Tantangan Advokasi dalam
Sekelumit Kata Kunci
Oleh : Tri Guntur Narwaya, M.Si
Dalam pendangan umum, advokasi lebih banyak dimengerti dan difahami sebagai sebuah kerja aktifitas pembelaan terkait penanganan problem kasus yang dialami individu, kelompok dan atau organisasi tertentu nsebagai korban terhadap orang atau kelompok komunitas tertentu berkait dengan tindakan dan kebijakan baik secara langsung atau tidak langsung yang melibatkan kekuasaan negara. Mengapa penting? Setidaknya dan biasanya motivasi advokasi didorong oleh adanya sebagian, orang, komunitas dan atau organisasi tertentu yang merasa terlanggar hak-haknya baik secara politik, ekonomi, budaya, agama, adat, pendidikan dll. Siapa yang dianggap melanggar” Setidaknya yang selama ini umum mengemuka menjadi subjek adalah dari kelompok, organisasi, perusahaan dan atau institusi negara. Tuntutan-tuntutan dalam rangka advokasi bisanya didorong dari kebutuhan yang pragmatis, politis sampai ideologis.
Tentu saja membaca lebih utuh atas segala problem dan tantangan advokasi tidak cukup berhenti pada pengertian dan pemahaman yang umum tersebut. Ada kata-kata kunci mendasar yang bisa kita lacak dari dinamika dan tantangan advokasi. Diantaranya kita bisa ambil adalah :
1.Pandangan nilai
Kebutuhan akan pentingnya advokasi menjadi pilihan strategi untuk memperjuangkan kasus-kasus tertentu, banyak dipengaruhi oleh berbagai pandangan nilai, baik yang sifatnya sangat pragmatis, ekonomis, politis, sampai yang ideologis. Problem masalah muncul ketika pandangan nilai yang hadir tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan dari pandangan yang harus diperjuangkan. Nilai-nilai ini terpraktikan dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang dianggap menganggu, melanggar dan atau menindas dari hak-hak yang seharusnya diberikan kepada individu, komunitas dan atau kelompok tertentu secara adil dan semestinya. Ada benturan dan konflik antar pandangan nilai yang melahirkan problem masalah.
2.Kekuasaan
Kekuasaan bisa dimengerti sebagai keseluruhan relasi dan mekanisme pengaturan dalam sebuah sistem hidup tertentu yang mengatur hubungan antar individu, kelompok dan atau antar keseluruhan kelompok yang hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Amat sulit melepaskan diri dengan entitas kekuasaan. Ada kecenderungan kekuasaan yang memang berpotensi positif, tetapi tidak sedikit yang berwajah represif, asimetris dan menindas. Apa yang kemudian dimengerti sebagai ‘kekuasaan’ sangat perlu untuk tidak hanya bisa difahami sebagai determinasi subjek – objek dan subjek – subjek yang watak dan karakteristiknya yang hirakhis linier. Tetapi bisa saja kekuasaan hadir menyebar dalam keseluruhan mata rantai relasi yang sifatnya sangat longgar. Semua entitas subjek apapun mempunyai potensi ‘kekuasaan’. Problem tertentu seperti masalah-masalah sosial akan muncul ketika ada perbedaan pandangan dan pengertian terhadapnya. Setiap pembedaan akan melahirkan kekuasaan dan sebaliknya setiap kekuasaan akan cenderung melahirkan pembedaan.
Cara bekerjanya ‘kekuasaan’ tidak hanya bisa dibaca secara tunggal. Ia bisa hadir dalam wajah yang sangat vulgar dan sifat karakteristiknya yang langsung, tetapi praktik kekuasaan bisa menyerap pada mekanisme-mekanisme yang subtil, sublim dan beroperasi dalam kesadaran-kesadaran masayarakt. Karena biasanya beroperasi dalam kesadaran maka sifatnya sangat ideologis. Problem advokasi dan keseluruhan tantangannya sadar-atau tidak sadar sebenarnya selalu menghinggap pada konflik kekuasaan ini. Imajinasi kritis kita tentang apa yang dimaksud ‘kekuasaan’ dan bagaimana ‘wajah kekuasaan’ bisa diterjemahkan merupakan kata kunci penting untuk kerja advokasi.
3.Klaim kebenaran
Ruang dan sistem kekuasaan hanya bisa dipertahankan ketika ada otoritas nilai dan pandangan yang menganggapnya sebagai sebuah kebenaran kokoh. Hilang dan meredupnya kekuasaan juga akan ditentukan sejauh mana otoritas tentang klaim kebenaran itu bertahan atau tidak. Problem sosial hadir sebenarnya banyak dilahirkan oleh polemik dan konflik atas klaim kebenaran. Sebuah kasus tertentu semisal ‘penggusuran pemukiman kumuh’ satu pihak akan menganggap sebagai langkah yang benar dan pihak lain akan menganggapnya tidak benar. Otoritas kebenaran ini kemudian oleh kekuasaan yang dominan biasanya dipaksakan untuk diterima oleh semua masyarakat sebagai bentuk kebenaran. Dalam dimensi lain, kerja-kerja advokasi juga akan selalu berbenturan dengan ketegangan antar klaim kebenaran ini. Ketidakmampuan untuk merumuskan klaim kebenaran yang bisa diterima secara sadar oleh masyarakat selalu akan menjadi rintangan dan hambatan terbesar dari kerja-kerja advokasi.
4.Institusi dan aturan Kekuasaan
Nilai-nilai tentang kebenaran, kekuasaan, ataupun pandangan nilai biasanya akan dibawa dan ditransformasikan melalui kerja-kerja kelembagaan dan juga aturan-aturan kekuasaan. Aturan-aturan dan institusi kekuasaan merupakan mesin represif amat efektif dari berjalanannya kekuasaan. Ia bisa terbentang dari kelembagaan-kelembagaan formal birokrasi sampai institusi-intitusi kekerasan yang menjaganya. Kerja-kerja advokasi biasanya akan menyentuh banyak tembok dan aturan kekuasaan ini. Ada mata rantai terkuat dan mata rantai terlemah kekuasaan yang bisa dibaca sebagai pertimbangan. Kekuatan-kekuatan terlemah biasanya menjadi tahapan penting untuk diselesaikan untuk melampaui yang lebih besar.
5.Perang simbolik dan fisik
Untuk memperluas dukungan atas kerja-kerja advokasi membutuhkan upaya perluasan otoritas diskursus dan perang wacana. Tidak cukup berhenti pada aksi-aksi fisik. Advokasi banyak bersentuhan dengan dukungan kesadaran akan sesuatu yang kadang sifatnya trasendental. Mobilisisasi makna penting untuk memberikanm keabsahan tindakan. Ia menyentuh soal ‘nilai’ bahwa sesuatu bisa dibaca ‘benar’ dan ‘sesuatu’ yang lain bisa dikatakan salah secara rasional. Contoh yang sangat besar ada dalam politik ‘stigmatisasi’ dan ‘representasi’ terhadap segala ‘isme’ yang dianggap melawan keabsahan ‘negara. Stigmatisasi dijalankan dengan mesin-mesin diskursus negara. Apa yang sebenarnya bermakna benar dan baik bisa seketika bisa diubah menjadi sesuatu yang jahat dan berbahaya. Patah dan tumbangnya kerja-kerja advokasi tidak sekedar pada persoalan metodologi dan kemampuan teknis. Ia bisa bersumber pada ketidakmampuan untuk mentransformasikan gagasan dan cita-cita gerakan menjadi sebuah metakesadaran massa. Jika ini terjadi maka dukungan massa akan melemah dan menghilang.
6.Transformasi negara
Penting kiranya untuk bisa secara kritis membaca berbagai perubahan dan dinamika yang dihadapi oleh tubuh negara. Di antara polemik transformasi negara, ada beberapa point yang penting dijadikan catatan. Pertama, ketegangan menyeruaknya hegemoni koorporasi modal dengan posisi negara saat ini banyak membentuk satu pola-pola politik baru di mana ’kekuasaan’ tidak hanya bisa dibaca secara determinan akibat relasi-relasi linier melainkan mengubah wajah kekuasaan menjadi lebih terpolar dalam berbagai ragam wajah. Aktor-aktor kepentingan sampai pada level kepembagaan baru membentuk apa yang kerap disebut sebagai ’masyarakat kekuasaan”. Masyarakat kekuasaan tetap bereksistensi dalam relasi yang kongkrit dan mewujud dalam pola-pola kekuasaan yang dibangun dalam tujuan-tujuan yang riil. Kedua, Masyarakat kekuasaan juga hidup dalam ruang yang dinamis penuh gesekan-gesekan, konflik dan konfrontasi. Secara internal juga mempengaruhi tampilan wajah serta kecenderungan-kecenderungan pola-pola kekuasaannya. Ketiga, modus operasi kekuasaan tidak lagi terwujud dalam struktur artikulasi yang terpola secara vulgar dan mudah terbaca tetapi tampil dalam muslihat-muslihat baru yang lebih sublim dan hegemonik. Pergeseran wajah ini pada kadar tertentu bisa dicontohkan dalam menguatnya penguasaa-penguasaan kultur dan habitus masyarakat ketimbang penggunaan tingkat represif vulgar yang cenderung cepat melahirkan benih-benih resistensi. Pembacaan yang keliru atas perubahan negara, akan juga mempersulit kerja dan metodologi gerakan advokasi yang dibangun.
7.Pengertian dasar tentang siapa ‘korban’ dan ‘siapa pelaku’
Dalam diskursus yang didominasi kekuasaan, konsepsi korban sering dibuat ‘kabur’. Pengetahuan tentang korban dikonstruksi secara normatif dan dangkal. Ia tidak hanya menyembunyikan kenyataan tentang siapa yang perlu kongkrit untuk dibela tetapi juga bagian modus memperlemah gerakan advokasi. Memperluas cakrawala tentang korban dan sekaligus membangun solidaritas korban lebih banyak menjadi cara yang berguna untuk membangun kekuatan.
8.Tahapan dan karakteristik gerakan
Ada tiga kecenderungan pilihan gerakan sosial dalam membangun kerja-kerja advokasi. Pertama, memilih sebagian prosedur demokrasi yang ada dalam sistem negara untuk dimaksimalkan menjadi sarana advo9kasi. Kedua, memaksimalkan keseluruhan institusi dan prosedural demokrasi yang ada. Ketiga, melompati dan tidak menggunakan sama sekali prosedur-prosedur demokrasi yang tersedia. Pada pilihan ketiga biasanya digambarkan sebagai pilihan atas ketidakpercayaan pada keseluruhan prosedur-prosedur demokrasi
9.Capaian Target
Bentuk dan metodologi advokasi sangat ditentukan oleh pilihan capaian yang ingin dibentuk. Ia bisa merentang pada tuntutan-tuntutan formula dari yang reformis sampai pada perubahan-perubahan yang revolusioner. Tahapan yang kemudian disusun juga sangat dipengaruhi oleh pilihan ini. Jika antara traget capaian dan metodologi yang dibangun tidak singkron, maka sering akan memunculkan kefrustasian-kefrustasian gerakan.
10.Solidaritas gerakan
Berhentinya beberapa agenda advokasi di banyak kasus dikarenakan sepinya dukungan solidaritas yang dibangun. Kerja-kerja advokasi berhenti pada komunitas terbatas, eksklusif, primodial dan terkungkum dalam pola-pola yang menutup diri pada kebutuhan perluasan jaringan. Ambil contoh : ketika komunitas ‘petani’ berjuang untuk problem tanah maka yang selalu terlibat dan dilibatkan hanya mengumpul pada komunitas petani yang terbatas. Kesatuan gerak seluruh komunitas sektoral menjadi penting. Isu buruh misalnya. Juga harus bisa menjadi kebutuhan isu keseluruhan komunitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar