Media [Baru], Tubuh, dan Ruang Publik
Media [Baru], Tubuh, dan Ruang Publik
Budiawan, (Ed.)
Media [Baru], Tubuh, dan Ruang Publik/Budiawan, Ed
Yogyakarta: Jalasutra
Cetakan I, 2015
xxvi+274 hlm; 15 x 21 cm
ISBN: 978-602-8252-40-9
Dalam
pengertian “kebudayaan” sebagai “praktik penandaan” (atau “praktik
pemaknaan”), terdapat dua hal penting: pertama, setiap “praktik
penandaan” sebenarnya adalah satu bentuk operasi kuasa (exercise of
power), atau sebaliknya, upaya untuk melakukan resistensi; kedua, karena
“praktik penandaan” yang satu senantiasa bertemu dengan
“praktik-praktik penandaan” yang lain, entah pertemuan itu berupa
gesekan, tabrakan, atau negosiasi, maka “budaya” sebenarnya bisa dilihat
sebagai medan pertarungan kuasa.
“Kuasa”
(power) dipahami dalam konteks yang luas, dari yang terlembagakan dan
bersifat makro sampai yang personal, sehari-hari dan mikro, bahkan tak
jarang termanifestasikan dalam hal-hal yang dianggap remeh, sepele, dan
“tidak penting” dalam kehidupan banyak orang. Hal-hal yang disebut
belakangan itulah yang cenderung menjadi pusat perhatian Cultural
Studies.
Esei-esei
yang dihimpun di dalam buku ini berupaya memahami serta menjelaskan
isu-isu yang menjadi fokus perhatian masing-masing sebagai medan
pertarungan kuasa. Pemahaman dan penjelasan itu bersifat kontekstual dan
partikular, karena Cultural Studies memang tidak berpretensi membangun
generalisasi-generalisasi.
Budaya sebagai Medan Pertarungan Kuasa:
Sebuah Pengantar
Budiawan
SETIAP
kali mengawali mata kuliah “Pengantar Cultural Studies”, saya
hampir-hampir tidak bisa menghindar dari perkara semantik frasa
“Cultural Studies”. Hampir selalu ada mahasiswa yang bertanya mengapa
frasa ini tidak diterjemahkan menjadi “Kajian Budaya”. Alih-alih
menyodorkan jawaban, saya balik bertanya: seandainya diterjemahkan
menjadi “Kajian Budaya”, lalu dikembalikan ke dalam bahasa Inggris,
bagaimana bunyinya? Mahasiswa yang paham bahasa Inggris tentu akan
menjawab: “Cultural Studies” dan “Studies of Culture”. Secara semantik
jelas kedua frasa ini memiliki makna yang sama. Tetapi concern kajian
akademik sebagai suatu body of knowledge lebih dari perkara semantik, yakni
soal epistemologi.1 Secara epistemologis Cultural Studies dan Studies
of Culture itu bukan hanya berbeda, tetapi bertolak belakang. Kemunculan
Cultural Studies sebagai suatu body of knowledge yang terlembagakan di
Inggris pada awal 1960-an memang tidak lepas, atau bahkan berangkat dari
tradisi analisis budaya Studies of Culture, tetapi sekaligus juga
menggugatnya.2 Apanya yang digugat?
Boleh
dikatakan hampir setiap buku teks Cultural Studies, entah bagaimana
tingkat kesederhanaan atau kerumitannya, cenderung menempatkan tradisi
analisis budaya (cultural analysis) yang berkembang di Inggris pada
akhir abad 19 dan awal abad ke-20 sebagai tonggak awal dari suatu
trajektori epistemologis yang kelak turut merangsang munculnya Cultural
Studies. Tradisi analisis budaya yang dimaksud adalah
pemikiran-pemikiran pujangga Matthew Arnold (1822 – 1888), yang kelak
dikembangkan serta diterjemahkan secara metodologis oleh suami-istri
Frank Raymond Leavis (1895 – 1978) dan Queenie Leavis (1906 – 1981).
Keduanya adalah kritikus sastra sekaligus esais.
Dalam
tradisi pemikiran itu, “Kebudayaan” (dengan “K”) atau “Culture” (dengan
“C”) – sebagaimana digagas Matthew Arnold dalam Culture and Anarchy 3 –
dimengerti sebagai “upaya mencari kesempurnaan secara penuh dengan cara
mengetahui atas semua perkara yang paling terkait dengan kita, yakni
hal terbaik yang telah dipikirkan dan dikatakan di dunia ini” (a pursuit
of our total perfection by means of getting to know, on all matters
which most concern us, the best which has been thought and said in the
world). Dalam definisi dengan perspektif idealis ini, “Kebudayaan”
menjadi sesuatu yang normatif, sekaligus tolok ukur atau standar untuk
menentukan apakah suatu ekspresi gagasan itu layak disebut “Kebudayaan”
atau tidak. Persis pada poin inilah para sarjana pasca-“Culture and
Civilization Tradition”4 seperti Richard Hoggart (1918 – 2014), E.P.
Thompson (1924 – 1993), dan Raymond Williams (1921 – 1988) melancarkan
gugatan, kendati mereka – terutama Hoggart – banyak berhutang ide
terhadap tradisi tersebut. Dalam pandangan ketiga pemikir ini, definisi
“Kebudayaan” Arnoldian itu selain elitis sekaligus juga menciptakan
oposisi biner tentang culture. Definisi “…segala hal terbaik yang pernah
dipikirkan dan dilakukan…”, mengandung dua perkara serius: pertama,
siapa dan atas dasar apa suatu gagasan itu bisa dikatakan “terbaik”?;
kedua, lalu, bagaimana dengan hal-hal yang “bukan yang terbaik”?,
dicampakkan, dianggap tidak pernah ada?
Poin
pokok dari gugatan itu adalah bahwa definisi Arnoldian tentang
“Culture” itu sangat politis: bahwa definisi itu selain sangat bias
kelas elit (baca: kaum aristokrat), sekaligus juga menyingkirkan segala
ekspresi gagasan yang dianggap “bukan yang terbaik”. Definisi tersebut
menciptakan oposisi biner “budaya tinggi”/”budaya rendah”, “budaya
adiluhung”/”budaya massa”. Yang disebut terdahululah yang layak disebut
“peradaban”, sedemikian rupa sehingga dalam percakapan sehari-hari
berkembang pengertian “berbudaya” = “beradab”; sedangkan yang disebut
belakangan itu “bukan peradaban”, “kasar”, “kampungan”, “anarki”,
“dekaden”, dsb. Dalam pandangan Arnoldian, yang disebut terdahululah
yang layak dikaji dan diapresiasi, tidak lain guna mempertahankan unsur
terbaik serta standar yang baik dalam kebudayaan, sembari mencemooh
–jika bukan menghujat – budaya-budaya di luarnya, yang dianggap
merupakan unsur terburuk dalam kebudayaan.5
Argumentasi
serupa namun dari sudut pandang berbeda dilontarkan Theodore Adorno dan
Max Horkheimer, atau yang lazim disebut Mazhab Frankfurt. Jika dalam
pandangan Arnoldian “budaya rendah” itu layak dicampakkan karena tidak
menunjang “upaya penyempurnaan hidup”, dua pemikir mazhab Frankfurt ini,
terutama Adorno – yang memperkenalkan konsep “culture industry” –
memandang budaya industrial sebagai satu bentuk budaya massa (mass
culture) yang telah membius kesadaran politis kelas pekerja. Pandangan
ini kerap digarisbawahi sebagai kritik ideologis terhadap kapitalisme
industrial. Memang secara empiris kritik ini ada, jika bukan banyak,
benarnya. Akan tetapi, pandangan ini mengandung asumsi bahwa masyarakat
sebagai konsumen ‘budaya massa’ itu merupakan agen pasif, seakan-akan
tidak mempunyai ruang otonom untuk melakukan pemaknaan atas
praktik-praktik konsumsi itu secara berbeda, yang bahkan mungkin bisa
bersifat subversif. Persis di bagian inilah para pemikir yang kemudian
menjadi perintis Cultural Studies, mulai dari Richard Hoggart hingga
Stuart Hall, meletakkan suatu pandangan secara berbeda: bahwa konsumen,
atau audiens media atau masyarakat pada umumnya itu bukanlah agen yang
(sepenuhnya) pasif, melainkan, sekecil apapun, aktif mengonstruksi makna
atas praktik-praktik konsumsi yang mereka lakukan; dan melalui
praktik-praktik pemaknaan itulah resistensi dan/atau negosiasi terhadap
kuasa-kuasa yang dominan antara lain terwujud. Ini bukan berarti bahwa
setiap praktik pemaknaan adalah resistensi. Bisa saja ia justeru
reproduksi kuasa-kuasa yang dominan. Akan tetapi, potensi resistensi itu
tidak bisa dinafikan begitu saja.Inilah poin penting awal yang
membedakan Cultural Studies dari tradisi-tradisi analisis budaya
sebelumnya.
Praktik
pemaknaan atau praktik penandaan (signifying practice) inilah yang
kemudian mereka tawarkan sebagai pengertian konsep “culture” (dengan
“c”) atau “budaya” (dengan “b”); dan setiap bentuk praktik penandaan
memiliki hak yang sama untuk diapresiasi, dalam
arti dikaji secara akademik dari sudut pandang para aktor
praktik-praktik penandaan itu sendiri. Ini berarti binarisme “budaya
tinggi”/”budaya rendah” (Arnoldian dan Leavisite), dan “budaya
otentik”/”budaya massa [atau pop]” (mazhab Frankfurt) pun menjadi goyah, jika bukan tidak relevan.
Dari
pengertian “kebudayaan” sebagai “praktik penandaan” (atau “praktik
pemaknaan”) itu dua hal penting mencuat di situ: pertama, setiap
“praktik penandaan” sebenarnya adalah satu bentuk operasi kuasa
(exercise of power), entah itu upaya untuk mendominasi, atau reproduksi
dari dominasi itu, atau sebaliknya, upaya untuk melakukan resistensi;
kedua, karena “praktik penandaan” yang satu senantiasa bertemu dengan
“praktik-praktik penandaan” yang lain, entah pertemuan itu berupa
gesekan, tabrakan, atau negosiasi, maka “budaya” sebenarnya bisa dilihat
sebagai medan pertarungan kuasa. Persis inilah apa yang kemudian
diklaim sebagai “paradigma” Cultural Studies menampakkan sosoknya, yang
jelas bertolak belakang dengan Studies of Culture. Sebab, yang
belakangan disebut ini abai atau tidak sensitif dengan perkara tarik
ulur kuasa (politically ignorance). Perlu ditambahkan bahwa “kuasa”
(power) di sini dipahami dalam konteks yang luas, dari yang
terlembagakan dan bersifat makro sampai yang personal, sehari-hari dan
mikro,bahkan tak jarang termanifestasikan dalam hal-hal yang dianggap
remeh, sepele, dan “tidak penting” dalam kehidupan banyak orang. Hal-hal
yang disebut belakangan itulah yang cenderung menjadi pusat perhatian
Cultural Studies – hal-hal yang oleh dunia ilmuilmu sosial dan humaniora
arus utama telah dicampakkan ke dalam keranjang sampah akademik.
Adakah, misalnya, ilmu politik secara spesifik membahas warung-warung
kopi sebagai ruang publik “demokratisasi” kehidupan masyarakat urban?,
dan seterusnya.
Berpijak
pada landasan epistemologis Cultural Studies sebagaimana dipaparkan di
atas, esei-esei yang dihimpun di dalam buku ini berupaya memahami serta
menjelaskan isu-isu yang menjadi fokus perhatian masing-masing sebagai
medan pertarungan kuasa. Pemahaman dan penjelasan itu bersifat
kontekstual dan partikular, karena Cultural Studies memang tidak
berpretensi membangun generalisasi-generalisasi. Mungkin karena itulah
Cultural Studies diragukan keabsahannya sebagai ilmu (science). Akan
tetapi bukankah sejak awal kemunculannya Cultural Studies tidak pernah
mengklaim sebagai ilmu?
*
Daftar isi
Budaya sebagai Medan Pertarungan Kuasa: Sebuah Pengantar
Budiawan ...V
1. Transaksi Seks di Era Media Baru
Dian Arymami ... 1
2. Bernafas dalam Hollywood: Seks dalam Film-film Indonesia Bergenre Horror Pasca-1998
Fajar Junaedi ... 39
3. Salonisasi Tubuh Anak Muda
Ardhie Raditya ... 65
4. Male Gaze dalam Komik Wadam: Konstruksi Waria dalam Dunia Komik Awal Orde Baru
Maimunah ... 83
5. Tradisi Wuxia dan Konstruksi Nasionalisme ke-“Cina”-an dalam Film-film Hongkong
Edwi Arief Sosiawan ... 107
6. Sepakbola Digital dan Dunia yang Hypereal
Ardian Indro Yuwono ... 131
7. Midnight Culture: Ketika Kaum Muda Urban Memperlakukan Malam sebagai Siang
Bambang Sukma Wijaya ... 165
8. Redupnya Lagu Anak dan Subjek yang “Tergelincir”
St. Tri Guntur Narwaya ... 201
9. Warung-warung Kopi di Makassar sebagai Ruang Publik (Politis) Kontemporer
Andi Faisal ... 235
Tentang Editor dan Para Penulis .. 267