Kamis, 28 Agustus 2008

Literature Review : Lubang Buaya : Histories of Trauma and Sites of Memory, Karya : Klaus H. Schreiner

Literature Review
Lubang Buaya : Histories of Trauma and Sites of Memory
Klaus H. Schreiner



Hadirnya perubahan politik di tahun 1998 cukup memberi ruang dan kesempatan lebih baik proses pelurusan sejarah dan usaha mengingat kembali sejarah itu dalam rangka membangun dan meletakkan sejarah bangsa ini lebih benar. Begitu kiranya yang banyak diharapkan oleh masyarakat yang selama hampir Orde Baru berkuasa mengalami diskriminasi panjang. namun fakta sejarah belum menunjukan perkembangan baik bagi ‘korban’. Banyak kebijakan-kebijkan kekuasaan justru tidak mengambil posisi berbeda dengan sejarah terdahulu. Usaha-usaha untuk proses pelurusan sejarah dan rekonsiliasi nasional mengalami jalan buntu dan tantangan rezim luar biasa.

Tulisan Klaus H Schreiner mengkususkan pada pengamatan dan refleksinya tentang satu bagian sejarah penting Indonesia yaitu ingatan sejarah tentang trauma kolektif massa terhadap peristiwa 1965. Peristiwa yang telah melahirkan tragedi luar biasa dan trauma kolektif yang berkepanjangan bagi para korban dan juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Tiang-tiang kekuasaan Orde Baru telah banyak memanfaatkan peristiwa itu sebagai fondasi dan legitimasi penting untuk kepentingan politiknya. Kekuasaan telah menuliskan kembali catatan-catatan narasi tersebut sebagai bagian sejarah resmi yang tunggal. Tidak luput monumen dan upacara-upacara peringatan itu telah diciptakan untuk membangun legitimasi dan stabilitas Orde Baru.

Meminjam pendekatan teoritik Sigmund Freud dan Peter Nora, apa yang ingin ditekankan dalam tulisan ini oleh Klaus H Schreiner adalah tentang ‘memory kolektif’ dan perkembangan dalam politik Indonesia modern. Narasi-narasi resmi tentang pengisahan kekejaman PKI, kisah Lubang Buaya yang mengerikan, dan berbagai stigma negatif tentang orang-orang ‘komunis’ dan faham komunis setelah tumbangnya Orde Baru tahun 1998 bukannya kemudian menghilang begitu saja tetapi terus digunakan dan justru pada khasus tertentu sering dibangun kembali untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan.

Dengan memberi contoh pengamatannya terhadap film “Bukan Sekedar Kenangan” , Schreiner menunjukan bahwa narasi resmi dan represi atas ingatan kolektif bangsa itu telah dibangun kembali. Dalam tendensi yang sama film ini meskipun lebih menceritakan bagaimana orang-orang dikemudian hari hidup pasca peristiwa 1965 tetapi tetap membawa kepentingan untuk meletakkan komunisme dan orang-orang komunis sebagai entitas yang harus diwaspadai dan menjadi akar malapetaka bukan hanya bagi Negara tetapi bagi semua orang yang dilibatkan. Seperti dalam film “Penghianatan G30S”, film ini membawa ‘narasi resmi’ yang memilik dua kepentingan seperti dua keping mata uang. Satu sisi melihat mahluk jahat dan mengancam yang bernama ‘komunis’ dengan usaha-usaha yang dianggap licik dan merusak dengan satu sisi menampilkan citra dan symbol kebaikan yang itu ada dalam nilai-nilai nasionalisme Indonesia. Ada sisi yang harus dikalahkan dan dianggap sebagai orang-orang jahat dan ada yang harus dimenangkan dan dianggap menjadi entitas penyelamat bangsa.

Yang sangat menjadi menarik yang juga ditegaskan oleh Nora meminjam analisis cukup kritis dari sosiolog Prancis Maurice Halbwachs bahwa “Setiap orang bisa mengingat sejarah mereka tetapi tidak bisa secara ‘bebas’ menentukan situasi dan kondisi yang akan mempengaruhi ingatan.” Nora hanya ingin mengatakan bahwa kondisi dan situasi lingkungan sosial mempengaruhi dan memberikan kemampuan individu untuk mengingat dan mengingat kembali sejarahnya. Pada titik ini kekuasaan telah mampu menentukan ruang-ruang dan seting sosial yang dibangun sebagai simbol dan tanda untuk mempengaruhi ingatan masyarakat bahwa hal itu yang benar. Nora telah banyak memberikan contoh pada pembangunan simbol peringatan Lubang Buaya dan bebebrapa monumen dan ritual upacara yang menggenapinya. Di sinilah sejarah resmi telah mengambil seluruhnya sejarah mana yang harus diterima masyarakat. Masyarakat kemudian dipaksa untuk melihat dan menerima itu secara penuh sebagai kebenaran sejarah.

Definisi Nora untuk ‘sifat’ dan ‘fungsi’ politik ingatan ini adalah bahwa mereka akan memberikan tujuan menyampaikan dan memelihara beberapa nilai dan ‘interpretasi masa lalu’ dan sangat bermakna untuk saat ini dan masa depan. Jelasnya, memori tidak hanya diciptakan berlaku surut setelah masyarakat menjadi sadar akan ancaman hilangnya memori seperti yang disarankan Nora. Tetapi pada beberapa kasus dikonstruksikan dengan maksud tertentu oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk menetapkan simbol kolektif.

Apa yang di konsepsikan Nora sebagai “sites of memory” ingin menunjukan bahwa ia adalah ruang dan entitas yang memiliki kemampuan untuk meletakkan memori dan memicu sebuah tindakan untuk mengingat. Makna-makna yan dihasilkan mampu juga merubah masyarakat untuk menggunakan makna itu. Apa yang dibawa oleh bentuk-bentuk narasi, monument peringatan, upacara-upacara film dan buku buku tentang sejarah 1965 adalah sebuah politik simbol untuk mempertahankan dan menyampaikan nilai dan interpretasi tertentu tentang masa lalu yang sangat berarti untuk saat ini dan masa yang akan datang. Apa yang ingin dihadirkan dari situ bukan hanya memberikan gambaran tentang simbil kekuasaan dan interpretasi sejarah yang otoritatif tetapi juga sebuah ekspresi negatif dari sebuah trauma disekitar pembunuhan para jenderal dan pembantaian massal.

Trauma akhirnya bisa dipandang sebagai kondisi torehan yang akan terus-menerus mengganggu. Ia pada awalnya bisa hadir dalam narasi-narasi masa lalu yang hadir dalam masyarakat tetapi ia juga mampu mengkreasikan kembali dan menghadirkan sejarah baru yang terkait dengan berbagai peristiwa kelam tersebut. Trauma selalu hadir dalam diri manusia . Masalahnya jika ia tidak bisa dihapus (dilupakan) dan selalu hidup dalam diri manusia maka perlahan ‘ia’ akan menjadi ‘kesadaran sejarah’ dan secara perlahan itu akan sangat mengaburkan. Dan efek selanjutnya akan menghancurkan dan melumpuhkan daya hidup manusia.

Pada akhir tulisan ini, Schreiner melalui gagasannya menunjukan bahwa ‘sejarah’ justru harus dihadirkan secara tepat dengan melalui narasi-narasi korban. Dengan begitu ia akan menghadirkan sejarahnya untuk perlahan akan mampu menyembuhkan korban. Bagaimana narasi ini bisa dimunculkan? Membangun tempat-tempat untuk mengenang sejarah korban (sites memory) sesuai apa yang dialami korban akan mampu untuk menyatukan kembali ingatan-ingatan yang selama ini terkekang dan dimasukan kedalam penghargaan penuh sebagai manusia. Menelusuri tempat-tempat pembantaian korban misalnya yang pernah di lakukan oleh Yayasan Penelitian Korban Pembantaian 1965/1966 di wonosobo bisa menghadirkan secara nyata fakta-fakta kongkrit sejarah pembantaian dan selanjutnya mendudukan manusia sebagai ‘manusia personal’ yang harus dihargai sebagai manusia dan bukan apa yang telah ‘distigmakan’ oleh rezim kekuasaan.

Catatan kritis untuk buku ini adalah bahwa Schreiner tidak cukup secara jelas mendudukan ‘peristiwa masa lampau’ yang sudah menjadi ‘interpretasi sejarah’ sebagai peristiwa makna yang tidak terlepas dari struktur nilai yang dipegang masyarakat pada waktu itu dan mungkin juga sampai saat ini. Meskipun ‘makna’ bisa dilahirkan dari sebuah rekayasa dan kerja cemerlang sang creator makna, namun ia selalu dihidupkan melalui basis nilai-nilai yang hadir sebelumnya secara historis. Makna ia tidak pernah berdiri secara ‘imanen’ tetapi tergantung dalam interaksinya dengan nilai-nilai yang lain.

Sebuah peristiwa akan diinterpretasi oleh pelaku dan korban selalu berbeda walaupun ia adalah sejarah yang dialami dalam seting ruang dan waktu yang bersamaan. Sejarah perjalanan sang pelaku dan korban dalam mengkaitkan dengan nilai-nilai dirinya justru yang akan banyak mendorong perbedaan tersebut. Parahnya lagi jika kemudian para pelaku mengatur dan mengkontrol usaha-usaha untuk memberi ruang yang adil bagi interpretasi sejarah. Maka perlahan-lahan masyarakat yang hidup jauh dalam sejarah akan juga terpengaruh dengan narasi sejarah yang mapan.

Monumen Lubang Buaya, menjadi tanda dan simbol yang mampu membangun legitimasi rezim untuk meletakkan komunisme sebagai ancaman karena dibangun dengan adanya yang disebut oleh John B Thompson sebagai ‘makna dan simbol yang asimetris”. Rezim diberi kekuasaan seluas-luasnya dan sesuka-sukanya untuk menginterpretasikan makna tanda itu sedangkan masyarakat selalu dikontrol dan dibatasi untuk menginginterpretasikannya.

Setiap tanda sebenarnya akan selalu melahirkan ketegangan-ketegangan makna bagi para interpretator tetapi dalam kasus ‘makna yang asimetris’ ini. Para penguasa membatasi ketegangan-ketegangan itu dalam bentuk berbagai peraturan, undang-undang, kebijakan-kebijakan diskriminatif dan juga narasi-narasi sejarah yang dibakukan, tunggal dan dianggap paling benar. “ketegangan makna’ kemudian berpindah pada wajahnya yang ‘laten\ dan tersembunyi. Ketegangan selalu ada karena berbagai nilai yang menentukan apa dan bagaimana manusia menginterpretasikan sebuah tanda. Tetapi dalam kasus ini ia tidak muncul secara demokratis dan terbuka.
Maka yang kurang dalam catatan Schreiner dalam gagasannya tentang upaya mengangkat korban melalui ‘ingatan sejarah’ yang diletakkan dalam tempat-tempat untuk mengenang (sites of memory) adalah tidak cukup hanya membangun berbagai artefak dan jejak-jejak untuk mengenang walau ia sesuai dengan fakta-fakta kebenaran. Tetapi bahwa apa yang disebut sebagai fakta sejarah tidaklah entitas yang steril. Ia akan hanya menjadi barang mati jika tidak diletakkan pemaknaan. Sebuah tanda tidaklah bersifat nomenklatura. Justru karena alas an ini maka narasi-narasi korban juga harus selalu didorong untuk meninjau dan mmbongkar kembali berbagai nilai yang justru menjadi roh dari munculnya makna tersebut. Nilai itu bisa hidup dalam keyakinan, agama, dan pengetahuan manusia. Bisa jadi ada yang salah dalam keyakinan dan nilai-nilai itu sehingga pada perjalanan sejarah justru sering menjadi pemicu terhadap munculnya berbagai tindak kekerasan, represi ingatan dan peminggiran korban.

Apa yang dibayangkan oleh Nora sebagai ‘sites of memory’ akan hanya sekedar entitas tidak bermanfaat bagi ‘korban’ jika nilai besar yang saat ini dominan hadir di Indonesia dan dianut oleh sebagain besar masyarakat masih melanggengkan dan mmberi legitimasi bagi peminggiran korban. Maka pencarian akan makna itu juga harus mampu didukung oleh akses dan kesempatan struktural dan kultural yang tidak timpang. Selama struktur politik dan sekaligus nilai-nilai dominan yang masih hadir berwajah timpang maka akan cukup sulit bisa membayangkan usaha-usaha membangun detraumatisasi bagi korban akan terwujud. Nilai-nilai baru yang masih timpang turut akan menyumbangkan bentuk trauma baru yang akan menjatuhkan korban pada situasi trauma terus menerus.

Tidak ada komentar: