuk memahami realitas hidup sejarahnya dengan benar.
Meskipun beberapa metodologi pendidikan sudah mengalami perkembangan, pengajaran sejarah masih berlaku timpang. Pengajaran bahkan lebih baik menghindar dari perdebatan-perdebatan kontroversial. Polemik sejarah yang seharusnya dibaca lebih proposional, tetap saja diterabas dengan begitu saja. Ada fakta lain yang terus-menerus “disembunyikan” dengan berbagai pertimbangan politis ketimbang rasionalitas ilmiah. Sejarah masih belum mendekat pada nasib mereka yang dihilangkan dari historiografi indonesia. Sejarah menjadi sekedar catatan peristiwa yang tidak hidup. Sejarah menjadi mengasingkan diri dari jantung cita-cita sejarah sebenarnya.
Dalam beberapa kasus, sejarah bagi McGregor sejarah tidak luput dari proses pembinasaan ‘sejarah lain’. Sejarah menjadi “berseragam” dalam pengertian sebenarnya, karena kekuasaan mampu memaksa homogenisasi sejarah dengan berbagai politik kontrolnya seperti pengendalian yang ketat terhadap media dan pendidikan, manipulasi pemilihan umum, pengurangan kebebasan berpendapat, dan tradisi menggunakan militer untuk menangani apa yang disebut sebagai “ancaman terhadap keamanan nasional”. Apa yang dianggap berseberangan dengan “sejarah resmi” akan segera ditutup, dilarang dan dibreidel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar