Resensi Buku
Judul Buku : Kebebasan Semu (Penjajahan Baru di jagat Media)
Penulis : Agus Sudibyo
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Tahun terbit : November 2009
Hal isi : xxxiii + 250 hlm (14 cm x 21 cm)
Anomali dan Rekonservatisme
Politik Media
Oleh : St Tri Guntur Narwaya, M.Si
”Tidak ada ranah publik
yang tidak mengandaikan
kebijakan publik”
(Simon Resich)
Media massa secara praktik telah menjadi bagian integral dan tidak terpisahkan dalam domain hidup sosial masyarakat. Kiprah keberadaannya tidak lagi menjadi sekedar instrumen pelengkap dari sebuah sistem hidup. Ia menjadi bagian dan faktor determinan amat penting dalam sistem yang lebih luas. Begitu vitalnya peran yang bisa dihadirkan, media massa telah meletakkan posisinya yang amat penting pada posisi perjalanan bangsa. Ia menjadi bagian penuh dari dunia hidup masyarakat sendiri.
Sejarah juga memberi catatan bagaimana media massa ikut berdinamika dalam pasang surut kompleksitas persoalan negara. Kerekatan ini mempertegas tesis penting bahwa media massa sejatinya tidak pernah menjadi realitas pada dirinya sendiri. Ada banyak dimensi dan variabel yang melingkupi keberadaan media. Sistem politik, ekonomi dan budaya adalah dimensi-dimensi struktural penting dalam merias wajah dan watak yang dimunculkan media.
Kekuasaan politik Orde Baru adalah kasus yang bisa memberi contoh sangat jelas. Begitu lama watak otoritarianisme teleh menjebak media massa hanyut dalam sistem yang sangat represif. Media massa tak ubahnya hanya sekedar corong dan mesin propaganda bagi kekuasaan. Rasionalitas birokratis dan peran maha besar negara dalam mengatur media begitu sangat kuat. Tak ada penghargaan atas ruang publik yang demokratis. Dikte negara atas media menyentuh banyak dimensi baik konten, legislasi maupun pemusatan modal kepemilikan yang memusat pada kuasa ekonomi kroni.
Transisi politik 1998 ikut membawa dorongan perubahan bagi wajah media massa. Banyak pihak sedikitnya berharap dan percaya bahwa ’determinasi negara’ sepertinya sudah lewat. Kebangkitan masyarakat sipil menjadi harapan baru bagi keberlangsungan politik media yang lebih demokratis dan deliberatif. Tidak sedikit pula kebijakan-kebijakan dalam sektor legislasi pengelolaan media mengalamai perubahan-perubahan. Pendekatan ekonomi dan politik yang mengutamakan penghargaan kedaulatan publik (public-based power) menjadi harapan dari perubahan besar transformasi media massa Indonesia. Kritik dan sekaligus harapan tentang berbagai persoalan model pengelolaan kebijakaan media inilah yang ingin serius dieksplorasi dalam buku Agus Sudibyo.
Buku setebal 249 halaman ini bisa dikatakan bukanlah buku yang sistematis berbicara khusus pada problem regulasi ranah kebijakan media. Dalam bab tertentu bahkan tidak secara langsung membahas catatan berkait ’kebebasan pers’ sesuai yang ada dalam judul buku ini. Namun beberapa bab buku ini menjadi menarik karena justru banyak poin yang ingin diangkat sebagai catatan kritis atas berbagai tautan dan relasi persoalan berkait media. Karena struktur yang dibangun tidak sistematis, maka banyak tidak disadari oleh penulis, terjadi banyak penekanan pengulangan di beberapa bagian buku.
Dalam awal tulisannya, penulis menampilkan pertanyaan : Benarkah pasca keluarnya dari sitem determinasi negara ala Orde Baru, sistem kebijakan media sudah berorientasi pada determinasi publik atas ruang media? Pergeseran ini memang terjadi tetapi bukan pada ranah menguatnya peran publik. Market Based Power sebagai kecenderungan justru banyak mengambil alih posisi tersebut. Rasionalitas negara makin berkurang seiring menguatnya ’rasionalitas modal’ atas media massa. Bahkan dibanyak hal justru terjadi banyak perselingkuhan dan konsolidasi diantara rasionalitas kekuasaan modal dan kekuasaan negara. Kebebasan pers dan usaha mendemokratisasikan berbagai sistem kebijakan atas media masih jauh dari harapan. Di banyak kesempatan, pemerintah justru kembali banyak melakukan politik intervensi dan kontrol.
Beberapa politik legislasi atas pengaturan kebebasan pers lagi-lagi banyak melibatkan peran besar pemerintah. Ada kecenderungan sikap paranoid dan ketakutan akan prinsip kebebasan pers jika memang pemajuan demokratisasi dilakukan. Beberapa RUU yang digulirkan pemerintah terlihat membawa aroma ketakutan tersebut. Ambil kasus beberapa RUU seperti RUU Rahasia Negara, RUU Pers, RUU KUHP, UU Pornografi dan juga Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik.
Di awal pemaparannya, gejala tentang menguatnya kontrol negara oleh penulis disebut sebagai gejala ’substansialisasi negara’. Ada upaya mengembalikan pengkultusan dan sakralisasi atas negara dalam pengelolaan masyarakat. Kebebasan pers hanya disubordinasikan dalam kepentingan membangun stabilitas negara. Dalam satu kesimpulan yang tertuang dalam buku ini penulis memberikan poin krusialnya bahwa ”Politik kebijakan pemerintah di bidang media dan komunikasi tidak berlandaskan pada satu imperatif untuk menciptakan ruang publik yang demokratis -deliberatif, namun lebih didasarkan pada rasionalitas strategis untuk mengarahkan praktek bermedia sesuai dengan kepentingan kekuasaan”. Bahkan penulis tidak ragu-ragu menyebutkan bahwa ”perubahan regulasi yang terjadi belakangan ini justru telah memfasilitasi gerak rekolonisasi, rebirokratisasi dan rekomersialisasi”.
Bab pertama buku ini ingin membaca gejala ’anomali’ dunia penyiaran pasca 2002. Melalui kerangka perspektif Habermasian, bab ini banyak melihat apa yang sebenarnya bisa dibangun dan diartikan sebagai penciptaan ruang publik yang demokratis sebagi ruang hidup manusia. Meskipun apa yang dibayangkan oleh Habermas masih jauh dari kenyataan, tetapi sedikitnya bisa menjadi acuan epistemologis ke arah sana. Ikut campurnya pemerintah secara berlebih dianggap sebagai bentuk kebijakan yang akan membuat patologi dalam sistem kebijakan media. Meminjam Jurgen Habermas, patologi muncul saat semakin banyak wilayah kehidupan dikomersialisasi sehinggta tindakan individu semakin didikte oleh pertimbangan ekonomis dan pragmatisme birokratis.
Penulis perlu untuk mendudukan dua posisi atas kebijakan media dalam kerangka pembacaan kehidupan media. Apakah sistem kebijakan itu hanya merepresentasikan sebuah sitem dan regulasi yang lebih bersifat mekanis ataukah ia merupakan gambaran kongkrit, meminjam istilah Habermas sebagai pengaturasn ’sistem dunia kehidupan’? Media dianggap sebagai kebertemuan ’rasionalitas komunikasi’ dan ’rasionalitas strategi’. Media adalah bagian ruang kehidupan dan ia merupakan ruang simbolik tempat bersemainya berbagai kebertemuan nilai, kesadaran, pemikiran, diskursus, dan tempat berlangsungnya pembentukan konsesus masyarakat. Namun tidak dipungkiri bahwa media juga mempunyai wajah guna yang lain sebagai institusi ekonomi yang bekerja atas dorongan rasionalitas mencari keuntungan (bisnis).
Sepakat dengan gagasan teoritik Habermas, penulis buku ini menyadari pentingnya mengintegrasikan dua wajah guna tersebut. Integrasi sosial dunia kehidupan dan integrasi sitem dalam ranah media seharusnya saling mengandaikan. Dalam ruang publik yang demokratis, integrasi sistem bisnis media harus selalu mengandaikan dan mempertimbangkan ’legitimasi masyarakat’. Karena kalau tidak demikian, media massa akan terseret pada semata rasionalitas ekonominya yang hanya melihat masyarakat sebagai objek konsumen semata.
Pada kenyataan yang nampak, apa yang menjadi bayangan Habermas belumlah nampak dilakukan. Pasca 1998, dalam sektor regulasi saja, kebijakan negara tidak sungguh-sungguh ingin menyerahkan pada kepentingan publik dalam pengertian yang lebih luas. Bahkan dalam banyak hal justru telah terjadi kecenderungan ’rekolonisasi’, ’rebirokratisasi’, dan ’rekomersialisasi’ ranah penyiaran. Fungsi demokratis-deliberatif masih menjadi mimpi. Potensi demokratis justru kembali tenggelam dan yang justru semakin menguat adalah rasionalitas modal dan rasionalitas administrasi birokratis.
Pada Bab IV buku ini lebih menelisik beberapa tendensi sikap pemerintah yang memang masih banyak memberi interpretasi negatif atas makna ’kebebasan pers’. Secara langsung atau tidak langsung, sikap negatif itu terekspresikan dalam berbagai rancangan undang-undang yang dibuat baik yang berkait langsung dengan pengaturan media atau tidak secara langsung berkait dengan itu seperti RUU Inteljen, RUU Rahasia Negara dan RUU Antipornografi. Yang mengemuka dari butir-butir rancangan undang-undang tersebut adalah sikap kecurigaan berlebihan terhadap masyarakat sipil, sikap anggap remeh terhadap kemampuan masayrakat dalam mengatur dirinya sendiri dalam menggunakan kebebasannya secara bertanggungjawab. Tentu sikap semacam ini merupakan gambaran mundur dari cita-cita besar proses demokratisasi ranah media. Bahkan dalam dimensi yang lain menunjukan sikap konservatisme dan otoritarianisme baru yang sangat mengancam kebebasan pers sebenarnya.
Menarik untuk langsung meloncat membaca catatan bab terakhir dari Agus Sudibyo. Cukup penting membincangkan kembali aspek dasar epistemologi media terutama posisi jurnalistik media. Bukan semata bahwa di bab-bab sebelumnya hampir hanya merupakan kajian tambahan catatan yang sama dengan orientasi bab-bab awal, tetapi bahwa di pengujung bab, penulis buku ini mengajak untuk meneropong lebih mendasar bangunan epsitemologis yang seharusnya dibentuk.
Ada dua arus besar epistemolgis yang cukup berpengaruh yakni : paradigma positivistik-liberal dan paradigma konstruksionis-kritis. Paradigma positivistik-liberal berangkat dari pengandaian bahwa media merupakan sarana dan pilar penting untuk membangun masyarakat informatif yang mampu berjalan secara rasional dan objektif. Peran media menjadi penting di sana. Terjadi kecenderungan determinasi terhadap peran media ini. Di era post-faktual, pengandaian klasik semacam ini telah mengalami perubahan. Bahkan di banyak hal era modern saat ini epa yang terjadi sebagai realitas media tidak hanya dibaca secara linier. Ada berbagai kerumitan u8ntuk bisa membaca kondisi hubungan media dan masyarakat ketimbang hanya mendiskusikannya dalam batas-batas yang sudah dianggap pasti.
Bab terakhir ini mengangkat perdebatan epsitemologi yang dilakukan antara Walter Lippmann dan John Dewey mengenai sejatinya apa peran media dalam masayarakat. Dibeberapa ulasannya juga menyeret beberapa catatan kritik dari para pemikir seperti Noam Chomsky. Lippmann lebih mendudukan jurnalistik dan mempercayainya sebagai sarana yang bisa menemukan kebenaran-kebenaran secara objektif dengan pengandaian ilmiah dan visi scientifiknya. Dewey sebaliknya lebih meliat media dan terutama jurnalistik bukan sebagai upaya substansialisasi dan purifikasi fakta berdasarkan kaidah-kaidah yang saintifik. Nalar pikir semacam ini di banyak hal justru banyak mereduksi dan mengenalisis realitas. Titik poin Dewey ada dalam rumusan bahwa : Jurnalistik hanyalah cara untuk membantu merumuskan secdara diskursif apa yang disebut kebenaran dan memastikan bahwa publiklah yang paling otoritatif mengkalim kebenaran tersebut. Dalam catatan akhirnya yang cenderung menyetujui titik poin Dewey, penulis memberi garis bawah bahwa ”fungsi media secara epistemologis dan moral adalah memastikan, melalui publikasi, permahaman bersama tentang dunia kehidupan.
Secara umum tawaran catatan kritis yang dibangun Agus Sudibyo juga masih terlihat normatif sehingga apa yang menjadi pengandaian ontologisnya belum secara lebih luas diderivasi pada epistemologis gagasan yang mendalam. Misalnya bagaimana secara lebih kritis menempatkan dan merumuskan hubungan dan kebertemuan rasionalitas ekonomis dengan rasionalitas komunikatif yang menjadi cita-cita ruang publik yang demokratis? Tidak hanya pada level ranah negara (pemerintah) tetapi pada lingkup habitus di tingkatan paling kecil di masyarakat. Bagaimana juga untuk bisa memotong dominasi ’rasionalitas ekonomi’ (modal), sementara rezim itu kian hari semakin menggurita mempengaruhi nalar publik kita? Catatan ini saya pikir masih belum secara runut dan detail dijabarkan oleh penulis buku ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar