Senin, 21 Desember 2009

Menggagas Intelektual Pasca-Indonesia

Menggagas Intelektual Pasca-Indonesia



“Percayai mereka yang mencari kebenaran,
tetapi ragukan mereka yang menemukannya
(Arif Andre Gide)



Setiap pengertian, pemahaman, definisi dan ataupun katagori-katagori identitas tertentu tentu tidak bisa steril dari dinamika konteks historis, kultural dan struktur formasi sosial yang eksis pada setiap nafas jamannya. Terbentang relasi yang amat erat dan sekaligus ikatan yang kompleks masing-masing unsur tersebut terhadap dinamika melemah atau menguatnya sebuah posisi identitas tertentu. Tak terkecuali saat diskursus ‘intelektual’ kembali diperbincangkan. Spirit merefleksikan kembali apa yang dimaknai sebagai ‘intelektual’ tentu tak semata sebagai problem rumusan dan definisi bahasa. Meskipun untuk hal ini, formasi dan artikulasi bahasa juga ikut memberi sumbangan dalam perbincangan tentang intelektual. Memberi pendalaman kritis tentang posisi intelektual dengan selalu berpijak pada situasi kongkrit jaman, setidaknya mengandung bobot yang lebih menarik ketimbang sekedar meributkan per definisi an sich.

Digagasnya ruang dan forum perbincangan ini tentu perlu diberi apresiasi khusus. Terlepas dari pertimbangan dan latar pendasaran tematik ini dibuat, tentu menjadi modal berharga dan bukan kesia-siaan untuk kembali membangun sebuah tradisi dan etos berpikir yang lebih bermanfaat. Sejenak mengambil jarak dengan hiruk pikuk dan kebisingan rutinitas yang makin menghimpit tradisi berpikir, dialog tentang intelektual adalah ruang yang tepat bagi harapan reflektif tersebut. Jikapun diantara kita juga masih dengan rendah hati beranggap belum pantas dan berani untuk menyandang predikat intelektual tersebut, setidaknya tentu berharap bahwa dialog ini bisa menyumbang butir-butir yang produktif bagi bingkai keintelektualan Indonesia. Dalam konteks saat ini, upaya mentradisikan nalar etis berpikir ilmiah masih menjadi habitus yang langka di tengah gempuran krisis modernitas dan kebudayaan pasar yang lebih membanggakan sensasi kemasan ketimbang isi dan hakikat persoalan.

Sebuah tugas tidak ringan ketika diajak untuk membincangkan sebuah problem pendiksusian yang derivasi cakupannya terbentang maha luas. Tidak sangat berharap bahwa hasil diskusi akan melahirkan gambaran sempurna dan lebih terang tentang wajah intelektual Indonesia. Namun sebagai spirit pencarian, tugas ini bisa dimaknai sebagai proses peziarahan yang terus menerus harus dilakukan oleh setiap pribadi pembelajar yang ingin memperjuangkan kebenaran. Jika diminta untuk ikut terlibat membaca kembali perjalanan peran intelektual Indonesia, tentu apa yang akan menjadi posisi reflektif penulis tidak bisa melepasakan dengan berbagai ingatan, pembayangan, rujukan epistemik dan sekaligus pergulatan pemikiran yang saat ini penulis hadapi. Dalam posisi tersebut sulit untuk bisa membebaskan diri dengan sekaligus kegelisahan, harapan, cita-cita dan bahkan kepentingan yang hadir dalam setiap gagasan-gagasan yang dituliskan. Posisi pandangan ini adalah premis sikap pertama yang ingin diajukan. Sangat mustahil dan sekaligus paradoks jika perbincangan tentang posisi intelektual mengandaikan hadir pada pendasaran-pendasaran kosong yang steril dan bebas nilai. Kecuali karena sikap ini mempunyai kecenderungan ambigu dan tidak jelas, pada struktur nalar yang terdalam justru mengandung banyak muatan justifikasi ideologis tertentu yang problematis.

Skema dan postur gagasan makalah ini masih merujuk pada tiga dimensi variabel yang diletakkan sebagai poin pertanyaan dan sekaligus tema diskusi yang masih penting dibahas. Tentu saja masih banyak dimensi yang barangkali juga penting dan berharga untuk diangkat. Tidak untuk menafikan jangkauan dimensi lain, apa yang menjadi pilihan semata berdasar atas pertimbangan kapasitas dan area pengalaman yang selama ini didapat penulis. Poin-poin mendasarnya masih berkisar pada pertanyaan penting : Pertama, jika saja pemahaman intelektual tidak sedang kita definisikan sebagai ‘identitas beku dan final’ maka sebenarnyalah pengertiannya sedang merujuk dan merepresentasikan pada apa dan siapa? Kedua, sebagaimana masyarakat saat ini masih hidup dalam kerangka ‘republik’, bagaimana posisi intelektual harus ditempatkan dalam seluruh dinamika relasi sistem, struktur dan aktor-aktor kepentingan yang ada? Ketiga, dalam situasi perubahan yang makin kompleks dan transformasi sistem ekonomi politik dengan sekian evolusi wajahnya yang makin rumit, bagaimana posisi intelektual berhadapan dengan berbagai metamorfosis kekuasaan yang terus eksis tersebut. Pertanyaan ketiga ini masih dalam kerangka diskusi tentang posisi intelektual dan kekuasaan.

Melampaui ‘Ambiguitas’

Membayangkan bahwa catatan dan definisi pemahaman tentang intelektual adalah tunggal tentu upaya yang selalu akan berakhir sia-sia. Kalaupun dalam konteks situasi jaman tertentu formulasinya menjadi padat dan jelas, tentu ada ikatan-ikatan kekuasaan yang begitu sentral untuk menentukan batasan-batasan pengertian tersebut. Ketika paradima fungsional mendominasi nalar pendasaran pada era politik Orde Baru, peran dan posisi intelektual banyak diletakan dalam otoritas-otoritas fungsi yang sudah mapan. Perannya hamper sama dengan kaum birokrat dan administrator Negara. Ruang perannya sangat sempit karena dibatasi oleh norma dan aturan yang sudah mengikat. Era Orde baru adalah bukti sejarah amat kongkrit ketika intelektual banyak sekali dipasung dan tenggelam dalam nalar rezim kekuasaan. Spirit jaman dan seluruh konteks historisnya adalah ruang yang membingkai seluruh rumusan apapun tentang intelektual itu menjadi. Universalisasi nilai atas perannya yang diusung oleh para penggagas prinsip-prinsip otentisitas bahwa kewajiban moral inteketual itu bisa hadir secara ‘otentik’ dan ‘otonom’ dari dirinya sendiri selalu mengandung kelemahan.

Sebagai halnya entitas yang selalu bergerak dan terberi oleh berbagai rujukan pengaruh yang selalu berubah, peran intelektual juga selalu berproses dan membentuk. Ia bukan ‘barang jadi’ tetapi selalu ‘menjadi’. Ia menemukan elan vitalnya pada situasi kebutuhan jaman yang memanggilnya. Artinya memang ada kebutuhan-kebutuhan dalam dinamika jaman yang mengharuskannya untuk hadir dan terlibat. Tentu bukan bermaksud untuk melemparkannya dalam perbincangan yang normatif, absurd dan relatif. Apa yang ingin ditegaskan dalam tulisan ini adalah semata-mata untuk menghindari kecenderungan ‘dogmatisme’ pemahaman satu sisi dan nalar ‘relativisme’ dalam pendulum yang lain. Justru di titik inilah menjadi penting untuk mempertegas kembali posisi representasi yang harus dipilih sebagai bagian komitmen keterlibatan intelektual.

Jikapun ada prinsip-prinsip umum yang dimandatkan kepada sosok intelektual baik tentang cita-cita ‘keadilan’, ‘kebebasan’, ‘demokrasi’, ‘keperpihakan’, ‘pembelaan rakyat’ ataupun nilai-nilai etis yang lain, ia tetap saja harus difahami sebagai “prinsip terbuka” yang terlahir dari proses dialektika jaman. Sebagus apapun klaim etis tentang pembebasan manusia jika saja kemudian terbekukan dalam nalar dan definisi yang tertutup maka ia cenderung akan melahirkan kecenderungan totalitarianisme. Namunpun demikian, prinsip-prinsip etis yang harus diperjuangkan bukanlah entitas ‘lentur’ yang bisa diinterpretasikan sesuka hati seperti halnya hanya difahami sebagai problem bahasa. Nalar pikir terakhir ini banyak hal hanya menyeret pada ‘anonimitas’ subjek manusia sebagai rumusan-rumusan yang absurd.

Intelektual bukanlah definisi atau pengertian yang mempunyai rujukan final tetapi juga bukan sosok manusia ‘anonim’, ‘ahistoris dan ‘mengambang’. Apa yang sedang kita perbincangkan mengenainya adalah situasi yang hadir dalam dinamika hidup kongkrit dengan keseluruhan tali-temali problem yang berkembang dan menyejarah. Baik dalam pendulum arogansi ‘universalitas’ dan pendulum ‘relativitas’ jika tidak dimaknai dalam kerangka kesadaran keterbukaan maka hanya akan mengulang sejarah ‘tragedi kemanusiaan’ yang pernah melintas baik masa lalu sampai hari ini. Apa yang dimaksudkan dengan ‘tragedi’ adalah apa yang kerap menjadi cita-cita, pemikiran, perspektif, teori pengetahuan, kebenaran ideologi, atau sistem peradaban jika terhenti dalam spirit kebenaran mutlak selalu berakhir dengan kondisi pembalikan yang mengerikan. Pemutlakan dan pemaksaan kebenaran, menurut Ernest Gellner merupakan manifestasi lain dari bentuk penghianatan intelektual.

Catatan-catatan tragedi tersebut pernah melintas dalam berbagai pergulatan intelektual pada jamannya masing-masing. Kisah yang amat jelas bisa kita rasakan adalah betapa klaim kebenaran yang juga diusung oleh para filsuf dan intelektual modern, dengan segala kredo rasionalitas kemajuannya banyak menyisahkan dilema-dilema dan sekaligus krisis besar peradaban, bahkan sampai manusia tenggelam pada situasi paradok ekstrim yang sejak awal sebenarnya diciptakannya sendiri. Ketika pemikiran dijadikan rujukan tunggal kebenaran satu-satunya maka ia berpotensi untuk menjadi mesin pembunuh bagi bersemainya alternatif pemikiran yang lain. Namun apakah kontradiksi, perbedaan dan pertentangan pemikiran itu harus dihindari dalam tugas peran intelektual? Justru karena sifat hakikatnya yang alamiah bahwa realitas ‘ide’ maupun ‘material’ selalu berubah dan berkembang akibat kontradiksi-kontradiksi yang ada, maka sejatinya yang terhampar menjadi tantangan sepanjang masa oleh peran intelektual adalah tugas keterlibatannya dalam memasuki jantung kontradiksi-kontradiksi tersebut. Terbukti bahwa kemudian dalam sejarah penguatan-penguatan peran dan menguatnya eksistensi kaum intelektual hadir dalam situasi tersebut.

Pada era sebelum kemerdekaan, sejarah Indonesia menyimpan banyak catatan lahirnya beberapa pemikir dan intelektual yang melibatkan diri dalam dialektika perumusan dan perjuangan kemerdekaan. Pemikiran-pemikiran mereka menjadi fundasi penting dalam mengkerangkai konsep-konsep berharga bagi perjalanan bangsa selanjutnya. Keterlibatan para pejuang dan intelektual seperti Moh. Hatta, Sahrir, Soekarno, Tan Malaka, Muso, Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, Tirtoadisuryo, HOS Cokroaminoto dan yang lainnya mendapat bumi pijakannya yang amat kuat dalam situasi transisi keindonesiaan pada saat itu. Para kaum intelektual tersebut menyentuh langsung kontradiksi sebagai mandate yang memang haryus mereka lakukan. Bukan semata kehendak mereka, sejarah jaman telah memanggil mereka untuk terlibat. Dalam literatur sejarah, mereka kemudian ditempatkan sebagai kaum intelektual yang berjasa, meskipun tentu saja banyak predikat ini yang masih banyak bisa diberikan pada semua saja yang terlibat untuk berjuang . Dalam situasi dinamika kekuasaan, penghormatan atas peran mereka bisa saja bergeser, berubah dan bahkan dihilangkan.

Akhirnya sedikit bisa dipahami bahwa pembacaan tentang peran kaum intelektual tidak merujuk pada sebuah nama atau sebuah bentuk tertentu yang definitif. Ia bukan penamaan atau identitas yang terberi secara tetap, tetapi merupakan wujud pengertian yang merujuk pada komitmen keterlibatan yang menyejarah. Jikapun pada kenyataannya ia seringkali diarahkan pada identitas tertentu semisal kaum terdidik dan terpelajar dengan sekian talenta pengetahuan yang dimiliki, tetapi jika memakai kerangka ‘komitmen keterlibatan’ ini maka ia bisa hadir dalam setiap diri orang-orang atau komunitas-komunitas tertentu yang beragam. Ia bahkan bisa saja merujuk pada pribadi-pribadi yang dalam pandangan doksa masyarakat jauh dari anggapan predikat tersebut. Maka penting kiranya bahwa dia tidak ditunjukan pada subjek kata benda tetapi ranah kata kerja yang lebih luas.

Tentu saja rumusannya belum cukup berhenti di situ. Pertanyaan yang menyusul adalah: keterlibatan semacam apa yang sesungguhnya harus menjadi komitmen intelektual? Pada ranah inilah kemudian, melahirkan berbagai polemik dan beragam kecenderungan pilihan yang hingga saat ini masih sering dipertentangkan. Tentu secara sadar diskusi tentang pembacaan peran kaum intelektual hari ini, mau tidak mau akan menyentuh problem dialektika tersebut. Cara pandang untuk memilih posisi keterlibatan tentu saja akan menyentuh perbincangan tentang perspektif mendasar tentang nilai hidup yang diyakini sebagai pedoman. Jika problem Intelektual banyak berbicara pada wilayah hakikat hidup manusia dan bagaimana masyarakat sosial harus disusun, maka pendasaran tentang ‘keterlibatan intelektual’ tidak akan jauh dengan persinggungan ontologi tentang ‘manusia’ dan kemanusiaan’ yang diyakini.

Deontologi Intelektual : Di antara “Kebebasan” dan “Keterlibatan”

Jika jujur membaca mainstream pandangan dasar tentang peran intelektual hari-hari ini maka harus diakui bahwa rujukan ‘kebebasan’ masih menjadi ciri amat penting. Setidaknya gagasan tentang ‘kebebasan’ berkait dengan posisi intelektual ini pernah dilontarkan oleh pemikir seperti Karl Mannhein. Baginya intelektual yang ‘bebas’ saja yang bisa dimengerti sebagai intelektual sebenarnya. Konsekuensi dari prinsip ini adalah bahwa seorang intelektual harus benar-benar bebas dan untuk benar-benar bisa mewujudkan kebebasan dirinya maka ia harus berada di luar keterlibatan politik dan menjaga jarak dengan kekuasaan. Jika mendasari pada argument tulisan ini di awal, maka sangat amat sulit untuk bisa memisahkan secara distingtif antara ‘peran intelektual’ dan ‘kekuasaan’. Karena jika kondisional otonomi ‘bebas’ ini dilanggar maka dengan demikian seseorang akan diannggap kehilangan peran intelektualnya. Jika yang dimaksudkan oleh Karl Mannhein adalah seruan dilarangnya ‘penghambaan’ pada subordinasi politik kekuasaan yang kemudian kita sebut sebagai ‘intelektual tukang’ atau ‘intelektual pesanan’ maka bisa jadi lebih tepat. Namun jika yang dimaksudkan adalah adalah ‘politik’ dan ‘kekuasaan’ dalam pengertian yang luas yang tidak hanya menjangkau pengertian yang formalistic seperti ‘rezim’ atau ‘kekuasaan negara’, maka ia jelas akan menjadi utopia yang problematis.

Semangat penelusuran Karl Mannhein disumbang banyak karena memang situasi konfliktual ideologi dan kuatnya dominasi rezim negara dalam proses penanganan masyarakat. Bisa sedikit dibenarkan, bahwa kebutuhan akan peran intelektual yang bebas dan berjarak dengan ‘rezim kekuasaan’ amatlah penting . Situasi amat berubah ketika transformasi kekuasaan tidak hanya dimiliki oleh kekuatan determinasi tunggal negara atau ideologi besar tertentu. Apalagi ketika meminjam pandangan kaum poststrukturalis yang lebih maju melihat kekuasaan bukan lagi difahami sebagai wujud proses yang linier tetapi bisa menyebar dengan membangun berbagai mata rantai relasi kekuasaan lebih produktif. Maka kekuasaan tidak hanya difahami sebagai “siapa menguasa siapa” tetapi merupakan problem kecenderungan dominasi yang bisa bergerak dalam medan-medan kekuasaan yang beragam. Kait-mengkait berbagai kepentingan membentuk kecenderungan relasi dominasi hadir tidak tetap tetapi dinamis bergerak. Dalam prinsip pengertian ini maka kekuasaan tidak harus dimengerti secara negatif. Dalam intensitas dan kualitas yang beragam, posisi intelektual tidak bisa menghindar dari persentuhan dengan relasi kekuasaan ini.

Cenderung agak lebih bisa difahami apa yang dilontarkan oleh John B. Thompson sebagai istilah ‘relasi dominatif”. Yang penting harus diletakkan adalah bukan pada ‘di luar’ atau ‘di dalam’ kekuasaan seharusnya kaum intelektual melibatkan diri, tetapi pada relasi kekuasaan semacam apa yang perlu serius untuk dibaca secara kritis. Ada kecenderungan-kecenderungan ‘relasi kekuasaan; yang akan membentuk struktur relasi yang dominatif. Jika seperti ini maka tentu keterlibatan intelektual untuk membangun peran kritisnya sangat dibutuhkan. Matra kebebasan yang dirumuskan harus diarahkan pada pengertiannya yang lebih maju yakni sebuah “kebebasan untuk” berani dan tidak terikat dalam batas-batas primodialnya untuk memperjuangkan nilai kebebasan dengan menghormati kebebasan ‘manusia lain’ dalam menata proses sosial dan hubungan antar manusia secara adil dan tidak dominatif. Karena dengan keadilanlah maka lahan subur bagi bersemainya kebebasan yang sebenarnya bisa terwujud.

Ketika seorang intelektual dengan kebebasannya menyatakan diri untuk memilih keterlibatan dalam satu pemecahan masalah atau bentuk perjuangan tertentu, maka ia sejatinya telah ‘mengikatkan diri’ dengan pilihan-pilihan dan ikatan-ikatan tertentu yang tentu tidak lagi bisa dimengerti sebagai seluruhnya bebas. Pilihan keterlibatan tidak difahami sebagai ‘kehendak otonom’ yang bebas tetapi hasil dari pengaruh keseluruhan dinamika interaksi struktur dan sistem yang saling mempengaruhi. Bahkan dalam pandangan yang lebih kritis, formasi kelas sosial tertentu menyumbang dan menentukan karakteristik wajah intelektual yang dilahirkan. Setiap formasi kelas sosial memiliki intelektualnya sendiri. Dalam kerangka relasi dominasi kekuasaan yang asimetris, maka biasanya akan menghadirkan dua karakter intelektual yang berhadapan. Setiap rezim kekuasaan yang dominatif membutuhkan para intelektual yang mampu mengawal dan memperlancar berjalannya kekuasaan. Sebaliknya, sebuah kelas sosial yang terdomionatif juga mengalami hal yang sama meskipun berdiri dalam garis yang berseberangan.

Pasar, Transformasi Kekuasaaan dan Evolusi Republik

Metamorfosis perubahan dalam skalanya yang luas telah melampui rujukan-rujukan penalaran lama yang sebelumnya bertahan. Kekuatan pasar dengan segala logika yang dibangun menyumbang banyak dampak kondisi sosial yang lebih kompleks. Perbincangan tentang intelektual dan kekuasaan menjadi tidak hanya terbatasi pada problem hadap berhadapan negara dan masyarakat. Apalagi wajah negara dalam dinamika kekuasaan pasar waktu demi waktu juga mengalami evolusi perubahan sedemikian rupa. Dengan demikian pula formasi dan relasi kekuasaan turut mengalami perubahan. Yang relatif tetap adalah bahwa kekuasaan pasar juga tetap membutuhkan tiang-tiang penyangganya termasuk menggunakan peran intelektual untuk berbagai kepentingan yang dibutuhkan.

Sistem pasar dengan nalar kekuasaan modalnya semakin berkembang dan eksis. Berkuasanya sistem ini tidak semata dijaga dengan logika penguasaan material semata. Ia juga membutuhkan kemampuan para intelektual pasar yang membangun dalil-dalil pengabsaan atas berkuasanya relasi kekuassan. Bahkan bagaimana awal sistem pasar ini harus dirancang, keterlibatan para intelektual tidak pernah terlupa. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’. Dalam wajah modernisasi, bidang-bidang kehidupan lebih tersegmentasi dalam mekanisme kerja yang terspesialisasi. Kekuasaan dengan sendirinya juga tersebar dalam seluruh dimensi tersebut.

Kepentingan ekonomi pasar dipuja dan dianggap menjadi satu-satunya resep tunggal yang mujarab untuk kemajuan dan kemakmuran masyarakat. Resep alam pikir liberal ini mendorong kesadaran masyarakat dan membentuk banyak nalar pikir kebudayaan pragmatis dan materialistis. Karakteristik liberal ini banyak hal membentuk kesadaran masyarakat yang terfragmentasi dalam semangat individualisme, egoisme dan budaya hedonisme. Masyarakat dianggap sebagai variable komoditas yang bisa dieksploitasi tanpa batas seperti barang komoditas lainnya. Hukum gerak krisis mendasar masyarakat ini akan melahirkan mata rantai- mata rantai krisis yang lebih besar. Disadari atau tidak, problem ini juga menyumbang pengaruh pada tantangan intelektual ke depan termasuk ketika wajah republik tidak lagi serupa dengan tahun-tahun sebelumnya. Persoalan tantangan kemudian tidak lagi bisa dibatasi hanya pada lingkup pendasaran problem domestik negara. Ini bukan hanya menjadi persoalan ‘saya’ atau ‘kita’ tetapi merupakan persoalan bersama masyarakat dunia.

Saya tidak sedang menawarkan satu skema baku tentang apa dan bagaimana Intelektual itu harus diposisikan. Apa yang menjadi penting adalah menganalisis segala kecenderungan-kecenderungan perubahan - walaupun kadang sifatnya juga masih spekulatif- dengan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dikerjakan sebagai bagian penting tanggungjawab intelektual. Dalam sistem yang semakin terbuka dan berkoneksi dengan seluruh matarantai problem global, apa yang dibutuhkan dalam merumuskan kembali tantangan dan peran intelektual adalah pentingnya spirit intelektual yang bisa melampui kesadaran sempit, termasuk kesadaran tentang kondisi keindonesiaan yang masih terbatas. Problem kontradiksinya jauh melebihi hanya pada persoalan perdebatan tentang di dalam atau di luar kekuasaan negara, melainkan sebuah multi ketegangan persoalan yang merambah luas dalam skala global. Menyeret tanggungjawab intelektual untuk menyentuh setiap persoalan yang lebih kompleks yakni kemungkinan hadirnya banyak problem manusia dalam skala yang lebih luas.

Menyempitkan diri hanya dalam diskursus primodial keindonesiaan yang terbatas, monopolistik dan eksklusif alih-alih akan mampu menciptkaan kontribusi yang positif, justru seringkali intelektual gagal untuk mendiagnosa secara mendalam mata rantai persoalan masyarakat yang muncul. Apa yang sering didapat justru kecenderungan-kecenderungan sikap-sikap fatalistik dan simplistik. Generasi Intelektual Pasca-Indonesia adalah cermin besar harapan dari berkembangnya intelektual yang mampu menjadi pijar perubahan untuk seluruh nasib peradaban planet bumi ini. Maka komitmen untuk menggerakan perjuangan intelektual yang mampu melampui batas-batas primodial sempit apapun adalah kewajiban dasar dari jenis intelektual profetik masa depan yang dibutuhkan. Utopia ini bukan berarti naïf untuk melepasakan konteks-konteks tantangan kongkrit di depan mata yang memang harus selalu direspon. Kesadaran Pasca-Indonesia justru mendorong prinsip pendasaran berpikir bahwa problem persoalan sekecil apapun di belahan bumi yang satu selalu akan mempunyai korelasi dampak pada persoalan bumi yang lain. Dalam sistem ekonomi politik dunia yang saling berelasi, amat sulit menemukan bahwa persoalan krisis sebuah bangsa bisa disembunyikan dalam ruang isolasi yang tetutup yang mengandaikan bebas dari interrelasi dengan bangsa lain. Demikian juga dengan kekuasaan yang tidak bisa menghindar dari kebertemuan dengan unsur dan relasi kekuasaan yang lain.


Daftar Pustaka :

Bedarida, Franscois, (ed), (1994), The Social Responsibility of The Historian, Providence/Oxford : Berghan Books.

Bourchier, David, & Vedi R.Hadiz (ed), (2006), Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia Periode 1965 – 1999, Jakarta : Pustaka Grafiti

Dhakidae, Daniel, (2003). Cendekiawan dan Kekuasaan. Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka Utama.

Fairclough, Norman, (2004), Language and Power : Relasi Bahasa, kekuasaan dan Ideologi, (terj : Indah Rohmani), Gresik : Boyan Publishing.

Fauzan, (2002), Mengubur Peradaban : Politik Pelarangan Buku di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit LKIS.

Hadiz, Vedi R & Daniel Dhakidae (Eds), (2006), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, Jakarta : Equinox Publishing Indonesia.

Mangunwijaya, Y.B., (1999), Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein : Esai-Esai tentang Kebudayaan Indonesia Abad 21, Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Macdonnel, Diane, (2005). Teori-teori Diskursus, (Terj : Eko Wijayanto) Jakarta : Teraju Mizan Pustaka.

Thompson, John B., ( 2004). Kritik Ideologi Global. (terj : Haqqul Yaqin),Yogyakarta : Penerbit IRCISOD.

Tim Editor Masika, (1996), Kebebasan Cendekiawan : Refleksi Kaum Muda, Yogyakarta : Yayasan Bentang Budaya.

Van Dijk, Teun A. (ed.), (1997), Discourse as Social Interaction : Discourse Studies A Multidisiplinary Introduction, Vol. 2, London : Sage Publication,

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Menarik membaca artikel ini. Ditunggu tulisan selanjutnya..