Hati-hati Ada Hantu Partai Politik..!!! (bagian lima)
Memang selalu menarik untuk mencermati keputusan dan kebijakan hirarkhi Gereja terhadap munculnya kekawatiran pemilu. Ajakan berpartisipasi dalam Pemilu oleh Gereja perlu mendapat catatan :
Pertama, aspek kepentingan dan perimbangan situasi politik masih cenderung menjadi latar pertimbangan untuk mengeluarkan penegasan-penegasan sikap gereja. Tentu kita masih sangat ingat, tahun 1997, Gereja pernah mengeluarkan Surat Gembala untuk menanggapi problem krisis politik ekonomi ndan terutama penyikapan terhadap Pemilu 1997. "MEMILIH GOLPUT ADALAH TINDAKAN YANG TIDAK BERDOSA". Kecuali bahwa 'fatwa' tersebut sangat berimplikasi terhadap 'pergeseran suara warga gereja', seruan tersebut juga ditafsir banyak kalangan masih sangat abu-abu. Apa yang kemudian disebut "GOLPUT" tidak diperjelas dalam tindakan-tindakan politis kongkrit. Sehingga jatuh pada seruan moral yang multiinterpretasi. Apalagi jika titik sikap gereja melihat "GOLPUT" adalah penting, maka seruan itu tidak harus datang sebagai kebijakan "top down” dan terlihat "reaksioner”Apalagi pertimbangan waktu baru datang ketika krisis politik 1997 sudah di depan mata. Padahal sebagai bagian hirarkhi yang besar memang selayaknya ia harus digerakkan jauh-jauh hari sebagai bagian langkah prediksi gereja. Apa yang menjadi jantung problem politik bukan sekedar problem struktural negara apalagi hanya dilihat dalam mesin waktu meknaik lima tahunan. Prinsip "menggereja" dalam jantung "rakyat sebagai basis" adalah kiranya penting untuk digagas dan dikembangkan dalam sikap dan kebijakan politik Gereja. Keberhasilan Fernando Lugo merebut posisi kepemimpinan politik di Paraguay tidak semata-mata karena ia dilihat sebagai mantan Uskup katolik yang populer tetapi dibangun dalam sejarah panjang persentuhan dengan kekuatan-kekuatan basis di negeri itu. Ia dipercaya bukan karena 'identitas" sebagai pastur tetapi 'keterlibatan seriusnya' untuk memperjuangkan rakyat Paraguay yang tertindas dalam rezim lama yang otoriter dan korup. Sehingga rakyat percaya dan tidak ragu-ragu untuk memberi pilihan politik.Apakah pilihan perjuangan politik itu juga menjadi karakter Gereja Katolik Indonesia? saya pikir kita masih sangat jauh.
Kedua, pilihan-pilihan terhadap penyikapan "pemilu" sebenarnya harus dilihat dalam kaca mata yang lebih 'struktural' dalam basis sistem yang lebih menyeluruh. Secara ontologi apakah "pemilu" adalah benar-benar menjadi ruang yang tepat dalam perjuangan keperpihakan atau tidak? Tidak hanya diletakan dalam pragmatisme situasional tetapi lebih menyentuh dalam aspek menyeluruh sebagai bangunan sistem negara. Jangan-jangan menjadi benar sebagaimana analisis banyak orang bahwa langkah kebijakan fatwa untuk "GOLPUT" tahun 1997 bukan berlandaskan dari suara-suara basis gereja yang menyadari secara penuh situasi itu tetapi karena "kepentingan Gereja" menyadari bahwa memang "rezim Soeharto" dalam beberapa hal sudah tidak lagi bisa menguntungkan Gereja. Jangan-jangan juga bahwa langkah itu sekaligus bisa menutupi rangkaian historis panjang ketika kekuatan-kekuatan Katolik di luar Gereja Katolik juga pernah bersanding mesra dengan kekuasaan Orde Baru hingga akhir hidupnya di tahun 1998. Jika demikian adanya inilah yang selalu kita katakan bahwa kita jauh dengan misi 'keterlibatan" seperti pengalaman negeri-negeri Amerika Latin. Bayangkan saja jika spirit itu dibawa ke Indonesia. Pastilah kita akan bisa menyaksikan kekuatan progresif luar biasa dari kekuatan Gereja yang juga pernah melahirkan perjuangan besar di Brasil seperti langkah maju MST Brasil yang berhasil menjadi patron gerakan tani seluruh dunia. Atau juga mampu minimal melahirkan sosok-sosk seperti Uskup Romero, Gustavo Gutierrez ataupun Fernando Lugo saat ini.
Ketiga, jika kemudian saat ini pemilu menjadi dibaca berbeda seperti dieksplisitkan dalam sikap himbauan untuk mencoblos dan berpartisipasi dalam pemilu tentu harus kita beri catatan. latar belakang ketakutan bahawa "ada kekuatan-kekuatan lain yang akan memanfaatkan pemilu ini jika kita tidak berpartisipasi" terbaca masih sangat lemah. Bukanlah kalau demikian adanya maka ia harus juga bisa diletakkan dalam pemilu di masa dan waktu apapun. Apakah pemilu 1999 dan pemilu 2004 kemarin juga tidak ada hal yang dikawatirkan gereja ? Jelas tentu ada. Apalagi apa bedanya Pemilu tahun 1997 dan pemilu 2009 dalam bacaan politik Gereja. Ini seharusnya juga dijelaskan dalam narasi argumentasi yang mendalam. Sehingga umat tidak justru bingung dan menarik garis kesimpulam bahwa sikap gereja masih dan sering "abu-abu".
Keempat, sikap berpartisipasi dalam pemilu akan memberi kesan bahwa Gereja seakan begitu saja berasumsi untuk menyeragamkan bahwa semua Partai politik bisa kita anggap relevan sama untuk kita pilih. Kalaupun asumsi ini salah pastilah bahwa "hati nurani" kita yang disuruh mengawal pada pencoblosan nanti. Padahal katagori-katagori imperatif tentang "hati nurani" sangatlah abstrak dan sangat susah untuk diukur. Barangkali Gereja juga penting untuk menegaskan mana-mana saja Partai Politik, menurut pertimbangan hati nurani layak untuk kita pilih. Dilemanya pastilah akan memunculkan kontroversi luar biasa, karena banyak orang-orang katolik justru tersebar di semua partai politik. Alih alih akan memperjelas pilihan, penegasan itu justru akan memancing konflik di kalangan umat Gereja. Namun jika Gereja meletakkan pada katagori hati nurani maka kita toh juga akan tetap mengulang kesalahan asumsi politik 1999 dan 2004 bahwa kita ternyata hanya akan memilih para bandit dan avonturis politik yang justru bernegasi dengan spirit Gereja dalam memperjuangkan keadilan bagi umat.
Kelima,sebenarnya jika dilihat secara lebih jujur ada perimbangan dan konstalasi politik kontenporer yang saat-saat ini menjadi keprihatinan dan sekaligus kekawatiran Gereja. terutama mengenai menguatnya kekuatan-kekuatan ekstrim kanan fundamentalisme yang akan dibawa oleh beberapa faksi politik Islam. Mungkin asumsi Samuel Huntington kadang memberi dalih pembenaran bahwa perimbangan kekuatan Islam mulai mengusik sistem kenegaraan kita. Mungkin spirit Piagam Jakarta menjadi momok keprihatinan yang kemudian menjadi latar belakang sikap politik Gereja terutama dalam Pemilu ke depan. Partai partai besar dengan garis "sekuler tengah" dan "islam moderat" sekian waktu sudah terbukti banyak "gagal" dalam menjawab tuntutan masyarakat. Orang pastilah kian melirik alternatif-alternat if yang dibawa partai-partai lain. Ini bagi saya barangkali keniscayaan jika tidak ada perubahan fundamental pengembangan sistem politik kita. Partai islam radikal pastilah dan fundamentalis pastilah akan banyak mendapat dukunganb. Asumsi ini menguat ditambah dengan berbagai pendiskusian di beberapa wilayah dan komunitas gereja di Indonesia yang selalu mengusung tematik kebangkitan fundamentalisme Islam. Bahkan dalam perkembangan politik lain mulai diwacanakan meskipun masih dalam ruang yang terbatas untuk menyandingkan kekuatan "sekuler tengah", "islam moderat" dengan "kekuatan kiri tengah" sebagai upaya membendung "ekstrim kanan Islam" ini. Anasir-anasir ini mulai menggeliat di beberapa pembentukan front dan aliansi politis. Bahkan dibeberapa kesempatan spirit sosialisme mulai tidak ragu diangkat dalam diskusi-diskusi di komunitas Gereja dan di media-media publik umum. Beberapa media seperti Kompas bahkan sangat perlu untuk mengangkat 'spirit' keberhasilan Fernando Lugo dan bangkitnya sosialisme dunia untuk menjadi alternatif tawaran di Indonesia. Karena dalam sejarah politik hanya kekuatan inilah yang mampu menjadi rival kuat bagi kekuatan kanan. Lihat sejarah 1955 di mana perimbangan politik tetap masih memakai kerangka logika itu.
Keenam, di luar persoalan "pemilu"; seyogyanya kita mulai memikirkan alternatif gerakan muda dan sekaligus sistem politik yang perlu kita kembangkan sehingga secara mendasar kita bisa bersama-sama membangun 'KERAJAAN SURGA DUNIA SEMACAM APA YANG KITA INGIN BENTUK DAN KITA SEPAKATI". Tidak hanya terbatas pada seruan dan slogan-slogan normatif saja tetapi terwujud dan bisa hidup dalam jantung sejarah yang kongkrit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar