Rabu, 22 April 2009

Ketika Sejarah Korban belum Diberi Tempat

Ketika Sejarah Korban belum Diberi Tempat



Tahun 1984, torehan penting di Argentina pernah muncul pasca pemerintahan totaliter Junta Militer. Sebuah Komisi untuk Orang Hilang (CONADEP) yang dibentuk oleh Presiden Alfonsin di Argentina telah menerbitkan sebuah laporan resmi tentang berbagai investigasi kesaksian “para korban” kekejaman luar biasa selama rezim Junta Militer Argentina yang berkuasa tahun 1976 -1983.1 Sebuah dokumentasi berharga tentang fakta-fakta pembongkaran atas kebijakan politik teror kekuasaan. Sebuah langkah keberanian dari pemerintahan yang demokratis pasca Junta Militer di Argentina. Dalam dokumen yang diberi nama ‘Nunca Mas’ ( Tidak Akan Terulang Lagi), ditunjukan berbagai kekejaman masa lalu yang dilakukan oleh Rezim Junta Militer. Langkah rezim telah membuka mata seluruh dunia atas masa lalu yang gelap di Argentina. Keberanian pemerintah untuk penyediaan ruang kesaksian adalah perjalanan cukup maju atas penanganan kasus politik Argentina yang selama itu gelap dan tertutup.

Keberanian memberikan kesaksian atas kebenaran sejarah tersebut merupakan awal langkah upaya pemulihan korban. Atas langkah itulah beberapa kebijakan seperti ‘reparasi’ dan ‘rehabilitasi’ kemudian berhasil dirumuskan. Banyak kebijakan dan undang-undang berhasil dibentuk untuk memberi kemerdekaan politik dan sekaligus kesejahteraan korban. Ingatan massa lalu berhasil ditangkap menjadi kesadaran untuk pembenahan sistem politik kedepan. Sebuah tragedi tentang teror dan penindasan yang mampu dibuka dengan harapan untuk melakukan pelurusan sejarah dan mengawal transisi politik secara baik meskipun belum menjangkau keseluruhan cita-cita dari upaya rekonsiliasi korban. Dalam pengalaman Argentina, masa lalu masih terus tertawan. Masa lalu seringkali masih diletakkan sebagai beban sejarah. Usaha CONADEP memang bisa menolong sebuah keterbukaan politik dan membantu para korban memahami sejarahnya, meskipun dalam batas tertentu masih belum memenuhi hak keadilan korban.

Dasawarsa terakhir, terobosan politik dan langkah kebijakan di Argentina dalam beberapa intensitas dan kualitas berbeda juga berlangsung di beberapa negara. Kemajuan ini telah berhasil menyelesaikan warisan kejahatan masa lalu. Hampir ada lemiripan situasi politik. Untuk penyelesaikan tersebut, telah dibentuk semacam komisi penyelidikan atau ‘komisi kebenaran’. Komisi ini secara khusus bertugas untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kurun waktu tertentu terutama situasi kekejaman yang terjadi dalam rezim lama yang berkuasa. Langkah ini dianggap cukup taktis untuk mengungkap massa lalu.

Afrika Selatan, merupakan salah satu contoh negara yang mempunyai pengalaman lebih menarik tentang komisi kebenaran. Pengalaman sejarah kelam “apartheid” merupakan catatan tergelap bagi Afrika Selatan. Konsistensi dan keberanian politik pasca apartheid untuk membuka babak rekonsiliasi telah menciptakan terobosan penting. Komisi kebenaran telah berhasil dipakai sebagai cara untuk melakukan pembenahan sejarah secara menyeluruh bagi Afrika Selatan. Pada kasus Afrika Selatan, amnesti politik bisa dan berhasil diberikan secara individual terhadap para pelaku pelanggaran kemanusiaan di Afrika Selatan. Sebagai sebuah syarat mendapatkan amnesti tersebut, seseorang harus mendaftarkan diri dan membeberkan seluruh detail kejahatan mereka kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pada prosesnya, kasus Afrika Selatan cukup menarik. Mereka tidak sepenuhnya mengandalkan pada ‘amnesti’ dan ‘komisi kebenaran’ semata. Komisi kebenaran berhasil mendorong ribuan orang untuk mengakui kejahatan mereka pada masa ‘apartheid’. Sistem pengadilan yang masih dianggap bermasalah menyebabkan banyak orang lebih percaya pada komisi kebenaran ini. Kepercayaan dan keterbukaan pada hakikatnya adalah modal penting untuk membangun rekonsiliasi. Komisi kebenaran sekaligus bisa membangun ‘autoritas’ untuk mencipta ruang yang tepat untuk semua orang yang dipinggirkan oleh sejarah untuk bersaksi. Komisi kebenaran sekaligus menjadi media yang tepat untuk para pelaku memberikan pengakuan.

Keberanian membuka pengakuan merupakan tradisi moral untuk merombak sistem ‘impunitas’ yang sering diperoleh para pelaku kejahatan kemanusiaan di Afrika Selatan. “Memaafkan tanpa melupakan” adalah prinsip dasar moral yang dipakai sebagai semboyan dalam membangun rekonsiliasi dan pelurusan sejarah. Prinsip-prinsip inilah yang membentuk warna rekonsiliasi menjadi hidup. Afrika Selatan adalah contoh kasus yang bisa menempatkan ‘masa lalu” yang berdamai dengan cita-cita ‘masa depan’. Sejarah kekelaman bisa menjadi bahan reflektif berharga untuk membangun fondasi sistem yang lebih kokoh. Sebuah sistem hidup bernegara yang tidak didasari kepura-kepuraan dan kebohongan. Sebaliknya, Afrika Selatan yang baru adalah negeri yang menghargai ketulusan, penghargaan dan etos tanggungjawab.

Berbeda jauh dengan Argentina maupun Afrika Selatan dalam mensikapi pentingnya pelurusan sejarah dan langkah penanganan para korban akibat kejahatan kemanusian, Indonesia mempunyai cerita sebaliknya. Upaya pelurusan sejarah masih berjalan di tempat. Perjuangan para korban politik kejahatan kemanusiaan masih membentur tembok penghalang politik yang tinggi dan tebal. Kekuasaan politik masih bebal dan enggan untuk membuka pintu. Tidak ada keberanian dan kerendahan hati negara untuk menyelesaikan problem-problem kemanusian yang pernah terjadi. Cita-cita untuk pelurusan sejarah tenggelam dan menguap begitu saja. Masih sangat jauh untuk mengatakan bahwa kebijakan politik sudah terbuka untuk kebenaran sejarah. Berderet kasus dari tahun 1965 sampai saat ini tidak kunjung menghasilkan warna terang. Perjuangan korban tersendat oleh sikap dan kebijakan politik yang sampai saat ini masih belum berpihak.

Tragedi bangsa 1965 dan episode sesudahnya adalah salah satu contoh tentang kurun waktu sejarah paling kabur dan gelap. Tahun yang menjadi awal berkuasanya rezim baru yang kontroversial. Tahun dengan fenomena perubahan kebijakan yang sangat drastis. Tahun-tahun penuh “harapan’ bagi sebagian masyarakat dan sekaligus menyimpan ‘kekecewaan tak terbendung” dari sebagian yang lain. Awal sistem politik yang menghamparkan “kemenangan” dan sekaligus ‘kekalahan”. Musim semi politik bagi Indonesia yang menyeret kisah paling dramatis. Kurun waktu yang menjadi titik pembalikan sejarah politik Indonesia sekaligus merupakan rentang sejarah dengan tumpukan jutaan korban. Kemenangan sebuah rezim yang melahirkan berbagai dikotomi biner tentang ‘pahlawan’ dan ‘para pemberontak’, tentang ‘yang suci’ dan ‘yang biadab’, tentang ‘kita’ dan ‘mereka’, tentang ‘yang terpuji’ dan ‘yang terkutuk’ dan tentang “yang berhak” dan “yang tidak pantas” hidup dalam bumi bangsa ini. Sebuah rezim dengan sekian nalar prasangka yang membelah keragaman, persaudaraan, dan kultus saling menghargai walaupun terselimuti dengan jargon kesatuan dan integrasi bangsa.

Guratan wajah suram itu belum surut. Pelaku kejahatan tetap melenggang dan tidak tersentuh. Sistem kekuasaan masih belum berkehendak untuk merelakan diri membuka proses kebenaran sejarah atas kisah masa lalu yang masih gelap. Penanganan yang tidak menyentuh prinsip keadilan bagi ‘korban’ politik 1965 – 1966 adalah gambaran nyata atas kecenderungan politik yang masih tertutup. Yang berkuasa terlalu enggan untuk membuka “masa lalu” sebagai ‘masa lalu” yang memang pernah hadir di Indonesia. Tragedi 1965 -1966 adalah babak yang cukup penting untuk dilihat dan dikisahkan kembali. Bukan persoalan siapa yang akan menang dan kalah tetapi membangun sikap kedewasaan bersama untuk melihat kembali masa lalu secara jujur. Menarasikan kembali yang sudah ‘lewat’ secara kritis merupakan langkah menempatkan sejarah masa lalu pada tempatnya yang pantas sesuai dengan fakta kenyataan yang selurus-lurusnya. Meskipun proses ini seringkali sulit, inilah pintu dasar untuk keluar dari penjara masa lalu. Sebuah modal berharga untuk menjalani masa depan dengan spirit rekonsiliasi yang sebenarnya. Luka kolektif masa lalu yang ditutup-tutupi justru penghambat terbesar untuk membangun fondasi sejarah yang penuh ‘keadaban’.

Merenungkan tragedi politik secara jernih, mengajak semua untuk “mengingat” kembali setiap torehan sejarah dengan penuh empati. Berempati karena begitu mendalam dan kontroversialnya sejarah ini terbangun. Rentang waktu kontroversial ini belum berakhir. Narasi resmi tentang “kisah penyelamatan” tetap saja bertahan diantara narasi-naraso kecil korban yang berserakan. Sebagai sebuah babak, 1965 adalah transisi politik yang banyak mengkisahkan ‘sang korban’, terkhusus bagi mereka yang saat ini masih tetap “tertawan” dalam “trauma kolektif”. Fakta masa lalu menjadi lembaran kisah terbesar bangsa yang penuh luka dan keegetiran; tragedi terbesar dengan sekian banyak ”korban” dan sekian banyak ratapan, trauma kolektif dan kengerian. Empat puluh tahun lebih telah berlalu, namun peristiwa tersebut seakan sulit menghilang dan kian membekas bersama-sama dalam memori kolektif bangsa. Bangsa tetap belum beranjak dari posisi semula. Belum terlihat komitmen dan kehendak bersama bahwa rekosiliasi dan pelurusan sejarah adalah sesuatu yang teramat penting.

Ingatan masa lalu yang hidup dalam kuatnya sistem normalisasi dan pengawasan membuat sekian banyak ‘korban’ masih beku dan tak bersuara. Mereka terbungkam, ketakutan dan kadang putus asa. Suara merekas tenggelam dalam kesenyapan. Kejujuran dan keberanian bertutur harus berhadapan dengan ‘prasangka’ dan ‘stigma’. Segala sifat yang ‘buruk’ masih ditempelkan kepada mereka. Labelisasi ini sekian waktu bahkan mengakar dan teresap dalam bawah sadar masyarakat. Masyarakat terdorong untuk tidak hanya ‘phobia’ tetapi sekaligus terdidik untuk menyemai siklus kebencian. Alih-alih memperjuangkan korban, berdekatan dengan ‘mereka’ adalah aib dan pelanggaran moral dan politik. Bisa-bisa justru akan menyeret pada banalitas politik “kambing hitam”. Entah kenapa, inilah kenyataan yang tetap bertahan.

Stigma mudah diserap menjadi kesadaran dan membentuk perilaku. Dekat dengan para korban sama berarti mencipta kesulitan bagi diri sendiri. Lebih parah lagi akan dicap dan terkatagori sebagai musuh yang harus dicurigai. Inilah malapetaka bagi siapa yang dekat dengan para korban. Nalar pikir ketakutan dan kebencian inilah yang tersemai dalam iklim penyeragaman bahasa, wacana dan tradisi bertutur masyarakat. Kalau tidak mau sulit maka lebih baik diam. Represi atas ingatan selanjutnya secara sublim membangun ekspresi-ekspresi prasangka . Stigma mendapat lahan basahnya pada kesadaran masyarakat yang ditekan luar biasa untuk bungkam dan tidak bersuara. Kepatuhan pada penyeragaman diskursus membudidayakan kesadaran nomenclatura yang tertutup. Sang korban menjadi “si liyan” yang tidak hanya terikat kontrol dan pengawasan namun sekaligus terpenjara dalam kepungan label negatif yang harus ditanggung.

Penanganan para korban terbatas pada keinginan dan kehendak negara secara sepihak. Suara-suara korban belum diberi tempat sepantasnya. Ruang sejatunya sejarah hanya ada pada masa lalu yang sudah direpresentasikan penguasa. Negara leluasa menguasai ingatan masa lalu korban dengan cara pandang yang seragam. Korban dipaksa untuk selalu ‘mengingat’ sesuatu yang menjadi kebenaran sejarah dalam perspektif penguasa. ‘Korban’ sekaligus dipaksa untuk ‘melupakan’ ingatan tentang kebenaran sejarah yang seharusnya dimiliki.

Di sisi lain, tak satupun pelaku bersuara. Mereka enggan untuk terbuka mermaparkan masa lalunya. Ruang politik yang masih tertutup, membuat para pelaku (represorer) masih bebas berkeliaran tidak bias tersentuh hukum. Tidak hanya diam dan berkelit, dalam ruang-ruang kekuasaan yang dimiliki, mereka meneguhkan diri sebagai penentu kebenaran sejarah. Masa lalu disembunyikan dalam kamar penyimpanan yang tertutup rapi. Membukanya dikawatirkan akan membangun gejolak politik yang tidak menyenangkan bagi ‘pelaku’ dan penguasa. Membuka sejarah masa lalu bisa menjadi bomerang dan keruntuhan legitimasi. Banyak dari pelaku tentu tidak menginginkan pil rasa pahit akibat keterbukaan masa lalu. Minimal, kondisi inilah yang membuat upaya apapun untuk mengangkat nasib korban tersendat dan terpuruk.

Hadirnya perubahan politik tahun 1998 belum cukup memberi ruang dan kesempatan yang luas bagi korban. Cita-cita pelurusan sejarah untuk mengingat kembali ‘masa lalu’ dalam rangka membangun dan meletakkan sejarah bangsa ini secara benar, masih jauh dari kenyataan. Tidak sedikit kebijakan negara justru tidak mengambil posisi berbeda dengan sikap politik terdahulu. Keinginan untuk melakukan pelurusan sejarah dan rekonsiliasi nasional terpaksa harus melewati jalan terjal dan tantangan luar biasa. Dibandingkan dengan Afrika Selatan ataupun Argentina, Indonesia terbukti gagal membentuk “komisi kebenaran” untuk pelurusan sejarah. Phobia atas ancaman kembali komunisme justru terus menguat. Narasi sejarah resmi bangsa belum nampak berpihak pada korban. Perkembangannya tidak semakin membaik. Sejarah resmi masih sarat dengan berbagai bias kekuasaan.

Tragedi 1965-1966 terkatagorikan salah satu kisah dan polemik sejarah Indonesia yang sangat menegangkan. Beberapa sejarawan bahkan secara eksplisit menyebutnya sebagai sejarah yang penuh dengan ketidakpastian. Ia melahirkan beragam klaim interpretasi pandangan mengenai kebenaran fakta sejarah. Tentang siapa saja pihak-pihak yang harus bertanggung menjadi ”pelaku” dan siapa yang menjadi ”korban” masih ada dalam rangking teratas tema kontroversi. Betapa rumitnys kisah ini untuk dituturkan, menempatkan episode ini sebagai catatan bangsa yang tidak mudah terlampaui. Bukan saja karena banyaknya versi sejarah yang muncul, tetapi juga karena perdebatannya belum berujung pada tercapainya keadilan bagi korban.

Terlepas dari segala polemik dan kontroversi, fakta peristiwa itu telah menggelar dan menyuguhkan cerita penderitaan ”korban” yang sungguh luar biasa. Terlepas dari perbedaan dalam menghitung berapa jumlah dibunuh, dipenjara dan diasingkan, jumlah korban terbilang sangat fantastis. Beberapa ahli dan peneliti sejarah bahkan menafsir angka melebihi ratusan ribu korban. Sebagian besar dari mereka telah didakwa dan diadili tanpa proses hukum yang semestinya. Sebagian mereka yang tersisa, kini masih hidup dalam nafas diskriminasi dan peminggiran politik luar biasa.

Meskipun waktu terus bergerak dan generasi mulai berganti, sepertinya stigmatisasi dan diskriminasi dengan perkembangan pola masih bertahan. Kalaupun secara fisik para korban tidak mengalami represi langsung, mereka tetap saja masih berhadapan dengan kecenderungan dan pola tekanan politik yang lain. Dominasi dan represi atas ingatan masa lalu secara psikologis justru menjadi modus pemenjaraan non fisik paling diskriminatif. Korban dibiarkan hidup tetapi tetap saja terbungkam; Dibiarkan ’bernafas’ tetapi tidak merdeka ’bersuara’. Atas alasan ’bahaya laten’ mereka harus diawasi karena kemungkinan bisa ’bangkit’ dan ’bertumbuh’ kembali.

Tidak ada komentar: