Selasa, 15 Desember 2009

Membincangkan Nalar Teoritik Pembangunan Masyarakat

Membincangkan Nalar Teoritik
Pembangunan Masyarakat

(Catatan Kritis untuk Buku ‘Pembangunan Masyarakat”
karya Soetomo)



Saat pertama kali saya diminta panitia untuk mereview buku “Pembangunan Masyarakat” karya Soetomo, ingatan saya membayangkan kembali pada sebuah diskursus menarik tentang polemik amat serius yang sering saya ikuti pada saat itu tentang kritik atas mainstream teoritik perubahan sosial yang hangat terjadi sebelum reformasi 1998. Euforia transisi perubahan yang terdorong oleh kegagalan sistemik negara telah melahirkan berbagai kritik atas pendasaran-pendasaran teoritik utama pembangunan yang sebelumnya dipakai. Barangkali tentu yang paling banyak disorot adalah tentang pilar ‘logika pembangunan’ dan ‘pertumbuhan ekonomi’ yang terbukti gagal untuk memberikan jaminan atas rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Yang terbentang justru kondisi kerapuhan akibat membesarnya ketimpangan dan kemiskinan sosial yang makin meluas.

Namunpun demikian dalam perjalanan waktu, spirit reformasi yang bergulir telah mengalami pasang surut yang luar biasa. Tidak semata bahwa secara epistemologi gagasan reformasi belum berhasil menjawab sekian tantangan perubahan, tetapi juga diam-diam masih banyak nalar-nalar logika, nilai, keyakinan teoritik yang masih juga tertinggal. Perubahan selalu akan menyeret gesekan-gesekan dan pertentangan-pertentangan berbagai klaim kepentingan termasuk di dalamnya adalah pendasaran teoritik pengetahuan. Mainstream berpikir yang dahulu dibangun melalui berbagai kekuatan epistemiknya tentu saja tidak melenyap begitu saja. Pergeseran kebudayaan dan nalar teoritik biasanya lebih berjalan lamban ketimbang perubahan-perubahan fisik lainnya. Hegemoni kekuasaan yang berlangsung sekian lama masih cukup berhasil meresapkan nalar-nalar berpikir yang dibawa oleh sekian generasi sesudahnya. Tentu saja peran dari sistem dan struktur penopang nalar pesrpektif itu sangat dibutuhkan. Kampus sebagai medan epsitemik pengetahuan menjadi salah satu pengawal (aparatus) yang efektif untuk menjaga keberlangsungan nalar-nalar tersebut bertahan.

Tema-tema tentang ‘pembangunan masyarakat’ dalam sejarah dinamika perkembangan Indonesia memang harus diakui sangat kental dengan muatan proyek kekuasaan. Nyaris pada kekuasaan Orde Baru, terminologi pembangunan masyarakat sebagai bagian dari jawaban atas kebutuhan perubahan sosial menjadi wacana yang dominan. Tentu tidak kebetulan juga kemudian para teoritisi dan pemikir yang kritis terhadap orde itu menyebutnya sebagai perspektif yang sangat bias ideologi. Meminjam pembagian perspektif ilmu sosial yang dibangun Jurgen Habermas, ia bisa dikatagorikan sebagai perspektif yang ‘instrumentalis’. Konteks kebutuhan untuk mengawal proses pertumbuhan ekonomi dan sasaran-sasaran kepentingan negara saat itu menempatkan teori pembangunan menjadi pilihan pendasaran pengetahuan yang amat tepat.

Tentu pengalaman historis yang ditemui dalam perbincangan tentang ‘teori pembangunan masyarakat’ dalam skala nalar yang lebih luas juga pernah kita temukan pada menguatnya mainstream paradigma mekanik positivistik pada kerangka ilmu-ilmu sosial kita. Nalar positivistik pernah secara hegemonik menguasai nalar pengetahuan akademik Indonesia. Ia bahkan telah begitu lama bersarang dalam kesadaran berpikir masyarakat modern hingga saat ini. Akibat besar dari menguatnya nalar positivistik adalah kemajuan yang sangat pesat terutama dalam perkembangan peradaban teknologi manusia yang seringkali justru paradoks membawa cacat-cacat bawaan bagi perubahan sosial masyarakt sendiri.

Perubahan sosial yang dibawa oleh modernisasi dan nalar pengetahuan positivistik justru tidak jarang melahirkan ‘realitas patologis’ seperti menyeruaknya ketimpangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan meluas, penindasan, pencemaran lingkungan, kekerasan sosial dan yang lainnya (Frank Budi hardiman, 2003 : 18). Cara berpikir positivistik telah menyebabkan lahirnya kesadaran masyarakat modern yang terfragmentasi dalam gaya hidup yang mekanistis dan individualistik. Kesadaran masyarakat kemudian tidak lagi bisa bersarang dalam integritas hidup yang bermakna. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh nalar modernitas yang dibangun oleh ilmu-ilmu positivistik membawa banyak problem bawaan. Utopia harapan akan pencerahan justru seringkali berjalan sebaliknya. Modernisasi9 membawa sisi buruk dehumanisasi yang meluluhlantakan harkat kemanusiaan sebenarnya.

Jargon bebas dari nilai dan kepentingan yang dibangun ilmu-ilmu sosial positivistik terbukti hanya dalih penyembunyian dari nalar kepentingan ideologi yang lebih besar. Prinsip watak ilmu sosial yang melepaskan diri dari cita rasa kemanusiaan dengan melepaskan diri dari kepentingan nilai-nilai, justru membawa ilmu sosial pada gejala ‘irasionalitas’ yang berbahaya. Prinsip bebas nilai yang memisahkan diri dari tujuan etis, justru memberi peluang besar pada hadirnya alienasi, replikasi, dominasi teknologi, kekerasan dan ketimpangan sosial. Sebagaimana Foucoult telah banyak mengingatkan tentang nalar pengetahuan yang kerap bersanding dengan nalar kuasa, bahwa tidak ada nalar kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan dan sebaliknya tidak ada pengetahuan yang di dalamnya tidak mengandung relasi kuasa. (Michel Foucoult, 1997 : 30).

Tinjauan ontologis ini amat penting menjadi awal untuk menjadi poin dasar melihat bagaimana nalar teoritik pembangunan masyarakat berbicara. Buku ‘Pembanunan Masyarakat’ karya Soetomo terbilang sebuah penelusuran dan penjabaran yang detail tentang beberapa kata kunci mengenai apa yang ada dalam fenomena ‘pembangunan masyarakat’. Buku yang terdiri dari empat bab utama ini bisa jadi adalah khasanah literatur amat langka yang sekarang ini ada di saat tema-tema pembangunan masyarakat mulai ditinggalkan dengan berbagai sebab. Karya setebal 483 halaman ini adalah kajian dasar tentang salah satu fenomena perubahan sosial terutama konsep-konsep dan asumsi-asumsi penting tentang pembangunan masyarakat. Sebagai karya yang terbilang serius ini terlebih dahulu harus diberi apresiasi, mengingat semakin sepinya hadirnya karya-karya baru yang spesifik mengangkat tema besar perubahan sosial.

Usaha eksplorasi dalam buku ini banyak disumbang oleh pemikir teori-teori pembangunan Szymon Chodak yang merujuk pada buku ‘Societal Development’ yang diterbitkan tahun 1976 di Inggris. Beberapa variasi, katagori dan nalar-nalar asumsi yang disusun banyak merujuk dalam buku tersebut. Apapun catatan kritis yang muncul untuk buku ‘Pembangunan Masyarakat” ini sebenarnya sekaligus juga merupakan catatan kritis terhadap asumsi dasar yang dikembangkan Szymon Chodak. Prinsip-prinsip penting yang kemudian dielaborasi oleh Soetomo perlu untuk menjadi rujukan untuk ditelaah. Meminjam analisis Chodak , perkembangan masyarakat bisa dimaksud : Pertama, perkembangan masyarakat terjadi melalui proses perubahan yang bersifat evolusioner; Kedua, perkembangan masyarakat merupakan proses pertumbuhan yang semakin mengarah pada kondisi saling ketergantungan; Ketiga, perkembangan masyarakat terjadi karena tumbuhnya dorongan dan motivasi untuk berubah; Keempat, perkembangan masyarakat dapat dilihat sebagai fokus perhatian pada aspek-aspek spesifik; Kelima, perkembangan masyarakat merupakan proses perubahan yang terjadi karena tindakan yang terencana.

Dalam usaha menjabarkan beberapa poin penting mengenai pembangunan masyarakat, Soetomo dalam catatan bukunya mengelaborasi empat asumsi dan konsep mendasar yang selanjutnya akan dikembangkan dalam per bab karya ini. Pertama, dalam memahami perkembangan masyarakat maka entitas perubahan sosial merupakan konsep pertama yang amat penting; Kedua, proses terciptanya hubungan yang semakin harmonis antara sumber daya dan kebutuhan; Ketiga, proses meningkatnya kapasitas masyarakat dalam merespon berbagai potensi, sumber daya dan peluang; Keempat, melihat masyarakat sebagai realitas yang bersifat multidimensi.

Di beberapa penjelasan, penulis buku ini secara eksplisit ingin mendudukan ‘pembangunan masyarakat’ sebagai sesuatu entitas yang netral dengan pendasaran bahwa kajian akademis ini tidak harus ditempatkan sebagai bagian bangunan perspektif dominan tertentu seperti yang pernah dituduhkan kepada ‘rezim developmentalisme’. Upaya untuk mengkaji ‘pembangunan masyarakat’ secara ilmiah (bebas kepentingan) tentu menjadi premis penting untuk bisa menjangkau telaah yang lebih luas. Premis ini secara sepintas memang bisa dibaca benar. Tetapi jika ditarik kedalam simpul yang lebih dalam, maka diam-diam apa yang dibayangkan sebagai ‘kenetralan’ bukan saja amat sulit dilakukan, tetapi memang secara imanen pertautan dan bias kepentingan (kecenderungan perspektif) tidak bisa dihindari. Banyak variabel yang bisa kita rujuk untuk menjelaskan ‘pertautan tak terhindarkan dengan dominasi perspektif’ yakni pemilihan landasan teoritik, rujukan literatur dan sekaligus prinsip-prinsip logika penjabaran yang dibangun.

Rumusan konseptual tentang pembangunan masyarakat diam-diam masih juga menyimpan nalar ideologis. Bukan semata ‘pemahaman instrumentalis’ bahwa ‘pembangunan masyarakat’ bisa dipakai oleh kepentingan ideologi tertentu melainkan dalam logika nalar internalnya mengandung bias-bias ideologis. Ambil contoh tentang konsep dasar bahwa kemajuan atau perubahan selalu mengarah minimal mengharapkan kondisi ideal lebih baik masih mengandung problematis. Secara ontologis apa yang disebut sebagai ‘kemajuan’ atau ‘perkembangan’ adalah nalar yang dibangun dalam pendasaran rasionalitas modern dengan logika temporalitas waktu yang masih bisa diperdebatkan.

Kemajuan dan perkembangan dalam nalarnya selalu berkecenderungan untuk merujuk pada hal ‘yang baru’. Apa yang tertinggal (yang lalu) selalu dianggap sebagai sebuah permasalahan. Kritik atas dilema kemajuan masayarakat modern amat penting dibaca bahwa ‘yang kini’ dan ‘yang lalu’ bisa jadi hanyalah identitas-identitas pemaknaan yang masih sarat dengan kepentingan. Dengan kelemahan ini, kadangkala beberapa terori pembangunan masyarakat amat susah menjawab beberapa fenomena yang khusus dan unik yang hadir di luar kerangka yang dibangun. Apa yang kemudian hadir sebagai ‘konservatisme’, ‘fundamentalisme’, ‘revivalism’ dan usaha-usaha mengembalikan nilai-nilai lama menjadi dianggap kasus devian yang diangap bermasalah. Menengok pengalaman yang lalu, kecenderungan ‘universalisasi’ atas standar dan katagori-katagori untuk merumuskan perkembangan masyarakat seringkali justru membangun represi ketimbang emanispasi. Apa yang kemudian dilihat sebagai ‘yang maju’ dan ‘yang berkembang’ dirujuk oleh dominasi diskursus yang saedang eksis.

Seringkali harus kita sadari benar bahwa perubahan-perubahan sosial yang berjalan tidak semata dikreasikan oleh struktur, sistem, institusi, ataupu pelaku yang hadir dipermukaan. Kecenderungan fungsionalis tentu saja gagal untuk menangkap berbegai kecenderungan perubahan sosial yang kemudian banyak didorong oleh sistem-sistem tersembunyi yang hadir di panggung belakang. Teori-teroi normatif tentu selalu gagap dan ketinggalan untuk bisa menjangkau percepatan dinamika ‘panggung belakang’ ini. Apa yang dimaksud dengan ‘panggung belakang’ tentu sebuah ‘pergerakan sistem di dalam sistem’ yang kecenderungan tersembunyi dan tidak manifes muncul dalam struktur dan institusi yang kongkrit. Namunpun demikian ia justru yang seringkali mampu menjadi pemicu dan pendorong dari perubahan sosial yang terjadi. Tentu saja, nalar-nalar laten tersembunyi ini yang kemudian bisa dimaknai sebagai gambaran kepentingan sebenarnya yang menggerakkan masyarakat.

Secara umum ada empat catatan kritis penting dalam buku ‘Pembangunan Masyarakat’ untuk bisa menjadi bahan diskusi selanjutnya. Pertama, kekurangan untuk menempatkan konsep penting ‘dialektika kekuasaan’ yang tentu saja akan hadir dalam setiap perubahan sosial. Menganggap bahwa fungsi-fungsi setiap sistem, struktur, institusi dan juga pelaku sosial hidup dalam medan yang steril jsutru akan lemah menangkap sejatinya wajah perubahan yang hadir. Perubahan sosial masayarakat dalam terminologi yang lebih kritis selalu menggambarkan medan konfliktual antar berbagai kepentingan yang ada. Kajian ini tentu sangat khas dikembangkan oleh beberapa teori-teori kritis yang melihat ‘konflik kepentingan’ sebagai variabel amat besar dalam pembentukan masyarakat.

Kedua, dalam sistem perkembangan masyarakat tentu juga harus dilihat sebagai satu sistem yang merupakan interaksi dan relasi-relasi yang seringkali berjalan asimetris. Masyarakat tidak hanya difahami sebagai entitas yang bersih dari relasi-relasi tersebut. Beberapa problem krisis masyarakat hari-hari ini tidaklah hadir secara ahistoris dan tiba-tiba. Dalam berbagai aspek, ia banyak disebabkan oleh kehadiran sistem masyarakat yang terbangun secara asimetris. Bagaimana relasi-relasi tersebut bergerak dan berdinamika dalam perkembangannya memang menjadi kajian isu yang menarik dan secara kebetulan masih belum banyak disentuh dalam buku ini.

Ketiga, meminjam apa yang digagas Chodak tentang perkembangan masyarakat seringkali menafikan beberapa lompatan dan juga dinamika perkembangan masyarakat yang berjalan secara ‘revolusioner’. Perkembangan masyarakat masih dianggap sebagai perubahan sosial yang berjalan secara gradual dan evolusioner. Apa yang dilihat sebagai relasi saling ketergantungan yang menjadi cita-cita perkembangan masyarakat juga seringkali melupakan beberapa kecenderungan sebaliknya. Utopia normatif tentang menciptakan saling ketergantungan kadang gagal menjawab bahwa perkembangan sosial justru seringkali terbangun atas motif-motif penguasaan dan dominasi.

Keempat, terminologi dasar untuk memahamai dan mengkaji perubahan sosial masyarakat dalam karya Soetomo diam-diam menghilangkan unsur fundamental penting yakni analisis kritis tentang ‘konfigurasi kelas-kelas sosial’ masyarakat. Sangat penting untuk menempatkan pendiskusian tentang ‘konfigurasi kelas-kelas sosial’ sekaligus sebagai pendasaran etis bagaimana pembangunan masyarakat ini harus dibentuk dan untuk apa semua itu diarahkan. Memang diakui selama Orde Baru dan hingga saat ini, kajian-kajian yang menyentuh ‘analisis-analisis kelas’ sebagai fondasi dan variabel mendasar jarang digunakan. Ada kepetingan tersembunyi dari penghilangan tersebut terutama proyek hegemoni nalar kapitalisme yang sangat alergi dengan berkembangnya analisis-analisis sosial progresif yang ditakuti akan mengganggu kepamapan kekuasaan yang sudah ada.

Tidak ada komentar: