Ketika Sejarah Korban belum Diberi Tempat
Tahun 1984, torehan penting di Argentina pernah muncul pasca pemerintahan totaliter Junta Militer. Sebuah Komisi untuk Orang Hilang (CONADEP) yang dibentuk oleh Presiden Alfonsin di Argentina telah menerbitkan sebuah laporan resmi tentang berbagai investigasi kesaksian “para korban” kekejaman luar biasa selama rezim Junta Militer Argentina yang berkuasa tahun 1976 -1983.1 Sebuah dokumentasi berharga tentang fakta-fakta pembongkaran atas kebijakan politik teror kekuasaan. Sebuah langkah keberanian dari pemerintahan yang demokratis pasca Junta Militer di Argentina. Dalam dokumen yang diberi nama ‘Nunca Mas’ ( Tidak Akan Terulang Lagi), ditunjukan berbagai kekejaman masa lalu yang dilakukan oleh Rezim Junta Militer. Langkah rezim telah membuka mata seluruh dunia atas masa lalu yang gelap di Argentina. Keberanian pemerintah untuk penyediaan ruang kesaksian adalah perjalanan cukup maju atas penanganan kasus politik Argentina yang selama itu gelap dan tertutup.
Keberanian memberikan kesaksian atas kebenaran sejarah tersebut merupakan awal langkah upaya pemulihan korban. Atas langkah itulah beberapa kebijakan seperti ‘reparasi’ dan ‘rehabilitasi’ kemudian berhasil dirumuskan. Banyak kebijakan dan undang-undang berhasil dibentuk untuk memberi kemerdekaan politik dan sekaligus kesejahteraan korban. Ingatan massa lalu berhasil ditangkap menjadi kesadaran untuk pembenahan sistem politik kedepan. Sebuah tragedi tentang teror dan penindasan yang mampu dibuka dengan harapan untuk melakukan pelurusan sejarah dan mengawal transisi politik secara baik meskipun belum menjangkau keseluruhan cita-cita dari upaya rekonsiliasi korban. Dalam pengalaman Argentina, masa lalu masih terus tertawan. Masa lalu seringkali masih diletakkan sebagai beban sejarah. Usaha CONADEP memang bisa menolong sebuah keterbukaan politik dan membantu para korban memahami sejarahnya, meskipun dalam batas tertentu masih belum memenuhi hak keadilan korban.
Dasawarsa terakhir, terobosan politik dan langkah kebijakan di Argentina dalam beberapa intensitas dan kualitas berbeda juga berlangsung di beberapa negara. Kemajuan ini telah berhasil menyelesaikan warisan kejahatan masa lalu. Hampir ada lemiripan situasi politik. Untuk penyelesaikan tersebut, telah dibentuk semacam komisi penyelidikan atau ‘komisi kebenaran’. Komisi ini secara khusus bertugas untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kurun waktu tertentu terutama situasi kekejaman yang terjadi dalam rezim lama yang berkuasa. Langkah ini dianggap cukup taktis untuk mengungkap massa lalu.
Afrika Selatan, merupakan salah satu contoh negara yang mempunyai pengalaman lebih menarik tentang komisi kebenaran. Pengalaman sejarah kelam “apartheid” merupakan catatan tergelap bagi Afrika Selatan. Konsistensi dan keberanian politik pasca apartheid untuk membuka babak rekonsiliasi telah menciptakan terobosan penting. Komisi kebenaran telah berhasil dipakai sebagai cara untuk melakukan pembenahan sejarah secara menyeluruh bagi Afrika Selatan. Pada kasus Afrika Selatan, amnesti politik bisa dan berhasil diberikan secara individual terhadap para pelaku pelanggaran kemanusiaan di Afrika Selatan. Sebagai sebuah syarat mendapatkan amnesti tersebut, seseorang harus mendaftarkan diri dan membeberkan seluruh detail kejahatan mereka kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Pada prosesnya, kasus Afrika Selatan cukup menarik. Mereka tidak sepenuhnya mengandalkan pada ‘amnesti’ dan ‘komisi kebenaran’ semata. Komisi kebenaran berhasil mendorong ribuan orang untuk mengakui kejahatan mereka pada masa ‘apartheid’. Sistem pengadilan yang masih dianggap bermasalah menyebabkan banyak orang lebih percaya pada komisi kebenaran ini. Kepercayaan dan keterbukaan pada hakikatnya adalah modal penting untuk membangun rekonsiliasi. Komisi kebenaran sekaligus bisa membangun ‘autoritas’ untuk mencipta ruang yang tepat untuk semua orang yang dipinggirkan oleh sejarah untuk bersaksi. Komisi kebenaran sekaligus menjadi media yang tepat untuk para pelaku memberikan pengakuan.
Keberanian membuka pengakuan merupakan tradisi moral untuk merombak sistem ‘impunitas’ yang sering diperoleh para pelaku kejahatan kemanusiaan di Afrika Selatan. “Memaafkan tanpa melupakan” adalah prinsip dasar moral yang dipakai sebagai semboyan dalam membangun rekonsiliasi dan pelurusan sejarah. Prinsip-prinsip inilah yang membentuk warna rekonsiliasi menjadi hidup. Afrika Selatan adalah contoh kasus yang bisa menempatkan ‘masa lalu” yang berdamai dengan cita-cita ‘masa depan’. Sejarah kekelaman bisa menjadi bahan reflektif berharga untuk membangun fondasi sistem yang lebih kokoh. Sebuah sistem hidup bernegara yang tidak didasari kepura-kepuraan dan kebohongan. Sebaliknya, Afrika Selatan yang baru adalah negeri yang menghargai ketulusan, penghargaan dan etos tanggungjawab.
Berbeda jauh dengan Argentina maupun Afrika Selatan dalam mensikapi pentingnya pelurusan sejarah dan langkah penanganan para korban akibat kejahatan kemanusian, Indonesia mempunyai cerita sebaliknya. Upaya pelurusan sejarah masih berjalan di tempat. Perjuangan para korban politik kejahatan kemanusiaan masih membentur tembok penghalang politik yang tinggi dan tebal. Kekuasaan politik masih bebal dan enggan untuk membuka pintu. Tidak ada keberanian dan kerendahan hati negara untuk menyelesaikan problem-problem kemanusian yang pernah terjadi. Cita-cita untuk pelurusan sejarah tenggelam dan menguap begitu saja. Masih sangat jauh untuk mengatakan bahwa kebijakan politik sudah terbuka untuk kebenaran sejarah. Berderet kasus dari tahun 1965 sampai saat ini tidak kunjung menghasilkan warna terang. Perjuangan korban tersendat oleh sikap dan kebijakan politik yang sampai saat ini masih belum berpihak.
Tragedi bangsa 1965 dan episode sesudahnya adalah salah satu contoh tentang kurun waktu sejarah paling kabur dan gelap. Tahun yang menjadi awal berkuasanya rezim baru yang kontroversial. Tahun dengan fenomena perubahan kebijakan yang sangat drastis. Tahun-tahun penuh “harapan’ bagi sebagian masyarakat dan sekaligus menyimpan ‘kekecewaan tak terbendung” dari sebagian yang lain. Awal sistem politik yang menghamparkan “kemenangan” dan sekaligus ‘kekalahan”. Musim semi politik bagi Indonesia yang menyeret kisah paling dramatis. Kurun waktu yang menjadi titik pembalikan sejarah politik Indonesia sekaligus merupakan rentang sejarah dengan tumpukan jutaan korban. Kemenangan sebuah rezim yang melahirkan berbagai dikotomi biner tentang ‘pahlawan’ dan ‘para pemberontak’, tentang ‘yang suci’ dan ‘yang biadab’, tentang ‘kita’ dan ‘mereka’, tentang ‘yang terpuji’ dan ‘yang terkutuk’ dan tentang “yang berhak” dan “yang tidak pantas” hidup dalam bumi bangsa ini. Sebuah rezim dengan sekian nalar prasangka yang membelah keragaman, persaudaraan, dan kultus saling menghargai walaupun terselimuti dengan jargon kesatuan dan integrasi bangsa.
Guratan wajah suram itu belum surut. Pelaku kejahatan tetap melenggang dan tidak tersentuh. Sistem kekuasaan masih belum berkehendak untuk merelakan diri membuka proses kebenaran sejarah atas kisah masa lalu yang masih gelap. Penanganan yang tidak menyentuh prinsip keadilan bagi ‘korban’ politik 1965 – 1966 adalah gambaran nyata atas kecenderungan politik yang masih tertutup. Yang berkuasa terlalu enggan untuk membuka “masa lalu” sebagai ‘masa lalu” yang memang pernah hadir di Indonesia. Tragedi 1965 -1966 adalah babak yang cukup penting untuk dilihat dan dikisahkan kembali. Bukan persoalan siapa yang akan menang dan kalah tetapi membangun sikap kedewasaan bersama untuk melihat kembali masa lalu secara jujur. Menarasikan kembali yang sudah ‘lewat’ secara kritis merupakan langkah menempatkan sejarah masa lalu pada tempatnya yang pantas sesuai dengan fakta kenyataan yang selurus-lurusnya. Meskipun proses ini seringkali sulit, inilah pintu dasar untuk keluar dari penjara masa lalu. Sebuah modal berharga untuk menjalani masa depan dengan spirit rekonsiliasi yang sebenarnya. Luka kolektif masa lalu yang ditutup-tutupi justru penghambat terbesar untuk membangun fondasi sejarah yang penuh ‘keadaban’.
Merenungkan tragedi politik secara jernih, mengajak semua untuk “mengingat” kembali setiap torehan sejarah dengan penuh empati. Berempati karena begitu mendalam dan kontroversialnya sejarah ini terbangun. Rentang waktu kontroversial ini belum berakhir. Narasi resmi tentang “kisah penyelamatan” tetap saja bertahan diantara narasi-naraso kecil korban yang berserakan. Sebagai sebuah babak, 1965 adalah transisi politik yang banyak mengkisahkan ‘sang korban’, terkhusus bagi mereka yang saat ini masih tetap “tertawan” dalam “trauma kolektif”. Fakta masa lalu menjadi lembaran kisah terbesar bangsa yang penuh luka dan keegetiran; tragedi terbesar dengan sekian banyak ”korban” dan sekian banyak ratapan, trauma kolektif dan kengerian. Empat puluh tahun lebih telah berlalu, namun peristiwa tersebut seakan sulit menghilang dan kian membekas bersama-sama dalam memori kolektif bangsa. Bangsa tetap belum beranjak dari posisi semula. Belum terlihat komitmen dan kehendak bersama bahwa rekosiliasi dan pelurusan sejarah adalah sesuatu yang teramat penting.
Ingatan masa lalu yang hidup dalam kuatnya sistem normalisasi dan pengawasan membuat sekian banyak ‘korban’ masih beku dan tak bersuara. Mereka terbungkam, ketakutan dan kadang putus asa. Suara merekas tenggelam dalam kesenyapan. Kejujuran dan keberanian bertutur harus berhadapan dengan ‘prasangka’ dan ‘stigma’. Segala sifat yang ‘buruk’ masih ditempelkan kepada mereka. Labelisasi ini sekian waktu bahkan mengakar dan teresap dalam bawah sadar masyarakat. Masyarakat terdorong untuk tidak hanya ‘phobia’ tetapi sekaligus terdidik untuk menyemai siklus kebencian. Alih-alih memperjuangkan korban, berdekatan dengan ‘mereka’ adalah aib dan pelanggaran moral dan politik. Bisa-bisa justru akan menyeret pada banalitas politik “kambing hitam”. Entah kenapa, inilah kenyataan yang tetap bertahan.
Stigma mudah diserap menjadi kesadaran dan membentuk perilaku. Dekat dengan para korban sama berarti mencipta kesulitan bagi diri sendiri. Lebih parah lagi akan dicap dan terkatagori sebagai musuh yang harus dicurigai. Inilah malapetaka bagi siapa yang dekat dengan para korban. Nalar pikir ketakutan dan kebencian inilah yang tersemai dalam iklim penyeragaman bahasa, wacana dan tradisi bertutur masyarakat. Kalau tidak mau sulit maka lebih baik diam. Represi atas ingatan selanjutnya secara sublim membangun ekspresi-ekspresi prasangka . Stigma mendapat lahan basahnya pada kesadaran masyarakat yang ditekan luar biasa untuk bungkam dan tidak bersuara. Kepatuhan pada penyeragaman diskursus membudidayakan kesadaran nomenclatura yang tertutup. Sang korban menjadi “si liyan” yang tidak hanya terikat kontrol dan pengawasan namun sekaligus terpenjara dalam kepungan label negatif yang harus ditanggung.
Penanganan para korban terbatas pada keinginan dan kehendak negara secara sepihak. Suara-suara korban belum diberi tempat sepantasnya. Ruang sejatunya sejarah hanya ada pada masa lalu yang sudah direpresentasikan penguasa. Negara leluasa menguasai ingatan masa lalu korban dengan cara pandang yang seragam. Korban dipaksa untuk selalu ‘mengingat’ sesuatu yang menjadi kebenaran sejarah dalam perspektif penguasa. ‘Korban’ sekaligus dipaksa untuk ‘melupakan’ ingatan tentang kebenaran sejarah yang seharusnya dimiliki.
Di sisi lain, tak satupun pelaku bersuara. Mereka enggan untuk terbuka mermaparkan masa lalunya. Ruang politik yang masih tertutup, membuat para pelaku (represorer) masih bebas berkeliaran tidak bias tersentuh hukum. Tidak hanya diam dan berkelit, dalam ruang-ruang kekuasaan yang dimiliki, mereka meneguhkan diri sebagai penentu kebenaran sejarah. Masa lalu disembunyikan dalam kamar penyimpanan yang tertutup rapi. Membukanya dikawatirkan akan membangun gejolak politik yang tidak menyenangkan bagi ‘pelaku’ dan penguasa. Membuka sejarah masa lalu bisa menjadi bomerang dan keruntuhan legitimasi. Banyak dari pelaku tentu tidak menginginkan pil rasa pahit akibat keterbukaan masa lalu. Minimal, kondisi inilah yang membuat upaya apapun untuk mengangkat nasib korban tersendat dan terpuruk.
Hadirnya perubahan politik tahun 1998 belum cukup memberi ruang dan kesempatan yang luas bagi korban. Cita-cita pelurusan sejarah untuk mengingat kembali ‘masa lalu’ dalam rangka membangun dan meletakkan sejarah bangsa ini secara benar, masih jauh dari kenyataan. Tidak sedikit kebijakan negara justru tidak mengambil posisi berbeda dengan sikap politik terdahulu. Keinginan untuk melakukan pelurusan sejarah dan rekonsiliasi nasional terpaksa harus melewati jalan terjal dan tantangan luar biasa. Dibandingkan dengan Afrika Selatan ataupun Argentina, Indonesia terbukti gagal membentuk “komisi kebenaran” untuk pelurusan sejarah. Phobia atas ancaman kembali komunisme justru terus menguat. Narasi sejarah resmi bangsa belum nampak berpihak pada korban. Perkembangannya tidak semakin membaik. Sejarah resmi masih sarat dengan berbagai bias kekuasaan.
Tragedi 1965-1966 terkatagorikan salah satu kisah dan polemik sejarah Indonesia yang sangat menegangkan. Beberapa sejarawan bahkan secara eksplisit menyebutnya sebagai sejarah yang penuh dengan ketidakpastian. Ia melahirkan beragam klaim interpretasi pandangan mengenai kebenaran fakta sejarah. Tentang siapa saja pihak-pihak yang harus bertanggung menjadi ”pelaku” dan siapa yang menjadi ”korban” masih ada dalam rangking teratas tema kontroversi. Betapa rumitnys kisah ini untuk dituturkan, menempatkan episode ini sebagai catatan bangsa yang tidak mudah terlampaui. Bukan saja karena banyaknya versi sejarah yang muncul, tetapi juga karena perdebatannya belum berujung pada tercapainya keadilan bagi korban.
Terlepas dari segala polemik dan kontroversi, fakta peristiwa itu telah menggelar dan menyuguhkan cerita penderitaan ”korban” yang sungguh luar biasa. Terlepas dari perbedaan dalam menghitung berapa jumlah dibunuh, dipenjara dan diasingkan, jumlah korban terbilang sangat fantastis. Beberapa ahli dan peneliti sejarah bahkan menafsir angka melebihi ratusan ribu korban. Sebagian besar dari mereka telah didakwa dan diadili tanpa proses hukum yang semestinya. Sebagian mereka yang tersisa, kini masih hidup dalam nafas diskriminasi dan peminggiran politik luar biasa.
Meskipun waktu terus bergerak dan generasi mulai berganti, sepertinya stigmatisasi dan diskriminasi dengan perkembangan pola masih bertahan. Kalaupun secara fisik para korban tidak mengalami represi langsung, mereka tetap saja masih berhadapan dengan kecenderungan dan pola tekanan politik yang lain. Dominasi dan represi atas ingatan masa lalu secara psikologis justru menjadi modus pemenjaraan non fisik paling diskriminatif. Korban dibiarkan hidup tetapi tetap saja terbungkam; Dibiarkan ’bernafas’ tetapi tidak merdeka ’bersuara’. Atas alasan ’bahaya laten’ mereka harus diawasi karena kemungkinan bisa ’bangkit’ dan ’bertumbuh’ kembali.
Rabu, 22 April 2009
Nalar Modal dan ‘Depolitisasi’ Kota
Nalar Modal dan ‘Depolitisasi’ Kota
(Mencari akar kemacetan transisi ekonomi politik :
Yogyakarta sebagai kasus)
“..di Indonersia belum terjadi perubahan politik,
yang terjadi adalah ‘relokasi’ aktor-aktor politik”
(Vedi R. Hadiz)
Sekilas berbicara tentang Yogyakarta lebih banyak mengajak orang melihat satu struktur pemahaman yang sekian lama relatif mapan yakni tentang sebuah entitas kota dengan berbagai potensi wisata, kebudayaan dan tradisi intelektualitasnya. Apakah ini kebenaran atau sekedar menjadi pencitraan identitas akan bisa kita lihat bersama-sama. Mitologi dan strategi identitas ini sekian lama masih terus dipertahankan. Konstruksi identitas yang kadang mampu melampaui batasan sejarah dan kondisi realitas sebenarnya. Di banyak kasus, lebih terlihat upaya ‘komodifikasi’ berlebihan terhadap ‘tubuh kota’ yang sebenarnya menyimpan banyak kontradiksi-kontradiksi yang cukup mencuat. Problemnya lagi, politik identitas kota ini kadang lebih terujuk pada ‘mistifikasi’ ketimbang ‘rasionalisasi’ yang lebih masuk akal dan menjanjikan.
Tidak bisa dipungkiri, ‘pseudo-feodalisme’ sebagai ‘nalar pikir’ masih begitu mengental bercampur antara batas mencintai dan menhayatinya sebagai ‘tradisi’ yang perlu dipertahankan atau melihatnya sebagai tradisi yang mampu mentransformasi ke dalam ‘modal kapital’ yang lumayan menguntungkan. Tentu tesis ini tidak semua bisa menerimanya sebagai satu kenyataan yang real saat ini berjalan. Sekian waktu dalam transisi perubahan yang berjalan, ‘Yogyakarta’ dalam tubuhnya tidak urung mengalami berbagai gugatan dan terjangan-terjangan perubahan yang harus dihadapi. Dari gugatan ‘keistimewaan’ sampai problem-problem lainnya yang main meluas seperti problem tata ruang kota yang selalu menimbukan masalah. Cerita tentang penggusuran atas nama ketertiban dan keindahan tata ruang kota tetap masih nyaring kita dengar lima tahun ini. Di sisi yang lain, ‘modernisasi’ memberi keniscayaan dorongan “desakralisasi” yang cukup berdampak luas bagi Yogyakarta. Polemik “keistimewaan’ bisa jadi hanyalah satu contoh dari gambaran-gambaran kondisi objektif sebenarnya. Ada keberanian baru untuk melihat dan membaca Yogyakarta dalam nalar yang lebih kritis sebagai bangunan tubuh yang lebih dinamis, historis dan dialektik. Melihat entitas kota sekedar dalam ‘romantisme’ ingatan nilai masa lalu seringkali hanya menjebak kita pada nalar loyalitas pikiran yang sempit.
Tidak ada lagi masa depan bagi ‘keistimewaan’. Demikianlah sekian pemerhati dan pengamat kota merasakan gerak sejarah yang berjalan di mana ‘nalar modal’ dengan sekian alat angkutnya telah membawa ‘pola pikir’ dan ‘wujud kebudayaan’ baru yang lebih menjanjikan dari sekedar ‘nalar keistimewaan’. Ketegangan kebudayaan akan cenderung dimenangkan oleh mereka yang mampu membangun medan kekuasaan kebudayaan yang lebih bisa diterima. Lepas dari pandangan apakah ini benar atau tidak ditinjau dari prinsip-prinsip epistemologi tertentu, keseragaman kebudayaan pasar telah menggantikan “partikularitas keistimewaan”. Yogyakarta sebagai ‘tubuh kota’ tidak lagi bisa dibedakan lagi dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Nafas dan warnanya semakin ‘seragam’. Pada beberapa aspek, kota tetap saja hanya menjadi sentralitas pertemuan dan transaksi ‘nalar modal’ dan ‘nalar kekuasaan’. Kota sebagai pusat pencerminan dan pertemuan apresiasi nilai-nilai kebudayaan kian lama akan menghilang dan telah bergeser sekedar menjadi ruang transaksi ekonomis semata. Ruang kebudayaan telah digantikan dengan ‘keriuhan’ dan ‘hiruk pikuk’ kebudayaan pasar. Keseragaman nalar pasar sekaligus akan mendorong keseragaman pola pikir dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat.
Normalitas kepatuhan tidak lagi merujuk pada mekanisme kekuasaan feodal atau birokrasi kebudayaan lama. Pasar dengan seluruh nalar dan logika yang dimilikinya sekaligus akan menciptakan “mobilisasi kesadaran” dan “disiplin kepatuhan” baru pada masyarakat. Meskipun demikian, ‘pasar’ tetap menciptakan mistifikasi dalam cara dan bentuk yang berbeda. Janji-janji kepuasan, keuntungan, status sosial dan kenikmatan diri tanpa batas dalam nalar kebudayaan modern telah menggeser loyalitas dan “kepasrahan primodial lama” yang dimiliki oleh alam pikiran tradisional semisal kepatuhan akan nilai-nilai tradisi yang dianggap sakral. Namun dari sekian gambaran perubahan itu yang secara substantif relatif tetap bertahan adalah ‘kekuasaan’. Wajah dan rupa kebudayaan boleh berubah, namun kekuasaan tetaplah kekuasaan. Ia selalu saja akan menghadirkan logika dasarnya yakni kisah tentang ‘siapa’ menguasai ‘siapa’ dan dengan ‘cara bagaimana’ ia membangun kekuasaan. Kebertahanan kekuasaan juga akan ditentukan sejauh mana ia mampu mentransformasi diri dengan berbagai manifestasi barunya.
Imajinasi dan cita-cita pembentukan Indonesia modern sebagai konsekuensi dari transisi politik pasca-kemerdekaan tidak sekaligus membawa Yogyakarta menjadi entitas yang benar-benar modern. Tradisi dan sekaligus kekuatan struktur lama dalam banyak hal masih tetap tersisa. Kombinasi kebudayaan lama dan alam modernitas membangun wajah Yogya menjadi terasa khas, tetapi sekaligus menyimpan beberapa problem serius sekaligus. Terlihat kian lama kota justru bergerak dan tergeser menuju pola “modernisasi setengah hati”. Modern dalam pengembangan dan penataan fisik kota tetapi lemah mempersiapkan nalar pikir massyarakat sebagai pilar dasarnya. Disparitas jarak kemajuan keduannya makin memperlihatkan ‘gap’ yang amat tinggi. Percepatan nalar pengetahuan masyarakat seakan tertinggal jauh dengan percepatan kemajuan ekspansi pasar dan lagi-lagi sumber kekuasaanya bukan lahir dari domestik Yogyakarta. Karakteristik sosiologis kota semaca ini tentu tidak hanya menjadi klaim kondisi Yogya. Ia banyak dirasakan di kota-kota besar lain di Indonesia. Kota tidak ubahnya lebih hanya sebagai ruang pasar. Masyarakat lokal tidak lebih pula hanya sekumpulan komunitas konsumen yang selalu ditarik hasratnya dalam logika-logika kebudayaan pasar. Tradisi lama yang tersisa menunggu menjadi ‘artefak’ yang kian lama tertinggal tidak menarik untuk dijamah dan dihayati.
Sekian waktu Orde Baru berkuasa lebih menunjukan wajah normalitas kepatuhan yang ada dalam titik ekstrim. Percampuran kebudayaan politik harmonisasi Jawa bergandengan dengan kontrol birokrasi militeristik amat ketat memberi warna Yogyakarta sebagai lahan sosiopolitik yang sangat dominan dan nyaris minim terhadap gugatan kritik perubahan. Yogyakarta memberi gambaran tentang persandingan mistifikasi nalar kepatuhan ala kekuasaan Jawa bercampur dengan imajinasi loyalitas nasional modern yang lebih berkepentingan untuk membangun struktur dominasi dan hegemoni sekaligus. Kritik terhadap kekuasaan selalu dipandang sebagai ‘abnormalitas’ dan “penyimpangan” yang mengganggu tatanan harmonisasi sistem. Kritik adalah aib dan sudah keluar dari batas nalar kebudayaan mainstream secara umum. Demikian sekiranya penyebab transformasi kekuasasan lokal di Yogyakarta relatif berjalan lambat, tidak dinamis dan jarang memberikan warna-warna perubahan yang lebih progresif.
Perubahan transisi 1998 sebagai harapan akan babak baru reformasi dan perombakan sistem ekonomi politik secara menyeluruh nyaris belum pernah terwujud. Transisi politik ekonomi 1998 berhenti sebatas jargon. Tidak ada pembaharuan secara substantif. Kekuasaan lama tidak bergeser. Sistem ekonomi pasca-reformasi justru menjadi kelanjutan dari sistem kapitalisme birokrasi lama yang saat ini tetap bertahan. Warisan ‘otoritarianisme’ masih saja bisa dirasakan dalam berbagai sektor pengelolaan negara. Politik demokrasi keterbukaan tidak menyentuh jantung dasarnya yakni perombakan sistem dan sekaligus format baru berbagai institusi-intitusi yang ada. Berbagai lembaga-lembaga baru negara muncul lebih sekedar menjadi stempel daripada perbaikan sistem negara. Dalam tipe dan pola modus yang lain ‘otoritarianisme negara’ tetap masih diagungkan.
Pola-pola penggusuran, peminggiran dan diskriminasi ekonomi dan sosial walau dengan bahasa apapun tetap masih saja dikembangkan menjadi kecenderungan pilihan kebijakan. Dengan wajah struktur ekonomi yang cenderung banyak ditopang pada sektor-sektor ekonomi mikro dalam skala yang terbatas tetapi meluas dengan dominasinya hanya pada sektor-sektor bisnis jasa seperti pariwisata dan pendidikan, maka PAD Yogyakarta tidaklah terlalu memberikan kontribusi yang teramat besar. Sektor ekonomi perdagangan dalam skala yang meluas sama dengan kota-kota besar lainnya, yakni masih saja didominasi oleh kekuatan dan pemain bisnis yang relatif mapan. Sebagaimana halnya karakteristik negara konsumen tergantung, nyarus kota hanya menggantungkan pada pemasukan restribusi dan pajak usaha penghasilan.
Tidak ada industri domestik yang dalam skala cukup besar di kota ini. Secara riil saat ini ekonomi kota ini masih sangat tergantung dan ditopang terbatas pada sektor-sektor ekonomi riil yang relatif kecil. Sirkulasi ekonomi lebih banyak pada pengeluaran kosumsi ketimbang produksi. Kondisi ini tetap saja belum memberikan harapan secara ekonomis bagi masyarakat Y0gyakarta sendiri. Banyak dari sekian masyarakat lemudian lebih memilih untuk berpindah dan bekerja pada kota-kota besar di dalam negeri atau bahkan merelakan diri menjadi tenaga kerja upah rendah diluar negeri. Alih-alih kota bisa memberikan payung kebutuhan dasar hidup, tingkat kebutuhan hidup justru kian meningkat seiring pola ‘komersialisasi’ dan ‘komodifikasi’ berbagai sektor hidup yang dulu relatif bisa didapat dengan murah seperti ‘pendidikan’ dan ‘kesehatan’. Disparitas yang meluas antara penghasilan hidup dan tingkat harga kebutuhan yang meningkat akan menciptakan wajah harapan hidup yang semakin memprihatinkan. Akses harapan hidup yang lebih baik hanya dimiliki oleh sekian gelintir manusia yang diuntungkan oleh wujud sistem politik ekonomi yang lebih menggambarkan potensi ketimpangan ketimbang pemerataan.
Nalar dan kuasa modal jika tidak dilihat sebagai persoalan penting maka niscaya akan berdampak pada berkembangbiaknya problem-problem sosial yang lain terutama fluktuasi ‘krisis keamanan’ yang semakin meningkat. Bagaimana logika ini bisa ada? Pertama, watak ‘pragmatisme modal’ akan menyeret masyarakat pada gelombang pragmatisme dalam etos-etos sosial kebudayaan yang lain. Kerakusan kuasa pasar bisa membangun alam kebudayaan massa yang selalu menghitung pada nalar-nalar keuntungan. Kerekatan kolektifitas masyarakat kian lama akan menghilang dan mendorong ‘monster individualisme’ semakin bekerja dan dipuja sebagai alam pikir yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Karakteristik kebudayaan semacam ini lebih akan meletakkan ‘individu’ sebagai hitungan kalkulasi komoditas ketimbang dipandang sebagai individu dengan potensi kemanuiaannya yang amat luas.
Ketika etos kolektifitas dan kebergotongroyongan menghilang maka akan rentan terhadap hadirnya ‘fragmentasi’ dan ‘keretakan kohesi sosial’. Sebagai modal kebudayaan, ia akan menjadi bom-bom waktu yang kapan waktu akan mudah tersulut untuk meledak. Kedua, karakteristik massa akan mudah terbelah, dipecah-pecah, dihasut dan menjadi lahan empuk dari gelombong penghasutan dengan atas nama kepentingan apapun. Fenomea itu bisa sangat vulgar terbaca pada potensi-potensi kekerasan massa yang kian hari semakin cenderung meluas. Ia tidak mengenal batas kolektifitas. Komunitas apapun bisa mudah menjadi sasaran tersebut baik dari ‘supporter sepak bola’, ‘pecinta fanatik musik’, ‘simpatisan partai’ sampai wilayah-wilayah yang lebih sensitif seperti halnya keragaman SARA. Ketiga, nalar pragmatisme pasar tentu secara massif pula mendorong “derasionalisasi masyarakat”. Tidak ada yang bisa dipetik lebih besar sebagai cara untuk mencerdaskan masyarakat, yang dibutuhkan pasar adalah “kepatuhan total” untuk bisa mengkonsumsi dan selanjutnya menghasilkan keuntungan. Sadar tidak sadar ia membangun “politik massa mengambang baru” (floating mass) yang mudah untuk ‘didepolitisasi’ dan ‘dininabobokan’ oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan yang dominan bermain.
Tantangan keamanan akan semakin rumit bukan sekedar bahwa problem-problem kebutuhan yang semakin berkembang luas, tetapi tingkat disparitas ketimpangan itu akan melahirkan potensi ledakan problem yang bisa massif terjadi. Ada “keadaban publik” yang semakin menghilang. Ruang publik kota kian hanya terisi oleh hiruk pikuk kesemrawutan. Ruang publik kota semakin terjejali oleh kulktur-kultur baru yang lebih menampung hasrat kepuasan ketimbang nalar kecerdasan. Tanpa ruang kontrol dan pengaturan yang lebih berorientasi untuk membangun ‘keadaban publik’ lebih baik maka kota kian waktu hanya menjadi medan tumpukan sumbu pendek yang setiap waktu bisa menyala. Pola-pola dan reaksi lama kebijakan kota yang lebih berorientasi pada paradigma primitif pertumbuhan ekonomi seyogyanya sudah harus mengalami perubahan. Alih-alih bisa mencegah problem sosial yang akan muncul, ia justru sekaligus bisa menjadi akar kemunculan problem sosial yang lebih besar. Ada yang sekian lama pendekatan kebijakan yang hilang, yakni “pendekatan kebudayaan” yang tidak terkontaminasi oleh nalar-nalar kekuasaan, Pemerataan dan keadilan untuk massyarakat Yogyakarta bukan persoalan penataan formal belaka melainkan pentingnya membangun ‘sensitifitas kebudayaan’ yang berorentasi pada masyarakat. Ruang publik kota tidak lagi menjadi ancaman tetapi akan menjadi ruang hidup yang nyaman bagi semua saja. Pada titik inilah ‘nalar kebudayaan dan keadaban publik’ berkorelasi positif pada penciptaan keamanan yang sebenarnya. Akar problem keamanan tidak terletak pada ada atau tidaknya potensi kejahatan, tetapi sangat bergandeng erat dengan “ada tidaknya ruang dan akses harapan hidup yang adil bagi semua orang”. Selama ruang itu tidak ada maka niscaya problem keamanan akan selalu muncul di hadapan kita.
“Kita penting saatnya menilai ulang peran kita dalam sebuah dunia
di mana segelintir manusia berenang dalam kekayaan
dan mayoritas tenggelam dalam kemiskinan, polusi, dan kekerasan”
(John Perkins)
Selamat berdiskusi!!!
(Mencari akar kemacetan transisi ekonomi politik :
Yogyakarta sebagai kasus)
“..di Indonersia belum terjadi perubahan politik,
yang terjadi adalah ‘relokasi’ aktor-aktor politik”
(Vedi R. Hadiz)
Sekilas berbicara tentang Yogyakarta lebih banyak mengajak orang melihat satu struktur pemahaman yang sekian lama relatif mapan yakni tentang sebuah entitas kota dengan berbagai potensi wisata, kebudayaan dan tradisi intelektualitasnya. Apakah ini kebenaran atau sekedar menjadi pencitraan identitas akan bisa kita lihat bersama-sama. Mitologi dan strategi identitas ini sekian lama masih terus dipertahankan. Konstruksi identitas yang kadang mampu melampaui batasan sejarah dan kondisi realitas sebenarnya. Di banyak kasus, lebih terlihat upaya ‘komodifikasi’ berlebihan terhadap ‘tubuh kota’ yang sebenarnya menyimpan banyak kontradiksi-kontradiksi yang cukup mencuat. Problemnya lagi, politik identitas kota ini kadang lebih terujuk pada ‘mistifikasi’ ketimbang ‘rasionalisasi’ yang lebih masuk akal dan menjanjikan.
Tidak bisa dipungkiri, ‘pseudo-feodalisme’ sebagai ‘nalar pikir’ masih begitu mengental bercampur antara batas mencintai dan menhayatinya sebagai ‘tradisi’ yang perlu dipertahankan atau melihatnya sebagai tradisi yang mampu mentransformasi ke dalam ‘modal kapital’ yang lumayan menguntungkan. Tentu tesis ini tidak semua bisa menerimanya sebagai satu kenyataan yang real saat ini berjalan. Sekian waktu dalam transisi perubahan yang berjalan, ‘Yogyakarta’ dalam tubuhnya tidak urung mengalami berbagai gugatan dan terjangan-terjangan perubahan yang harus dihadapi. Dari gugatan ‘keistimewaan’ sampai problem-problem lainnya yang main meluas seperti problem tata ruang kota yang selalu menimbukan masalah. Cerita tentang penggusuran atas nama ketertiban dan keindahan tata ruang kota tetap masih nyaring kita dengar lima tahun ini. Di sisi yang lain, ‘modernisasi’ memberi keniscayaan dorongan “desakralisasi” yang cukup berdampak luas bagi Yogyakarta. Polemik “keistimewaan’ bisa jadi hanyalah satu contoh dari gambaran-gambaran kondisi objektif sebenarnya. Ada keberanian baru untuk melihat dan membaca Yogyakarta dalam nalar yang lebih kritis sebagai bangunan tubuh yang lebih dinamis, historis dan dialektik. Melihat entitas kota sekedar dalam ‘romantisme’ ingatan nilai masa lalu seringkali hanya menjebak kita pada nalar loyalitas pikiran yang sempit.
Tidak ada lagi masa depan bagi ‘keistimewaan’. Demikianlah sekian pemerhati dan pengamat kota merasakan gerak sejarah yang berjalan di mana ‘nalar modal’ dengan sekian alat angkutnya telah membawa ‘pola pikir’ dan ‘wujud kebudayaan’ baru yang lebih menjanjikan dari sekedar ‘nalar keistimewaan’. Ketegangan kebudayaan akan cenderung dimenangkan oleh mereka yang mampu membangun medan kekuasaan kebudayaan yang lebih bisa diterima. Lepas dari pandangan apakah ini benar atau tidak ditinjau dari prinsip-prinsip epistemologi tertentu, keseragaman kebudayaan pasar telah menggantikan “partikularitas keistimewaan”. Yogyakarta sebagai ‘tubuh kota’ tidak lagi bisa dibedakan lagi dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Nafas dan warnanya semakin ‘seragam’. Pada beberapa aspek, kota tetap saja hanya menjadi sentralitas pertemuan dan transaksi ‘nalar modal’ dan ‘nalar kekuasaan’. Kota sebagai pusat pencerminan dan pertemuan apresiasi nilai-nilai kebudayaan kian lama akan menghilang dan telah bergeser sekedar menjadi ruang transaksi ekonomis semata. Ruang kebudayaan telah digantikan dengan ‘keriuhan’ dan ‘hiruk pikuk’ kebudayaan pasar. Keseragaman nalar pasar sekaligus akan mendorong keseragaman pola pikir dan kebudayaan yang dimiliki masyarakat.
Normalitas kepatuhan tidak lagi merujuk pada mekanisme kekuasaan feodal atau birokrasi kebudayaan lama. Pasar dengan seluruh nalar dan logika yang dimilikinya sekaligus akan menciptakan “mobilisasi kesadaran” dan “disiplin kepatuhan” baru pada masyarakat. Meskipun demikian, ‘pasar’ tetap menciptakan mistifikasi dalam cara dan bentuk yang berbeda. Janji-janji kepuasan, keuntungan, status sosial dan kenikmatan diri tanpa batas dalam nalar kebudayaan modern telah menggeser loyalitas dan “kepasrahan primodial lama” yang dimiliki oleh alam pikiran tradisional semisal kepatuhan akan nilai-nilai tradisi yang dianggap sakral. Namun dari sekian gambaran perubahan itu yang secara substantif relatif tetap bertahan adalah ‘kekuasaan’. Wajah dan rupa kebudayaan boleh berubah, namun kekuasaan tetaplah kekuasaan. Ia selalu saja akan menghadirkan logika dasarnya yakni kisah tentang ‘siapa’ menguasai ‘siapa’ dan dengan ‘cara bagaimana’ ia membangun kekuasaan. Kebertahanan kekuasaan juga akan ditentukan sejauh mana ia mampu mentransformasi diri dengan berbagai manifestasi barunya.
Imajinasi dan cita-cita pembentukan Indonesia modern sebagai konsekuensi dari transisi politik pasca-kemerdekaan tidak sekaligus membawa Yogyakarta menjadi entitas yang benar-benar modern. Tradisi dan sekaligus kekuatan struktur lama dalam banyak hal masih tetap tersisa. Kombinasi kebudayaan lama dan alam modernitas membangun wajah Yogya menjadi terasa khas, tetapi sekaligus menyimpan beberapa problem serius sekaligus. Terlihat kian lama kota justru bergerak dan tergeser menuju pola “modernisasi setengah hati”. Modern dalam pengembangan dan penataan fisik kota tetapi lemah mempersiapkan nalar pikir massyarakat sebagai pilar dasarnya. Disparitas jarak kemajuan keduannya makin memperlihatkan ‘gap’ yang amat tinggi. Percepatan nalar pengetahuan masyarakat seakan tertinggal jauh dengan percepatan kemajuan ekspansi pasar dan lagi-lagi sumber kekuasaanya bukan lahir dari domestik Yogyakarta. Karakteristik sosiologis kota semaca ini tentu tidak hanya menjadi klaim kondisi Yogya. Ia banyak dirasakan di kota-kota besar lain di Indonesia. Kota tidak ubahnya lebih hanya sebagai ruang pasar. Masyarakat lokal tidak lebih pula hanya sekumpulan komunitas konsumen yang selalu ditarik hasratnya dalam logika-logika kebudayaan pasar. Tradisi lama yang tersisa menunggu menjadi ‘artefak’ yang kian lama tertinggal tidak menarik untuk dijamah dan dihayati.
Sekian waktu Orde Baru berkuasa lebih menunjukan wajah normalitas kepatuhan yang ada dalam titik ekstrim. Percampuran kebudayaan politik harmonisasi Jawa bergandengan dengan kontrol birokrasi militeristik amat ketat memberi warna Yogyakarta sebagai lahan sosiopolitik yang sangat dominan dan nyaris minim terhadap gugatan kritik perubahan. Yogyakarta memberi gambaran tentang persandingan mistifikasi nalar kepatuhan ala kekuasaan Jawa bercampur dengan imajinasi loyalitas nasional modern yang lebih berkepentingan untuk membangun struktur dominasi dan hegemoni sekaligus. Kritik terhadap kekuasaan selalu dipandang sebagai ‘abnormalitas’ dan “penyimpangan” yang mengganggu tatanan harmonisasi sistem. Kritik adalah aib dan sudah keluar dari batas nalar kebudayaan mainstream secara umum. Demikian sekiranya penyebab transformasi kekuasasan lokal di Yogyakarta relatif berjalan lambat, tidak dinamis dan jarang memberikan warna-warna perubahan yang lebih progresif.
Perubahan transisi 1998 sebagai harapan akan babak baru reformasi dan perombakan sistem ekonomi politik secara menyeluruh nyaris belum pernah terwujud. Transisi politik ekonomi 1998 berhenti sebatas jargon. Tidak ada pembaharuan secara substantif. Kekuasaan lama tidak bergeser. Sistem ekonomi pasca-reformasi justru menjadi kelanjutan dari sistem kapitalisme birokrasi lama yang saat ini tetap bertahan. Warisan ‘otoritarianisme’ masih saja bisa dirasakan dalam berbagai sektor pengelolaan negara. Politik demokrasi keterbukaan tidak menyentuh jantung dasarnya yakni perombakan sistem dan sekaligus format baru berbagai institusi-intitusi yang ada. Berbagai lembaga-lembaga baru negara muncul lebih sekedar menjadi stempel daripada perbaikan sistem negara. Dalam tipe dan pola modus yang lain ‘otoritarianisme negara’ tetap masih diagungkan.
Pola-pola penggusuran, peminggiran dan diskriminasi ekonomi dan sosial walau dengan bahasa apapun tetap masih saja dikembangkan menjadi kecenderungan pilihan kebijakan. Dengan wajah struktur ekonomi yang cenderung banyak ditopang pada sektor-sektor ekonomi mikro dalam skala yang terbatas tetapi meluas dengan dominasinya hanya pada sektor-sektor bisnis jasa seperti pariwisata dan pendidikan, maka PAD Yogyakarta tidaklah terlalu memberikan kontribusi yang teramat besar. Sektor ekonomi perdagangan dalam skala yang meluas sama dengan kota-kota besar lainnya, yakni masih saja didominasi oleh kekuatan dan pemain bisnis yang relatif mapan. Sebagaimana halnya karakteristik negara konsumen tergantung, nyarus kota hanya menggantungkan pada pemasukan restribusi dan pajak usaha penghasilan.
Tidak ada industri domestik yang dalam skala cukup besar di kota ini. Secara riil saat ini ekonomi kota ini masih sangat tergantung dan ditopang terbatas pada sektor-sektor ekonomi riil yang relatif kecil. Sirkulasi ekonomi lebih banyak pada pengeluaran kosumsi ketimbang produksi. Kondisi ini tetap saja belum memberikan harapan secara ekonomis bagi masyarakat Y0gyakarta sendiri. Banyak dari sekian masyarakat lemudian lebih memilih untuk berpindah dan bekerja pada kota-kota besar di dalam negeri atau bahkan merelakan diri menjadi tenaga kerja upah rendah diluar negeri. Alih-alih kota bisa memberikan payung kebutuhan dasar hidup, tingkat kebutuhan hidup justru kian meningkat seiring pola ‘komersialisasi’ dan ‘komodifikasi’ berbagai sektor hidup yang dulu relatif bisa didapat dengan murah seperti ‘pendidikan’ dan ‘kesehatan’. Disparitas yang meluas antara penghasilan hidup dan tingkat harga kebutuhan yang meningkat akan menciptakan wajah harapan hidup yang semakin memprihatinkan. Akses harapan hidup yang lebih baik hanya dimiliki oleh sekian gelintir manusia yang diuntungkan oleh wujud sistem politik ekonomi yang lebih menggambarkan potensi ketimpangan ketimbang pemerataan.
Nalar dan kuasa modal jika tidak dilihat sebagai persoalan penting maka niscaya akan berdampak pada berkembangbiaknya problem-problem sosial yang lain terutama fluktuasi ‘krisis keamanan’ yang semakin meningkat. Bagaimana logika ini bisa ada? Pertama, watak ‘pragmatisme modal’ akan menyeret masyarakat pada gelombang pragmatisme dalam etos-etos sosial kebudayaan yang lain. Kerakusan kuasa pasar bisa membangun alam kebudayaan massa yang selalu menghitung pada nalar-nalar keuntungan. Kerekatan kolektifitas masyarakat kian lama akan menghilang dan mendorong ‘monster individualisme’ semakin bekerja dan dipuja sebagai alam pikir yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Karakteristik kebudayaan semacam ini lebih akan meletakkan ‘individu’ sebagai hitungan kalkulasi komoditas ketimbang dipandang sebagai individu dengan potensi kemanuiaannya yang amat luas.
Ketika etos kolektifitas dan kebergotongroyongan menghilang maka akan rentan terhadap hadirnya ‘fragmentasi’ dan ‘keretakan kohesi sosial’. Sebagai modal kebudayaan, ia akan menjadi bom-bom waktu yang kapan waktu akan mudah tersulut untuk meledak. Kedua, karakteristik massa akan mudah terbelah, dipecah-pecah, dihasut dan menjadi lahan empuk dari gelombong penghasutan dengan atas nama kepentingan apapun. Fenomea itu bisa sangat vulgar terbaca pada potensi-potensi kekerasan massa yang kian hari semakin cenderung meluas. Ia tidak mengenal batas kolektifitas. Komunitas apapun bisa mudah menjadi sasaran tersebut baik dari ‘supporter sepak bola’, ‘pecinta fanatik musik’, ‘simpatisan partai’ sampai wilayah-wilayah yang lebih sensitif seperti halnya keragaman SARA. Ketiga, nalar pragmatisme pasar tentu secara massif pula mendorong “derasionalisasi masyarakat”. Tidak ada yang bisa dipetik lebih besar sebagai cara untuk mencerdaskan masyarakat, yang dibutuhkan pasar adalah “kepatuhan total” untuk bisa mengkonsumsi dan selanjutnya menghasilkan keuntungan. Sadar tidak sadar ia membangun “politik massa mengambang baru” (floating mass) yang mudah untuk ‘didepolitisasi’ dan ‘dininabobokan’ oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan yang dominan bermain.
Tantangan keamanan akan semakin rumit bukan sekedar bahwa problem-problem kebutuhan yang semakin berkembang luas, tetapi tingkat disparitas ketimpangan itu akan melahirkan potensi ledakan problem yang bisa massif terjadi. Ada “keadaban publik” yang semakin menghilang. Ruang publik kota kian hanya terisi oleh hiruk pikuk kesemrawutan. Ruang publik kota semakin terjejali oleh kulktur-kultur baru yang lebih menampung hasrat kepuasan ketimbang nalar kecerdasan. Tanpa ruang kontrol dan pengaturan yang lebih berorientasi untuk membangun ‘keadaban publik’ lebih baik maka kota kian waktu hanya menjadi medan tumpukan sumbu pendek yang setiap waktu bisa menyala. Pola-pola dan reaksi lama kebijakan kota yang lebih berorientasi pada paradigma primitif pertumbuhan ekonomi seyogyanya sudah harus mengalami perubahan. Alih-alih bisa mencegah problem sosial yang akan muncul, ia justru sekaligus bisa menjadi akar kemunculan problem sosial yang lebih besar. Ada yang sekian lama pendekatan kebijakan yang hilang, yakni “pendekatan kebudayaan” yang tidak terkontaminasi oleh nalar-nalar kekuasaan, Pemerataan dan keadilan untuk massyarakat Yogyakarta bukan persoalan penataan formal belaka melainkan pentingnya membangun ‘sensitifitas kebudayaan’ yang berorentasi pada masyarakat. Ruang publik kota tidak lagi menjadi ancaman tetapi akan menjadi ruang hidup yang nyaman bagi semua saja. Pada titik inilah ‘nalar kebudayaan dan keadaban publik’ berkorelasi positif pada penciptaan keamanan yang sebenarnya. Akar problem keamanan tidak terletak pada ada atau tidaknya potensi kejahatan, tetapi sangat bergandeng erat dengan “ada tidaknya ruang dan akses harapan hidup yang adil bagi semua orang”. Selama ruang itu tidak ada maka niscaya problem keamanan akan selalu muncul di hadapan kita.
“Kita penting saatnya menilai ulang peran kita dalam sebuah dunia
di mana segelintir manusia berenang dalam kekayaan
dan mayoritas tenggelam dalam kemiskinan, polusi, dan kekerasan”
(John Perkins)
Selamat berdiskusi!!!
Langganan:
Postingan (Atom)