KATA UNTUK PUISI HIDUPKU
Oleh : Risang Iwan Fadillah
Ada kata yang kerab tertinggal
Saat puisi itu kubacakan
Mencoba mengulangnya
Aksara itu tetap tertinggal
Bukan sengaja menyimpannya
Selebihnya karena hati tipis itu
Kata itu rasanya masih jauh
Tidak mudah kufahami
Lama merabanya
Terbenam mulut rapatku
Terdiam tak tereja
walau hanya satu tarikan nafas
Entahlah berapa lama ia bersemayam
Menunggu terjaga dan terbangun
Kelak saat tangan kecil itu menjamahku
Rasanya suara itu akan terdengar
memberi judul pada puisi hidupku
Hingga semua mulut akan membaca
Dalam hening kesederhanannya
(Bantul, 21 Maret 2014)
Minggu, 23 Maret 2014
TAK ADA LAGI ORANG DI SINI
Risang Iwan Fadillah
Tak ada lagi orang di sini
Lama aku mencarinya
Telah lama ia bersembunyi
Kamu juga bersembunyi
Mereka semunya kini bersembunyi
Menutup tubuh jiwa rapat-rapat
Suara histerianya lama tersekat
Tak berani lepas telanjang
Rasanya mereka memilih diam
Menekuk wajah hingga berlapis-lapis
Melipat kemarahan menjadi senyuman
Mengurung keresahan dalam tumpukan kepuraan
Aroma ketakutanpun manja terpeluk
Tak terasa hingga hari terlelap panjang
Persinggahan itu kini terasa senyap
Terisi sorot dingin yang mematung
Sambil sesekali terdengar bisik-bisik
dalam tutur kegemaran mengolok-olok
Sampai kapan persembunyian ini masih kalian rayakan?
Sementara raga itu makin mengerut kecil
Siapa lagi yang akan menanggungnya
Jika laku kepuraan hanyalah oase kerapuhan
(Bantul, 24 Maret 2014)
Risang Iwan Fadillah
Tak ada lagi orang di sini
Lama aku mencarinya
Telah lama ia bersembunyi
Kamu juga bersembunyi
Mereka semunya kini bersembunyi
Menutup tubuh jiwa rapat-rapat
Suara histerianya lama tersekat
Tak berani lepas telanjang
Rasanya mereka memilih diam
Menekuk wajah hingga berlapis-lapis
Melipat kemarahan menjadi senyuman
Mengurung keresahan dalam tumpukan kepuraan
Aroma ketakutanpun manja terpeluk
Tak terasa hingga hari terlelap panjang
Persinggahan itu kini terasa senyap
Terisi sorot dingin yang mematung
Sambil sesekali terdengar bisik-bisik
dalam tutur kegemaran mengolok-olok
Sampai kapan persembunyian ini masih kalian rayakan?
Sementara raga itu makin mengerut kecil
Siapa lagi yang akan menanggungnya
Jika laku kepuraan hanyalah oase kerapuhan
(Bantul, 24 Maret 2014)
Selasa, 18 Maret 2014
GOLPUT NAIK POLITIK PANIK
Golput itu hukumnya 'haram'
Golput itu kerjaan komunis
Golput itu Yahudi..
Golput itu subversif dan kriminal...
Golput itu bukan warga negara yang baik...
Tolak Golput....
Sikat Golput.....sikat...hajar...
Hantu golput bikin resah para pejabat..
Setan golput bikin gusar para kandidat
Lihatlah...takut si bau kentut
Mulai ribut si tukang catut
Limbung wajah-wajah pengecut
Saat politik makin kecut dan carut marut
Jika politik hanya sekedar ritual
Jika demokrasi hanya riak pesta karnaval
Jangan salahkan....jika rakyatmu makin nakal....
Jika pemilu hanya bikin malu dan pilu
Jika memilih hanya bikin sedih dan pedih
Jangan salahkan... Jika rakyatmu makin fasih
Jika laku politik tak lagi menarik...
Jika tingkahmu tak lagi simpatik
Jangan salahkan...jika angka golput makin menaik...
(Yogyakarta, 7 Maret 2014)
Golput itu hukumnya 'haram'
Golput itu kerjaan komunis
Golput itu Yahudi..
Golput itu subversif dan kriminal...
Golput itu bukan warga negara yang baik...
Tolak Golput....
Sikat Golput.....sikat...hajar...
Hantu golput bikin resah para pejabat..
Setan golput bikin gusar para kandidat
Lihatlah...takut si bau kentut
Mulai ribut si tukang catut
Limbung wajah-wajah pengecut
Saat politik makin kecut dan carut marut
Jika politik hanya sekedar ritual
Jika demokrasi hanya riak pesta karnaval
Jangan salahkan....jika rakyatmu makin nakal....
Jika pemilu hanya bikin malu dan pilu
Jika memilih hanya bikin sedih dan pedih
Jangan salahkan... Jika rakyatmu makin fasih
Jika laku politik tak lagi menarik...
Jika tingkahmu tak lagi simpatik
Jangan salahkan...jika angka golput makin menaik...
(Yogyakarta, 7 Maret 2014)
KAU HARUS TAHU!
Oleh : Risang Iwan Fadillah
Kau harus tahu....
Aku sudah lama berdiam diri
dan sudah lagi tak bersuara
Dalam hati pekat dan surammu
Aku hanya ingin senyap terdiam...
Aku hanyalah kertas mati
yang tercoret tinta pabrik
Rasanya sudah lama kau tak pernah paham!
Kau harus tahu...
Jikapun kau fasih atas lekuk goresan tubuhku
Andai kau hafal seluruh aksara itu,
Meskipun bibirmu fasih untuk melafadz
Aku tetap bungkam dan kaku terdiam
Tubuhku hanya tumpukan kertas tak bernyawa
Dagingku hanya karya mesin-mesin
Dan kulitku hanya terhiastinta berwarna
Kau harus tahu...
Asal-usulku bukan dari langit
Tubuhku tak beda dengan yang lain
Tetapi kenapa denganmu hai para penghayal?
Sadarkah kau!
Dengan rakus kau memburuku...
Dalam kelicikanmu kau berpura menyembahku..
Tak jarang nafsumumu menelanjangiku
Menjerat menjadi buih-buih dalih...
Menelanku sebagai tuah suci...
Menggenggamku seperti dongeng dan jargon...
Merayuku menjadi mimpi2 langit
Bahkan sering kau tak pernah malu
Memperkosaku demi iman picikmu
Sambil mempertontonkanku
sebagai kertas ampuh bermantra
Dan aku tetap terdiam dan malu.....
Kau harus tahu...
Bukankah aku sudah lama terbunuh
Menjadi kertas lesu tak bernyawa
Mati tertikam pekik suaramu sendiri
yang lahir dari kepicikan hati
Kau selalu paksa aku
membenarkanmu untuk rakus membunuh
sebagai jalan perang kebenaran
sambil berdiri angkuh dan pongah
Menentengku sebagai ayat-ayat pembenar...
Tapi kini kau harus tahu
Bukankah telah lama kau membunuhku?
(Banguntapan, Bantul, 18 Maret 2014)
Oleh : Risang Iwan Fadillah
Kau harus tahu....
Aku sudah lama berdiam diri
dan sudah lagi tak bersuara
Dalam hati pekat dan surammu
Aku hanya ingin senyap terdiam...
Aku hanyalah kertas mati
yang tercoret tinta pabrik
Rasanya sudah lama kau tak pernah paham!
Kau harus tahu...
Jikapun kau fasih atas lekuk goresan tubuhku
Andai kau hafal seluruh aksara itu,
Meskipun bibirmu fasih untuk melafadz
Aku tetap bungkam dan kaku terdiam
Tubuhku hanya tumpukan kertas tak bernyawa
Dagingku hanya karya mesin-mesin
Dan kulitku hanya terhiastinta berwarna
Kau harus tahu...
Asal-usulku bukan dari langit
Tubuhku tak beda dengan yang lain
Tetapi kenapa denganmu hai para penghayal?
Sadarkah kau!
Dengan rakus kau memburuku...
Dalam kelicikanmu kau berpura menyembahku..
Tak jarang nafsumumu menelanjangiku
Menjerat menjadi buih-buih dalih...
Menelanku sebagai tuah suci...
Menggenggamku seperti dongeng dan jargon...
Merayuku menjadi mimpi2 langit
Bahkan sering kau tak pernah malu
Memperkosaku demi iman picikmu
Sambil mempertontonkanku
sebagai kertas ampuh bermantra
Dan aku tetap terdiam dan malu.....
Kau harus tahu...
Bukankah aku sudah lama terbunuh
Menjadi kertas lesu tak bernyawa
Mati tertikam pekik suaramu sendiri
yang lahir dari kepicikan hati
Kau selalu paksa aku
membenarkanmu untuk rakus membunuh
sebagai jalan perang kebenaran
sambil berdiri angkuh dan pongah
Menentengku sebagai ayat-ayat pembenar...
Tapi kini kau harus tahu
Bukankah telah lama kau membunuhku?
(Banguntapan, Bantul, 18 Maret 2014)
Langganan:
Postingan (Atom)