Perspektif Kritis Polmas dan Tantangan
Keamanan Kontemporer
Selama berabad-abad, penjarahan yang dilakukan pasukan penjajah
adalah bagian wajar dalam peperangan...Kini, setidak-tidaknya
di negara-negara yang lebih beradab, kita tidak mengijinkan pasukan penjarah
untuk mencari rampasan perang.
Kita serahkan penjarahan pada orang-orang berdasi,
dan kita tidak lagi menyebutnya penjarahan,
kita menyebutnya ’pembangunan ekonomi’.
(Brian Whitaker, The Guardian)
Sebagai bagian penting entitas negara yang secara khusus diberi mandat besar untuk menyentuh problem-problem keamanan masyarakat, kepolisian seperti bagian masyarakat yang lain akan berhadapan dengan tantangan dan mandat yang semakian berat. Tantangan ini terutama karena situasi sosial dengan segala kerumitannya kadang hadir tanpa kendali dan cukup sulit jika hanya dihadapi dengan kacamata sederhana. Tingkat perjalanan dan perubahan sistem masyarakat kian waktu berjalan cukup cepat. kepolisian mau tidak mau akan berhadapan dengan situasi perubahan-perubahan ini. Dengan demikian, sudah sewajarnya pula “institusi kepolisian” turut hidup dan mencebur dalam struktur yang berhadapan langsung dengan mahluk yang namanya ‘perubahan’. Apa yang dibutuhkan saat ini adalah kemampuan dan kecerdasan perspektif kepolisian dalam menganalisis dan menangkap hakikat perubahan tersebut. Sekaligus bisa membangun intuisi dan membaca prediksi-prediksi dari setiap relasi perubahan.
Realitas sosial dihadapan kita bukanlah entitas yang berdiri sendiri secara otonom. Realitas sosial di sana juga bukan lahir tiba-tiba, melainkan wujud bentukan sejarah panjang. Realitas sosial yang akan ditemui oleh masyarakat termasuk kepolisian adalah produk pergulatan dari seluruh keterkaitan unsur di dalamnya. Bukannya berhenti, realitas akan selalu bergerak dalam dinamika pasang surutnya Ia selalu hadir dalam kontradiuksi-kontradiksi yang berjalan terus menerus. Jika belajar dari prinsip hukum semacam itu, maka setiap peristiwa, kejadian ataupun persoalan-persoalam sosial yang muncul selalu harus dibaca dalam jantung kesadaran teoritik ini.
Fakta yang berjalan menggambarkan bahwa situasi dan persoalan keamanan sampai hari ini justru mengalami intensitas yang lebih tinggi. Problem-problem keamanan makin bermertamorfosis lebih modern dengan segala kerumitannya. Laju modernitas telah memaksa dan menggiring lahirnya bentuk manifest-manifest baru ketidakamanan terutama bagi masyarakat-masyarakat yang rentan. Banyak pandangan-pandangan penanganan tradisional bahkan kewalahan untuk menjamah problem tersebut. Tidak hanya sering ketinggalan, tetapi penanganan keamanan konvensional sering kali terbukti gagal membaca dan menangkap problem-problem kontenporer yang lahir dari masyarakat modern yang semakin maju.
Keterkaitan perubahan di berbagai dimensi turut mendorong perkembangan dan dinamika transformasi negara dan masyarakat. Perubahan-perubahan ini secara imanen menyertakan problem-problem situasi keamanan. Keamanan tidak lagi hanya bisa dibaca sebagai variabel sekunder ataupun dimensi akibat semata. Keamanan pada prinsipnya bisa diposisikan sebagai entitas yang sangat pokok. Prinsip beberapa pemikiran strukturalis, melihat bahwa apa yang dibaca sebagai fungsi semestinya negara selalu bersentuhan dengan persoalan mendasar keamanan itu sendiri. Problem keamanan dalam tubuh negara selalu akan menyertakan berbagai variabel struktur dan aktor yang saling berdialektika. Titik tekan pada negara ini yang sampai saat ini masih menjadi salah satu persoalan yang menarik untuk menjadi titik tekan. Struktur dan aktor bisa terdiri dari intitusi-intitusi negara, intitusi sipil non negara (NGOs, IGOs) maupun korporasi-korporasi swasta (TNC dan MNC) yang terkait dalam dinamika kemaman.
Dinamika pertumbuhan politik dan ekonomi internasional turut menyumbang tantangan baru bagi lahirnya problem-problem keamanan kontenporer. Bagaimana bentuk dan fungsi negara dikemudian hari juga menjadi menarik untuk dilihat mengingat bahwa problem negara dalam sektor keamanan sulit untuk melepaskan diri dengan faktor-faktor perubahan dan perkembangan situasi ekonomi politik dunia saat ini. Kepolisian mau tidak mau akan tersentuh dengan perkembangan situasi ini. Meminjam tesis bersangkut konflik keamanan modern oleh Anthony Giddens bahwa ada keterkaitan antara perkembangan bentuk dan wujud ‘problem keamanan’ dengan perkembangan ‘masyarakat industri’. Giddens lebih jauh ingin mengatakan bahwa ‘industrialisme, kapitalisme, dan kekuatan keamanan negara merupakan “intitutional clustering” yang khas dalam masyarakat, dan tidak ada dari ketiganya yang sepenuhnya bisa direduksi satu sama lain’. Negara mendapat kontrol yang tidak dimiliki sebelumnya terhadap masyarakat, melengkapi ‘pengamanan’ internal mereka dan membangun batas-batas wilayah yang jelas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa abad kontenporer saat ini telah meletakkan ‘problem keamanan’ menjadi bagian dari sebuah kepentingan bisnis yang menggiurkan. Kasus ini nampak semakin bertumbuhnya usaha-usaha bisnis dalam sector penanganan keamanan baik yang sifatnya lokal sampai global. Bisnis keamanan dan fenomena berbagai kemunculan secara drastis usaha-usaha bisnis keamanan swasta ini membawa beberapa problem penting terutam bagi perubahan tata kelola keamanan masyarakat. Gejala kapitalisasi keamanan dan peningkatan peran swasta di luar negara dalam problem-problem keamanan membuktikan adanya perubahan kekuasaan politik mendasar yaitu bergesernya peran dan tanggung jawab negara. Kemunculan korporasi keamanan swasta mempresentasikan faktor baru dalam analisis konstelasi perang dan mekanisme kontrol sosial. Masalah juga semakin besar karena ‘bisnis penanganan keamanan” saat ini banyak melibatkan aktor dan sekaligus kepentingan yang lebih rumit.
Kekuasaan dan keuntungan sekaligus bisa dibangun dalam mekanisme ‘politik bisnis keamanan’. Konflik-konflik keamanan yang sebagian besar hadir di permukaan planet ini tidak jauh mempunyai kedekatan dengan problem-problem perkembangan perubahan bisnis ekonomi politik. Dalam model pendekatan strukturalis, setiap problem sosial harus dibaca dalam keterkaitan dialektika perubahan pada tingkat struktur/sistem yang lebih besar. Pendekatan strukturalis pertama-tama lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Biasanya pendekatan ini selalu kerap dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih menitikbertakan pada problem-problem yang berisifat individual. Pemecahan pada problem individual sering tidak mampu menjawab pada problem-problem yang lebih bersifat makro dan menyeret banyak kepentingan yang lebih besar. Analisis konflik sosial dan upaya rekonsiliasi yang lebih struktural pernah digagas oleh oleh tokoh seperti Johan Galtung yang banyak melihat ‘konflik’ dan ‘kekerasan’ kontenporer ini sebagai akibat struktur-struktur yang bermasalah.
Jika saja perspektif keamanan tidak mampu menyentuh gugus mendasar struktural dan hanya meletakan pada gugus masyarakat secara tradisional, maka alih-alih otoritas keamanan mampu untuk merespon secara cepat, justru persoalan keamanan selalu dilemparkan pada jantung tanggungjawab dan kesalahan masyarakat. Problem keamanan tidak ubahnya dibaca sebagai “residu” atau “bentuk penyimpangan” semata.
Perkembangan kontemporer simbiosis mutualisme antara ‘bisnis’ dan ‘komodifikasi kamanan’ ini akan semakin menghancurkan aspek-aspek hakiki dari keamanan itu sendiri. “Rasa aman’ bisa menjadi ‘komoditas’ yang bisa diperdagangkan. Masyarakat sipil yang notabene kalah dalam struktur hirarkhi sosial akhirnya tetap menjadi komunitas yang akan paling rentan dirugikan karena komodifikasi bisnis keamanan ini. Akibat terparah dari problem keamanan berdimensi structural yang tidak tertangani, tidak sekedar menunjukan dampak kuantitatif seperti jumlah korban dan kerusakan-kerusakan fisik lainnya, tetapi secara sistemik banyak memperlihatkan wajah sistem yang telah membangun “reproduksi kekerasan” dan pada dimensi yang lebih besar telah menciptakan ‘pasar kekerasan” Istilah ini pertama kali diungkapkan oleh antropolog Jerman, Georg Elwert dengan sebuah istilah “ekonomi politik kekerasan” (Political economy of Violence). Istilah ini untuk mengungkapkan satu fenomena khusus tentang komodifikasi kekerasan. Komodifikasi kekerasan yang dimaksud Elwert nampak dalam fenomena-fenomena ‘perang sipil’ yang banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan bisnis tersembunyi dalam sebuah negara. Komodifikasi keamanan juga secara sengaja banyak mengajarkan satu tindakan-tindakan di luar control yang menyulut radikalitas kekerasan sosial. Dalam efek yang lebih luas akan memungkinkan terjadinya potensi pelanggaran HAM sistemasik luar biasa.
Hasil penemuan riset di 7 (tujuh) kota Makasar. Lampung, Banjarmasin, Denpasar, Aceh, Papua, Kupang, terhadap lulusan akpol tahun 2006 dan 2007 mendapatkan satu analisis bahwa bahwa ada problem mendasar pada titik pijak perspektif keamanan ini yang belum tuntas. Alumni Akpol 2006 dalam beberapa hal belum begitu akrab, bahkan tidak terlalu paham dengan persoalan pelanggaran HAM berkait dengan perbuahan-perubahan sosial kontenporer yang terjadi di sekitar mereka. Problem sosial keamanan yang muncul di beberapa kota, senantiasa dikaitkan dengan problem SDM (Papua, Bali, Banjarmasin, Lampung), karakter masyarakat (Makassar) dan konflik (Aceh). Belum ada kemampuan analisa sosial, ekonomi dan politik yang dapat dilakukan untuk memetakan problem HAM Ekosob seperti kemiskinan, pengangguran, aksi radikal mahasiswa, konflik sosial dan lain sebagainya. Ini masih sangat jauh dari orbit kesadaran para Praja Akpol.
Sedikitnya ada tiga wilayah yang sangat berguna untuk melihat mata rantai hubungan yang perlu diangkat untuk membantu menjelaskan fakta-fakta penting terhadap pentingnya pembaharuan perspektif Polmas ini. Pertama, adalah ’transformasi keamanan’, tentu saja secara khusus adalah menyinggung perubahan-perubahan entitas kedudukan ”Institusi kepolisian” berkait dengan perubahan struktur otoritas negara. Bagian ini sangat membantu menunjukan bagaimana ”transformasi sektor keamanan” ini bisa dijelaskan melalui sebuah pelibatan bangunan sistem struktural negara dan bagaimana wujud perubahan-perubahan itu terjadi. Kedua, adalah tentang ’situasi perkembangan variabel stuktur kekuasaan ekonomi politik ’. Bagian ini mengangkat perspektif ekonomi politik yang menjadi dasar pijakan dari berkembangnya fenomena-fenomena keamanan kontenporer. Bagian Ketiga, adalah mengkaitkan kebijakan-kebijakan kepolisian berkait dengan situasi-situasi problem keamanan yang menyentuh gugus perlindungan masyarakat. Variabel ini untuk menunjukan apakah transfformasi perubahan kebijakan keamanan ini akan berdampak positif bagi masyarakat atauakah justru sebaliknya menjadi ancaman bagi kedaulatan masyarakat. Bagian ini amat krusial untuk memberi catatan kaki atas realisasi penerapan kebijakan Polmas dan bagaimana logika-logika kebijakan keamanan akan mempengaruhi beberapa persoalan penting dalam struktur kedudukan dan perubahan sosial masyarakat. Sejauh mana perspektif keperpihakan masyarakat ini sudah menjadi bagian mendasar mandat penanganan keamanan masyarakat.
Dibutuhkan satu pengembangan perpektif berpikir yang lebih kritis, struktural dan komprehensif terhadap langkah penerapan Polmas kedepan. Setidaknya institusi kepolisian akan lebih diberi perspektif luas, Pertama, perpespektif struktural lebih mempunyai aspek yang cukup dalam untuk menangkap berbagai perkembangan struktur fondasi sistem politik ekonomi dan berbagai keterkaitannya dengan struktur dan aktor-aktor lain. Kedua, perspektif struktrural lebih kritis menjelaskan determinasi mata rantai antara kepentingan basis kekuasaan ekonomi politik dengan perubahan-perubahan struktur tatanan masyarakat yang ada. Ketiga, perspektif struktural setidaklnya lebih tajam untuk membongkar faktor-faktor kepentingan di balik berbagai problem keamanan yang nampak di permukaan. Perspektif ini juga berupaya memusatkan perhatian pada perubahan historis sistem dalam skala yang besar dan pengamatan yang tajam mengenai kontradiksi-kontradiksi dan problem keamanan.
Pengembangan ini akan menjadi payung epistemologi bagaimana ”polmas” mampu mernjadi variabel utama dan ujung tombak dalam membangun relasi dengan masyarakat sekaligus berimplementasi positif bagi pengembangan potensi keamanan yang lebih adil. Dampak pascakolonial beserta fase kekuasaan negara sentris, mau tidak mau menorehkan ”beban sejarah” bagi institusi negara termasuk kepolisian yang dianggap sangat berjarak dengan tuntutan hak masyarakat. Desentralisasi dan sekaligus difererensiasi otoritas ”negara sentris” mempengaruhi secara ”positif” maupun ”negatif” terhadap kebijakan kepolisian. Secara posisif, ada proses kemandirian dan otonomi relatif terhadap kerja-kerja kepolisian sehingga membuka peluang evolusi terhadap lahirnya alternatif-alternatif fungsi baru kepolisian yang lebih bisa dikembangkan sesuai konteks perubahan-perubahan sosial yang ada. Namun sisi negatif yang tidak boleh lupa, Desentralisasi terhadap otoritas negara bisa jadi hanyalah kamuflases terhadap lahirnya aktor-aktor kekuasaan baru yang lebih menentukan berjalannya perubahan sekalgus membawa efek problematis luar biasa daripada sebelumnya.
”Melemahnya” negara kian hari ini tentu saja harus dibaca dalam kecenderunagn ”menguatnya” struktur-struktur dan aktor-aktor baru dalam peta konstalasi masyarakat. Sedikitnya thesis ini banyak diangkat oleh kecenderungan pemikiran “kaum liberal” yang melihat bahwa negara akan kian waktu menghilang dengan semakin berkuasanya pasar. Dalam sebuah karyanya , The End of The State yang diluncurkan pada tahun 1995, Kenichi Ohmae sangat yakin bahwa ‘pasar bebas’ dengan kekuatan penuh yang dimiliki oleh institusi-instittusi perdagangan internasional akan mampu menggantikan peran dan fungsi yang selama ini secara tradisional dimiliki oleh Negara. Dalam tingkat tertentu modus berjalannya ”mekanisme baru kekuasaan” ini beroperasi secara sublim dan hegemonik. Jika saja berdampak pada persoalan keamanan, ia akan lebih beroperasi secara sistemik jangka panjang dan seakan-akan membenarnya asumsi thesis tentang ”adanya negara dalam negara”. Parahnya lagi struktur dan aktor-aktor baru ini mudah berkelit, tidak terjamah dan sangat memiliki tangan kekuasasan lebih kuat melampaui konsepsi negara secara tradisional. Di posisi inilah titik tekan pengembangan perspektif lebih kritis bagi kepolisian perlu menjadi tantangan terberat ke depan. Harapan besarnya, problem-problem keamanan masyarakat yang hadir bisa ditangkap dan dianalisis melalui kacamata perspektif yang lebih luas dan terintegrasi dengan berbagai aktor dan struktur yang ada. Mungkin thesis Peter Marcuse perlu dilihat bahwa Mitos tentang Negara yang semakin melemah barangkali adalah sebuah konsep yang masih mengaburkan analisis secara ilmiah…Pentingnya tindakan negara dalam memungkinkan sistem kekuasaan modal dari negara-negara industri untuk berfungsi justru meningkat, bukannnya berkurang sejalan dengan semakin menyebarnya sistem ini secara internasional.
Senin, 04 Mei 2009
Representasi Islam “Madzhab” Indonesia
Representasi Islam “Madzhab” Indonesia
(Resensi dan catatan kritis untuk buku : Mengindonesiakan Islam, karya Dr. Mujiburrahman)
“Bangsa-bangsa lain tidak akan tegak berdiri
menyambut sebuah ‘kebangkitan’ dengan berpijak pada tradisi orang lain,
tetapi mereka harus berpijak pada tradisinya sendiri.
Namun bukan tentu bukan dalam kerangka tradisi
di mana kita melebur di dalamnya dengan segenap gerak dan gelombangnya,
tetapi lebih diperlakukan sebagai ‘produk kebudayaan’ manusia ,
sebagai produk ilmiah yang senantiasa berkembang.
Dari sini kita belajar berpijak pada tradisi kita sendiri
secara sadar, kritis dan rasional”.
(Muhammad ‘bid al- Jabiri)
Cita-cita dan proyeksi “kebersatuan” dan “kebersandingan” antara ‘nilai-nilai Islam’ dan nilai dasar kebangsaan, sejatinya merupakan ketegangan gagasan yang hari ini semakin kian menarik untuk dibaca. Medan ketegangan ini secara ‘epistemologis’ merupakan cara dari bagaimana kedua nilai tersebut bereksistensi dan bertahan dalam gerak peradaban ke depan yang semakin cepat. Tidak memungkiri, di banyak hal, perbincangan tentangnya kadang syarat dengan tendensi-tendensi ‘politik’ dan ‘ideologi’ yang dibawa oleh masing-masing nilai tersebut. Sejarah politik Indonesia yang terepresentasikan dalam ruang-ruang kontestasi partai politik tidak jauh-jauh juga masih membawa dimensi perbincangan ini. Katagori Clifford Geertz dalam memandang dan membaca representasi kekuatan keagamaan islam Indonesia seperti ‘priyayi’, ‘abangan’ dan ‘santri’ beberapa hal masih cukup membantu untuk membaca beberapa dinamika sosial politik kekinian. Tentu saja katagori Geertz perlu dilengkapi dan ditambahi dengan bebeberapa analisis perkembangan kontemporer. Dalam kergaman gerak perubahan, setiap katagori adalah alat bantu sekaligus batasan untuk membantu merepresentasikan sesuatu hal. Fakta yang semakin kompleks akan mendorong setiap katagori perlu mendialogkan dengan realitas yang berjalan. Seperti halnya diskursus katagori tentang ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ harus juga dibaca dalam titik pangkal prinsip ini.
Kontestasi politik Pemilu 2009 tetap menyisakan tarik-menarik ketegangan di antara nilai tersebut. Meskipun sudah mengalami berbagai evolusi perkembangan, ‘diskursus’ tentang bagaimana ‘state’ harus dibangun dan ditata apakah melalui dasar-dasar ‘kebangsaan’ yang lebih menghargai pluralitas keberagaman dan visi modern negara atau nilai-nilai religiusitas Islam tetap menjadi persoalan yang menarik. Dengan berbagai dinamikanya, kutub pendikotomian kadang semakin menunjukan batasan yang semakin tipis dan terbuka. Entah memang karena keniscayaan politik atau cara strategi berpolitik, masing-masing ‘kutub’ seolah tidak mau terjebak pada ‘identitas’ yang ‘kaku’ dan ‘dingin’. Menarik sebagai contoh adalah betapa partai-partai Islam sekarang tidak lagi memposisikan semata sebagai ‘representasi islam’ tetapi sekaligus juga ingin mengusung ‘jawaban” atas kebutuhan nasional secara lebih besar. Tidak menjadi asing bahwa ‘diskursus’ tentang ‘nasionalisme’ atau ‘keindonesiaan’ tidak lagi hanya menjadi ‘klaim’ dari ‘partai-partai politik yang berdasar atas azas dan ideologi “nasionalisme’. Tak pelak hadir pertanyaan kritis berikutnya, apakah ‘nasionalisme’ atau ‘keislaman’ yang kini menjadi ‘orientasi’ yang sedang diperebutkan? Apakah ia justru sebenarnyalah hanya terhenti pada “diskursus mengapung” yang lebih berorientasi pada ‘komodifikasi politik’ semata ketimbang ‘proyeksi ideologis’ yang lebih jauh?
Islam, nasionalisme dan berbagai ketegangan ‘dikursus’
Pada dinamika sejarah keislaman Indonesia secara lebih luas, mencatatatkan prinsip pandangan yang beragam dalam meletakkan ‘keberagamann’ yang diyakini tepat dan cocok di Indonesia. Dua kutub besar sebagai cara pandang tentangnya mengakar dan megerucut pada diskursus di antara ‘universalisasi’ dan ‘partikularisasi’ Islam diletakkan pada ‘ruang hidup keindonesiaan’. Sebagian meyakini bahwa nilia-nilai kearifan dan keberagaman konteks lokal amatlah menjadi modal dasar penting bagaimana mengembangakan ‘keberagamaan’ dalam nilai-nilai keindonesiaan. Pada prinsip yang lebih besar, Islam dan nilai keindonesiaan tidak diposisikan dalam hubungan yang antagonistik. Berbagai potensi nilai keindonesiaan diyakini merupakan fondasi dan ruang hidup penting bagaimana “Islam Indonesia bisa menunjukan wajahnya’. Relasi ‘universalitas keislaman’ dan ‘partikularitas kebangsaan’ Indonesia tidaklah dilihat sebagai dua wajah nilai yang saling ‘meniadakan’. Keduanya merupakan nilai komplenter yang saling memperkaya satu dengan yang lainnya. Transformasi dan evolusi keagamaan tidaklah harus dibanguin melalui ekspresi ‘kekuasaan’, ‘penaklukan’, dan ‘formalisasi’ yang meniadakan ruang hidup pada bumi yang dipijaknya sendiri. Dalam perspektif yang lebih maju, ia dipandang sebagai pencerminan Islam yang lebih transformatif ketimbang formalis semata. Upaya ‘mengkontekstualisasikan’ nilai-nilai Islam dalam nafas dan kebutuhan ‘keindonesiaan’ merupakan mandat yang harus dijalankan. Titik terpentingnya adalah mengembangkan dan menghidupkan Islam dalam ranah kearifan ‘madzhab’ Indonesia.
Pandangan yang meletakkan aspek ‘dialogis’ sekaligus ‘akomodatif’ sebagai cara untuk membentuk ‘pola-pola keberagamaan’ cenderung banyak dianut oleh prinsip bahwa ‘sejatinya sebagai ekspresi keagamaan, ia tidak bisa melepaskan dengan pertemuannya dengan ekspresi nilai-nilai yang melingkupinya. Menutup diri atasnya justru merupakan sikap ‘ahistoris’ yang akan melemahkan agama secara jangka panjang. Kebertahanan Islam tentu akan sangat ditentukan bagaimana ia bisa menyelaraskan dan mensinergikan dengan nilai-nilai dasar yang bertumbuh dalam jantung bumi Indonesia. Meminjam thesis Berger dalam tulisannya di “The Desecularization of the World”, strategi membangun ‘kebertahanan’ dan eksistensi keagamaan mempunyai tiga kecenderungan pola yang digunakan 1)`Stratregi penaklukan atau revolusi keagamaan; 2) pengasingan diri; 3) dialog. Setiap kecenderungan ini memberikan bentuk ekspresi keagamaan berbeda dan masing-masing pilihan akan mengandung beberapa konsekuensi pengaruh yang berbeda pula pada usaha mendialogkan ‘universalitas’ dan ‘partikularitas’ dalam wujud praktiknya. Fenomena perkembangan ‘modernitas’ dan segala laju perubahan yang dibawanya turut menyumbang sekaligus mendorong berbagai gesekan dan persentuhan yang tidak bisa dihindari dalam dinamika Islam.
Dunia dengan segala entitas kebudayaannya mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pandangan meyakini bahwa perubahan dunia adalah keniscayaan wajah yang tidak terhindari. Tetapi problem seriusnya tidak semata pada titik keyakinan ini. Problem yang menggelayut adalah “kemana perubahan itu akan menuju” dan bagaimana setiap nilai, pandangan dan tradisi Islam melihat ‘perubahan’ dalam kacamatanya masing-masing. Pluralitas pada titik inilah yang tidak jarang melahirkan posisi diskursus yang berbeda pada setiap ekspresi keberagamaan yang satu dengan yang lainnya. Sebagian menerima dan berdiri menjadi ‘loyalis buta’ yang setia terhadap sikap terbukanya pada perubahan. Ia semata dilihat sebagai “keniscayaan abadi” yang tidak bisa dicegah. Mengingkarinya adalah sebuah kesia-siaan. Lebih ekstrimnya, setiap perubahan seperti yang terbawakan dalam episode globalisasi, neoliberalisme dan semacamnya dilihat sebagai harapan baru yang menjanjikan. Diujung yang lain, berdiri sekian pandangan yang begitu sangat ekstrim mencurigai, menentang dan bahkan meletakkan perubahan sebagai ‘monster’ yang harus dibinasakan. Perubahan adalah ‘mengganggu status quo tradisi’. Ia selalu dipandang sejatinya hanya akan meluluhlantahkan ‘kesakralan nilai’ dan menghancurkan bangunan diri keislaman. Dari sekian dikotomi ekstrim ketegangan itu, tidak sedikit pula yang lebih realistis dan rasional meletakan ‘perubahan’ sebagai entitas yang harus dibaca secara ‘adil’ dan sekaligus penuh dengan kritik kedalaman. Dialektika kebudayaan akan selalu bisa ditemukan di ruang dan di tempat manapun. “Ikut” tetapi tidak ‘hanyut” adalah sebagian prinsip dipegang untuk menhadapi setiap perubahan.
Diskursus tentang tema-tema ‘pembaharuan Islam’ tidak bisa melepaskan diri dari keniscayaan modernisme. Sebagian yang lain menatap penuh optimistis terhadap misi pembaharuan namun tidak sedikit pula yang begitu resistensi terhadap segala ide-ide apapun tentang pembaharuan Islam. Perspesi yang dimunculkan oleh ide gerakan ini tidak jarang juga melahirkan banyak perdebatan. Tentu pertanyaannya selalu diarahkan pada kecurigaan adanya inflitrasi ide-ide barat dalam gerakan pembaharuan Islam. Modernisasi dan kecurigaan sekularisisasi atas ide-ide Islam yang pernah ditujukan kepada pemikir muslim seperti Nurcholish Madjid merupakan salah satu gambaran dinamika perkembangan persepsi tentang ide-ide pembaharuan. Tidak selalu didekatkan dengan ide-ide sekularisasi, kecurigaan dan resistensi ini juga pernah diarahkan pula pada sosok oemikir seperti Kiai Ahmad Dahlan tentang anggapan ide-ide ‘rasionalisasi’ dan ‘purifikasi’ Islam. Diskursus ketegangan lebih terletak pada kesangsian dan sekaligus ketidakpercayaan bahwa ‘pembaharuan Islam’ bersumber dari ‘epistemologi’ dasar-dasar nilai Islam. Walaupun tidak jarang, para pemhabaru Islam lebih meyakinkan bahwa justru ‘mandat dari gerakan ini’ adalah untuk mengembangkan Islam dari berbagai ruang stagnasi dan kemandegan akibat berbagai penetrasi kebudayaan-kebudayaan yang merugikan Islam. Perubahan tidak perlu dibaca secara tendensius dan prasangka membabi-buta. Ia perlu disentuh sekaligus disikapi secara kritis. Apakah ia akan menghasilkan dialog yang ‘afirmatif’ atau ‘kontradiktif’ tentu akan sangat ditentukan dengan dinamika objektif yang berlangsung.
Mencari ‘ekspresi keberagamaan’ yang ‘dialogis’
Tidak bisa dipungkiri sekian polemik yang berhadapan di antara diskursus seperti ‘barat’ dan ‘islam’, ‘fundamental’ dan ‘liberal’, ‘perubahan’ dan ‘tradisi’, ‘universalisme’ dan ‘partikularusme’, ‘sinkretisme’ dan ‘pemurnian’, ‘pluralisme’ dan ‘sentralisme’, ‘modernis’ dan ‘tradisionalis’ merupakan ekspresi tidak terhindari dari buah pembacaan dan interpretasi tentang perubahan dan masa depan Islam yang ingin diletakkan. Dalam realitas ketegangan entitas-entitas nilai ini, ia tidak bergerak dalam ‘ruang’ dan ‘medan’ yang kosong. Variabel dan konteks ‘politik’, ‘sosiologis’, ‘antropologis’ dan dimensi ‘historis’ menyumbang sekian pengaruh yang cukup penting dalam dinamika diskursus ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ tersebut.
Beberapa tema menarik di atas, yang mengkaitkan kesalinghungan antara spirit perkembangan Islam dan konteks keindonesiaan cukup kompleks dan menarik diangkat oleh Dr. Mujiburrahman dalam bukunya “Mengindonesiakan Islam”. Buku yang merupakan hasil pengumpulan karya tulisnya tentang Islam dan Indonesia lebih ingin menunjukan ruang kompleksitas tentang diskursus keislaman di Indonesia. Di struktur isi penulisannya, Mujiburrahman menorehkan beberapa ide kontroversi yang saat ini masih terus bergulir terutama tentang diskursus pluralisme, negara, islam dan sekaligus beberapa isi kontemporer tentang agama dan demokrasi. Ada beberapa catatan yang sengaja diangkat penulis ini untuk memberi bobot karya lebih berkualitas terutama perihal pembacaan teoritik dan beberapa perspektif pengkajian keislaman kontemporer yang harus dipegang sebagai pisau analisis.
Apa yang terlihat fokus dalam deretan bab yang telah disusun oleh penulis buku ini secara eksplisit ingin mengurai berbagai tautan fenomena dan problem penting di dalamnya di sekitar persoalan ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’. Terhadap dua bahan penting ini, Mujiburrahman membangun landasan perspektif yang berangkat dari keyakinan teoritis bahwa entitas keduanya tidak bisa dilihat secara dikotomis dan berhadapan. Islam dan ‘nasionalisme ’ justru membingkai dan merias wajah kekhasan yang dimiliki oleh Islam Indonesia. Dengan keragaman, pluralitas, dan khasanah bangsa yang unik maka Islam Indonesia akan sangat sulit untuk dibentuk menjadi islam yang monolitik dengan melepaskan aspek ruang hidup yang plural. Memaksakan ekspresi keagaman dengan satu sentralitas tunggal keberagamaan dan menghindar dari nilai-nilai dan bumi tradisi yang dipijaknya justru secara prinsip kontraproduktif. Membuka diri secara demokratis mempertemukan berbagai posisi pandangan keislaman akan lebih membangun kualitas keberagamaan itu sendiri. Optimisme terhadap hal itu selalu terlihat ditekankan dalam tiap kesimpulan bab. Meskipun bukan sebuah proses yang begitu saja mudah, tetapi Mujiburrahman meyakini bahwa ‘ketegangan-ketegangan dialog’ , pada prinsipnya akan membantu melahirkan nilai-nilai baru yang saling melengkapi.
Sebagai karya yang berusaha memotret problematika diskursus keislaman dan problem-problem kontemporer tentang islam dan keindonesiaan, karya ini perlu mendapatkan apresiasi. Spirit terhadap perlunya ruang ‘kebertemuan’ terhadap berbagai keragaman nilai dengan segala etos penghargaan menjadi poin yang meanrik untuk dicermati. Tampanya, menurut Mujiburrahman akan selalu berujung pada ‘konflik’ dan ‘pertentangan’ yang tidak akan pernah usai. Kearifan dan keberanian untuk berdialog adalah kunci. Selaras dengan potensi dan karakteritik keberagaman ekspresi keislaman di Indonesia , maka poin ‘penghargaan’ yang saling melengkapi dan tidak meniadakan satu sama yang lain haruslah digarisbawahi. Keyakinan prinsip ini pula yang memberi garis tegas pada pandangan Mujiburrahman yang sangat yakin terhadap khasanah nilai-nilai ‘keindonesiaan’ yang bisa mengembangkan masa depan Islam di nusantara ini. Tentu secara normatif pula masih harus digenapi dengan usaha serius dan komitmen kerja keras untuk mewujudkannya.
‘Keindonesiaan’ yang selalu ‘berproses’
Masih ada catatan kritis yang tertinggal untuk karya buku ini. Menelusuk dalam ‘logika imanen’ premis dasar dalam karya ini terasa masih meninggalkan ‘ruang kosong’ yang belum begitu dalam disentuh oleh Mujiburrahman terutama tentang pendalaman lebih detail tentang dinamika internal dalam entitas nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip pandangannya belum meninggalkan jauh dari model dan realitas keindonesiaan yang masih dibaca dalam kerangka pandangan “nation state’. Sebuah ikwal tentang cara pandang yang cukup berkembang dalam fase-fase paskakemerdekaan bangsa-bangsa. Jika kita kontekskan dengan realitas sekarang, justru ada spirit berbeda yang dibawa dalam pergerakan dan perkembangan diskursus ‘nasionalisme’. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bahwa bukankah ‘nasionalisme’ adalah bagian diskursus politik yang lebih merupa dalam ‘politik identitas’ ketimbang dinamika lebih kongkrit yang sekarang sedang bergulir. Definisi politiknya lebih menggambarkan ‘masyarakat’ yang dibayangkan sebagai mekanisme membangun dasar pijakan keindonesiaan. Tentu sifatnya bisa jadi lebih berdimensi politis ketimbang kultural yang dibayangkan oleh penulis buku ini sejak awal. Jika melihat perubahan keindonesiaan yang begitu pesat dengan laju gerak ‘imperialisme’ pasar yang begitu berpengaruhnya, maka jangan-jangan “keindonesiaan’ yang sedang diperbincangkan menjadi lebih hanya menjadi ‘bayangan’ yang sudah tidak kokoh lagi. Orang bahkan akan cukup kesulitan untuk merumuskan secara lebih detail dan utuh tentang apa yang disebut “nilai keindonesiaan’. Artinya pula, spirit “mengindonesiakan islam” juga menjadi premis yang masih ‘mengapung’ dan masih belum terlalu kokoh dasar pijakannya. Tentu ada satu catatan yang artinya pula perlu ditampilkan. Jika ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ adalah ‘entitas diskursif’ yang terus bergerak, maka apapun yang kemudian kita sebut sebagai “mengindonesiakan islam’ bisa jadi adalah gerak sejarah yang terus ‘mencari’ dan tentu tidak terburu untuk disimpulkan sebagai sebuah bentuk dan wajah ‘keislaman’ yang final.
(Resensi dan catatan kritis untuk buku : Mengindonesiakan Islam, karya Dr. Mujiburrahman)
“Bangsa-bangsa lain tidak akan tegak berdiri
menyambut sebuah ‘kebangkitan’ dengan berpijak pada tradisi orang lain,
tetapi mereka harus berpijak pada tradisinya sendiri.
Namun bukan tentu bukan dalam kerangka tradisi
di mana kita melebur di dalamnya dengan segenap gerak dan gelombangnya,
tetapi lebih diperlakukan sebagai ‘produk kebudayaan’ manusia ,
sebagai produk ilmiah yang senantiasa berkembang.
Dari sini kita belajar berpijak pada tradisi kita sendiri
secara sadar, kritis dan rasional”.
(Muhammad ‘bid al- Jabiri)
Cita-cita dan proyeksi “kebersatuan” dan “kebersandingan” antara ‘nilai-nilai Islam’ dan nilai dasar kebangsaan, sejatinya merupakan ketegangan gagasan yang hari ini semakin kian menarik untuk dibaca. Medan ketegangan ini secara ‘epistemologis’ merupakan cara dari bagaimana kedua nilai tersebut bereksistensi dan bertahan dalam gerak peradaban ke depan yang semakin cepat. Tidak memungkiri, di banyak hal, perbincangan tentangnya kadang syarat dengan tendensi-tendensi ‘politik’ dan ‘ideologi’ yang dibawa oleh masing-masing nilai tersebut. Sejarah politik Indonesia yang terepresentasikan dalam ruang-ruang kontestasi partai politik tidak jauh-jauh juga masih membawa dimensi perbincangan ini. Katagori Clifford Geertz dalam memandang dan membaca representasi kekuatan keagamaan islam Indonesia seperti ‘priyayi’, ‘abangan’ dan ‘santri’ beberapa hal masih cukup membantu untuk membaca beberapa dinamika sosial politik kekinian. Tentu saja katagori Geertz perlu dilengkapi dan ditambahi dengan bebeberapa analisis perkembangan kontemporer. Dalam kergaman gerak perubahan, setiap katagori adalah alat bantu sekaligus batasan untuk membantu merepresentasikan sesuatu hal. Fakta yang semakin kompleks akan mendorong setiap katagori perlu mendialogkan dengan realitas yang berjalan. Seperti halnya diskursus katagori tentang ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ harus juga dibaca dalam titik pangkal prinsip ini.
Kontestasi politik Pemilu 2009 tetap menyisakan tarik-menarik ketegangan di antara nilai tersebut. Meskipun sudah mengalami berbagai evolusi perkembangan, ‘diskursus’ tentang bagaimana ‘state’ harus dibangun dan ditata apakah melalui dasar-dasar ‘kebangsaan’ yang lebih menghargai pluralitas keberagaman dan visi modern negara atau nilai-nilai religiusitas Islam tetap menjadi persoalan yang menarik. Dengan berbagai dinamikanya, kutub pendikotomian kadang semakin menunjukan batasan yang semakin tipis dan terbuka. Entah memang karena keniscayaan politik atau cara strategi berpolitik, masing-masing ‘kutub’ seolah tidak mau terjebak pada ‘identitas’ yang ‘kaku’ dan ‘dingin’. Menarik sebagai contoh adalah betapa partai-partai Islam sekarang tidak lagi memposisikan semata sebagai ‘representasi islam’ tetapi sekaligus juga ingin mengusung ‘jawaban” atas kebutuhan nasional secara lebih besar. Tidak menjadi asing bahwa ‘diskursus’ tentang ‘nasionalisme’ atau ‘keindonesiaan’ tidak lagi hanya menjadi ‘klaim’ dari ‘partai-partai politik yang berdasar atas azas dan ideologi “nasionalisme’. Tak pelak hadir pertanyaan kritis berikutnya, apakah ‘nasionalisme’ atau ‘keislaman’ yang kini menjadi ‘orientasi’ yang sedang diperebutkan? Apakah ia justru sebenarnyalah hanya terhenti pada “diskursus mengapung” yang lebih berorientasi pada ‘komodifikasi politik’ semata ketimbang ‘proyeksi ideologis’ yang lebih jauh?
Islam, nasionalisme dan berbagai ketegangan ‘dikursus’
Pada dinamika sejarah keislaman Indonesia secara lebih luas, mencatatatkan prinsip pandangan yang beragam dalam meletakkan ‘keberagamann’ yang diyakini tepat dan cocok di Indonesia. Dua kutub besar sebagai cara pandang tentangnya mengakar dan megerucut pada diskursus di antara ‘universalisasi’ dan ‘partikularisasi’ Islam diletakkan pada ‘ruang hidup keindonesiaan’. Sebagian meyakini bahwa nilia-nilai kearifan dan keberagaman konteks lokal amatlah menjadi modal dasar penting bagaimana mengembangakan ‘keberagamaan’ dalam nilai-nilai keindonesiaan. Pada prinsip yang lebih besar, Islam dan nilai keindonesiaan tidak diposisikan dalam hubungan yang antagonistik. Berbagai potensi nilai keindonesiaan diyakini merupakan fondasi dan ruang hidup penting bagaimana “Islam Indonesia bisa menunjukan wajahnya’. Relasi ‘universalitas keislaman’ dan ‘partikularitas kebangsaan’ Indonesia tidaklah dilihat sebagai dua wajah nilai yang saling ‘meniadakan’. Keduanya merupakan nilai komplenter yang saling memperkaya satu dengan yang lainnya. Transformasi dan evolusi keagamaan tidaklah harus dibanguin melalui ekspresi ‘kekuasaan’, ‘penaklukan’, dan ‘formalisasi’ yang meniadakan ruang hidup pada bumi yang dipijaknya sendiri. Dalam perspektif yang lebih maju, ia dipandang sebagai pencerminan Islam yang lebih transformatif ketimbang formalis semata. Upaya ‘mengkontekstualisasikan’ nilai-nilai Islam dalam nafas dan kebutuhan ‘keindonesiaan’ merupakan mandat yang harus dijalankan. Titik terpentingnya adalah mengembangkan dan menghidupkan Islam dalam ranah kearifan ‘madzhab’ Indonesia.
Pandangan yang meletakkan aspek ‘dialogis’ sekaligus ‘akomodatif’ sebagai cara untuk membentuk ‘pola-pola keberagamaan’ cenderung banyak dianut oleh prinsip bahwa ‘sejatinya sebagai ekspresi keagamaan, ia tidak bisa melepaskan dengan pertemuannya dengan ekspresi nilai-nilai yang melingkupinya. Menutup diri atasnya justru merupakan sikap ‘ahistoris’ yang akan melemahkan agama secara jangka panjang. Kebertahanan Islam tentu akan sangat ditentukan bagaimana ia bisa menyelaraskan dan mensinergikan dengan nilai-nilai dasar yang bertumbuh dalam jantung bumi Indonesia. Meminjam thesis Berger dalam tulisannya di “The Desecularization of the World”, strategi membangun ‘kebertahanan’ dan eksistensi keagamaan mempunyai tiga kecenderungan pola yang digunakan 1)`Stratregi penaklukan atau revolusi keagamaan; 2) pengasingan diri; 3) dialog. Setiap kecenderungan ini memberikan bentuk ekspresi keagamaan berbeda dan masing-masing pilihan akan mengandung beberapa konsekuensi pengaruh yang berbeda pula pada usaha mendialogkan ‘universalitas’ dan ‘partikularitas’ dalam wujud praktiknya. Fenomena perkembangan ‘modernitas’ dan segala laju perubahan yang dibawanya turut menyumbang sekaligus mendorong berbagai gesekan dan persentuhan yang tidak bisa dihindari dalam dinamika Islam.
Dunia dengan segala entitas kebudayaannya mengalami perubahan. Hampir sebagian besar pandangan meyakini bahwa perubahan dunia adalah keniscayaan wajah yang tidak terhindari. Tetapi problem seriusnya tidak semata pada titik keyakinan ini. Problem yang menggelayut adalah “kemana perubahan itu akan menuju” dan bagaimana setiap nilai, pandangan dan tradisi Islam melihat ‘perubahan’ dalam kacamatanya masing-masing. Pluralitas pada titik inilah yang tidak jarang melahirkan posisi diskursus yang berbeda pada setiap ekspresi keberagamaan yang satu dengan yang lainnya. Sebagian menerima dan berdiri menjadi ‘loyalis buta’ yang setia terhadap sikap terbukanya pada perubahan. Ia semata dilihat sebagai “keniscayaan abadi” yang tidak bisa dicegah. Mengingkarinya adalah sebuah kesia-siaan. Lebih ekstrimnya, setiap perubahan seperti yang terbawakan dalam episode globalisasi, neoliberalisme dan semacamnya dilihat sebagai harapan baru yang menjanjikan. Diujung yang lain, berdiri sekian pandangan yang begitu sangat ekstrim mencurigai, menentang dan bahkan meletakkan perubahan sebagai ‘monster’ yang harus dibinasakan. Perubahan adalah ‘mengganggu status quo tradisi’. Ia selalu dipandang sejatinya hanya akan meluluhlantahkan ‘kesakralan nilai’ dan menghancurkan bangunan diri keislaman. Dari sekian dikotomi ekstrim ketegangan itu, tidak sedikit pula yang lebih realistis dan rasional meletakan ‘perubahan’ sebagai entitas yang harus dibaca secara ‘adil’ dan sekaligus penuh dengan kritik kedalaman. Dialektika kebudayaan akan selalu bisa ditemukan di ruang dan di tempat manapun. “Ikut” tetapi tidak ‘hanyut” adalah sebagian prinsip dipegang untuk menhadapi setiap perubahan.
Diskursus tentang tema-tema ‘pembaharuan Islam’ tidak bisa melepaskan diri dari keniscayaan modernisme. Sebagian yang lain menatap penuh optimistis terhadap misi pembaharuan namun tidak sedikit pula yang begitu resistensi terhadap segala ide-ide apapun tentang pembaharuan Islam. Perspesi yang dimunculkan oleh ide gerakan ini tidak jarang juga melahirkan banyak perdebatan. Tentu pertanyaannya selalu diarahkan pada kecurigaan adanya inflitrasi ide-ide barat dalam gerakan pembaharuan Islam. Modernisasi dan kecurigaan sekularisisasi atas ide-ide Islam yang pernah ditujukan kepada pemikir muslim seperti Nurcholish Madjid merupakan salah satu gambaran dinamika perkembangan persepsi tentang ide-ide pembaharuan. Tidak selalu didekatkan dengan ide-ide sekularisasi, kecurigaan dan resistensi ini juga pernah diarahkan pula pada sosok oemikir seperti Kiai Ahmad Dahlan tentang anggapan ide-ide ‘rasionalisasi’ dan ‘purifikasi’ Islam. Diskursus ketegangan lebih terletak pada kesangsian dan sekaligus ketidakpercayaan bahwa ‘pembaharuan Islam’ bersumber dari ‘epistemologi’ dasar-dasar nilai Islam. Walaupun tidak jarang, para pemhabaru Islam lebih meyakinkan bahwa justru ‘mandat dari gerakan ini’ adalah untuk mengembangkan Islam dari berbagai ruang stagnasi dan kemandegan akibat berbagai penetrasi kebudayaan-kebudayaan yang merugikan Islam. Perubahan tidak perlu dibaca secara tendensius dan prasangka membabi-buta. Ia perlu disentuh sekaligus disikapi secara kritis. Apakah ia akan menghasilkan dialog yang ‘afirmatif’ atau ‘kontradiktif’ tentu akan sangat ditentukan dengan dinamika objektif yang berlangsung.
Mencari ‘ekspresi keberagamaan’ yang ‘dialogis’
Tidak bisa dipungkiri sekian polemik yang berhadapan di antara diskursus seperti ‘barat’ dan ‘islam’, ‘fundamental’ dan ‘liberal’, ‘perubahan’ dan ‘tradisi’, ‘universalisme’ dan ‘partikularusme’, ‘sinkretisme’ dan ‘pemurnian’, ‘pluralisme’ dan ‘sentralisme’, ‘modernis’ dan ‘tradisionalis’ merupakan ekspresi tidak terhindari dari buah pembacaan dan interpretasi tentang perubahan dan masa depan Islam yang ingin diletakkan. Dalam realitas ketegangan entitas-entitas nilai ini, ia tidak bergerak dalam ‘ruang’ dan ‘medan’ yang kosong. Variabel dan konteks ‘politik’, ‘sosiologis’, ‘antropologis’ dan dimensi ‘historis’ menyumbang sekian pengaruh yang cukup penting dalam dinamika diskursus ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ tersebut.
Beberapa tema menarik di atas, yang mengkaitkan kesalinghungan antara spirit perkembangan Islam dan konteks keindonesiaan cukup kompleks dan menarik diangkat oleh Dr. Mujiburrahman dalam bukunya “Mengindonesiakan Islam”. Buku yang merupakan hasil pengumpulan karya tulisnya tentang Islam dan Indonesia lebih ingin menunjukan ruang kompleksitas tentang diskursus keislaman di Indonesia. Di struktur isi penulisannya, Mujiburrahman menorehkan beberapa ide kontroversi yang saat ini masih terus bergulir terutama tentang diskursus pluralisme, negara, islam dan sekaligus beberapa isi kontemporer tentang agama dan demokrasi. Ada beberapa catatan yang sengaja diangkat penulis ini untuk memberi bobot karya lebih berkualitas terutama perihal pembacaan teoritik dan beberapa perspektif pengkajian keislaman kontemporer yang harus dipegang sebagai pisau analisis.
Apa yang terlihat fokus dalam deretan bab yang telah disusun oleh penulis buku ini secara eksplisit ingin mengurai berbagai tautan fenomena dan problem penting di dalamnya di sekitar persoalan ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’. Terhadap dua bahan penting ini, Mujiburrahman membangun landasan perspektif yang berangkat dari keyakinan teoritis bahwa entitas keduanya tidak bisa dilihat secara dikotomis dan berhadapan. Islam dan ‘nasionalisme ’ justru membingkai dan merias wajah kekhasan yang dimiliki oleh Islam Indonesia. Dengan keragaman, pluralitas, dan khasanah bangsa yang unik maka Islam Indonesia akan sangat sulit untuk dibentuk menjadi islam yang monolitik dengan melepaskan aspek ruang hidup yang plural. Memaksakan ekspresi keagaman dengan satu sentralitas tunggal keberagamaan dan menghindar dari nilai-nilai dan bumi tradisi yang dipijaknya justru secara prinsip kontraproduktif. Membuka diri secara demokratis mempertemukan berbagai posisi pandangan keislaman akan lebih membangun kualitas keberagamaan itu sendiri. Optimisme terhadap hal itu selalu terlihat ditekankan dalam tiap kesimpulan bab. Meskipun bukan sebuah proses yang begitu saja mudah, tetapi Mujiburrahman meyakini bahwa ‘ketegangan-ketegangan dialog’ , pada prinsipnya akan membantu melahirkan nilai-nilai baru yang saling melengkapi.
Sebagai karya yang berusaha memotret problematika diskursus keislaman dan problem-problem kontemporer tentang islam dan keindonesiaan, karya ini perlu mendapatkan apresiasi. Spirit terhadap perlunya ruang ‘kebertemuan’ terhadap berbagai keragaman nilai dengan segala etos penghargaan menjadi poin yang meanrik untuk dicermati. Tampanya, menurut Mujiburrahman akan selalu berujung pada ‘konflik’ dan ‘pertentangan’ yang tidak akan pernah usai. Kearifan dan keberanian untuk berdialog adalah kunci. Selaras dengan potensi dan karakteritik keberagaman ekspresi keislaman di Indonesia , maka poin ‘penghargaan’ yang saling melengkapi dan tidak meniadakan satu sama yang lain haruslah digarisbawahi. Keyakinan prinsip ini pula yang memberi garis tegas pada pandangan Mujiburrahman yang sangat yakin terhadap khasanah nilai-nilai ‘keindonesiaan’ yang bisa mengembangkan masa depan Islam di nusantara ini. Tentu secara normatif pula masih harus digenapi dengan usaha serius dan komitmen kerja keras untuk mewujudkannya.
‘Keindonesiaan’ yang selalu ‘berproses’
Masih ada catatan kritis yang tertinggal untuk karya buku ini. Menelusuk dalam ‘logika imanen’ premis dasar dalam karya ini terasa masih meninggalkan ‘ruang kosong’ yang belum begitu dalam disentuh oleh Mujiburrahman terutama tentang pendalaman lebih detail tentang dinamika internal dalam entitas nasionalisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip pandangannya belum meninggalkan jauh dari model dan realitas keindonesiaan yang masih dibaca dalam kerangka pandangan “nation state’. Sebuah ikwal tentang cara pandang yang cukup berkembang dalam fase-fase paskakemerdekaan bangsa-bangsa. Jika kita kontekskan dengan realitas sekarang, justru ada spirit berbeda yang dibawa dalam pergerakan dan perkembangan diskursus ‘nasionalisme’. Pertanyaan kritis yang muncul adalah bahwa bukankah ‘nasionalisme’ adalah bagian diskursus politik yang lebih merupa dalam ‘politik identitas’ ketimbang dinamika lebih kongkrit yang sekarang sedang bergulir. Definisi politiknya lebih menggambarkan ‘masyarakat’ yang dibayangkan sebagai mekanisme membangun dasar pijakan keindonesiaan. Tentu sifatnya bisa jadi lebih berdimensi politis ketimbang kultural yang dibayangkan oleh penulis buku ini sejak awal. Jika melihat perubahan keindonesiaan yang begitu pesat dengan laju gerak ‘imperialisme’ pasar yang begitu berpengaruhnya, maka jangan-jangan “keindonesiaan’ yang sedang diperbincangkan menjadi lebih hanya menjadi ‘bayangan’ yang sudah tidak kokoh lagi. Orang bahkan akan cukup kesulitan untuk merumuskan secara lebih detail dan utuh tentang apa yang disebut “nilai keindonesiaan’. Artinya pula, spirit “mengindonesiakan islam” juga menjadi premis yang masih ‘mengapung’ dan masih belum terlalu kokoh dasar pijakannya. Tentu ada satu catatan yang artinya pula perlu ditampilkan. Jika ‘keislaman’ dan ‘keindonesiaan’ adalah ‘entitas diskursif’ yang terus bergerak, maka apapun yang kemudian kita sebut sebagai “mengindonesiakan islam’ bisa jadi adalah gerak sejarah yang terus ‘mencari’ dan tentu tidak terburu untuk disimpulkan sebagai sebuah bentuk dan wajah ‘keislaman’ yang final.
Langganan:
Postingan (Atom)