Senin, 04 Mei 2009

Perspektif Kritis Polmas dan Tantangan Keamanan Konremporer

Perspektif Kritis Polmas dan Tantangan
Keamanan Kontemporer




Selama berabad-abad, penjarahan yang dilakukan pasukan penjajah
adalah bagian wajar dalam peperangan...Kini, setidak-tidaknya
di negara-negara yang lebih beradab, kita tidak mengijinkan pasukan penjarah
untuk mencari rampasan perang.
Kita serahkan penjarahan pada orang-orang berdasi,
dan kita tidak lagi menyebutnya penjarahan,
kita menyebutnya ’pembangunan ekonomi’.
(Brian Whitaker, The Guardian)




Sebagai bagian penting entitas negara yang secara khusus diberi mandat besar untuk menyentuh problem-problem keamanan masyarakat, kepolisian seperti bagian masyarakat yang lain akan berhadapan dengan tantangan dan mandat yang semakian berat. Tantangan ini terutama karena situasi sosial dengan segala kerumitannya kadang hadir tanpa kendali dan cukup sulit jika hanya dihadapi dengan kacamata sederhana. Tingkat perjalanan dan perubahan sistem masyarakat kian waktu berjalan cukup cepat. kepolisian mau tidak mau akan berhadapan dengan situasi perubahan-perubahan ini. Dengan demikian, sudah sewajarnya pula “institusi kepolisian” turut hidup dan mencebur dalam struktur yang berhadapan langsung dengan mahluk yang namanya ‘perubahan’. Apa yang dibutuhkan saat ini adalah kemampuan dan kecerdasan perspektif kepolisian dalam menganalisis dan menangkap hakikat perubahan tersebut. Sekaligus bisa membangun intuisi dan membaca prediksi-prediksi dari setiap relasi perubahan.

Realitas sosial dihadapan kita bukanlah entitas yang berdiri sendiri secara otonom. Realitas sosial di sana juga bukan lahir tiba-tiba, melainkan wujud bentukan sejarah panjang. Realitas sosial yang akan ditemui oleh masyarakat termasuk kepolisian adalah produk pergulatan dari seluruh keterkaitan unsur di dalamnya. Bukannya berhenti, realitas akan selalu bergerak dalam dinamika pasang surutnya Ia selalu hadir dalam kontradiuksi-kontradiksi yang berjalan terus menerus. Jika belajar dari prinsip hukum semacam itu, maka setiap peristiwa, kejadian ataupun persoalan-persoalam sosial yang muncul selalu harus dibaca dalam jantung kesadaran teoritik ini.

Fakta yang berjalan menggambarkan bahwa situasi dan persoalan keamanan sampai hari ini justru mengalami intensitas yang lebih tinggi. Problem-problem keamanan makin bermertamorfosis lebih modern dengan segala kerumitannya. Laju modernitas telah memaksa dan menggiring lahirnya bentuk manifest-manifest baru ketidakamanan terutama bagi masyarakat-masyarakat yang rentan. Banyak pandangan-pandangan penanganan tradisional bahkan kewalahan untuk menjamah problem tersebut. Tidak hanya sering ketinggalan, tetapi penanganan keamanan konvensional sering kali terbukti gagal membaca dan menangkap problem-problem kontenporer yang lahir dari masyarakat modern yang semakin maju.

Keterkaitan perubahan di berbagai dimensi turut mendorong perkembangan dan dinamika transformasi negara dan masyarakat. Perubahan-perubahan ini secara imanen menyertakan problem-problem situasi keamanan. Keamanan tidak lagi hanya bisa dibaca sebagai variabel sekunder ataupun dimensi akibat semata. Keamanan pada prinsipnya bisa diposisikan sebagai entitas yang sangat pokok. Prinsip beberapa pemikiran strukturalis, melihat bahwa apa yang dibaca sebagai fungsi semestinya negara selalu bersentuhan dengan persoalan mendasar keamanan itu sendiri. Problem keamanan dalam tubuh negara selalu akan menyertakan berbagai variabel struktur dan aktor yang saling berdialektika. Titik tekan pada negara ini yang sampai saat ini masih menjadi salah satu persoalan yang menarik untuk menjadi titik tekan. Struktur dan aktor bisa terdiri dari intitusi-intitusi negara, intitusi sipil non negara (NGOs, IGOs) maupun korporasi-korporasi swasta (TNC dan MNC) yang terkait dalam dinamika kemaman.

Dinamika pertumbuhan politik dan ekonomi internasional turut menyumbang tantangan baru bagi lahirnya problem-problem keamanan kontenporer. Bagaimana bentuk dan fungsi negara dikemudian hari juga menjadi menarik untuk dilihat mengingat bahwa problem negara dalam sektor keamanan sulit untuk melepaskan diri dengan faktor-faktor perubahan dan perkembangan situasi ekonomi politik dunia saat ini. Kepolisian mau tidak mau akan tersentuh dengan perkembangan situasi ini. Meminjam tesis bersangkut konflik keamanan modern oleh Anthony Giddens bahwa ada keterkaitan antara perkembangan bentuk dan wujud ‘problem keamanan’ dengan perkembangan ‘masyarakat industri’. Giddens lebih jauh ingin mengatakan bahwa ‘industrialisme, kapitalisme, dan kekuatan keamanan negara merupakan “intitutional clustering” yang khas dalam masyarakat, dan tidak ada dari ketiganya yang sepenuhnya bisa direduksi satu sama lain’. Negara mendapat kontrol yang tidak dimiliki sebelumnya terhadap masyarakat, melengkapi ‘pengamanan’ internal mereka dan membangun batas-batas wilayah yang jelas.

Tidak bisa dipungkiri bahwa abad kontenporer saat ini telah meletakkan ‘problem keamanan’ menjadi bagian dari sebuah kepentingan bisnis yang menggiurkan. Kasus ini nampak semakin bertumbuhnya usaha-usaha bisnis dalam sector penanganan keamanan baik yang sifatnya lokal sampai global. Bisnis keamanan dan fenomena berbagai kemunculan secara drastis usaha-usaha bisnis keamanan swasta ini membawa beberapa problem penting terutam bagi perubahan tata kelola keamanan masyarakat. Gejala kapitalisasi keamanan dan peningkatan peran swasta di luar negara dalam problem-problem keamanan membuktikan adanya perubahan kekuasaan politik mendasar yaitu bergesernya peran dan tanggung jawab negara. Kemunculan korporasi keamanan swasta mempresentasikan faktor baru dalam analisis konstelasi perang dan mekanisme kontrol sosial. Masalah juga semakin besar karena ‘bisnis penanganan keamanan” saat ini banyak melibatkan aktor dan sekaligus kepentingan yang lebih rumit.

Kekuasaan dan keuntungan sekaligus bisa dibangun dalam mekanisme ‘politik bisnis keamanan’. Konflik-konflik keamanan yang sebagian besar hadir di permukaan planet ini tidak jauh mempunyai kedekatan dengan problem-problem perkembangan perubahan bisnis ekonomi politik. Dalam model pendekatan strukturalis, setiap problem sosial harus dibaca dalam keterkaitan dialektika perubahan pada tingkat struktur/sistem yang lebih besar. Pendekatan strukturalis pertama-tama lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Biasanya pendekatan ini selalu kerap dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih menitikbertakan pada problem-problem yang berisifat individual. Pemecahan pada problem individual sering tidak mampu menjawab pada problem-problem yang lebih bersifat makro dan menyeret banyak kepentingan yang lebih besar. Analisis konflik sosial dan upaya rekonsiliasi yang lebih struktural pernah digagas oleh oleh tokoh seperti Johan Galtung yang banyak melihat ‘konflik’ dan ‘kekerasan’ kontenporer ini sebagai akibat struktur-struktur yang bermasalah.

Jika saja perspektif keamanan tidak mampu menyentuh gugus mendasar struktural dan hanya meletakan pada gugus masyarakat secara tradisional, maka alih-alih otoritas keamanan mampu untuk merespon secara cepat, justru persoalan keamanan selalu dilemparkan pada jantung tanggungjawab dan kesalahan masyarakat. Problem keamanan tidak ubahnya dibaca sebagai “residu” atau “bentuk penyimpangan” semata.

Perkembangan kontemporer simbiosis mutualisme antara ‘bisnis’ dan ‘komodifikasi kamanan’ ini akan semakin menghancurkan aspek-aspek hakiki dari keamanan itu sendiri. “Rasa aman’ bisa menjadi ‘komoditas’ yang bisa diperdagangkan. Masyarakat sipil yang notabene kalah dalam struktur hirarkhi sosial akhirnya tetap menjadi komunitas yang akan paling rentan dirugikan karena komodifikasi bisnis keamanan ini. Akibat terparah dari problem keamanan berdimensi structural yang tidak tertangani, tidak sekedar menunjukan dampak kuantitatif seperti jumlah korban dan kerusakan-kerusakan fisik lainnya, tetapi secara sistemik banyak memperlihatkan wajah sistem yang telah membangun “reproduksi kekerasan” dan pada dimensi yang lebih besar telah menciptakan ‘pasar kekerasan” Istilah ini pertama kali diungkapkan oleh antropolog Jerman, Georg Elwert dengan sebuah istilah “ekonomi politik kekerasan” (Political economy of Violence). Istilah ini untuk mengungkapkan satu fenomena khusus tentang komodifikasi kekerasan. Komodifikasi kekerasan yang dimaksud Elwert nampak dalam fenomena-fenomena ‘perang sipil’ yang banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan bisnis tersembunyi dalam sebuah negara. Komodifikasi keamanan juga secara sengaja banyak mengajarkan satu tindakan-tindakan di luar control yang menyulut radikalitas kekerasan sosial. Dalam efek yang lebih luas akan memungkinkan terjadinya potensi pelanggaran HAM sistemasik luar biasa.

Hasil penemuan riset di 7 (tujuh) kota Makasar. Lampung, Banjarmasin, Denpasar, Aceh, Papua, Kupang, terhadap lulusan akpol tahun 2006 dan 2007 mendapatkan satu analisis bahwa bahwa ada problem mendasar pada titik pijak perspektif keamanan ini yang belum tuntas. Alumni Akpol 2006 dalam beberapa hal belum begitu akrab, bahkan tidak terlalu paham dengan persoalan pelanggaran HAM berkait dengan perbuahan-perubahan sosial kontenporer yang terjadi di sekitar mereka. Problem sosial keamanan yang muncul di beberapa kota, senantiasa dikaitkan dengan problem SDM (Papua, Bali, Banjarmasin, Lampung), karakter masyarakat (Makassar) dan konflik (Aceh). Belum ada kemampuan analisa sosial, ekonomi dan politik yang dapat dilakukan untuk memetakan problem HAM Ekosob seperti kemiskinan, pengangguran, aksi radikal mahasiswa, konflik sosial dan lain sebagainya. Ini masih sangat jauh dari orbit kesadaran para Praja Akpol.

Sedikitnya ada tiga wilayah yang sangat berguna untuk melihat mata rantai hubungan yang perlu diangkat untuk membantu menjelaskan fakta-fakta penting terhadap pentingnya pembaharuan perspektif Polmas ini. Pertama, adalah ’transformasi keamanan’, tentu saja secara khusus adalah menyinggung perubahan-perubahan entitas kedudukan ”Institusi kepolisian” berkait dengan perubahan struktur otoritas negara. Bagian ini sangat membantu menunjukan bagaimana ”transformasi sektor keamanan” ini bisa dijelaskan melalui sebuah pelibatan bangunan sistem struktural negara dan bagaimana wujud perubahan-perubahan itu terjadi. Kedua, adalah tentang ’situasi perkembangan variabel stuktur kekuasaan ekonomi politik ’. Bagian ini mengangkat perspektif ekonomi politik yang menjadi dasar pijakan dari berkembangnya fenomena-fenomena keamanan kontenporer. Bagian Ketiga, adalah mengkaitkan kebijakan-kebijakan kepolisian berkait dengan situasi-situasi problem keamanan yang menyentuh gugus perlindungan masyarakat. Variabel ini untuk menunjukan apakah transfformasi perubahan kebijakan keamanan ini akan berdampak positif bagi masyarakat atauakah justru sebaliknya menjadi ancaman bagi kedaulatan masyarakat. Bagian ini amat krusial untuk memberi catatan kaki atas realisasi penerapan kebijakan Polmas dan bagaimana logika-logika kebijakan keamanan akan mempengaruhi beberapa persoalan penting dalam struktur kedudukan dan perubahan sosial masyarakat. Sejauh mana perspektif keperpihakan masyarakat ini sudah menjadi bagian mendasar mandat penanganan keamanan masyarakat.

Dibutuhkan satu pengembangan perpektif berpikir yang lebih kritis, struktural dan komprehensif terhadap langkah penerapan Polmas kedepan. Setidaknya institusi kepolisian akan lebih diberi perspektif luas, Pertama, perpespektif struktural lebih mempunyai aspek yang cukup dalam untuk menangkap berbagai perkembangan struktur fondasi sistem politik ekonomi dan berbagai keterkaitannya dengan struktur dan aktor-aktor lain. Kedua, perspektif struktrural lebih kritis menjelaskan determinasi mata rantai antara kepentingan basis kekuasaan ekonomi politik dengan perubahan-perubahan struktur tatanan masyarakat yang ada. Ketiga, perspektif struktural setidaklnya lebih tajam untuk membongkar faktor-faktor kepentingan di balik berbagai problem keamanan yang nampak di permukaan. Perspektif ini juga berupaya memusatkan perhatian pada perubahan historis sistem dalam skala yang besar dan pengamatan yang tajam mengenai kontradiksi-kontradiksi dan problem keamanan.

Pengembangan ini akan menjadi payung epistemologi bagaimana ”polmas” mampu mernjadi variabel utama dan ujung tombak dalam membangun relasi dengan masyarakat sekaligus berimplementasi positif bagi pengembangan potensi keamanan yang lebih adil. Dampak pascakolonial beserta fase kekuasaan negara sentris, mau tidak mau menorehkan ”beban sejarah” bagi institusi negara termasuk kepolisian yang dianggap sangat berjarak dengan tuntutan hak masyarakat. Desentralisasi dan sekaligus difererensiasi otoritas ”negara sentris” mempengaruhi secara ”positif” maupun ”negatif” terhadap kebijakan kepolisian. Secara posisif, ada proses kemandirian dan otonomi relatif terhadap kerja-kerja kepolisian sehingga membuka peluang evolusi terhadap lahirnya alternatif-alternatif fungsi baru kepolisian yang lebih bisa dikembangkan sesuai konteks perubahan-perubahan sosial yang ada. Namun sisi negatif yang tidak boleh lupa, Desentralisasi terhadap otoritas negara bisa jadi hanyalah kamuflases terhadap lahirnya aktor-aktor kekuasaan baru yang lebih menentukan berjalannya perubahan sekalgus membawa efek problematis luar biasa daripada sebelumnya.

”Melemahnya” negara kian hari ini tentu saja harus dibaca dalam kecenderunagn ”menguatnya” struktur-struktur dan aktor-aktor baru dalam peta konstalasi masyarakat. Sedikitnya thesis ini banyak diangkat oleh kecenderungan pemikiran “kaum liberal” yang melihat bahwa negara akan kian waktu menghilang dengan semakin berkuasanya pasar. Dalam sebuah karyanya , The End of The State yang diluncurkan pada tahun 1995, Kenichi Ohmae sangat yakin bahwa ‘pasar bebas’ dengan kekuatan penuh yang dimiliki oleh institusi-instittusi perdagangan internasional akan mampu menggantikan peran dan fungsi yang selama ini secara tradisional dimiliki oleh Negara. Dalam tingkat tertentu modus berjalannya ”mekanisme baru kekuasaan” ini beroperasi secara sublim dan hegemonik. Jika saja berdampak pada persoalan keamanan, ia akan lebih beroperasi secara sistemik jangka panjang dan seakan-akan membenarnya asumsi thesis tentang ”adanya negara dalam negara”. Parahnya lagi struktur dan aktor-aktor baru ini mudah berkelit, tidak terjamah dan sangat memiliki tangan kekuasasan lebih kuat melampaui konsepsi negara secara tradisional. Di posisi inilah titik tekan pengembangan perspektif lebih kritis bagi kepolisian perlu menjadi tantangan terberat ke depan. Harapan besarnya, problem-problem keamanan masyarakat yang hadir bisa ditangkap dan dianalisis melalui kacamata perspektif yang lebih luas dan terintegrasi dengan berbagai aktor dan struktur yang ada. Mungkin thesis Peter Marcuse perlu dilihat bahwa Mitos tentang Negara yang semakin melemah barangkali adalah sebuah konsep yang masih mengaburkan analisis secara ilmiah…Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat, bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya sistem ini secara internasional.

Tidak ada komentar: