Rabu, 24 Februari 2010

Merebut Makna (Politik) Gerakan

Merebut Makna (Politik) Gerakan
(Reorientasi Kritis Gerakan Mahasiswa
Mengatasi Kemandegan Teoritik)


Oleh : ST Tri Guntur Narwaya, M.Si



Anda dapat melawan serbuan bala tentara…
tetapi anda tak dapat menahan gagasan yang tiba
tepat pada waktunya
(Victor Hugo)


Diskursus tentang bagaimana sebuah ’gerakan kaum muda’(1) dimimpikan bisa sanggup melakukan kejutan-kejutan perubahan masih tetap menarik untuk didiskusikan. Tidak sekedar untuk mencukupi nafsu kegemaran dan nalar kegenitan bermain-main dalam spekulasi-spekulasi teoritik, tetapi meletakkannya menjadi bagian utuh dari proses pembacaan gerakan secara jangka panjang. Membaca kembali bagaimana wajah peta perubahan yang berjalan dengan mengkaitkan pada keseluruhan pergolakan penting sejarah, merupakan cara penting untuk membangun evaluasi dan reflektif gerakan. Keyakinan ini merupakan jantung dari premis penting bahwa kebersatuan dari ‘teori’ dan ‘praksis’ untuk mengawal gerakan adalah nalar fondasi yang sangat krusial.(2 )

Mengapa kita perlu serius untuk memikirkan dasar problem gerakan ini? Barangkali ada dua pertimbangan penting yang hari-hari ini sangat mendesak untuk digagas. Pertama, menyangkut kondisi ‘objektif’ gerakan dan terutama situasi kongkrit lingkungan politik di mana entitas organisasi gerakan hidup. Kondisi objektif yang dimaksudkan juga menyangkut serluruh persoalan kekinian yang dihadapi oleh seluruh masyarakat berkait dengan dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik jamannya. Potret secara empiris bagaimana nalar lingkungan ini bekerja merupakan medan penting untuk dikupas. Kedua, menyangkut kondisi ‘subjektif’ gerakan rakyat. Ia merupakan pembacaan terhadap kekuatan-kekuatan politik strategis yang posisinya dimaknai sebagai kekuatan-kekuatan perubahan. Entitas ini terdiri dari berbagai jenis, pola, bentuk, strategi dalam berbagai kekuatan yang menyebar termasuk ‘gerakan pemuda/mahasiswa’.

Jika ditarik pada pengalaman sejarah politik gerakan di Indonesia, memang tidak akan pernah bisa membaca problerm ini secara tunggal atau diametral belaka. Seperti halnya dalam melihat gambaran hidup masyarakat, banyak terjadi pola ketegangan, kerumitan, perbedaan dan tentu keunikan-keunikan tersendiri untuk membaca wajah dinamika gerakan secara lebih mendalam. Apa yang kemudian bisa penting membantu adalah bagaimana membacanya secara kritis dalam kecenderungan pola-pola, katagorisasi, tipologisasi atau juga eksplorasi-eksplorasi fakta sosial gerakan yang lebih luas.(3)

Sudah lebih sepuluh tahun lebih perjalanan reformasi berjalan, sebenarnya sudah harus cukup memberi banyak catatan bagi bangsa. Bagi gerakan pemuda/mahasiswa, menjadi penting untuk membaca kembali berbagai perubahan selama waktu yang sudah panjang itu. Terpenting yang harus dimulai dalam setiap refleksi adalah keberanian diri untuk membangun otokritik bagi tubuh gerakan. Bisa jadi mentalitas otokritik belum membudaya dalam sikap gerakan. Sikap kebijakan ini tidaklah sama dengan sikap menyalahkan diri sendiri dan larut dalam sikap kenaifan untuk tidak mau kritis terhadap dimensi-dimesi pengaruh yang lebih besar. Otokritik gerakan memberi kunci pendalaman analisis pada proses dan bentuk gerakan yang diambil. Otokritik gerakan selalu bersentuhan dengan apa dan bagaimana pilihan-pilihan ideologi, pilihan politik dan juga format organisasi gerakan harus dibangun.

Sejarah persentuhan politik dengan gerakan pemuda/mahasiswa memberikan catatan penting dalam pergumulan negara dalam skala yang lebih luas. Sejarah politik Indonesia memberi banyak bahan bagaimana keterlibatan kaum muda ini bisa dibaca dalam konteks ruang waktu yang terus berkembang. Persentuhan dengan semangat awal kemerdekan, mendorong letupan cita-cita ’nasionalisme’ dan ’patriotisme’ menjadi ruh gagasan yang dibawa secara heorik. Semboyan kecintaan tanah air (patria) terus didorong untuk mengawal transisi politik menuju kemerdekaan. Tidak salah jika kemudian hampir seluruh entitas gerakan kaum muda pada waktu itu selalu bangga mengusung panji-panji perlawanan terhadap setiap ganguan atau ancaman terhadap ’kemerdekaan’ tanah air.

Kondisi mengalami perubahan, ketika fase politik yang hadir memberi banyak ruang dalam polemik-polemik domestik internal berkait dinamika politik untuk mengisi kemerdekaan. Sekiranya fase 1928 kearah sekarang situasi itu belum justru mengalami penurunan daya energi gerakan. Terutama fase transisi 1966 dengan segala polemik tragedi yang luar biasa menghancurkan seluruh dimensi dasar politik. Renegosiasi politik dominan menampilkan wajah-wajah konfliktual dalam merebut posisi-posisi kekuasaan. Kalaupun ada semangat nasionalisme yang bertahan, kadarnya barangkali telah berubah dan tergerus dalam subordinasi kepentingan pragmatis belaka. Kesetiaan pada persatuan dan nasionalisme yang mengerucut pada pemberhalaan negara secara membabi buta (chauvinis) sesudah memasuki kadar yang genting terutama masa-masa kekuasaan Orde Baru. Mobilisasi terhadap kesetiap negara berbareng dengan gencarnya usaha depolitisasi gerakan pemuda/mahasiswa yang ditempatkan sebagai entitas yang ’jinak’.

Perjalanan satu dasawarsa reformasi 1998 belum memberikan kabar baik apapun. Kemandegan bukan semata karena proses itu belum berjalan tetapi karena secara ’ontologi’ dan ’epistemologi’ tawaran reformasi membawa cacat bawaan yang cukup besar. Parahnya bahwa ’ilusi reformasi’ begitu sering dipercaya menjadi ’kata kunci’ untuk membaca maju atau tidaknya gerakan. Apa yang terjadi masa reformasi dan sesudahnya bukanlah tawaran yang kongkrit mampu memecahkan ’kontradiksi pokok’ persoalanan bangsa Indonesia. Kepercayaan kepadanya hanya akan membawa ilusi yang berlebihan dan menjatuhkan gerakan pada harapan-harapan yang palsu. Proses ini justru secara mendasar akan terus-menerus menjadi kelemahan yang amat besar bagi capaian gerakan. Konsekuensi ini terasa dalam semakin melemahnya kekuatan-kekuatan perubahan dan semakin solidnya mesin-mesin kekuasaan.


Politik Penjinakan : Keberulangan Sejarah.

Marginalisasi gerakan ini pada saat yang sama membawa kepentingan pragmatis untuk menjinakkan kekuatan progresif intelektual secara keseluruhan. Secara politis mahasiswa disterilkan untuk diarahkan mengunakan tafsiran-tafsiran dan epitemologi gerakan yang taraf lebih besar tidak ’mengganggu’ pada kemapanan kekuasaan yang sudah ada. Cara ini bisa menggunakan berbagai pola-pola dari mobilisasi politik partisan sampai melemparkan mahasiswa menjadi entitas ’massa mengambang’ yang benar-benar dibutakan secara politik. Saat ini, kondisi belum bergeser dari problem pokok terbesar ’gerakan pemuda/mahasiswa’ yakni mudahnya tergelincir dalam politik penjinakan kekuasaan. Sejarah kembali berulang, di mana mereka yang kritis dan lantang berteriak di jalan menyuarakan ’perlawanan’ harus mudah luluh dan terbuai fasilitas kekuasaan.

Tentu tidak semerta-merta mudah untuk memberi vonis atas terciptanya watak-watak oportunisme dan pragmatisme gerakan ini. Kecenderungan ini hanya bisa dibaca dan diletakkan dengan melihat entitas tubuh gerakan secara lebih utuh. Tentu tidak boleh meninggalkan faktor pentingnya pembacaan dialektika kesejarahan yang sarat dengan berbagai kontradiksi kepentingan yang membentuk termasuk di sana adalah pentingnya kebudayaan. Kebudayaan yang lebih dimaknai sebagai ruang dan pergulatan hidup kongkrit dari sebuah jaman. Sebuah kebudayaan yang tentu kehadiranya tida bisa ’steril’ dan ’bebas nilai’ dari berbagai konfrontasi dan konflik.

Yang sedikit bergeser pada wajah gerakan pemuda/mahasiswa bukan hanya semakin redup dan sepinya teriakan-teriakan untuk berkata ’tidak’ bagi segala bentuk penindasan, tetapi lebih jauh adalah kering dan sepinya gagasan-gagasan imajinatif baru untuk tawaran-tawaran perubahan yang lebih maju berhadapan dengan kekuasaan yang cepat bermetamorfosis. Ada basis dasar yang penting dan saat ini kerap dilupakan yakni ’tradisi intelektual’. Kalaupun saat ini masih tetap ada, derunya kian redup tergencet oleh bombardir tradisi-tradisi baru yang lebih menggiurkan dan kadangkala dianggap sesuatu yang menguntungkan secara duniawi. Kaum muda lebih akrab dengan sepatah-sepatah bahasa yang instant ketimbang harus bersibuk diri dengan belajar kedalaman. Pemuda/mahasiswa akan lebih tertarik untuk menjiplak, meniru dan menghafal ketimbang harus repot-repot untuk menggali jauh dasar-dasar teoritik bagi asumsi-asumsi yang dibangun. Ada referensi kultural yang hilang, yakni kultur intelektual tentang pentingnya belajar atas pendasaran teoritik dan praksis pengalaman.

Setidaknya Subcomandante Marcos, pejuang tanah adat Chiapas Mexico pernah memberi pelajaran berharga bahwa ”gagasan bisa menjadi senjata”.(4) Imajinasi dan gagasan yang keluar dari rahim kebutuhan untuk keperpihakan tentu merupakan tiang penting untuk membangun senjata-senjata perubahan. Keberulangan kaum intelektual tergelincir lubang yang sama dalan gelayut kekuasaan, memberi gambaran sebagian pantulan ekspresi dari patahnya gagasan, ketidaksabaran, chauvistik, watak kelas dan kebuntuan untuk merumuskan gagasan-gagasan kongkrit yang mampu menerobos kemungkinan-kemungkinan perubahan yang masih terbuka lebar.

Macetnya harapan akan keberhasilan perjuangan politis seringkali bergayung sambut dengan hadirnya bujukan dan tawaran kekuasaan yang medorong potensi laten anasir-anasir oportunisme yang kerap menelikung dengan begitu mudah. Apologi yang kerap terdengar atas sikap ini tidak jarang harus menyentuh pada aspek pilihan epitemologi gerakan. Sebuah polemik yang akhir-akhir ini masih sering muncul dalam perdebatan tentang metodologi gerakan ketimbang wujud bukti gerakan itu sendiri. Apalagi tipologi gerakan pemuda/mahasiswa sampai saat ini masih dominan membangun pola-pola ’reformis’ dengan ketiadaan prinsip ’ideologi kelas’ yang jelas. Watak abu-abu sering hanya membawa pada kemungkinan terjadinya ’pembusuka’ politik gerakan yang mengganggu kepercayaan massa kepada gerakan pemuda/mahasiswa.


Kritik Kekinian : Berani Membongkar Mitos Kekuasaan

Penting mengawalinya dengan membaca situasi riil yang saat ini hadir dalam masyarakat. Jika dicermati dan harus digarisbawahi, ada catatan keprihatinan luas biasa yang dihadapi oleh Indonesia sebagai bangsa sekarang ini. Apa yang pernah dicita-citakan dalam spirit reformasi yakni perlunya perubahan mendasar atas segala kondisi kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan masih berhenti di tengah jalan. Ekspetasi perubahan itu seakan terbentur tembok yang cukup tebal. Ia tidak pernah dijawab di tengah situasi ekonomi politik yang tidak lagi mernunjukan perbaikan. Panggung Indonesia tetap saja menunjukan relasi yang timpang. Peminggiran masyarakat oleh dominasi kekuasaan dengan segala manifestasinya masih saja berlangsung. Angka kemiskinan terus menaik. Harapan atas tuntutan keadilan hidup yang layak bagi seluruh masyarakat masih jauh dari tercukupi. Disparitas keadilan dan kesenjangan sosial makin melebar dan ekstrim.

Ketergantungan politik ekonomi, hegemoni asing dan ketiadaan kewibawaan, kemerdekaan dan kemandirian menjadi karakteristik khas setiap generasi kekuasaan. Bahkan dibanyak kesempatan, wajah kekuasaan semakin mernunjukan rupa angkernya dengan ekspresi-ekspresi kekerasan yang menjadi habitus hari-hari ini. Tiap hari kekuasaan negara tidak pernah absen untuk menggusur hak-hak dasar masyarakat. Di ujung lain, akses kesempatan terhadap rakyat miskin semakin terkunci rapat. Agenda-agenda perubahan selalu berbentur dengan kecerdikan kekuasaan untuk selalu mudah berkelit dan menghindar.

Nyaris tidak ada pembaharuan mendasar pada komitmen negara. Alih-alih ada peningkatan harapan kesejahteraan, wajah politik hanya penuh sesak dengan drama teater politik yang manipulatif, ilusif dan hegemonik. Negara makin kehilangan ‘elan mandatnya’ untuk berkewajiban memberi jaminan penuh atas hak-hak dasar bagi seluruh warganya. Inilah rupa kekinian dari panggung politik ekonomi yang dibangun negara. Keresahan ini semakin hari semakin berkembang. Ada potensi-potensi krisis luar biasa yang lebih massif dan meluas yang bisa dirasakan masyarakat.

Jika kondisi objektif itu disandingkan dengan pengaruh pada gerakan, seakan dia mempunyai garis determinasi yang kuat. Ilusi besarnya selalu mengacu pada prinsip keyakinan bahwa setiap krisis ataupun absolutisme kekuasaan akan pasti mendorong lahirnya penolakan, kritik dan resistensi. Tetapi jika premis ini kita letakkan untuk membaca kondisi gerakan saat ini, terlihat ada ruang kosong yang masih menimbulkan pertanyaan. Bukan berarti menafikan bahwa ‘resistensi’ itu tidak sepenuhnya hadir, tetapi bahwa wajah kontradiksi itu belum sertamerta memanifestasi dalam membesar dan menguatnya gerakan.(5) Pada titik inilah, perlu kiranya secara kritis membaca kembali “wajah evolusi dan transformasi kekuasaan” satu sisi dan pentingnya mengupayakan “metamorefosis gerakan” dalam sisi yang lain.

Mengapa dua variabel ini penting di awal dikemukakan? Pertama, dalam kenyataan, meskipun esensi yang dibawa oleh kekuasaan sama, tetapi pola, modus dan wajah kekuasaan selalu berkembang dalam berbagai manifestasinya. Ia bisa merupa pada wujud yang paling ‘sublim’ sampai yang paling ‘vulgar’. Kekuasaan adalah relasi produktif (6)yang dimatangkan oleh situasi sejarah terkhusus oleh kontribusi lawan-lawannya. kekuasaan belajar banyak dari kesalahan dan kritik. Di sanalahlah wujud kekuasaan tidak pernah ‘stagnan’ dan’ final’. Ia bisa bermetamorfosis dalam rupa dan taktik apa saja. Dari ujung yang dominatif sampai ujung yang paling hegemonik.

Mengandaikan pola kekuasaan adalah ‘ajeg’ dan tidak berubah adalah nalar mitologi yang kadang justru mermbuat gerakan terlena, cepat puas, tidak belajar, gagap dan ahistoris. Kedua, integreasi ‘teori’ dan ‘praktik’ yang harus diusung oleh gerakan mengandaikan sebuah pelibatan diri sepenuhnya pada jantung dinamika historis, kultural, struktural dan relasional sejarah yang terus berkembang. Kekuatan politik gerakan semestinya harus mampu menjawab seluruh tantangan dinamika teresebut. Dengan begitu, eksplorasi dan pengembangan gerakan selalu menjadi kebutuhan yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak berarti larut dan bersifat kompromi adaptif, tertapi cerdik dan kritis menempatkan strategi gerakan dalam spirit dan tuntutan jaman yang tepat.


Menegaskan Tantangan di Depan Mata

Menarik kepada kesadaran yang lebih dalam, problem sosial bukanlah entitas yang secara otonom mampu berdiri sendiri. Problem sosial bukan lahir tiba-tiba, melainkan hasil dari bentukan sejarah panjang. Ia adalah produk pergulatan seluruh mata rantai dalam dinamika sejarah masayarakat. Problem sosial selalu bergerak. Ia akan lahir dalam setiap kontradiuksi yang berjalan. Setiap peristiwa, kejadian ataupun problem sosial harus dibaca dalam jantung kesadaran teoritik ini.(7)

Hari-hari ini, masyarakat berhadapan dengan problem maha besar dari proses perjalanan pengelolaan dunia yang serba timpang. Laju globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh rakyat. Rakyat berhadapan dengan imperium yang berhasil mendikte seluruh aktifitas hidup planet ini. Sejak rezim neoliberal digulirkan menjadi kredo tunggal,(8) mainstream perspektif yang ada telah mandul untuk menjadi alat pembentuk kesadaran kritis. Banyak kekuatan rakyat mudah dilumpuhkan. Penguasaan pengetahuan dan cara berpikir rakyat telah menjadi modal atas relasi ketimpangan yang ada. Di satu sisi, negara begitu mudah terkooptasi oleh nalar-nalar kekuasaan. Mereka selalu terepresi pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan hegemonik.

Relasi kuasa yang timpang mempengaruhi semakin lemahnya ’rakyat’ untuk mendapat akses. Banyak kebijakan negara yang semakin berjarak dengan realitas hidup rakyat. Imperium neoliberal dengan motif keuntungannya selalu memasang tembok kuat untuk kebertahanannya. Siapapun yang menghambat bagi pasar akan disisihkan dan tanpa ampun harus ditiadakan. Disanalah watak kritis terhadap kekuasaan dianggap sebagai sumber masalah. Karakteristik neoliberal banyak membentuk kesadaran massa yang terfragmentasi. Budaya individualisme, egoisme dan hedonisme lebih gemar dipuja. Masyarakat diletakkan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi.Tatanan dunia yang serba timpang ini tidak jarang justru dilanggengkan sebagai cara menjamin keberlangsungan ketergantungan. Sebagaimana corak masyarakat yang berkelas, mayoritas rakyat seringkali harus ‘dikorbankan’ demi lancarnya arus pasar


Pergolakan Melawan Hegemoni dan Konflik (Perebutan) Makna

Sejarah kekuasaan berhasil memberi imajinasi tersendiri bahwa pemuda/mahasiswa adalah aktor perubahan (agen of change). Kesan makna semacam ini memberi sugesti besar bahwa gerakan pemuda/mahasiswa seakan memang mempunyai potensi maha besar untuk merombak kemapanan dengan fundamental. Di beberapa diskursus politik, penggulingan setiap rezim amat dilekatkan dengan peran sentral pemuda/mahasiswa. Premis semacam ini tidak keseluruhan salah,(9) tetapi perlu mendapat catatan kaki. Pertama, sejarah evolusi dan transformasi sistem politik nasional belum pernah mencatat sedikitpun secara sempurna bahwa peran dan kekuatan itu berdiri mandiri dan dominan.(10)

Tentu penting memberi catatan mengapa lahir imajinasi demikian. Perlu diketahui, persentuhan gerakan pemuda/mahasiswa seringkali mendapat ‘lahan subur’ pada momen dan kondisi krisis politik. Krisis telah menyeret keterlibatan sektor menengah untuk mengambil bagian tanggungjawab. Kontradiksi penting yang nampak bukan pada berduyunnya pemuda/mahasiswa di jalan, namun kondisi objektif sejarah yang memberi kontribusi pada berbagai pergolakan yang muncul. Kesan membesar-besarkan seringkali menjebak pemuda/mahasiswa dalam perangkap diskursus yang sengaja dimainkan kekuasaan. Catatan kaki ini bukan untuk menafikan unsur penting proses gerakan.

Kedua, jika kritis dan lebih mendalami, pemuda/mahasiswa sesungguhnya berdiri dalam sektor dengan sekian tarik-menarik kepentingan yang kompleks. dengan 'jenis kelamin' yang tidak sejeniss. Ia hanya bagian dari salah sektor sosial yang maih terfragmentasi dalam berbagai kepentingan yang tidak tunggal. Pada poin ini, ia bisa dinyatakan pula sebagai "golongan yang memiliki potensi energi gerak yang luar biasa sekaligus masih mudah mengalami kebimbangan" dan mudah untuk mereposisikan dirinya dalam kecenderungan kepentingan yang berbeda bahkan kontradiksi. Maka mempersepsikan bahwa pemuda/mahasiswa adalah sektor perubahan yang berjenis kelamin sama, pada dasarnya masih lemah secara teoritik. Universalisasi makna ini seringkali membuka banyak bias terhadap ilusi kepentingan yang hegemonik

Ketiga, meminjam perspektif Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe tentang hegemoni (11) dalam kaitan "diskursus", maka 'universalisasi' makna tentang 'peran mahasiswa' yang sebenarnya hanyalah bagian "partikular" dan sekian partikular yang lain merupakan modus tahapan hegemonik dan representasi makna bekerja. Dan karena diskursus bagi Laclau adalah bersifat "contingent" maka representasi semacam ini mudah rentan terhadap bias kepentingan politik siapa dan demi apa artikulasi dan pemaknaan ini dirumuskan.

Fakta beberapa kejadian politik memberi ilustrasi yang bagus, "ketika pemuda/mahasiwa hadir dengan identitas kolektifnya, maka subjektifitas politik sebagai perumusan identitas "kita" yang membedakan dengan "the other" (mereka) dengan sendirinya muncul. Artikulasi ini berdampingan dengan gesekan artikulasi makna yang lain misalnya tentang wacana "aksi yang baik". "demo tampa penyusupan" dan "aksi murni" yang mengarah pada artikulasi makna "pemurnian aksi politik mahasiswa". Maka di luar dari rumusan itu akan disebut "penyusup", "pendompleng", atau "provokator".

Tentu bagi kekuasaan, ruang ‘kontingensi atas makna’ akan mudah untuk diintervensi. Atas kepandaian rezim pula maka garis batas pemaknaan diciptakan semisal bahwa "seyogyanya aksi harus dijaga agar tidak dimasuki oleh pihak-pihak ketiga". Jika dalam kacamata teori hegemonik Laclau, proses ini sudah merupakan "subversi diskursus hegemonik" di mana subjek-subjek mahasiswa juga "dipaksa" untuk mengambil pemaknaan dari artikulasi yang sudah dibentuk sebelumnya. Tidak ayal dalam banyak kasus, proses intervensi pemaknaan ini mulai banyak membelah dan memfragmentasi berbagai kekuatan gerakan mahasiswa.

Lantas, siapakah yang dicurigai sebagai penyusup dan pendompleng? Apakah orang-orang yang tidak masuk dalam katagori artikulasi makna itu kemudian menjadi "the others" dari identitas sebuah aksi mahasiswa? Menghindari pihak-pihak ketiga yang memang secara riil hanya untuk membajak kepentingan nilai yang diusung mahasiswa tentu baik. Tetapi, kecenderungan menghindar dari pihak ketiga bukankah segaris dengan artikulasi "menjaga jarak" dengan yang lain dan menciptakan "esklusifitas" gerakan. Padahal dalam kenyataan, kita hanya bagian dari "partikular kecil" yang hidup dalam ruang-ruang ketegangan dan lagi-lagi kita bukan aktor satu-satunya perubahan.

Keempat, jika dibalik logikanya, maka artikulasi ini bisa mengatakan bahwa penguasa sebenarnya takut ada pihak-pihak ketiga yang menyusup dalam kepentingan mahasiswa. Diam-diam apa yang ditakuti oleh kekuasaan sebenarnya justru ‘pihak ketiga’. Apa yang kemudian dimaksudkan sebagai ‘penyusup’, ‘provokator’, ‘pendompleng’ bisa jadi hanya bagian modus stigmatisasi seperti halnya yang terjadi pada stigma komunisme atau terorisme yang kerap diusung penguasa untuk memberi tanda bagi oran atau kelompok yang perlu dipinggirkan. Lepas apakah dia mahluk yang kongkrit atau hanya politik makna, dalam banyak hal ia telah mendorong terjadinya jarak dan pemisahan secara sistematis antara mahasiswa dengan masyarakat.

Kembali meminjam pemikiran Ernesto Laclau, representasi dan artikulasi makna dalam membangun 'identitas gerakan', dalam perjalanan historis bisa bergeser dan berubah. Titik penting ‘counter hegemony’ seperti yang diserukan Gramsci menjadi relevan. Kekuatan masyarakat dan mahasiswa bisa mematahkan dan mendekonstruksi artikulasi yang hegemonik ini. Artinya kita bisa mengambil kesimpulan secara tegas bahwa "memurnikan gerakan mahasiswa dari keterlibatan pihak ketiga" bisa saja justru upaya pemangkasan sistematik terhadap 'menyatunya seluruh gerakan rakyat yang terpinggirkan". Relevansinya pentingnya adalah bahwa bersatu bersama pihak ketiga: kelas-kelas masyarakat yang terpinggirkan, pihak keempat: kekuatan-kekuatan demokratik yang maju, pihak kelima : jaringan-jaringan aksi solidaritas sedunia dan pihak keenam : rakyat miskin sedua yang menderita merupakan "artikulasi" yang bisa kita suarakan untuk menciptakan misi-misi perubahan yang sebenarnya


Epilog

Tugas terberat yang perlu dipersiapkan bagi gerakan pemuda/mahasiswa adalah bahwa problem gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan gerakan. Dalam fenomena itu, posisi negara juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem tantangan gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan.

Ketiga, ‘negara’ yang diharapkan hadir sebagai intitusi yang mengerjakan mandat menegakkan kesejahteraan justru terlibat dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan modal. Di titik in peran negara telah nyata-nyata menjadi sumber masalah. Jika negara justru akrab dengan kepentingan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagai tugas pokok, maka tahapan pembangunan gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan polemik tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan ideologi gerakan sebagai fondasi transformasi perubahan di tubuh gerakan menjadi sangat relevan.

Pembacaan kritis yang tidak tuntas, alih-alih akan melahirkan gerakan mahasiswa yang maju dan berkembang. Dibanyak kesempatan, ia justru banyak menyemai kader-kader mahasiswa yang oportunistik dan mudah jatuh dalam nalar kekuasaan. Tentu siapa saja akan berpeluang terkena jerat penyakit oportunistik ini. Hanya dengan pembangunan dan pendidikan organisasasi yang kuat, banyak hal akan meminimalisis persoalan tersebut muncul. Dari dasar organisasilah visi solidaritas dan keperpihakan itu bisa disemai dan diinternaslisasi. Organisasi adalah modal kekuatan yang bisa digerakkan. Disanalah nadi pergerakan bisa berdenyut. Menolak kebutuhan untuk berkumpul dan berorganisasi justru akan semakin menjauhkan ‘kaum muda’ dari mandat utamanya yakni terlibat bagi keadilan untuk semua orang.



“Kita semua telah dijajah dalam sebuah masyarakat modern
di mana hampir dari seluruh transaksi untuk pangan, papan,
transportasi, pendidikan anak-anak dan jaminan orang tua
dilakukan dengan uang”
(David C. Korten)



Catatan kaki :


1 Terminologi dan ‘gerakan’ yang menjadi pusat perbincangan ini lebih jelas mengerucutkan pengertiannya pada keseluruhan bentuk, kesejarahan, sifat, pola, jenis dan strategi gerakan yang eksis di luar mainstream kekuasaan yang ada dan memposisikan sebagai entitas bersebrangan dengan kekuatan-kekuatan dominan yang berkuasa. Dalam penyebutan yang lerbih eksplisit banyak para penulis meletakannya dalam istilah ‘gerakan rakyat’ atau ‘gerakan-gerakan pro perubahan’

2 Teori yang terpisah dengan ‘realitas kenyataan praktik’ hanya akan menjadi seruan dan jargon semata dan kehilangan akar pendasarannya yang empiris. Ia akan banyak melahirkan ‘subjektivisme’ gerakan yang jauh berdasar dari praktik kongkrit. Sebaliknya praktik tanpa landasan teoritik yang benar bisa menjadi ‘aktivisme’ berbahaya dengan segala karakteristiknya yang tidak terencana, spontan, visi yang tidak jelas dan sepi akan ‘ruang reflektif’ untuk membangun setiap gerakan massa menjadi bermakna.

3 Fakta ‘gerakan’ dalam lintasan sejarah selalu hadir dalam rentangan relasi pengaruh eksternal dan internal gerakan yang komplek. Meminjam pemetaan Robert Mirsel, ada temporalisasi waktu yang berpengaruh terhadap kecenderungan gerakan. Menurutnya ada tiga periode penting karakteristik gerakan yang bisa dibaca. Pertama, periode pertama yang masih sangat berpoandangan negatif terhadap ‘gerakan’ Lebih menekankan pada penanganan gejala-gejala irasionalitas dengan pendekatan-pendekatan besar seperti psikologi sosial, psikoanalisis, dan teori-teori perkumpulan massa; Kedua, periode kedua yang lebih menekankan aspek raionalitas dalam menerima gerakan rakyat dengan tugasnya untuk mengngkap fenomena-fenomena struktural yang berkembang, Gerakan-gerakan berbasis analisis-analisis ideologis banyak menampakan diri menjadi kekuatan-kekuatan utama; Ketiga, periode ketiga yang banyak menghadirkan fenomena postmodernisme yang menekankan partikularitas isu, keluar dari grand narasi besar dan lebih mengangkat aspek dekonstruksi dalam gerakan dengan teori-teori yang lebih poststrukturalis. Lihat, Robert Mirsel, Teori Pergerakan Sosial, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2004, hal. 16-20. Dalam konteks riset yang berbeda, pemetaan ini menarik untuk membaca perkembangan gerakan sosial yang terjadi dalam sejarah politik Indonesia hingga sampai saat ini

4 Lihat, Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2003.

5 Keresahan, ketidakpercayaan dan sikap pembangkangan masyarakat biasanya masih berjalan diam-diam, sifat cakupannya tidak meluas, menyebar dalam berbagai fragmentasi gerakan yang sulit menyatu, dan makin jauh dari kebutuhan untuk ‘mengorganisir diri’ dalam kesatuan gerakan yang lebih besar dan diam-diam lebih nyaman untuk menjawab ketiadaan akses hak-hak mereka (yang seharusnya diberikan oleh kekuasaan negara) dengan pola-pola seperti yang pernah dibaca oleh pemikir seperti James C Scott sebagai tindakan ‘subsistensi’. Jawaban problemnya menjadi tercurahkan pada ‘cara bertahan diri’ ketimbang ‘membangun kritik dan resistensi’ kepada kekuasaan dalam tindakan-tindakan politis yang lebih meluas.

6 Terminologi ‘Foucoultian’ ini menarik untuk menambah khasanah pemahaman yang lebih dalam tentang ‘mekanisme berjalannya kekuasaan’. Ia tidak sekedar dilihat sebagai melalui kekerasan atau hasil suatu persetujuan (Hobbes, Locke, Rousseau), tidak sekedar melalui represi (Freud, Reich), bukan sekedar pertarungan kekuatan (Machiavelli), bukan sekedar dominasi suatu kelas atau manipulasi ideologi (Marx) dan bukan sekedar berkaity suatu kharisma (Weber). Tetapi seluruh situasi tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui persuasi, rangsangan, rayuan, paksaan dan larangan. Ia bukan wajah determinasi yang sifatnya linier. Kekuasaan bukan sekedar dimiliki tetapi menyebar dalam seluruh jaringan yang produktif dalam masyarakat.

7 Setiap problem sosial selalu mengacu pada berbagai dimensi variabel yang hidup dan berkembang dalam lintasan tahapan sejarah. Faktor-faktor itu bisa diteluri dengan berbagai kaitannya. Melampaui kesadaran naif, ‘kemiskinan’ bukanlah fenomena mistik, gaib dan adikodrati yang jauh dari kebersentuhan dengan ‘nalar rasional masyarakat’. Kemiskinan bisa dimengerti sebagai produk sejarah kongkrit dengan sekian kecenderungan-kecenderungan yang dibentuk o0leh hukum-hukum sejarah. Prinsip pemahaman ini yang kerap disebut sebagai ‘kesadaran historis’.

8 Untuk beberapa catatan penting dari pengertian dasar dan problem-problem khusus berkait dengan proses berkuasanya rezim neoliberal bisa dilihat di : I Wibowo, dkk, Neoliberalisme, Penerbit Cindelaras, Yogyakarta. 2003. Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberalisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan. Bdk, Coen Husain Pontoh, Malapetaka Demokrasi Pasar, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2005.

9 Fakta sejarah memang selalu penuh dengan cerita yang luar biasa atas peran kaum muda yang berkontribusi pada perjalanan politik Indonesia. Namun tidak jarang pula, peran yang seharusnya dimainkan secara lebih oleh kaum muda selalu bisa dibajak oleh kekuatan-kekuatan konservatif politik yang masih melenggang dalam dominasi kekuasaan yang masih berjalan.

10 Untuk beberapa dinamika kesejarahan dan pembentukan identitas peran mahasiswa dapt dilihat di Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Penerbit Insist Press, Yogyakarta, 1999. Bdk, Ign. Mahendra & Suharsih, Bergerak Bersama Rakyat (Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia), Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2007.

11 Lihat, Ernesto Laclau & Chantal Mouffe. Hegemoni dan Strategi Sosialis, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2008.

Tidak ada komentar: