Senin, 22 Juni 2009

Melampaui Nalar Kuasa Pendidikan

Melampaui Nalar Kuasa Pendidikan



’Pengetahuan’ dan ’kekuasaan’ saling terkait satu sama yang lain.
Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika
’pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ’kekuasaan’,
sebagaimaa mustahil ’pengetahuan’ tidak mengandung kekuasaan
(Michel Foucault)



Kerumitan dalam pembacaan tentang ‘problem pendidikan’, hadir sejalan dengan kerumitan menemukan problem mendalam tentang ‘manusia’ dan ‘kemanusiaan’. Bagaimana nalar pendidikan meletakan ‘subjek manusia’ dalam seluruh orientasi yang dikembangkannya. Berbagai perspektif teoritik tentu mencoba meletakkan dalam berbagai cara pandang dan pendekatan yang konsekuensinya amat beragam. Ketegangan yang bertahan hingga hari ini adalah upaya mendiskusikan pijakan gagasan pendidikan yang mengorientasikan spirit ‘humanisme’ yang lebih ‘antroposentris’ dan pijakan pendidikan yang lebih berorientasi pada ‘teosentrisme’ dengan keutamaan-keutamaan ‘religiositas’, ‘ahlak’ dan ‘moralitas’. Keduanya memberikan batasan yang cukup berbeda terutama dalam pengembangan ‘rasionalitas’ manusia’. Tidak sedikit pula yang membacanya tidak ‘dikotomis’, tetapi dua persoalan tersebut dipercayai bisa diintegrasikan bersama-sama. Tawaran jawaban atas problem pendidikan menjadi cukup beragam. Ia tercermin dalam kecenderungan pendekatan yang ditampilkannya. Secara epistemologis jawaban atas problem dunia pendidikan dalam dua terminologi itu tidaklah hadir dalam pola-pola yang linier dan seragam. Artinya di masing-masing kecenderungan juga menmgandung variasi dan pluralitas kecenderungan yang lain.

Memang, agak lebih mudah membaca problem pendidikan pada kasus-kasus yang manifest dan spontan. Sebaliknya, perlu pembacaan analisis yang lebih mendalam pada persoalan pendidikan yang lebih diakibatkan dari akar problem yang lebih terstruktur dan sistematis. Isu tentang mahalnya biaya pendidikan, privatisasi dan swastanisasi pendidikan, problem kesejahteraan guru, kekacauan sistem ujian nasioanl, kekerasan dunia pendidikan, problem kebijakan anggaran sampai menurunnya kualitas anak didik hanyalah sebagian tampakan problem pendidikan yang hingga hari ini terus mengemuka. Dimensinya melebar tidak semata problem pendidikan an sich. Ia menyeret problem ekonomi, politik, kebudayaan, dan juga problem sosial yang lain. Bahkan jika terus ditelisik, ia akan menyeret pula problem filsafat dan paradigma berpikir yang hari ini dominan dikembangkan. Fakta di atas telah mematahkan stereotipe dan mitos lama tentang ‘pendidikan sebagai wahana ilmiah yang bebas nilai. Fakta amat jelas membuktikan bahwa pendidikan tidaklah berdiri dalam kaki yang independen. Pendidikan tidaklah sosok mahluk yang netral. Ia selalu memiliki kecenderungan nilai yang sarat dengan berbagai nalar dan sekaligus kontradiksi kepentingan. Bahkan lebih jauh pendidikan bukanlah entitas sakral yang steril dari “nalar-nalar kekuasaan”.


Problem Pendidikan : Cara Pandang Foucaultian.

Cara baca ‘Foucaultian’ dalam ‘geneologi’ untuk menelaah ‘problem pendidikan adalah upaya untuk ‘melampui’ cara baca ‘fungsional’ dan sekaligus ‘istrumentalis’. Meskipun teori ini tidak secara khusus mengkaji persoalan pendidikan secara mikro tetapi amatlah dekat dengan dimensi kajian tentang ‘kekuasaan’ yang sedang ditekuninya termasuk yang saat ini banyak dikembangkan oleh tema-tema kajian ‘poststrukturalis’. Aparatus institusi pendidikan bisa dipandang menjadi salah satu bentuk mekanisme kerja kekuasaan yang sangat efektif. Sebagaimana ‘kekuasaan’, pendidikan pada tubuhnya banyak termuat berbagai relasi dominasi yang hidup. Pada praktiknya ia sekaligus merupakan jaringan relasi kekuasaan yang membentuk wajah peradaban manusia hingga saat ini. Pembahasan mendalam tentang realitas pendidikan sejatinya harus dipusatkan pada kompleksitas jaringan relasi kekuasaan tersebut. Bagaimana pendidikan hadir dan termodernisasi sampai hari ini tidak semata dilihat sebagai telaah atas sejarah pendidikan yang berkembang dalam ruang hidupnya sendiri. Ia harus selalu dilihat dalam kesalinghubungan berbagai matarantai dan relasi yang membentuknya.

Problem pendidikan berkembang bukan dalam kehadiran sebab yang determinan tunggal dalam garis yang linier. Atas sikap ini pula, perspektif Foucaultian menolak ‘sejarah asul-asul sebab yang linier seperti pengandaian ‘metafisika kehadiran’ ataupun ‘sebab permulaan’. Geneologi yang dikembangkannya tidak sedang bersibuk diri dengan mencari ‘asal usul’ dalam arti ‘esensi’ atau ‘kontinuitas’. Kita tidak sedang berusaha untuk mencari orisionalitas sebab-sebab munculnya problem pendidikan. Geneologi membantu untuk membongkar segala rahasia yang selama ini dianggap mapan sebagai ‘kebenaran’. Dalam cara pandang ini, kita tidak sedanng berusaha untuk menemukan esensi dari sesuatu. Karena sebenarnyalah ‘esensi’ menurut keyakinan nilai ini pada prinsipnya tidak ada. Titik pijak pendekatan ini ingin mempertegas bahwa apa yang semula kita anggap rasional dan benar berakar dari ‘dominasi’, ‘penaklukan’ dan ‘hubungan-hubungan kekuasaan’ yang biasa kita sebut sebagai ’nalar kuasa’.

Skema cara pandang tradisional dalam menganalisa problem pendidikan selalu berambisi menemukan akar muasal tunggal, kontinu serta permanen. Cara pandang “poststrukturalisme” pada nalar geneologi justru lebih jauh melampaui untuk melihat ‘entitas kekuasaan’ sebagai hal yang plural dan diskontinu dalam tautan kreatif terus-menerus seluruh kekuatan yang ada baik yang ‘manifest’ maupun yang ‘laten’. Di titik inilah pendekatan ini berguna untuk menghilangkan kecenderungan ‘ortodoksi’ berpikir di satu sisi dan juga ‘liberalisme’ berpikir di sisi yang lain. Dalam beberapa hal, batas rentangnya ada dalam menjebatani dialog teoritis antara ‘absolutisme‘ dan ‘nihilisme’.

Masalah dunia pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih menyita banyak energi dan perhatian. Diskusi-siskusi pendidikan tidak urung selalu menarik untuk dilakukan, tetapi anehnya sekian waktu proses berjalan, pendidikan justru terasa bergerak sangat lamban dan terasa berjalan ditempat. Problem pendidikan tidak berkurang melainkan justru semakin melahirkan species-species problem yang baru. Problemnya kemudian bergerak semakin tidak ada kepastian. Tentu kesemrawutan kebijakan persoalan pendidikan tidak serta merta datang tiba-tiba. Secara historis problem ini bertumbuh seiring dengan pertumbuhan Indonesia sebagai bangsa. Pendidikan bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Ada mata rantai yang kerap terputus dalam membaca proses pendidikan.

Bertahun-tahun wacana yang dikonstruksi oleh proyek pendidikan telah memperoleh status kebenaran dan secara efektif membentuk dan memaksa agar kepentingan-kepentingan kekuasaan berbicara dan bertindak. Sejak lama pula proyek-proyek pendidikan didesain oleh para perancang dan penggagasnya sebagai sebagai proyek yang seakan-akan ’netral’ dan ’bebas nilai’ Sebagai sebuah kredo dari paradigma Positivisme, ’netralitas’ dan ’bebas nilai’ sebenarnya mempunyai banyak cacat bawaan. Kecuali bahwa tesis tentang ‘bebas nilai’ ilusif dan menutupi kenyataan tersembunyi pengetahuan, paradigma ini melupakan kenyataan bahwa realitas sosial merupakan kenyataan hidup yang bergerak, berubah dan penuh dengan dialektika kepentingan yang lebih didorong oleh semangat humanisme. Narasi pendidikan kemudian selalu menghindari analisis yang bersifat ’politis’ dan ’ideologis’ Pembahasan tentang tema-tema pendidikan dalam banyak hal kemudian dipisahkan dari lingkungan ’produksi sosialnya’ dan dijauhkan dari aspek ’relasi kuasa’. Sebagai bagian aparatus yang penting bagi negara, sektor pendidikan selalu dibangun dan diorientasikan untuk menopang gagasan-gagasan kekuatan yang dominan.


Pendidikan dan Matai Rantai Kuasa

Tidak ada sesuatu hal yang begitu saja ’ada’ dan ’a-historis’, yang sesungguhnya muncul adalah ’diadakan’ demikianlah yang pernah dilontarkan Edward W.Said. Seperti juga yang pernah diungkapkan Michel Foucault bahwa ”tidak ada relasi kuasa tanpa keberadaan wilayah pengetahuan, dan juga tidak ada pengetahuan yang tidak menimbulkan relasi kuasa.” Ketika pengetahuan dalam pendidikan jatuh pada relasi kuasa ini maka ia membentuk apa yang dinamakan oleh Rita Abrahamsen sebagai ’rezim kebenaran”. Atas kepentingan itu pula maka sejak ’neoliberalisme’ diangkat sebagai ’matra suci’ bagi pembangunan pendidikan saat ini, pasar telah menciptakan komoditas baru yang sangat menguntungkan yakni mahluk yang bernama ’pendidikan’. Pertimbangan itu mempengaruhi kepentingan pasar untuk memaksakan agenda-agenda penting dalam ’komersialisasi’ sektor ilmu pengetahuan ini. Pendidikan kemudian menjadi jembatan bagi masuknya ide-ide dan gagasan bagi kepentingan neoliberal. Tidak heran jika kepentingan pasar telah berhasil memasukkan ’pendidikan’ sebagai salah satu ”sektor jasa” yang disepakati dalam forum perdagangan dunia (WTO) untuk bisa dijual dan diperdagangkan.

Fase sejarah pendidikan Indonesia sebenarnya memberi catatan berharga bahwa problem pendidikan dan politik kekuasaan merupakan sesuatu entitas yang tidak bisa terpisahkan. Masa kolonial menggambarkan bagaimana pendidikan tidak ubahnya merupakan cara penanaman kesadaran Kolonial sebagai pemenuhan dari mekanisme pendisiplinan pribumi. Pendidikan adalah upaya kekuasaan yang lebih halus untuk mentransferkan gagasan dan kepentingan penguasa kolonial. Ki Hajar Dewantara sebagai pemikir awal pendidikan Indonesia bahkan sudah jauh-jauh memperingatkan bahwa ”Pendidikan Kolonial bertujuan mendidik rakyat kita supaya mereka cakap menjadi pembantunya kekuasaan Kolonial”. Situasi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masa kekuasaan Orde Baru sampai sekarang. Warna kapitalisme yang tersentral dalam oligarki Orde Baru benar-benar secara vulgar menempatkan pendidikan sebagai entitas pengawal persemaian ide-ide Orde Baru. Dari sisi isi, sistem dan struktur kebijakan, pendidikan telah menempatkan diri menjadi entitas peengabdi bagi berjalannya mekanisme kekuasaan.

Transisi reformasi 1998 juga tidak membawa kabar perbaikan pendidikan yang lebih baik. Neoliberalisme pasar justru lihai membajak ruang-ruang kerapuhan pendidikan dengan membawa pola yang lebih mengerikan. Sistem ini telah membawa perpindahan yang sangat masif dari tubuh negara kepada ’kekuasaan pasar’ yang lebih hegemonik. Pendidikan telah dilempar dalam bursa kepentingan neoliberal. Bagi pemikir-pemikir pendidikan kritis seperti Michael W. Apple situasi ini yang disebutkan sebagai ’kolonisasi pengetahuan’ di mana ”Pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana intitusi ekonomi mengelola modal finansial”. Bahkan juga menurutnya yang sangat menarik bahwa kurikulum pendidikan tidak pernah menjadi susunan pengetahuan yang netral. Kurikulum selalu menjadi bagian dari tradisi tertentu.

Keputusan untuk menentukan pengetahuan sebagai pengetahuan yang sah dan pengetahuan mana yang tidak sah dan diabaikan akan menggambarkan dan memperlihatkan sesungguhnya siapa yang berkuasa dalam masayarakat. Pendidikan tidak ubahnya dalam perspektif yang lebih poststruktural sebagai matarantai bangunan kekuasaan dan kekerasan sekaligus. Subjek-subjek pendidikan tidak diberi kesempatan yang adil dalam relasi-relasi yang lebih manusiawi. Mandat emansipasi bagi seiap subjek pendidikan masih berhenti. Subjek anak didik akhirnya hanya menjadi komoditi yang bisa dikalkulasi demi nalar meraup keuntungan. Kecenderungan orientasi pendidikan juga masih terbatas berhenti pada formalitas dan fungsional semata. Pemikiran-pemikiran kritis alternatif tidak jarang masih dianggap sebagai niat subversif yang akan mengganggu kemapanan kekuasaan yang sudah establish. Alih-alih memberi kesempatan berbagai potensi kritis untuk berdialog, kekuasaan masih sering alergi untuk membuka kran demokratisasi pendidikan hanya kadang karena subjektifitas ketakutan terhadap munculnya gejolak perubahan yang dianggap mengancam kekuasaan.


Kuasa Tersembunyi Kapitalisme

Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagain besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yag amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya. Lebih pentingnya, jaringan matarantai kekuasaan kapital dan sekaligus kesadaran neoliberal sudah meresap dala seluruh matarantai kuasa yang lebih kecil

Berkembangnya berbagai kemampuan media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi dan rasionalisasi kepentingan bisnis yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang dibentuk negara-negara maju John B, Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi ideologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara ’penyembunyian’, ’pengingkaran’ dan ’pengkaburan’ makna. Negara-negara barat berkempetingan untuk membuat “dissimulasi-dissimulasi” sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil. Dalam cara pandang Althuserian, inilah yang disebut sebagai proyek ideologis yang mampu membentuk ’ruang-ruang hegemoni’ kelas-kelas berkuasa atas kelas-kelas yang dikuasai. Nalar kuasa pengetahuan adalah domain gerbang utama dalam penciptaan politik hegemoni secara meluas.

Kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi kuasa penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar dibeberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme dalam dunia pendidikan. Praktik membangun diskursus ini juga merayap pada program-program kebijakan pendidikan seperti ”privatisasi pendidikan” terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Gagasan wacana privatisasi pendidikan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara kemudian merelakan diri untuk mengalihkan kontrol dunia pendidikan pada mekanisme pasar swasta.

James Petras pernah mengungkapnya cukup kritis bahwa wacana-wacana pengetahuan yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerab hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propaganda atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial. Ide-ide terhadapnya perlunya membuka pasar global seluas-luasnya sebagai cara untuk memajukan pendidikan seperti yang tergambar dalam kebijakan privatisasi pendiidkan sering berujung terhadap hancurnya mandat sejatinya pendidikan sebagai ruang emansipasi anak didik menjadi mesin komodifikasi yang menguntungkan bagi keuntungan pasar. Di titik inilah kita akan menyaksikan gambaran kolonialisasi bentuk baru yang lebih membuat banyak ketimpangan bagi warga bangsa yang sejatinya mempunyai hak penuh atas pendidikan.

Apa yang kemudian dibayangkan sebagai ’problem dunia pendidikan’ lebih meluas mencakup keseluruhan masalah yang mengemuka hari9 ini bahkan sampai pada nalar yang paling ’sublim’ sekaligus. Dalam kacamata poststrukturali, tidak ada sesuatu entitas yang bisa berdiri otonom tunggal. Ia selalu ’dibentuk’ dan ’terbentuk’ melalui medan kreatif berbagai pergesekan relasi-relasi kekuasaan yang ada. Maka relasi-relasi kekuasaan dalam dunia pendidikan tidaklah semata muncul dalam bentuk yang spontan dan kasat mata. Pada prinsipnya tidak ada problem dunia pendiikan yang pada hakikatnya hadir dalam ruang yang kosong. Pembacaan terhadapnya lebih mendalam jika saja dilakukan dengan berbagai dimensi disiplin ilmu yang lebih beragam. Sebagaimana pendidikan bukanlah tanggungjawab institusi pendidikan semata, ia haruslah menjadi pekerjaan menyeluruh dari berbagai matarantai kuasa yang ada. Sebagaimana secara teoritik bahwa amatlah sulit untuk menghilangkan ’nalar kuasa’ dalam keseluruhan relasi masyarakat, kiranya yang cukup penting adalah bagaimana membangun keseluruhan interaksi dan kesalingkaitan kuasa tersebut hingga membentuk relasi-relasi kekuasaan yang tidak ’asimetris’ dan dominatif melainkan ruang pendidikan yang mengedepankan gagasan-gagasan ’keadilan’ bagi semua.




“Satu-satunya yang benar adalah ‘kuasa’ yang selalu muncul
dalam topeng yang baru melalui
perubahan proses-proses penundukan yang anonim”
(Jurgen Habermas)

Tidak ada komentar: