Rabu, 22 April 2009

Nalar Modal dan ‘Depolitisasi’ Kota

Nalar Modal dan ‘Depolitisasi’ Kota
(Mencari akar kemacetan transisi ekonomi politik :
Yogyakarta sebagai kasus)




“..di Indonersia belum terjadi perubahan politik,
yang terjadi adalah ‘relokasi’ aktor-aktor politik”

(Vedi R. Hadiz)


Sekilas berbicara tentang Yogyakarta lebih banyak mengajak orang melihat satu struktur pemahaman yang sekian lama relatif mapan yakni tentang sebuah entitas kota dengan berbagai potensi wisata, kebudayaan dan tradisi intelektualitasnya. Apakah ini kebenaran atau sekedar menjadi pencitraan identitas akan bisa kita lihat bersama-sama. Mitologi dan strategi identitas ini sekian lama masih terus dipertahankan. Konstruksi identitas yang kadang mampu melampaui batasan sejarah dan kondisi realitas sebenarnya. Di banyak kasus, lebih terlihat upaya ‘komodifikasi’ berlebihan terhadap ‘tubuh kota’ yang sebenarnya menyimpan banyak kontradiksi-kontradiksi yang cukup mencuat. Problemnya lagi, politik identitas kota ini kadang lebih terujuk pada ‘mistifikasi’ ketimbang ‘rasionalisasi’ yang lebih masuk akal dan menjanjikan.

Tidak bisa dipungkiri, ‘pseudo-feodalisme’ sebagai ‘nalar pikir’ masih begitu mengental bercampur antara batas mencintai dan menhayatinya sebagai ‘tradisi’ yang perlu dipertahankan atau melihatnya sebagai tradisi yang mampu mentransformasi ke dalam ‘modal kapital’ yang lumayan menguntungkan. Tentu tesis ini tidak semua bisa menerimanya sebagai satu kenyataan yang real saat ini berjalan. Sekian waktu dalam transisi perubahan yang berjalan, ‘Yogyakarta’ dalam tubuhnya tidak urung mengalami berbagai gugatan dan terjangan-terjangan perubahan yang harus dihadapi. Dari gugatan ‘keistimewaan’ sampai problem-problem lainnya yang main meluas seperti problem tata ruang kota yang selalu menimbukan masalah. Cerita tentang penggusuran atas nama ketertiban dan keindahan tata ruang kota tetap masih nyaring kita dengar lima tahun ini. Di sisi yang lain, ‘modernisasi’ memberi keniscayaan dorongan “desakralisasi” yang cukup berdampak luas bagi Yogyakarta. Polemik “keistimewaan’ bisa jadi hanyalah satu contoh dari gambaran-gambaran kondisi objektif sebenarnya. Ada keberanian baru untuk melihat dan membaca Yogyakarta dalam nalar yang lebih kritis sebagai bangunan tubuh yang lebih dinamis, historis dan dialektik. Melihat entitas kota sekedar dalam ‘romantisme’ ingatan nilai masa lalu seringkali hanya menjebak kita pada nalar loyalitas pikiran yang sempit.

Tidak ada lagi masa depan bagi ‘keistimewaan’. Demikianlah sekian pemerhati dan pengamat kota merasakan gerak sejarah yang berjalan di mana ‘nalar modal’ dengan sekian alat angkutnya telah membawa ‘pola pikir’ dan ‘wujud kebudayaan’ baru yang lebih menjanjikan dari sekedar ‘nalar keistimewaan’. Ketegangan kebudayaan akan cenderung dimenangkan oleh mereka yang mampu membangun medan kekuasaan kebudayaan yang lebih bisa diterima. Lepas dari pandangan apakah ini benar atau tidak ditinjau dari prinsip-prinsip epistemologi tertentu, keseragaman kebudayaan pasar telah menggantikan “partikularitas keistimewaan”. Yogyakarta sebagai ‘tubuh kota’ tidak lagi bisa dibedakan lagi dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Nafas dan warnanya semakin ‘seragam’. Pada beberapa aspek, kota tetap saja hanya menjadi sentralitas pertemuan dan transaksi ‘nalar modal’ dan ‘nalar kekuasaan’. Kota sebagai pusat pencerminan dan pertemuan apresiasi nilai-nilai kebudayaan kian lama akan menghilang dan telah bergeser sekedar menjadi ruang transaksi ekonomis semata. Ruang kebudayaan telah digantikan dengan ‘keriuhan’ dan ‘hiruk pikuk’ kebudayaan pasar. Keseragaman nalar pasar sekaligus akan mendorong keseragaman pola pikir dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat.

Normalitas kepatuhan tidak lagi merujuk pada mekanisme kekuasaan feodal atau birokrasi kebudayaan lama. Pasar dengan seluruh nalar dan logika yang dimilikinya sekaligus akan menciptakan “mobilisasi kesadaran” dan “disiplin kepatuhan” baru pada masyarakat. Meskipun demikian, ‘pasar’ tetap menciptakan mistifikasi dalam cara dan bentuk yang berbeda. Janji-janji kepuasan, keuntungan, status sosial dan kenikmatan diri tanpa batas dalam nalar kebudayaan modern telah menggeser loyalitas dan “kepasrahan primodial lama” yang dimiliki oleh alam pikiran tradisional semisal kepatuhan akan nilai-nilai tradisi yang dianggap sakral. Namun dari sekian gambaran perubahan itu yang secara substantif relatif tetap bertahan adalah ‘kekuasaan’. Wajah dan rupa kebudayaan boleh berubah, namun kekuasaan tetaplah kekuasaan. Ia selalu saja akan menghadirkan logika dasarnya yakni kisah tentang ‘siapa’ menguasai ‘siapa’ dan dengan ‘cara bagaimana’ ia membangun kekuasaan. Kebertahanan kekuasaan juga akan ditentukan sejauh mana ia mampu mentransformasi diri dengan berbagai manifestasi barunya.

Imajinasi dan cita-cita pembentukan Indonesia modern sebagai konsekuensi dari transisi politik pasca-kemerdekaan tidak sekaligus membawa Yogyakarta menjadi entitas yang benar-benar modern. Tradisi dan sekaligus kekuatan struktur lama dalam banyak hal masih tetap tersisa. Kombinasi kebudayaan lama dan alam modernitas membangun wajah Yogya menjadi terasa khas, tetapi sekaligus menyimpan beberapa problem serius sekaligus. Terlihat kian lama kota justru bergerak dan tergeser menuju pola “modernisasi setengah hati”. Modern dalam pengembangan dan penataan fisik kota tetapi lemah mempersiapkan nalar pikir massyarakat sebagai pilar dasarnya. Disparitas jarak kemajuan keduannya makin memperlihatkan ‘gap’ yang amat tinggi. Percepatan nalar pengetahuan masyarakat seakan tertinggal jauh dengan percepatan kemajuan ekspansi pasar dan lagi-lagi sumber kekuasaanya bukan lahir dari domestik Yogyakarta. Karakteristik sosiologis kota semaca ini tentu tidak hanya menjadi klaim kondisi Yogya. Ia banyak dirasakan di kota-kota besar lain di Indonesia. Kota tidak ubahnya lebih hanya sebagai ruang pasar. Masyarakat lokal tidak lebih pula hanya sekumpulan komunitas konsumen yang selalu ditarik hasratnya dalam logika-logika kebudayaan pasar. Tradisi lama yang tersisa menunggu menjadi ‘artefak’ yang kian lama tertinggal tidak menarik untuk dijamah dan dihayati.

Sekian waktu Orde Baru berkuasa lebih menunjukan wajah normalitas kepatuhan yang ada dalam titik ekstrim. Percampuran kebudayaan politik harmonisasi Jawa bergandengan dengan kontrol birokrasi militeristik amat ketat memberi warna Yogyakarta sebagai lahan sosiopolitik yang sangat dominan dan nyaris minim terhadap gugatan kritik perubahan. Yogyakarta memberi gambaran tentang persandingan mistifikasi nalar kepatuhan ala kekuasaan Jawa bercampur dengan imajinasi loyalitas nasional modern yang lebih berkepentingan untuk membangun struktur dominasi dan hegemoni sekaligus. Kritik terhadap kekuasaan selalu dipandang sebagai ‘abnormalitas’ dan “penyimpangan” yang mengganggu tatanan harmonisasi sistem. Kritik adalah aib dan sudah keluar dari batas nalar kebudayaan mainstream secara umum. Demikian sekiranya penyebab transformasi kekuasasan lokal di Yogyakarta relatif berjalan lambat, tidak dinamis dan jarang memberikan warna-warna perubahan yang lebih progresif.

Perubahan transisi 1998 sebagai harapan akan babak baru reformasi dan perombakan sistem ekonomi politik secara menyeluruh nyaris belum pernah terwujud. Transisi politik ekonomi 1998 berhenti sebatas jargon. Tidak ada pembaharuan secara substantif. Kekuasaan lama tidak bergeser. Sistem ekonomi pasca-reformasi justru menjadi kelanjutan dari sistem kapitalisme birokrasi lama yang saat ini tetap bertahan. Warisan ‘otoritarianisme’ masih saja bisa dirasakan dalam berbagai sektor pengelolaan negara. Politik demokrasi keterbukaan tidak menyentuh jantung dasarnya yakni perombakan sistem dan sekaligus format baru berbagai institusi-intitusi yang ada. Berbagai lembaga-lembaga baru negara muncul lebih sekedar menjadi stempel daripada perbaikan sistem negara. Dalam tipe dan pola modus yang lain ‘otoritarianisme negara’ tetap masih diagungkan.

Pola-pola penggusuran, peminggiran dan diskriminasi ekonomi dan sosial walau dengan bahasa apapun tetap masih saja dikembangkan menjadi kecenderungan pilihan kebijakan. Dengan wajah struktur ekonomi yang cenderung banyak ditopang pada sektor-sektor ekonomi mikro dalam skala yang terbatas tetapi meluas dengan dominasinya hanya pada sektor-sektor bisnis jasa seperti pariwisata dan pendidikan, maka PAD Yogyakarta tidaklah terlalu memberikan kontribusi yang teramat besar. Sektor ekonomi perdagangan dalam skala yang meluas sama dengan kota-kota besar lainnya, yakni masih saja didominasi oleh kekuatan dan pemain bisnis yang relatif mapan. Sebagaimana halnya karakteristik negara konsumen tergantung, nyarus kota hanya menggantungkan pada pemasukan restribusi dan pajak usaha penghasilan.

Tidak ada industri domestik yang dalam skala cukup besar di kota ini. Secara riil saat ini ekonomi kota ini masih sangat tergantung dan ditopang terbatas pada sektor-sektor ekonomi riil yang relatif kecil. Sirkulasi ekonomi lebih banyak pada pengeluaran kosumsi ketimbang produksi. Kondisi ini tetap saja belum memberikan harapan secara ekonomis bagi masyarakat Y0gyakarta sendiri. Banyak dari sekian masyarakat lemudian lebih memilih untuk berpindah dan bekerja pada kota-kota besar di dalam negeri atau bahkan merelakan diri menjadi tenaga kerja upah rendah diluar negeri. Alih-alih kota bisa memberikan payung kebutuhan dasar hidup, tingkat kebutuhan hidup justru kian meningkat seiring pola ‘komersialisasi’ dan ‘komodifikasi’ berbagai sektor hidup yang dulu relatif bisa didapat dengan murah seperti ‘pendidikan’ dan ‘kesehatan’. Disparitas yang meluas antara penghasilan hidup dan tingkat harga kebutuhan yang meningkat akan menciptakan wajah harapan hidup yang semakin memprihatinkan. Akses harapan hidup yang lebih baik hanya dimiliki oleh sekian gelintir manusia yang diuntungkan oleh wujud sistem politik ekonomi yang lebih menggambarkan potensi ketimpangan ketimbang pemerataan.

Nalar dan kuasa modal jika tidak dilihat sebagai persoalan penting maka niscaya akan berdampak pada berkembangbiaknya problem-problem sosial yang lain terutama fluktuasi ‘krisis keamanan’ yang semakin meningkat. Bagaimana logika ini bisa ada? Pertama, watak ‘pragmatisme modal’ akan menyeret masyarakat pada gelombang pragmatisme dalam etos-etos sosial kebudayaan yang lain. Kerakusan kuasa pasar bisa membangun alam kebudayaan massa yang selalu menghitung pada nalar-nalar keuntungan. Kerekatan kolektifitas masyarakat kian lama akan menghilang dan mendorong ‘monster individualisme’ semakin bekerja dan dipuja sebagai alam pikir yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Karakteristik kebudayaan semacam ini lebih akan meletakkan ‘individu’ sebagai hitungan kalkulasi komoditas ketimbang dipandang sebagai individu dengan potensi kemanuiaannya yang amat luas.

Ketika etos kolektifitas dan kebergotongroyongan menghilang maka akan rentan terhadap hadirnya ‘fragmentasi’ dan ‘keretakan kohesi sosial’. Sebagai modal kebudayaan, ia akan menjadi bom-bom waktu yang kapan waktu akan mudah tersulut untuk meledak. Kedua, karakteristik massa akan mudah terbelah, dipecah-pecah, dihasut dan menjadi lahan empuk dari gelombong penghasutan dengan atas nama kepentingan apapun. Fenomea itu bisa sangat vulgar terbaca pada potensi-potensi kekerasan massa yang kian hari semakin cenderung meluas. Ia tidak mengenal batas kolektifitas. Komunitas apapun bisa mudah menjadi sasaran tersebut baik dari ‘supporter sepak bola’, ‘pecinta fanatik musik’, ‘simpatisan partai’ sampai wilayah-wilayah yang lebih sensitif seperti halnya keragaman SARA. Ketiga, nalar pragmatisme pasar tentu secara massif pula mendorong “derasionalisasi masyarakat”. Tidak ada yang bisa dipetik lebih besar sebagai cara untuk mencerdaskan masyarakat, yang dibutuhkan pasar adalah “kepatuhan total” untuk bisa mengkonsumsi dan selanjutnya menghasilkan keuntungan. Sadar tidak sadar ia membangun “politik massa mengambang baru” (floating mass) yang mudah untuk ‘didepolitisasi’ dan ‘dininabobokan’ oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan yang dominan bermain.

Tantangan keamanan akan semakin rumit bukan sekedar bahwa problem-problem kebutuhan yang semakin berkembang luas, tetapi tingkat disparitas ketimpangan itu akan melahirkan potensi ledakan problem yang bisa massif terjadi. Ada “keadaban publik” yang semakin menghilang. Ruang publik kota kian hanya terisi oleh hiruk pikuk kesemrawutan. Ruang publik kota semakin terjejali oleh kulktur-kultur baru yang lebih menampung hasrat kepuasan ketimbang nalar kecerdasan. Tanpa ruang kontrol dan pengaturan yang lebih berorientasi untuk membangun ‘keadaban publik’ lebih baik maka kota kian waktu hanya menjadi medan tumpukan sumbu pendek yang setiap waktu bisa menyala. Pola-pola dan reaksi lama kebijakan kota yang lebih berorientasi pada paradigma primitif pertumbuhan ekonomi seyogyanya sudah harus mengalami perubahan. Alih-alih bisa mencegah problem sosial yang akan muncul, ia justru sekaligus bisa menjadi akar kemunculan problem sosial yang lebih besar. Ada yang sekian lama pendekatan kebijakan yang hilang, yakni “pendekatan kebudayaan” yang tidak terkontaminasi oleh nalar-nalar kekuasaan, Pemerataan dan keadilan untuk massyarakat Yogyakarta bukan persoalan penataan formal belaka melainkan pentingnya membangun ‘sensitifitas kebudayaan’ yang berorentasi pada masyarakat. Ruang publik kota tidak lagi menjadi ancaman tetapi akan menjadi ruang hidup yang nyaman bagi semua saja. Pada titik inilah ‘nalar kebudayaan dan keadaban publik’ berkorelasi positif pada penciptaan keamanan yang sebenarnya. Akar problem keamanan tidak terletak pada ada atau tidaknya potensi kejahatan, tetapi sangat bergandeng erat dengan “ada tidaknya ruang dan akses harapan hidup yang adil bagi semua orang”. Selama ruang itu tidak ada maka niscaya problem keamanan akan selalu muncul di hadapan kita.



“Kita penting saatnya menilai ulang peran kita dalam sebuah dunia
di mana segelintir manusia berenang dalam kekayaan
dan mayoritas tenggelam dalam kemiskinan, polusi, dan kekerasan”
(John Perkins)


Selamat berdiskusi!!!

Tidak ada komentar: