Mengais Makna dalam Kekelaman :
Viktor Frankl tentang Penderitaan
Gagasan dan pemikiran Viktor Frankl sebagian besar menunjukan karakteristik pemikiran ’eksistensialisme’ terutama menyangkut hakikat pencapaian manusia tentang ’makna’ hidup. Sebagian besar pemikiran tentang ’makna’ ini disebabkan pengalamannya berhadapan dengan rezim dispotik Nazi terutama pada waktu ia menjalani hidup dalam kamp-kamp kosentrasi Nazi. Dokter dan filosof Wina ini sering disejajarkan dengan beberapa pemikir besar seperti Sigmund Freud dan Adler. Jika Sigmud Freud sudah sampai pada tesis kesimpulan bahwa dorongan paling mendasar dari setiap manusia adalah ”kehendak untuk kenikmatan” dan Alfred Adler sampai pada rumusan kesimpulan bahwa yang menjadi dorongan manusia adalah ”kehendak untuk berkuasa”, Viktor Frankl sudah pada tesis kesimpulan bahwa yang dorongan terdalam manusia bukanlah ”kenikmatan” ataupun ”kekuasaan” tetapi ”kehendak untuk mendapatkan makna”. Tesis utama ini yang akan mewarnai berbagai tulisan dan pemikiran kemudian.
Dalam tulisannya, ”makna” merupakan entitas yang harus ditemukan dan bukan sesuatu yang diberikan dan diciptakan. Makna mempunyai sifatnya yang ’imanaen’ dan ’idependen’ dari pikiran manusia jadi makna sudah hadir di sana dan siap ditemukan. Bagaiman ’makna’ ini kemudian ditemukan? Bagi Viktor Frankl adalah melalui tiga cara yaitu melalui nilai-nilai yang dialami, melalui penciptaan nilai-nilai kreatif dan melalui tindakan yang memiliki nilai-nilai hidup. Dan tindakan keutamaan yang paling mendasar dan puncak bagi Frankl adalah ”menemukan makna melalui penderitaan”. Pada poin ini yang sebagian besar telah diulas oleh Fransisco Budi Hardiman dalam bukunya ”Memahami Negatifitas”. Ada beberapa premis yang menarik untuk dilihat.
Pertama menurut Frankl bahwa penderitaan memiliki ”makna imanen”. Hanya jika orang tidak lagi dapat menolak penderitaan , orang seharusnya tidak hanya memiliki keberanian untuk memikul penderitaan itu , melainkan juga belajar untuk dapat menderita. Frankl mengatakan ini sebagai ”kemampuan untuk menderita”. Prinsip ini jika kita lihat sebenarnya didasari dan sangat dipengaruhi oleh prinsip pandangan eksistensialisme tentang manusia yang memiliki kebebasan untuk berkehendak bahkan ”kehendak untuk menderita”. Prinsip ini juga dipengaruhi oleh prasyarat situasi ekstrim di mana ”manusia dalam kondisi tidak bisa memilih (tragis)”
Dalam situasi kongkrit, barangkali ’pengalaman penderitaan’ mungkin hanya bisa berlaku secara subjektif di mana penekanan apa yang menjadi batas penderitaan juga berlaku relatif tidak sama bagi semua orang. Dan memang untuk memahami apa yang dipikirkan oleh Viktor Frankl butuh empati luar biasa dan ini mungkin tidak bisa tercapai tampa sebuah keterlibatan yan nyata atas situasi ’penderitaan’.
Menarik apa yang diulas Fransisco Budi Hardiman, apakah memang benar sebuah penderitaan adalah bersifat ’imanen’ dan tidak tergantung pada situasi sosial dan historis di mana manusia hidup? Kelihatan pemikiran ini susah untuk difahami manakala manusia secara prinsip hidup dalam situasi sosial, budaya, dan sejarah yang ikut menentukan sikap dan pandangan manusia termasuk juga tentang ’makna penderitaan’. Sulit dibayangkan misalnya ketika ini ’seakan’akan berlaku bagi pengalaman batin semua orang. Orang yang relatif sepanjang hidupnya penuh dengan kemapanan, kecukupan dan oleh pandangan umum mampu untuk menikmati kelayakan hidup bahagia pasti akan berbeda dengan mereka yang secara sosial terpinggirkan, teraniaya dan hidup dalam kekurangan untuk memberi pandangan dan sekaligus memaknai penderitaan. Apa yang digagas dan direnungkan Viktor Frankl jelas menolak determinasi-determinasi faktor luar yang membentuk ’makna’. Makna bagi Frankl bersifat ”apriori” dan ”independen”.
Namun jika kita telaah, sepakat dengan apa yang dituliskan oleh Budiman, bahwa apa yang disebut sebagai ”wajah ekstrem” sebuah penderitaan juga tidak mudah untuk dijelaskan dan difahami. Bahkan apa yang kita alami sebagai penderitaan tidak bisa kita lepaskan dengan pandangan-pandangan tentang pengalamn lain di sekitar kita dan pengalaman berhadapan dengan kenyataan-kenyataan lain yang membentuk totalitas sebagai ”manusia yang menyejarah”. Artinya penegasannya bahwa pengalaman makna di dalam penderitaan itu hanya mungkin, jika orang mengorientasikan dirinya pada makna fragmen-fragmen kehidupan lainnya.
Prinsip pandangan eksistensialisme Frankl ini yang mengandaikan mansuia sebagai individu akan mampu ”menikmati” penderitaan dengan sempurna. Meskipun pada tataran kongkrit apakah ada makluk manusia semacam itu yang mampu dengan bebasnya memilih pilihan bebasnya untuk menderita. Cara pandang tentang ”kebermaknaan” ini cukup berbeda dengan beberapa pemikir eksistensialis lainnya seperti Jean Paul Satre ataupun Albert Camus yang lebih melihat bahwa ”hidup adalah sesuatu yang prinsipnya tidak bermakna”. Maka bagi satre dan Camus, kita harus menemukan cara yang tepat untuk menghadapi ketidakbermaknaan itu. Camus bahkan mengandaikan hidup seperti ”mite sisifus” di mana kita akan selalu bertemu pada titik yang berulang di mana manusia melakukan hal-hal yang sia-sia. Tetapi bagi Frankl seperti yang selalu ia ungkapkan ”manusia tetap mungkin mengalami kehidupan spiritual di mana manusia mampu menarik diri dari situasi yang menyedihkan dan memasuki kehidupan yang mendalam yang kaya akan kebebasan spiritual”.
Sikap transedensi ini ini menunjukan prinsip selanjutnya dari Frankl. Bahwa manusia juga perlu memahami bahwa pada prinsipnya manusia mempunyai ’hal trasenden” yang ada pada dirinya. Manusia pada dasarnya selalu hidup dalam ’diri yang iamnen” dengan ”engkau yang trasenden”. Terlihat memang bahwa Frankl mempunyai pandangan religiositas yang unik bahwa pada akhirnya makna hidup yang paling dalam hanya mampu dipenuhi, jika orang mau terbuka dan bebas untuk berupaya menemukan yang trasenden di dalam dirinya. Bandingkan saja dengan apa yang pernah disampaikan oleh Sigmund Freud yang tentu juga sangat berlawanan. Dalam bukunya The Future of an Illusion, Freud bahkan menegaskan bahwa ”agama adalah neurosis universal dari umat manusia”.
Catatan penting yang bisa kita tulis untuk gagasan Frankl tentang “makna penderitaan” adalah bahwa kondisi itu jelas sangat sulit bisa kita bayangkan dalam situasi-sitausi kongkrit. Terutama bahwa kita menerima kenyataan bahwa ‘makna’ apapun dalam diri manusia selalu hadir dalam relasinya dengan entitas-entitas lain dan juga kondisi-kondisi yang lain yang tentu lebih kontekstual, relasional dan sekaligus menyejarah. Ini sekaligus penolakan terhadap pandangan potensial (hukum kondrat) bahwa manusia pada prinsipnya mempunyai “kehendak untuk mencari makna”. Maka berbeda dengan Frankl sendiri kita sebenarnya melihat secara lebih real bahwa manusia adalah mahluk kultural dan memahami ia merupakan makhluk yang selalu berdialektika dengan makna makna yang bertebaran di luar manusia. Dia bukan sosok entitas yang imanen dan steril.Tetapi selalu bertumbuh dari bangunan-bangunan nilai yang dihasilkan dari hidup yang relasional dan dialektik.
Viktor Frankl tentang Penderitaan
Gagasan dan pemikiran Viktor Frankl sebagian besar menunjukan karakteristik pemikiran ’eksistensialisme’ terutama menyangkut hakikat pencapaian manusia tentang ’makna’ hidup. Sebagian besar pemikiran tentang ’makna’ ini disebabkan pengalamannya berhadapan dengan rezim dispotik Nazi terutama pada waktu ia menjalani hidup dalam kamp-kamp kosentrasi Nazi. Dokter dan filosof Wina ini sering disejajarkan dengan beberapa pemikir besar seperti Sigmund Freud dan Adler. Jika Sigmud Freud sudah sampai pada tesis kesimpulan bahwa dorongan paling mendasar dari setiap manusia adalah ”kehendak untuk kenikmatan” dan Alfred Adler sampai pada rumusan kesimpulan bahwa yang menjadi dorongan manusia adalah ”kehendak untuk berkuasa”, Viktor Frankl sudah pada tesis kesimpulan bahwa yang dorongan terdalam manusia bukanlah ”kenikmatan” ataupun ”kekuasaan” tetapi ”kehendak untuk mendapatkan makna”. Tesis utama ini yang akan mewarnai berbagai tulisan dan pemikiran kemudian.
Dalam tulisannya, ”makna” merupakan entitas yang harus ditemukan dan bukan sesuatu yang diberikan dan diciptakan. Makna mempunyai sifatnya yang ’imanaen’ dan ’idependen’ dari pikiran manusia jadi makna sudah hadir di sana dan siap ditemukan. Bagaiman ’makna’ ini kemudian ditemukan? Bagi Viktor Frankl adalah melalui tiga cara yaitu melalui nilai-nilai yang dialami, melalui penciptaan nilai-nilai kreatif dan melalui tindakan yang memiliki nilai-nilai hidup. Dan tindakan keutamaan yang paling mendasar dan puncak bagi Frankl adalah ”menemukan makna melalui penderitaan”. Pada poin ini yang sebagian besar telah diulas oleh Fransisco Budi Hardiman dalam bukunya ”Memahami Negatifitas”. Ada beberapa premis yang menarik untuk dilihat.
Pertama menurut Frankl bahwa penderitaan memiliki ”makna imanen”. Hanya jika orang tidak lagi dapat menolak penderitaan , orang seharusnya tidak hanya memiliki keberanian untuk memikul penderitaan itu , melainkan juga belajar untuk dapat menderita. Frankl mengatakan ini sebagai ”kemampuan untuk menderita”. Prinsip ini jika kita lihat sebenarnya didasari dan sangat dipengaruhi oleh prinsip pandangan eksistensialisme tentang manusia yang memiliki kebebasan untuk berkehendak bahkan ”kehendak untuk menderita”. Prinsip ini juga dipengaruhi oleh prasyarat situasi ekstrim di mana ”manusia dalam kondisi tidak bisa memilih (tragis)”
Dalam situasi kongkrit, barangkali ’pengalaman penderitaan’ mungkin hanya bisa berlaku secara subjektif di mana penekanan apa yang menjadi batas penderitaan juga berlaku relatif tidak sama bagi semua orang. Dan memang untuk memahami apa yang dipikirkan oleh Viktor Frankl butuh empati luar biasa dan ini mungkin tidak bisa tercapai tampa sebuah keterlibatan yan nyata atas situasi ’penderitaan’.
Menarik apa yang diulas Fransisco Budi Hardiman, apakah memang benar sebuah penderitaan adalah bersifat ’imanen’ dan tidak tergantung pada situasi sosial dan historis di mana manusia hidup? Kelihatan pemikiran ini susah untuk difahami manakala manusia secara prinsip hidup dalam situasi sosial, budaya, dan sejarah yang ikut menentukan sikap dan pandangan manusia termasuk juga tentang ’makna penderitaan’. Sulit dibayangkan misalnya ketika ini ’seakan’akan berlaku bagi pengalaman batin semua orang. Orang yang relatif sepanjang hidupnya penuh dengan kemapanan, kecukupan dan oleh pandangan umum mampu untuk menikmati kelayakan hidup bahagia pasti akan berbeda dengan mereka yang secara sosial terpinggirkan, teraniaya dan hidup dalam kekurangan untuk memberi pandangan dan sekaligus memaknai penderitaan. Apa yang digagas dan direnungkan Viktor Frankl jelas menolak determinasi-determinasi faktor luar yang membentuk ’makna’. Makna bagi Frankl bersifat ”apriori” dan ”independen”.
Namun jika kita telaah, sepakat dengan apa yang dituliskan oleh Budiman, bahwa apa yang disebut sebagai ”wajah ekstrem” sebuah penderitaan juga tidak mudah untuk dijelaskan dan difahami. Bahkan apa yang kita alami sebagai penderitaan tidak bisa kita lepaskan dengan pandangan-pandangan tentang pengalamn lain di sekitar kita dan pengalaman berhadapan dengan kenyataan-kenyataan lain yang membentuk totalitas sebagai ”manusia yang menyejarah”. Artinya penegasannya bahwa pengalaman makna di dalam penderitaan itu hanya mungkin, jika orang mengorientasikan dirinya pada makna fragmen-fragmen kehidupan lainnya.
Prinsip pandangan eksistensialisme Frankl ini yang mengandaikan mansuia sebagai individu akan mampu ”menikmati” penderitaan dengan sempurna. Meskipun pada tataran kongkrit apakah ada makluk manusia semacam itu yang mampu dengan bebasnya memilih pilihan bebasnya untuk menderita. Cara pandang tentang ”kebermaknaan” ini cukup berbeda dengan beberapa pemikir eksistensialis lainnya seperti Jean Paul Satre ataupun Albert Camus yang lebih melihat bahwa ”hidup adalah sesuatu yang prinsipnya tidak bermakna”. Maka bagi satre dan Camus, kita harus menemukan cara yang tepat untuk menghadapi ketidakbermaknaan itu. Camus bahkan mengandaikan hidup seperti ”mite sisifus” di mana kita akan selalu bertemu pada titik yang berulang di mana manusia melakukan hal-hal yang sia-sia. Tetapi bagi Frankl seperti yang selalu ia ungkapkan ”manusia tetap mungkin mengalami kehidupan spiritual di mana manusia mampu menarik diri dari situasi yang menyedihkan dan memasuki kehidupan yang mendalam yang kaya akan kebebasan spiritual”.
Sikap transedensi ini ini menunjukan prinsip selanjutnya dari Frankl. Bahwa manusia juga perlu memahami bahwa pada prinsipnya manusia mempunyai ’hal trasenden” yang ada pada dirinya. Manusia pada dasarnya selalu hidup dalam ’diri yang iamnen” dengan ”engkau yang trasenden”. Terlihat memang bahwa Frankl mempunyai pandangan religiositas yang unik bahwa pada akhirnya makna hidup yang paling dalam hanya mampu dipenuhi, jika orang mau terbuka dan bebas untuk berupaya menemukan yang trasenden di dalam dirinya. Bandingkan saja dengan apa yang pernah disampaikan oleh Sigmund Freud yang tentu juga sangat berlawanan. Dalam bukunya The Future of an Illusion, Freud bahkan menegaskan bahwa ”agama adalah neurosis universal dari umat manusia”.
Catatan penting yang bisa kita tulis untuk gagasan Frankl tentang “makna penderitaan” adalah bahwa kondisi itu jelas sangat sulit bisa kita bayangkan dalam situasi-sitausi kongkrit. Terutama bahwa kita menerima kenyataan bahwa ‘makna’ apapun dalam diri manusia selalu hadir dalam relasinya dengan entitas-entitas lain dan juga kondisi-kondisi yang lain yang tentu lebih kontekstual, relasional dan sekaligus menyejarah. Ini sekaligus penolakan terhadap pandangan potensial (hukum kondrat) bahwa manusia pada prinsipnya mempunyai “kehendak untuk mencari makna”. Maka berbeda dengan Frankl sendiri kita sebenarnya melihat secara lebih real bahwa manusia adalah mahluk kultural dan memahami ia merupakan makhluk yang selalu berdialektika dengan makna makna yang bertebaran di luar manusia. Dia bukan sosok entitas yang imanen dan steril.Tetapi selalu bertumbuh dari bangunan-bangunan nilai yang dihasilkan dari hidup yang relasional dan dialektik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar