Jumat, 17 Oktober 2008

Melampaui “Krisis” dan Menghindari “Banalitas” Kekerasan

Melampaui “Krisis” dan Menghindari “Banalitas” Kekerasan


“Kekerasan adalah ‘senjata’ orang-orang lemah”
(Mahatma Gandhi)


Barangkali aku perlu meletakan situasi yang sedang dihadapi perhimpunan sebagaimana sebuah fenomena ‘penumpukan-penumpuk an anomali” yang kian waktu semakin berujung pada “maha krisis kepercayaan” yang luar biasa bagi sekecil antar kader perhimpunan maupun besarnya pada organisasi yang sedang kita geluti. Kadang kian waktu ‘adnormalitas’ ini ditanam maka yang hadir adalah “krisis”. Bagaimana selanjutnya kita bisa meneropong metafisika krisis ini adalah sesuatu kebutuhan yang sangat penting? Dalam situasi anomali yang berlarut maka segala konstitusi perhimpunan sebenarnya kian waktu akan hanya telah menjadi ‘sampah’. Ia bukan sekedar tidak diakui tetapi bahkan kian waktu justru akan ‘digugat’. Bahkan orang juga semakin sadar bahwa “rasionalitas yuridif formal” yang selama ini kita yakini banyak hal secara imanen menyumbang kelahiran ‘krisis’ Masing-masing pihak tentu akan mendaku ‘sebagai yang mempunyai autoritas’. Baik atas “klaim kebenaran” maupun ungkapan “tidak merasa bersalah” Tetapi ketika kesadaran larut dalam ‘krisis’ terus-menerus dan tidak beranjak maka yang ada adalah ketiadaan konsensus dan kepercayaan. Semua akan masing bertarung secara banal dan akan melahirkan “mata rantai dan lingkaran krisis yang lebih besar”

Prinsip yang selama ini dihayati secara mekanis dan seakan mapan dalam tubuh tradisi perhimpunan terasa digugat oleh hadirnya “krisis’. Banyak orang yang dilibatkan dalam entitas perhimpunan baik “yang lampau” dan “yang kini” merasa tergagap. Dan tidak tanggung-tanggung dan mau tidak mau ‘krisis’ ini akan menyeret siapa saja yang mencoba menjamahnya ataupun pura-pura tidak mau menjamahnya. Kita masing-masing orang kadang tergoda untuk “merepetisikan” pertarungan- pertarungan ini secara banal. Maka meminjam Rene Girard, situasi ini akan menciptakan “mimesis” satu sama lain dan memancing rivalitas dan konflik lebih besar. Ujung terakhir menurut Rene Girard adalah sebuah “Chaos” yakni sebagai “krisis distingsi-distingsi”. Jika ini tidak termediasi dalam ruang dialog dan keputusan yan tepat maka “distingsi-distingsi” ini akan menyerap “individualitas” masuk ke dalam gelombang “kolektifitas massa ’ yang semakin banal. Contoh yang terlihat sangat jelas, “siapapun” mengatakan “apapun” akan selalu di curigai dan dikatagorikan sebagai ”pro ini” dan “pro itu”. Lahirlah gelombang stigma dan prasangka yang semakin massif dan besar.

Tentu kita perlu mulai bijaksana untuk membaca dan merenungkan ini. Bisa bisa kita semakin akan larut seperti yang dibayangkan oleh Thomas Hobbes sebagai “Perang semua melawan semua”. Saya sangat tertarik untuk merenungkan apa yang ditulis oleh pemikiran Rene Girard bahwa kemungkinan yang terjadi “Perang semua melawan semua” ini seringkali akan bergerak dan bergeser menjadi “Perang semua menjadi satu”, dimana kolektivitas menemukan satu “korban” yang kemudian bisa dipersalahkan dan dikutuk. Dalam kasus perhimpunan niscaya ini akan juga bisa muncul. Sang korban ini bisa “individu” dan bisa “kelompok” yang akan dipersalahkan menjadi “kambing hitam”. Dalam perspektif “kambing hitam” ini maka keputusan rasional semakin tidak penting yang ada adalah sebuah ‘kekerasan massa’ dengan mengorbankan si kambing hitam. Kambing hitam itu bisa “ Si ini”, “Si itu” atau bahkan “pihak Gereja”. Inilah buah tradisi berpolitik di perhimpunan kian waktu yang harus mendesak kita tinggalkan.

Dalam perspektif yang sedikit berbeda saya ingin meminjam gagasan Carl Schmit. Pemikir ini lebih menekankan gagasan bahwa dalam situasi “krisis” yang kemudian sering hadir adalah “yang politis” yang merupakan bangunan manifestasi dari “distingsi-distingsi kawan dan lawan” bagi yang gemar dengan keyakinan prinsip ini, hilangnya “antinomi kawan dan lawan” berarti merupakan lenyapnya “yang politis”. Dalam konteks perhimpunan para pemuja “politik kawan dan lawan” akan selalu mengupayakan hadirnya “distingsi-distingsi” tersebut dan mungkin menjadi “ritus” yang harus direpetisikan terus menerus. Bahkan yang lebih mengerikan “krisis” dan “chaos” ini bisa jadi akan menjadi komoditi menarik untuk membangun munculnya sebuah “order”. Menurut para pemuja “distingsi kawan dan lawan” ini maka ‘krisis’ bisa sekaligus merupakan bentuk diferensiasi yang menghasilan “struktur” entah itu kekuasaan ataupun dominasi. Inilah bahaya terbesar dari krisis ini. Saya secara pribadi akan membayangkan sebuah wajah mengerikan dari penbiaran iklim organisasi semacam ini.

Dua analisis pandangan dari Rene Girard dan Carl Schmit bisa kita gunakan untuk membaca segala kemungkinan yang akan terjadi jika krisis ini tidak kita baca secara lebih santun dan elegan. Peristiwa politis yang menggelinding berlarut-larut dan masing-masing diyakini sebagai bentuk “klaim” dan akhirnya menyeret lahirnya “distingsi kawan dan lawan” bertemu dengan ledakan ‘kolektivitas’ yang ingin menghabisi lawan (sang kambing hitam) sebagai sumber krisis. Proses ini sekali-lagi jika kita cukup bijaksana akan melahirkan “naluri-naluri rimba” saling membunuh dan tentu saja sangat kontraproduktif dengan apa yang ingin kita cita-citakan bersama untuk menjadikan perhimpunan lebih baik. Meskipun demikian atas seluruh kehendak baik semua, saya termasuk salah satu bagian yang masih optimis dengan seluruh keterlibatan kawan-kawan bahwa atas kehendak baik dan cara yang baik maka “distingsi-distingsi” itu bisa kita hindari dan akhirnya kita bersama bisa menghasilkan buah karya yang bermanfaat bagi kita semua. Salam Juang !!!

Tidak ada komentar: