Selasa, 09 Juni 2009

Radikalisme Daerah dan Minggirnya Kekuasaan Feodal

Radikalisme Daerah dan
Minggirnya Kekuasaan Feodal

Surakarta merupakan daerah yang secara historis banyak menyimpan kisah tentang benih-benih radikalisme dan dinamika sosial politik yang sangat menarik untuk dieksplorasi. Memang dalam catatan sejarahnya, Surakarta memiliki deretan kisah yang panjang tentang benih-benih pergerakan yang cukup mempengaruhi panggung politik di Indonesia. Banyak tokoh dan sekaligus pemikiran yang berkembang dari wilayah ini. Karisedenan Surakarta secara kewilayahan terbagi dalam beberapa pemerintahan daerah yaitu Kabupaten Dati II Boyolali, Kabupaten Dati II Sukoharjo, Kabupaten Dati II Klaten, Kabupaten Dati II Wonogiri, Kabupaten Dati II Karanganyar, Kabupaten Dati II Sragen dan Kotamadya Dati II Surakarta yang lebih dikenal dengan sebutan “Kota Solo”.

Surakarta bertumbuh tidak lepas dari berbagai dinamika konflik sosial politik yang hadir baik dalam intensitas kecil maupun besar. Kota ini menyimpan torehan panjang tentang ketegangan-ketegangan struktural dan horisontal yang dipicu oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya yang kompleks. Dala deretan tahun, kota ini tidak sepi dengan pergolakan dan kerusuhan kota. Sekedar untuk mengingat, ledakan konflik ketegangan berbau ras “pri-nonpri” menjadi daftar terbanyak pemicu konflik. Pertama, dalam rekaman sejarah sekitar tanggal 30 Juni 1742, laskar Cina dibantu dengan beberapa kelompok pemberontak berhasil menjebol benteng Istana Kartasura dan akhirnya kekautan pemberontak berhasil menduduki kota itu untuk beberapa bulan. Akibat kekalahan, pihak Sunan kembali mengkonsolidasikan kekuatannya untuk merebut kembali kota Kartasuro. Sekitar bulan Desember 1742, pihak keraton kasunanan berhasil merebut kembali wilayah Kartasuro dan karena beberapa hal maka kemudian keraton dipindahkan ke kota Solo (Sudarmono dan Susanto, 2001).Konflik ini menjadi bagian torehan dan catatan akan dinamika sosial politik yang sangat keras di Surakarta.

Dalam sekian waktu proses sejarah, beberapa wilayah di Karisedenan Surakarta memiliki aroma dinamika sosial politik yang keras terkhusus di kota Solo yang menyimpan mitos sendiri sebagai cikal bakal lahirnya embrio-embrio gerakan radikal rakyat baik yang berpayung gerakan lokal maupun nasional. (Tim LPTP, 1999) Munculnya tradisi dan pergerakan rakyat (wong cilik) tidak bisa dilepaskan juga dengan berbagai perubahan struktural kekuasaan yang dialami oleh Surakarta. Sejarah intervensi dan kepentingan kolonialisme telah merubah banyak struktur sosial politik masyarakat. Pergeseran dari sistem feodalisme ke arah kemunculan kapitalisme modern bisa menjadi satu variabel penting melihat perubahan-perubahan ini. Perluasan kepentingan ekonomi kolonial menimbulkan perubahan perubahan berarti terutama pada basis produksi ekonomi rakyat Surakarta.

Sistem tanah feodal yang dikuasai tuan tanah dalam “sistem lungguh” yang selama itu dikuasai oleh para ‘patuh’ berubah kepada penguasaan para penyewa asing (Nurhadiantomo, 2004 : 75 – 76). Akhirnya berbagai tansformasi sosial politik terjadi terutama pada sistem birokrasi pemerintahan. Pada level bawah, perubahan ini tidak ubahnya menjadi sarana kepanjangan dari kekuasaan kolonialisme Belanda. Kepala Desa dengan segala aparatusnya lebih condong menjadi perpanjangan tangan dan lembaga kontrol pengawas dari kepentingan kekuasaan kolonial Belanda. Contoh besarnya nampak pada kebijakan “reorganisasi tanah” yang selama ini dibangun melalui garis pemerintahan kerajaan yang disebut dengan lembaga “ke-bekel-an” akhirnya hilang dan diganti dengan sistem sewa tanah yang dikoordinasi oleh pihak kolonial melalui lembaga kelurahan atau desa.

Sistem sewa kontrak tanah merupakan sistem yang dibawa oleh kepentingan kapitalisme Belanda dan menyebabkan kerugian banyak pada para petani penggarap. Ujung dari semakin terpuruknya kondisi petani ini, munculah berbagai resistensi lokal dalam berbagai aksi protes petani di Surakarta. Masa akhir abad 19 dan awal abad 20 merupakan masa-masa lahirnya berbagai pergolakan terutama protes petani. Di daerah Surakarta pada akhir bad 19 misalnya terjadi gerakan ‘revivalisme Suradi’ alias RM Kapiten tahun 1871 di Boyolali, Gerakan Ali Suwongso di desa Jatinom tahun 1881, gerakan ‘messianisme’ di desa Merbung Klaten tahun 1865, Gerakan Imam Mahdi Tirtowiyat (Raden Djoko) di desa Bakalan kartasura tahun 1886, dan gerakan Srikaton di desa Girilayu Karanganyar (Nurhadiantomo, 2994 : 77).

Meskipun harus melalui berbagai fase pembentukan yang cukup lama, benih muculnya organisasi rakyat modern dengan cita-cita maju pernah lahir dan berkembang di wilayah ini. Melalui gagasan dan kerja Haji Samanhoedi dan beberapa rekan, pada tahun 1912 mendirikan sebuah organisasi yang bernama Rekso Rumekso, yang sebenarnya dahulu hanyalah sebuah “kelompok penjaga” (kelompok ronda) untuk melindungi perdagangan pribumi Jawa di Solo untuk berhadapan dengan kelompok dagang Kong Sing Tionghoa. Melalui bantuan dan kerjasama dengan Tirtoadhisoerjo maka terbentuklak nama baru yaitu Sarikat Islam (SI) dan orang Solo kerap akrab menyebutnya dengan Sarikat Dagang Islam (SDI) (Takashi Shiraisi, 1990 : 55 – 107). Pada dasarnya Sarikat Islam merupakan organisasi pergerakan yang yang dibangun dengan watak kesadaran rasional dan modern. Pada masa-masa saat itu berbagai tuntutan-tuntutan telah banyak digulirkan melalui organisasi ini.

Ada harapan-harapan dan gagasan-gagasan yang berbeda yang ditampilkan oleh Sarikat Islam dengan organisasi-organisasi tradisional sebelumnya. Pertama, mitos seperti Ratu Adil sebagai paham yang bersifat mistis religius , beralih pada kesadaran ideologis yang bersifat rasional dan realistis, banyak dari para pemimpin di SI seperti HOS Cokroaminoto, Agus Salim Adul Muis merupakan orang-orang yang terpelajar dan berfikiran rasional. Kedua, mistis-religius yang bersifat lokal beralih pada kesadaran yang bersifat nasional; ketiga, gerakan-gerakan petani yang pada awalnya mengandalkan kharisma pemimpin secara tertutup beralih pada kekuatan organisasi yang lebih bersifat terbuka; keempat, pusat-pusat gerakan yang selama ini tersebar di desa-desa beralih ke pusat-pusat kota.

Sarikat Islam (SI) semakin tumbuh dan berkembang pesat menjadi organisasi yang banyak mengusung ide-ide kritis dan gagasan-gagasan emansipasi ( A.P.E Korver, 1990 : 43). Tidak jarang kemunculan SI mendorong keberanian dan sekaligus watak-watak perlawanan kelompok pribumi untuk menentang sistem kolonialisme yang semakin menindas. Residen Surakarta sebagi penguasa wilayah ini semakin resah atas kehadiran SI. Beberapa protes dan tindakan perlawanan ditunjukan oleh kelompok-kelompok petani yang sudah diorganisir di tubuh SI. Petani tebu Ceper dan beberapa anggota SI di Tempel semakin menunjukan watak ketidakpatuhan pada Residen. Situasi ini yang menyebabkan berbagai hal penguasa kolonial melalui Residen melakukan penggrebekan dan penghentian atas seluruh aktifitas SI di Surakarta (Takashi Shiraisi, 1990 : 64).

Situasi keterpurukan pribumi dengan hadirnya sistem eksploitasi kolonialisme nampak dengan dibukanya Surakarta menjadi salah satu sumber kebutuhan pasar Eropa terhadap hasil-hasil perkebunan. Pada akhir kekuasaan Hindia Belanda di Surakarta, terutama di kabupaten-kabupaten Sragen dan Klaten, terdapat lebih dari seratus perusahaan perkebunan. Hasil ekploitasi itu berhasil sukses menghantarkan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan Eropa namun satu sisi juga menjadi akar dari konflik antara penguasa kerajaan dan penduduk pribumi di Surakarta.

Dengan kemunculan para pengusaha perkebunan Eropa maka terjadi perubahan-perubahan mendasar pada hubungan-hubungan produksi terutama menyangkut sistem tanah “lungguh”. Sistem tanah “lungguh” biasanya diberikan kepada para pejabat-pejabat kerajaan atau pemerintahan dengan menghasilakan kontribusi dalam bentuk pajak “in natura” dari kelompok-kelopok tani yang menggarap lahan pertanian tersebut. Sedangkan proses pengumpulan hasil pajak itu dilakukan oleh “bekel” yang mendapat hasil dalam bentuk komisi.Sistem tanah “lungguh” yang semula menghasilkan pajak yang dibayarkan melalui “pajak in natura’ telah diganti dengan pajak dalam bentuk uang. Karena perubahan itu pula maka hubungan sewa tanah langsung dilakukan antara pengusaha perkebunan dan pihak pejabat kelurahan. Sistem ini juga membawa perubahan pada sistem kerja, terhapuskannya sistem kerja rodi dan dimulainya sistem kontrak kerja dengan buruh tani. Peralihan dari dari pekerja rodi menjadi buruh upahan di perkebunan bukan lagi pertentangan , antara penduduk pedesaan secara keseluruhan dengan perkebunan tetapi merupakan pertentangan antara perorangan kaum tani dengan perkebunan (Imam Soedjono, 2006 : 128).

Sistem ini mendorong banyak munculnya petani-petani melarat yang biasa disebut dengan ploletariat desa. Kondisi terpuruknya mayoritas rakyat Surakarta tersebut banyak membawa konsekuensi pada memudar dan merosotnya pamor kekuasaan Kerajaan. Ditambah lagi konflik-konflik internal keraton yang terus menerus membawa ketidakpercayaan rakyat terhadap kepemimpinan keraton. Benih-benih ketidakpercayaan itu memuncak pada munculnya “gerakan anti swapraja.” Terhitung sampai sebelum meletusnya peristiwa tragedi ’65, kekuatan yang mengatasnamakan ‘gerakan anti-swapraja’ semakin menunjukan kiprahnya dalam menentukan warna politik Surakarta.

Tercatat tanggal 19 April 1946, Barisan Banteng beserta satuan-satuan pemuda yang lain memasuki keraton dan memaksa Sesuhunan agar supaya menyatakan kesediannya untuk menyerahkan kekuasaan kepada rakyat. Tiga hari setelah itu pula BP KNI Klaten mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari 60 organisasi partai dan ormas-ormas yang lain seperti PBI, BTI, Laskar Buruh, Laskar Rakyat, Pesindo dan Barisan Banteng dan pamong praja setempat. Pertemuan itu menghasilkan sebuah seruan keputusan mengenai protes anti-swapraja ini. Tuntuan itu diantaranya adalah selekas mungkin menghapuskan daerah istimewa, menghapuskan pemerintahan feodal dan menghendaki adanya satu pemerintahan kerakyatan untuk seluruh daerah Surakarta. Petemuan itu akhirnya menghasilkan sebuah tuntutan yang sangat keras sebagai wujud perombakan sistem feodalisme dalam pemerintahan di wilayah Surakarta. Tuntutan itu antara lain : Pertama, Selekas mungkin menghapuskan Daerah Istimewa; Kedua, Menghapuskan pemerintahan feodal; Ketiga, Menghendaki adanya satu pemerintahan kerakyatan untuk Daerah Surakarta.

Empat hari setelah disuarakannya tuntutan itu maka diangkat bupati Klaten yang baru dan terlepas dari hubungan dengan keraton. Tindakan Klaten itu kemudian diikuti oleh BP KNI Sragen yang melakukan tindakan serupa (Imam Soedjono, 2006 : 130). Tuntutan gerakan anti-swapraja seiring dengan waktu semakin meluas dan disambut oleh sebagian besar rakyat Surakarta. Tuntutan kemudian berkembang dengan usulan untuk diserahkannya pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan yang mulanya dikuasai oleh Kasunanan dan Mangkunagaran kepada rakyat Surakarta.

Problem daerah yang semakin tinggi tersebut memaksa pemerintah pusat melalui Dr. Sudarsono sebagai Menteri Dalam Negeri melakukan usaha pertemuan dengan dua pihak yang bertikai baik yang anti maupun pro swapraja. Dialog menghasilkan kesepakatan dibentuknya badan pekerja (Imam Soedjono, 2006 : 131). Pada praktiknya tercatat bahwa tampa menghiraukan apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, keempat wilayah pemerintahan kabupaten memutuskan hubungan dengan Susuhunan Keraton. Situasi Surakarta itu memaksa lahirlah keputusan pemerintahan pusat dengan perencanaan dibentuknya Pemerintah Daerah Rakyat dan Tentara (PDRT). Dengan lahirnya PDRT tersebut maka pemerintahan mangkunegaran, Kasunanan dan Direktorium akhirnya dihapuskan. Dan praktis maka setelah terbentuknya badan pekerja dalam PDRT tersebut berarti telah tergulingnya kekuasaan swapraja dan merupakan kemenangan “revolusi sosial rakyat” di Surakarta. Dan selanjutnya peran dari kekuatan swapraja Surakarta tidak dominan dan nyaris tidak menentukan dalam dinamika sosial politik Surakarta. Sekilas dari cataan di atas, terlihat amat jelas bahwa resistensi terhadap feodalisme pernah terukir begitu fantastisnya dalam penggalan sejarah kota Surakarta.

Tidak ada komentar: