Senin, 10 Mei 2010

Penulisan Sejarah Kritis Berperspektif Korban

Penulisan Sejarah Kritis
Berperspektif Korban


“Historiografi yang reflektif tidak saja menguji secara kritis
metodologi sejarah, tetapi juga menguji dan merumuskan kembali
berbagai klaim kebenaran dan menyelidiki terbentuknya
klaim kebenaran secara histories”
(Henk Schulte Nordholt)

Sejarah tidak hanya berguna karena peran pentingnya untuk landasan tercapainya identitas kolektif atau nasional yang kokoh bagi sebuah bangsa, namun sejatinya juga sangat penting untuk mengawal bagi perjalanan sebuah kekuasaan. Di titik inilah pembentukan berbagai pengetahuan sejarah tidaklah hanya bermakna akademis dan intelektual semata, namun sarat dengan kandungan berbagai dimensi kepentingan baik politis maupun ideologis. Proyek penulisan sejarah berbagai fakta dan peristiwa masa lalu, tidak sekedar dimengerti sebagai wujud kegiatan pengumpulan artefak-artefak sejarah dengan berbagai metode yang objektif dan bebas nilai, melainkan berkecenderungan menyimpan nalar motif dan tendensi kepentingan tertentu. Penguasaan produksi, reproduksi dan sekaligus sirkulasi pengetahuan sejarah bagi masyarakat tidak mudah melepas diri dengan nalar kepentingan tersebut. Apa yang diyakini saat ini sebagai ‘kebenaran sejarah’ tentu saja selalu masih menyimpan sisa ruang yang perlu untuk dikritisi dan dikembangkan lagi.

Sejarah secara mendasar tidaklah ruang steril. Ia merupakan medan penting berbagai pertarung an untuk memperebutkan kebenaran. Praktiknya, kekuasaan dominan mudah untuk menjadi pemenangnya. Ia berkuasa untuk menentukan fakta dan peristiwa sejarah mana yang pantas dipilih dan fakta mana yang perlu untuk dibuang. Problem dinamika ketegangan penulisan sejarah selalu berakar dari kutub ini. Narasi sejarah resmi biasanya sanggup meletakan tutur kisahnya sebagai hal yang harus diterima sebagai kebenaran tunggal dan menutup diri terhadap hadirnya narasi sejarah alternatif yang masih hidup dalam ruang-ruang pinggiran. Namunpun demikian, meskipun berserak, narasi-narai pinggiran itu selalu hidup. Diantara polemic ketegangan antara narasi besar dan narasi-narasi kecil pinggiran, banyak membentuk warna dinamika kekuasaan tersendiri.

Saat Orde Baru begitu kuat dalam membangun sistem kekuasaan politiknya, nyaris tidak ada peluang terhadap hadirnya keterbukaan untuk menuturkan sejarah secara lebih kritis. Hampir puluhan tahun tidak ada ruang yang cukup untuk menyusun sejarah lebih adil dan demokratis. Apa yang sudah tertuliskan narasi resmi harus diterima sebagai fakta kebenaran tunggal. Usaha di luar itu sering kali dianggap sebagai tindakan subversif. Siapapun dan apapun yang keluar dalam batas-batas yang dikehendaki narasi resmi akan berhadapan dengan tembok koersif kekuasaan seperti keputusan pembredelan, pelarangan dan bentuk-bentuk sanksi hukum yang lain. Inilah masa yang cukup berat bagi usaha untuk melakukan rekonstruksi dan pelurusan sejarah Indonesia yang sekian lama mengalami distorsi oleh nalar otoritas kekuasaan yang absolut. Sejarah korban sekian tahun harus menerima nasib untuk ditenggelamkan dalam nalar sejarah yang resmi. Penulisan sejarah dengan mempertimbangkan perspektif korban tentu saja sulit ditemukan. Apa yang kemudian dominan tertulis adalah versi sejarah yang cenderung berorentasi pada upaya pembenaran kekuasaan dan berjalannya satus quo. Sejarah kemudian lebih dimaknai dan dimengerti secara tunggal; dan seragam.

Perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang terepresentasi dalam dinamika sosial politik yang dibangunnya tentu tidak hadir dalam garis datar. Banyak dimensi berbangsa dan bernegara yang begitu rupa menghadirkan kisah sejarah yang linier. Dalam banyak momen sejarah penting, selalu akan banyak terlihat hadirnya berbagai kontradiksi. Dalam berbagai ketegangan sosial politik yang hadir seringkali melahirkan apa yang disebut sebagai ‘korban’. Definisi ini untuk menyebutkan semua orang yang karena dinamika kekuasaan harus menerima nasib dipinggirkan, disampingkan dan terabaikan. Ia bisa saja sebagai pribadi, kelompok, komunitas maupun sektor-sektor tertentu dalam masyarakat. Korban selalu diposisikan di ruang-ruang pinggiran, jauh dari penghormatan dan perhatian negara. Ia akan menjadi ‘liyan’ yang terdiskriminasi dan selalu rentan terhadap kemungkinan-kemungkinan peminggiran baru. Korban adalah komunitas yang minor dan kecil yang selalu harus menempati ruang hidup yang dibedakan.

Sejarah ‘korban’ dalam otoritarianisme politik tentu masih sepi terdengar. Ia bahkan nyaris jarang tertulis dan terdokumentasi dengan baik. Politik pelupaan telah menyandera haknya untuk dibaca dan didengar. Sejarah korban secara keras tidak diberi tempat untuk bersuara. Sejarah umum yang tertulis selalu penuh dengan catatan-catatan prestasi kekuasaan. Banyak fakta yang mendukung ditampilkan dan fakta yang tak selaras kemudian disembunyikan. Kalaupun ada perbincangan ‘korban’, ia masih cenderung diinterpretasikan secara salah. Masyarakat umum akhirnya menganggap sejarah korban tidak pernah ada dalam lintasan dan catatan sejarah.

Imbas amat kentara dalam problem penulisan sejarah tentu saja saat ini masih dihadapi pada dunia pendidikan nasional. Dengan nalar sejarah yang masih didominasi oleh watak penyeragaman dan kontrol pendidikan yang berorientasi pada kekuasaan negara, sangat sulit untuk mengembangkan bentuk penulisan teks-teks pegangan sejarah yang keluar dari pakem resmi negara. Pasca reformasi dan mulai berkembangnya gerakan-gerakan kritis atas upaya rekonstruksi sejarah Indonesia, belum menunjukan tahap kemajuan yang berarti. Negara masih saja phobia dengan upaya penulisan sejarah kritis terutama memberi kesempatan pada narasi-narasi pinggiran untuk bersuara. Alhasil, bisa tersimpulkan bahwa penulisan sejarah nasional saat ini masih jauh dari orientasinya untuk berpihak pada korban.

Sekiranya disinilah catatan besar yang belum selesai dalam upaya membangun sejarah Indonesia yang lebih adil dan manusiawi, yang sekaligus menjadi bagian tak terpisahkan untuk mendorong nilai-nilai demokratisasi dan berkembangnya peradaban bangsa yang lebih bermartabat. Salah satu tugas penting itu sebenarnya ada dalam pundak sistem pendidikan. Ia amat dekat untuk bisa menyentuh generasi bangsa yang berhak atas pemaparan sejarah yang benar. Ia juga menjadi garda depan dalam pelibatan bukan saja aspek sosialisasi tetapi sekaligus setiap refleksi dan internalisasi yang harus dibangun terus-menerus dalam pengajaran sejarah nasional. Lebih kongkritnya, mandat itu amat dekat dengan para guru dan pendidik yang memang sehari-hari bertugas untuk menularkan gagasan-gagasan penting atas penulisan sejarah.

Upaya membaca kembali sejarah lebih kritis dan mengawal pembelajaran sejarah lebih benar adalah memang tugas yang harus diemban setiap pengajar sejarah. Tentu saja pengembangan kearah sana membutuhkan satu model yang lebih serius dan kontinyu untuk bukan saja menyiapkan para guru sejarah untuk mempu menajar sejarah dengan benar, tetapi juga melibatkan mereka dalam menggali kemungkinan-kemungkinan terobosan baru lebih kritis dalam pengembangan penulisan sejarah nasional lebih baik. Gagasan terobosan itu salah satunya bisa dimulai dengan berbagai bentuk pelatihan penulisan sejarah kritis berperspektif korban yang ditujukan bagi para pengajar sejarah. Model pembelajaran semacam, ini diyakini akan mampu menyiapkan para pengajar tidak hanya mentransferkan pengetahuan semata, tetapi ikut menjadi subjek penuh dalam upaya membangun sejarah Indonesia lebih adil dan manusiawi.

Dasar pertimbangan praktisnya tentu saja untuk sekaligus membantu pengembangan kapasitas sumber daya para pengajar sejarah baik dalam pemberian asupan nilai-nilai kritis dalam isi pembelajaran sejarah tetapi juga memberi pembekalan yang bermanfaat bagi para pengajar untuk mampu menuliskan ide-ide gagasannya mengenai berbagai persoalan yang menyangkut bidang dimensi sejarah. Dalam jangka panjang para pengajar dan pendidik sejarah bukan orang-orang yang hanya sekedar mensosialisasikan pengetahuan sejarah secara definitif melainkan juga ikut menjadi bagian utuh dan penting dalam mendorong terciptanya bangunan sejarah Indonesia yang benar-benar mengargai demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan yang lainnya.

Tidak ada komentar: