Rabu, 24 Februari 2010

Catatan Pengantar untuk Karya Rosalia

St Tri Guntur Narwaya
Pengantar Penulis

Untuk Karya Akhir Riset Rosalia Primarini Nurdiarti
Mahasiswa Akhir Ilmu Komunikasi Atmajaya Yogyakarta

Judul :
Studi Potret Pendidikan dalam Puisi
(Studi Semiotik atas kondisipendidikan di Indonesia dalam puisi "Potret Pembangunan dalam puisi karya W.S Rendra)



To Tell the Truth is Revolutionary
(Antonio Gramsci)


Bagaimana “ingatan” dan ”pengetahuan” saat ini bisa terbang jauh dalam usaha menangkap situasi jaman yang sudah berlalu? Bagaimana pikiran saat ini bisa menyentuh berbagai gagasan, pikiran dan jiwa kata-kata yang sudah sekian lama hadir? Kalaupun secara fisik kata-kata, kalimat-kalimat dan ucapan-ucapan itu masih terekam dengan baik, belumlah berarti bukti bahwa ”saat ini” bisa diangap memahami ”masa lalu”. Inilah problem tersulit dan sekaligus paling menantang berbagai studi tentang berbagai kejadian masa lampau termasuk kajian tradisi ”semiotika”. Disiplin ilmu seperti tradisi ilmu sejarah merupakan salah satu kajian yang paling banyak harus berhadapan dengan problem ketegangan-ketegangan ini.

Perspektif baru metodologi sejarah yang saat ini berkembang masih juga sarat menyisakan perdebatan tentang bagaimana posisi ”sejarawan” harus menempatkan diri dalam usaha besar menemukan pendekatan sejarah. Sudah banyak perkembangan dan terobosan baru untuk mendorong sejarah keluar dari mainstream dan tendensi ”positivistiknya” yang sekedar menampilkan etalase data ketimbang usaha membangun kembali kepentingan sejarah yang benar. Kecuali bahwa mainstream pendekatan sejarah yang dominan masih berkecenderungan elitis dan selalu memihak kekuasaan, sejarah semacam ini kerap kali hanyalah bagian dari upaya membangun dominasi kekuasaan yang asimetris.

Kecuali bidang sejarah, kajian yang tidak luput dari problem pengungkapan masa lalu adalah dunia pendekatan dan tradisi sastra. Ketika seseorang dipaksa untuk mengkaji dan memahami sebuah karya sastra masa lalu, seseorang peneliti (penafsir) dengan apapun pendekatannya, ia harus memposisikan diri dalam spektrum horizon yang lebih luas. Sang penafsir harus juga mampu sejenak kembali ke belakang masa lalu dan sekaligus tidak melepaskan kerikatan dengan spirit jiwa saat ini. Dengan posisi semacam ini peristiwa-peristiwa masa lalu akan sanggup tertangkap dan dihayati dalam konteks saat ini.

Memang tidak ada sebuah epistemologi baku yang bisa menjadi klaim paling sempurna akan usaha pencarian jiwa dari peristiwa masa lalu tersebut. Sejajar dengan watak peristiwa jaman yang tidak bisa dimaknai dalam kesempurnaan penafsiran, maka kecenderungan akan hadirnya tafsir masa lalu yang beragam menjadi sebuah keniscayaan. Kecenderungan ini membentuk ruang tarik-menarik antar berbagai tafsir yang muncul. Usaha mengangkat cukilan-cukilan karya masa lalu yang sekaligus hidup dalam konteks waktu yang ”sudah lewat” adalah pekerjaan yang rumit dan tidak cukup mudah. Apa yang ingin kita gali dari ”makna” masa lalu telah bercampur dengan ”makna masa kini” yang juga bertebaran dalam medan tafsir kita. Bagi seorang peneliti yang ingin mengeksplorasi ”makna” sebuah karya masa lalu dengan sendiri telah mebuka ”ruang dialog” dengan berbagai makna masa kini.

Melalui sebuah pendekatan ”semiotika” karya riset ini mencoba dan berusaha ingin melihat sebuah makna karya sastra dengan potret peristiwa yang telah melahirkannya. Tentu yang cukup menarik dan menantang, karya sastra itu hadir dalam rentang waktu yang sudah cukup lama dengan sekian problem dan dinamika masalah yang kompleks turut sekaligus menyumbang lahirnya karya-karya sastra . Beberapa puisi karya sastra tahun 1970’an WS Rendra yang banyak mengangkat tema-tema pendidikan diangkat sebagai titik fokus dalam riset ini. Dengan menjelajah makna karya puisi Rendra maka, serta merta riset penelitian ini sebenarnya akan mengaja untuk memahami bagaimana Rendra dengan puisinya memahami dan mengartikulasi segala pesannya dalam konteks yang ia hadapi waktu itu.

Seperti yang seharusnya menjadi harapan akan ditemukan totalitas makna, maka tugas memahami puisi harus bisa menangkap dua variabe penting dan mendasar yang harus dieksplorasi lebih dalam. Pertama, yakni tentang ”ruang batin” dan konteks sejarah yang mnjadi latar sebuah karya hadir. Kedua yang tidak kalah penting adalah variabek ”internal teks” yakni dimensi linguistik itu sendiri. Dalam kacamata struktural sebuah teks adalah, memiliki dasar-dasar pengertian yang saling terkait antara teks yang satu dengan teks yang lain. Totalitas memahami makna teks karya sastra selalu berangkat dari interrelasi variabel pengaruh yang saling menentukan.

Tidak ada sebuah bahasa teks yang pada hakekatnya berdiri secara stabil, permanen dan absolut. Sebuah teks bukanlah ”nomenclatura” yang tidak tergoyahkan. Sebuah teks pada prinsip poststrukturalis tidaklah mempunyai pengertian pada dirinya sendiri. Ia selalu ditentukan dan dipengaruhi oleh kondisi dan setting tertentu. Ia akan merujuk pada sesuatu yang menjadi proses pembentukan sebuah teks. Kesadaran semiotik sebagai buah kesadaran yang memaham teks sebagai yang bersifat ”formal”, ”kultural” dan ”relasional”. Jika seseorang mengatakan sesuatu ”kata” tertentu sejatinya ia sedang merujukan pada entitas seuatu yang lain. Di sinilah pengertian teks sebaga yang ”formal” dan bukan yang ”substansial”. Dimensi kultural lebih mempertegas pengertian bahwa ”maknna teks” akan bisa berubah dan berkembana. Apa yang bisa merubahnya adalah berbagai konteks historis di mana berbaga kepentingan sosial. Politik, budaya dan lainnya telah ikut mempengaruhi keberadaan makna teks. Dan pengertian yang ”rasional” lebih memberi dasar pemahaman bahwa teks akan selalu berinteraksi dan berdialektika dengan berbagai teks yang lain.

Ketika seseorang hendak melihat sejauh mana pengertian makna dari sebuah hamparan teks maka sudah ssemestinya menyertakan ”tiga kesadaran semiotika” yang menyadari sepenuhnya bahwa sebuah teks tidaklah barang mati yang tidak bisa diutak-atik dan direinterpretasikan kembali. Kesadaran semiotika ini yang merupakan modal bagi seseorang untuk bisa memahami makna teks bukan hanya pada ”hal ihwal pengertian semata” tetapi jauh melampuinya untuk memahami ruh dan jiwa sebuah setting historis tertentu. Ungkapan bahasa sastra lebih mampu untu membantu memahami ruang batin jaman karena sifat dirinya yang bisa menerobos batas-batas logika bahasa yang kadang memenjara. Keluwesan bahasa satra nampak pada kemampuannya untuk melampui kekeringan bahasa yang biasa ditunjukan dalam rasio-rasio mekanis yang banyak mengasah logika berpikir ketimbang kedalaman pemahaman.

Karya riset ini sekaligus meyakini bahwa melalui penelusuran berbaga makna teks-teks sastra maka akan bisa membantu bagaimana manusia bisa memahami sebuah ruang jaman ”mengada”. Ketika pesan masa lalu tertangkap maka akan membantu dalam melewati masa kini. Dua beban yang harus ditanggung dalam riset ini adalah menemukan interelasi makna teks dengan situasi kongkrit masa lalu tanpa hanya meletakkan sebagai etalase data yang dipaksakan dan pada kenyataannya tidak saling terkait sama sekali. Sebagai salah seorang sastrawan, WS. Rendra bisa diletakkan menjadi bagian dari ”penafsir sejarah”. Ia ingin mengatakan tentang ”sejarah” yang dilaluinya melalui sebuah karya puisi. Dengan begitu riset ini sekaligus sebenarnya ingin menjawab kebutuhan pengungkapan dua sejarah sekaligus yakni sejarah tentang teks sastra WS Rendra yang pernah muncul dengan berbagai makna yang dihadirkan dan juga seting sejarah yang menjadi ruang hidup di mana karya Rendra juga pernah dihadirkan. Dengan pendekatan semiotik, riset penelitian ini sekaligus meyakini bahwa ”yang lalu” bisa diangkat dan diinterpretasikan kembali dalam spirit dan semangat masa kini.

Tidak ada komentar: