Menalar Kemelut dengan Melampaui Hukum dan Norma?
Dari logika Rasionalisme, Voluntarisme sampai Dekonstruksi.
Dalam diskursus tentang kemelut perhimpunan ada berbagai analisis dan tawaran yang mengemuka dari berbagai pihak. Ada sebuah kecenderungan pola diskursus yang menarik kita urai. Pada intensitas dan kualitas penganalisaan ada satu garis benang merah baik disadari atau tidak. Saya hanya mau mencoba sedikit mengurai benang merah pola itu. Kata kunci yang keluar adalah keabsahan hukum' dan 'tindakan keputusan' dan juga 'keadilan'. Jika diletakan dalam masalah tawaran2 itu adalah muncul dalam diskursus tentang 'persatuan', 'rekonsiliasi', 'kebenaran norma', 'taat AD/ART'.
Saya hanya mau beranjak dalam pertanyaan kecil : Jika dalam situasi 'abnormalitas' apa sikap kita terhadap 'sikap kesetiaan hukum' dan juga 'kesetiaan norma'? Apakah tindakan melampaui (dalam bahasa yang kerap disebut mungkin bisa dengan 'melanggar) dengan kondisi pertimbangan nilai tertentu adalah salah? Apakah hukum (AD/ART dalam diskursus kita) adalah harga mati? Apakah ada khasanah dan tindakan kebijakan yang lain yang bisa melampaui segala nalar fungsional semacam ini?
Sekian tafsir hukum dan nalar pemecahan ini tentu disikapi beragam oleh masing-masing orang. Namun saya hanya ingin mengurai dalam tiga pola besar yang sebenarnya di luar PMKRI juga banyak menjadi pendiskusian menarik. Saya bukan orang hukum, sehingga saya hanya ingin melihatnya dalam kacamata kecenderungan nalar yang bisa didekati dengan penafsiran logika dan filsafat.
Tiga pola besar ini pernah menjadi renungan teoritik dan tafsir perdebatan yang menarik. Ada tiga pola yakni pertama, 'rasionalisme' beberapa pemikir yang gigih menggagas seperti Immanuel kant dan Thomas Hobbes. Nalar pertama ini meyakini bahwa 'hukum' adalah 'diskontinuitas' atas segala adnormalitas dan chaos. Maka slogan bagi pemikiran ini adalah "hukum adalah panglima". Lihat misal gagasan Kant tentang Hukum..."Segala Politik harus bertekuk lutut di bawah Hukum". Pemikiran kedua adalah 'voluntarisme' yang menganggap bahwa 'rasionalitas hukum' itu sejatinya adalah kontinuitas adnormal, anomali dan chaos dalam wujud yang lain. Misal dalam masalah 'hukum' dan 'kekerasan'.
Pandangan pertama meyakini bahwa hukum adalah rasionalitas untuk mengatasi kekerasan. Sedang pandangn kedua justru meyakini bahwa 'hukum' bisa jadi adalah bentuk kekerasan itu sendiri yang dilegalkan sedemikian rupa dengan apologi-apologi rasionalitasnya. Pandangan pertama dibangun atas pertimbangan nalar bahwa manusia secara prinsip adalah 'anti sosial' sehingga hukum, kontrak dan perjanjian menjadi cara untuk mengatasinya. Sedang pandangan kedua melihat bahwa manusia pada prinsipnya adalah senang mencari kawan, bersahabat dan membangun kebersamaan (Montesquieu).
Pandangan ketiga saya sebut sebagai pemikiran 'dekonstruksi". Yang lebih membangun nalar pembacaan akan rasionalitas hukum dengan secara radikal. Interpretasi yang dibangun selalu ingin keluar (melampaui) makna-makna primodial yang sudah beku, kaku, kolot dan juga konvensional. (banyak orang kemudian mengartikan salah pemikiran in i sebagai 'liar tak bertanggungjawab' dan 'anarkis'. Sejak Aristoteles, Immanuel Kant, Hobbes, sampai John Rawl pun juga memakai nalar rasional ini. Bagi pemikiran dekonstruksi, seperti dikembangkan oleh Jacques Derrida dan Nietzsche, nalar absolut yang mengatakan 'kepatuhan terhadap hukum itu harga mati' perlu dipertanyakan kembali. Dengan kata lain sekap 'taat terhadap aturan sebagai sebuah nilai kebeneran' masih bisa diinterpretasi ulang.
Pemikiran dekonstruksionis justru lebih keritis melihat bagwa moment kebrlakuan dan hadirnya kekuatan hukum itu tidak lahir dari teks hukum itu sendiri tetapi daya-daya yang melampauinya. Bisa jadi ia sebenarnya mengacu pada 'kekuasaan', 'kekerasaan', 'kekuatan' dll. Rujukan dari pemikiran dekonstruksi bukanlah utopia-utpia atau visi misi tertentu yang sudah dibangun secara baku (determinstik) tetapi berwujud dalam 'aporia-aporia'. Dekonstruksi tak akan memberi titik final sebuah hasil. dia adalah proses pesan yang terus harus tumbuh dalam setiap moment.
Membaca Dalam Konteks Perhimpunan
Tidak disadari tiga pola pemikiran ini mengembang selama ini dalam diskusi kita tentang 'krisis perhimpunan' (setidaknya untuk yang melihat bahwa perhimpunan dalam situasi krisis..karena mungkin saja ada orang yang melihat ini sebagai dinamika perhimpunan biasa). Pola pertama melihat bahwa 'hukum/konvensi/AD/ART' adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat'..melanggarnya adalah sebuah kesalahan. Semua harus ada dalam literer teks hukum perhimpunan. Pandangan ini meyakini ada pola mekanistis dan determinstik bahwa setiap 'aturan' akan bisa konsisten diterjemahkan dalam tindakan. Mungkin tidak dalam hal kuantitatif bisa saj. Misal saat penghitungan voting atau kuorum sidang atau pola-pola kebiasaan yang definitif dan sifatnya amat kuantitatif. bagaimana dengan hal-hal yang berproses atau persoalan yang lebih kualitatif menyangkut interpretasi, kesadaran, realitas sosial yang berubah dan juga dinamika perhimpunan yang tidak mekanis? Maka wajar jika yang menarik (dan dalam beberapa hal mudah untuk diributkan" adalah hal-hal yang mudah dicerna seperti voting dan kuorum sidang. Hal-hal menyangkut substansi yang lain kadang luput untuk dibicarakan. Istilah guyonan warungnya : kalo sudah menyangkut perhitungan kuantitas bisa sampai ngotot dan perang mulut.
Pola pemikiran ini juga mengembang saat secara tidak disadari menganggap bahwa 'persatuan' juga harga mati. Diskurus persatuan kemudian menepikan nalar yang lebih kritis misaql soal alternatif ketidakbersatuan. Dan pola kebersatuan ini juga dimaknai secara formalis bahwa secara kepengurusan PP harus satu. Tetapi jarang yang mengangkat kebersatuan yang lebih substansial misal mengenai gagasan, sikap, nilai dll. Di luar ide 'satu' dianggap sebagai orang-orang yang merusak, memecah belah, tidak taat azas dll. Wajar jika saya menyebutnya dengan Hobbesian yang berpikir tentang perhimpunan. Apalagi pemikiran ini juga amat elitis, formalis dan instrumentalis dengan melihat bahwa 'nalar bentuk' melebihi 'nalar isi'
Pemikiran kedua yang 'voluntaris' melihatnya bisa lain bahwa bisa jadi persoalannya justru ada dalam 'aturan/hukum/AD/konvensi' yang ada. Dalam kacamata yang blebih besar persoalan krisis ini tidak lahir dari luar diri hukum tetapi sebenarnya dibangun dari nalar hukumnya sendiri. Telaah dari pemikiran ini membaca bahwa struktur hukum bukanlah sesuatu yang tertinggi ada medan-medan lain yang bisa dikembangkan ketimbang kita sibuk dengan persoalan formal yang selalu menghimpit. Maka ada sebagian kader yang melihat aspek kultural dan dimensi tindakan aksi lebih penting ketimbang aturan definitif yang formalis. Jangan-jangan perlu ada perombakan dalam nalar instrumentalis ini dengan melihat kembali sistem kita yang salah dan berlubang-lubang. Dan tidak mungkin juga membaca kembali seluruh banguan nilai (yang sudah given seakan kita terima sebagai kebenaran) untuk kita cermati dan rajut kembali.
Pemikiran 'dekonstruksi' barangkali sekian pemikiran yang mencoba dengan nalar yang lebih radikal. Para pemikir dekonstruksi banyak memberi pertanyaan mendasar yang dibalik : Jangan-jangan pikiran cita-cita selama ini salah? jangan-jangan perhimpunan sejatinya tidak lagi dibutuhkan? Jangan-jangan sistem berpikir kita yang cacat dan salah? Atau jangan-jangan pula secara ontologis kita sudah salah sejak awal. Sehingga krisis yang dilihat oelh kita juga akan melahirkan tangkapan krisis yang salah. Kita hidup dalam pepesan kosong yang terus berulang dan seakan kita berebut d makanan yang sudah pasti. maka tak jarang pemikiran dekonstruksi melihat bahwa tatanan sistem ini yang sejatinya menjadi persoalan atau pola pikir kita menghadapi krisis ini yang sejatinya bermasalah. Dekonstruksionis yang ada berkembang (dengan kualitas dan prosentasi yang terbatas) justru bisa jadi memberikan perpektif yang baru. Ia menantang kebakuan-kebakuan yang sudah kolot dan menjadi mumi. Ia juga menatang pikiran-pikiran absolut yang selalu menunjukan otoritas kebenaran.
Jabat erat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar