Senin, 23 Agustus 2010

Mengevaluasi Jerat ‘Pragmatisme’ dalam Nalar Standarisasi Pendidikan

Mengevaluasi Jerat ‘Pragmatisme’ dalam
Nalar Standarisasi Pendidikan


Oleh : St Tri Guntur Narwaya, S.Sos, M.Si


“Pengetahuan tidak bersifat ‘netral’,
dan kurikulum merupakan wilayah pertarungan ideologi,
di mana kelompok penguasa memelihara kekuasaannya
melalui kurikulum.”
(Keith Morrison)




Utopia Standarisasi : Sebuah Pendahuluan

Hiruk pikuk atas gagasan ‘Sekolah Berstandar Internasional’ telah begitu meramaikan diskursus tentang perkembangan pendidikan Indonesia saat ini. Begitu banyak pelaku pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi sibuk terpesona dengan ide gagasan tersebut. Tentu tidak terkecuali penentu kebijakan pusat maupun daerah yang juga terlibat dalam keramaian itu. Namun juga tidak menutup diri bahwa masih banyak catatan kritik terhadap gagasan ini. Peningkaan mutu pendidikan dan pembangunan pendidikan yang kompetitif secara internasional menjadi dalih dan alasan terbesar. Tidak sedikit masyarakat begitu sangat antusias, percaya dan berharap ‘label’ ini mampu memberikan perubahan kemajuan pada mutu pendidikan nasional. Polemik diskursus ini hampir serupa dengan apa yang pernah dialamai sebelumnya tentang penetapan ‘Sekolah Berstandar Nasional”(1). Setidaknya, perbincangan tentang pendidikan hari-hari ini tidak jauh dari penetapan kebijakan tersebut.
Setidaknya pula, sejak SK Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah No 14/C/Kep/LN/2000 diterbitkan, kebijakan dan pembentukan SBI mulai berjalan dengan dinamika sampai saat ini. Setelahnya dilahirkanlah beberapa peraturan kebijakan yang membingkai gagasan SBI seperti : UU SPN 20/2003, PP No 19 Th. 2005, PP. No 48 Th. 2008, PP. No. 17 Th. 2010, Permendiknas No. 78 Th. 2009.
Beberapa produk kebijakan lain yang berupa Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Permendiknas, Rencana Strategis Pendidikan Nasional telah secara eksplisit membicarakan hal ini. Poin besarnya adalah bahwa pemerintah dalam hal ni baik pusat dan daerah berkepentingan dan berkewajiban untuk membangun peningkatan mutu pendidikan dengan salah satu upaya menciptakan suatu bentuk sekolah yang menerapkan sistem standarisasi internasional. Melalai kerjasama pemerintah pusat dan daerah membentuk sekurang-kurangnya satu sekolah dalam masing-masing jenjang pendidikan. Diketahui bahwa pengucuran bantuan untuk meujudkan sekolah bertaraf internasional ini membutuhkan dana yang terbilang besar. Hars dimengerti pula bahwa dana ini mengucur dari beberapa lembaga internasional termasuk di dalamnya World Bank.
Dalam rumusan kebijakan tentang SBI yang sempat dikeluarkan oleh Depdiknas, menyebutkan pengertian mendasar yang ada dalam karakteristik pendidikan berstandar internasional adalah bahw ‘Pendidkan bertaraf internasional’ adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju (2). Satuan pendidikan bertaraf internasonal adalah pendidikan yang telah memenuhi Standar Pendidikan Nasional dan diperkaya dengan standar pendidikan maju. Ada sedikitnya beberapa pertimbangan dasar yang dirumuskan oleh pemerintah atas kebijakan ini. Pertama, Meningkatkan daya saing dan lulusan di tingkat regional dan internasional; Kedua, sebagai antisipasi peningkatan migrasi tenaga kerja internasional.; Ketiga, meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar Kerja Internasional; Keempat, mempertahankan peluang kerja tenaga kerja Indonesia di pasar kerja nasional yang dibentuk oleh Perusahaan Asing di Indonesia (3).
Tidak mudah bagi sekolah untuk mencapai standar dan label internasional tersebut karena harus melalui tahapan, kriteria, standarisasi dan evaluasi penilaian yang ketat dan berbelit (4). Ada beberapa karakteristik tertentu yang harus dilalui seperti karakteristik keluaran, program, proses belajar mengajar, pendidik, kepala sekolah, sarana prasarana, dan pengelolaan pendidikan. Kesemuanya sejatinya mengacu banyak pada tuntutan standarisasi internasional yang sudah harus diberlakukan ketika sebuah negara terlibat dan masuk dalam sistem pasar terbuka pada sektor pendidikan. Sejatinya proyek gagasan SBI tidak lahir seutuhnya dari ide pemerintah atau bahkan masyarakat, tetapi berkat intervensi dan campur tangan korporasi-korporasi besar internasional dan negara-negara maju.
Dengan begitu besarnya janji prestise yang akan terberikan, tak ayal lagi begitu banyak pihak sekolah berbondong-bondong dengan berbagai upaya untk bisa mendapatkan standar tersebut. Di beberapa kasus aura ‘pragmatisme’ terlihat kental dengan banyaknya sekolah yang kadang mengabaikan pilar dasar visi dan orientasi pendidikan yang sebenarnya dengan begitu histerianya untuk mencapai standarisasi tersebut. Tidak seluruhnya kita bisa menyalahkan sekolah. Ada kerangka dasar orientasi kebijakan dan paradigma pendidikan yang perlu dibaca kembali sebagai permenungan. Tidak sedikit kasus di Indonesia memberikan fakta berbalikan dengan utopia dan harapan besar tersebut. Capaian besar yang ingin dicari bukanklah ‘mutu pendidikan’ seperti yang didengungkan tetapi ‘label’ yang mengandung nilai prestisius sebuah pendidikan yang punyai nilai mutu internasional. Akhirnya peningkatan mutu pendidikan banyak berhenti pada perbincangan ‘prosedural pendidikan’ yang kadang lebih bersifat ‘formal procedural’ ketimbang ‘substansial’ yang ingin diangkat. Tidak salah jika kita sementara bisa menyebut sebagai fenomena gejala ‘disorientasi pendidikan’. Mengapa bisa demikian?



Dekonstruksi dan Rekonstruksi Cara Pandang

Sejenak kita tidak boleh terlalu berlarut untuk begitu saja terpesona dengan gambaran ‘label’ internasional tersebut. Merefleksikan sebentar lebih tajam tentang dunia perkembangan pendidikan dengan ‘gugus nalar’ yang lebih luas amatlah penting. Pertama, menjadi tugas kita bersama untuk mengkoreksi beberapa kecenderungan nalar pendidikan yang mulai bergeser dari pijakan kepentingan pendidikan sesungguhnya. Kedua, untuk membuka nalar gagasan yang lebih terbuka atas berbagai implikasi dan konsekuens’ tak terhindarkan dari kecenderungan ‘euforia’ ini. Ketiga, bisa menemukan relasi mata rantai dan akar masalah dari setiap problem pendidikan yang berkembang saat ini. Dengan demikian tidak menjadi menutup diri dengan berbagai variabel pengaruh yang lain. Keempat, mampu untuk membangun terobosan-terobosan penting dalam mengawal dunia pendidkan dengan tidak begitu saja hanyut dalam arus besar diskursus yang sebelumnya kadang kala tidak difahami dengan tuntas.
Sejatinya tidak cukup untuk meletakan perbincangan hanya pada sekat dan kotak kecil yang bernama ’gagasan Sekolah Berstandar Internasional”. Kecuali akan menjebak pada diskusi yang sifatnya teknis, ia seringali melupakan dasar pijak perspektif (cara pandang) yang lebih luas yakni ‘pengembangan dunia pendidikan’. Problem dan polemik SBI hanyalah sebagian dari cermin penting dari apa yang bisa menggambarkan orientasi mendasar yang sedang dibangun pemerintah saat ini mengenai pendidikan. Ia sekaligus menggambarkan cara pandang, perspektif dan ideologi yang dominan saat ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa nalar gagasan ‘standarisasi pendidikan’ terbangun bermula dari adanya nalar pengembangan pendidikan yang lebih berperpektif neoliberal. Sebagai ideologi dan cara pandang, ‘neoliberalisme’ saat ini menjadi cara pandang yang dominan dan berpengaruh mengkonstruksi seluruh jiwa dari kebijakan dunia pendidikan. Sektor pendidikan saat ini adalah salah satu lahan sangat subur dan empuk menjadi komoditas penting untuk pengejaran akumulas kapital (keuntungan ekonomi). Seperti modal yang lain, sektor pendidikan tak ubahnya komoditas paling strategis untuk pengembangan keuntungan bisnis. Tidak jarang maka kita akan mengenal berbagai polemik tentang problem komoditisasi dunia pendidikan yang dicirikan dengan berbagai bentuk deregulasi, privatisasi, debirokratisasi kebijakan sektor pendidikan. Polemik tentang semakin mahalnya biaya pendidikan, sampai isu-isu dikriminasi pendidikan hanyalah sebagian dari perca-perca persoalan tersebut.
Sejak ditetapkan sebagai kesepakatan internasional di World Trade Organization (WTO) dan menjadi agenda penting International Monetery Fund (IMF), menjadikan pendidikan sebagai ‘komoditas’ atau ‘modal’ yang dapat diperjualbelikan (bisnis). Sebagai anggota yang ikut meratifikas berbagai aturan di WTO, maka Indonesia wajib mematuhi berbagai klausul yang terbentuk di lembaga ini termasuk kebijakan sektor pendidikan. Perpres RI No.76 dan Perpres RI No. 77 Tahun 2007 secara gamblang memberi gambaran atas telah terterapkannya mazhab pandangan ini. Melalui peraturan tersebut, ‘pendidikan merupakan sektor yang terbuka untuk penenaman modal asing sampai dengan 49 %. Bukti bahwa pintu ‘intervensi asing’ dalam dunia pendidikan mulai dan sudah berjalan. Secara kongkrit melalui General Agreement on Trade in Services (GATS), pendidikan terkatagorikan sebaga kapital yang bisa menjadi modal penting dalam transaksi perdagangan (5).
Catatan kritis yang pernah dituliskan oleh Francis Wahono dalam buku “Kapitalisme Pendidikan” yang menyoroti soal kecenderungan komoditisasi pendidikan, amat berguna untuk disimak (6)


“Bagi kapitalisme liberal, seperti penguasa lintas negara, maupun ‘kapitalis feodalis’, seperti pengusaha-pengusaha, gerak ekonomi digunakan untuk pelebaran dan penguasaan pasaruntuk ‘akumulasi kapital’ lebih banyak lagi. Arah pendidikan dibuat sedemikian rupa sehingga pendidikan menjadi pabrik tenaga kerja yang cocok untuk tujuan ekonomi kapitalis tersebut”


Bersinambung dengan penerapan paradigma neoliberal, maka berkonsekuensi bahwa ‘subyej peserta didik’ dianggap sebagai ‘modal manusia’ yang ujung akhirnya akan dinilai apakah ia bisa berkontribusin pada roda industrialisasi atau tidak. Produk kelulusan sekolah adalah ‘human capital’ yang dipersiapkan sebatas sebagai pasukan tenaga kerja yang siap dipakai dalam dunia industri. Nalar paradigma ini terlihat secara jelas dalam logika besar yang dibangun hari-hari ini dengan adalanya kebijakan ‘standarisasi’ pendidikan. Simak saja dalam rumusan besar mengenai kepentingan dari penerapan SBI yang memakai katagori-katagori dan kriteria-kriteria yang harus dicocokan dengan standar dunia internasional (7), termasuk pertimbangan ‘kompetisi’ (8) sebagai jawaban dari upaya mengejar daya saing.
Jika sedikit kita mengambil titik refleksi, maka tentu kecenderungan orientasi besar ini akan memancing nalar yang lain yakni nalar pragmatisme, yakni upaya mengejar segala kepentingan dengan cara apapun walalupun pada beberapa hal itu bertentangan dengan prinsip dasar nilai yang lebih besar. Contoh sederhananya adalah ketika ‘manusia didik’ bisa disejajarkan dengan ‘kapital’ maka dengan sendirinya sudah menghilanglah nilai penghargaan atas ‘kemanusiaan’ yang menjadi orientasi dasar sebenarnya. Contoh lain, jika nalar pengutamaan untuk mengejar label internasional tersebut mengabakan prinsip dasar keutamaan dalam membangun pilar pendidikan yang adil, maka akan terjadi iklim kompetisi yang tidak sehat dengan berbagai cara yang sebenarnya akan banyak merugikan pendidikan sendiri. Yang hadir alih-alih peningkatan mutu yang merata dan adil bagi manusia Indonesia seluruhnya, justru yang akan berkembang adalah meluasnya wajah diskriminasi dan ketimpangan sosial terutama untuk akses kesempatan mendapat pendidikan (9).


Pragmatisme Modal dan Korporatokrasi Dunia Pendidikan

Sejak indonesia mencanangkan pembukaan pasar dengan ruang kebijakan liberal, maka sejarah mengalirnya berbagai kepentingan modal yang menyentuh pendidikan mulai dirasakan. Modal-modal asing masuk bersamaan dengan masuknya berbagai ilmu kepentingan barat. Hampir bertahun-tahun wacana yang dikonstruksi oleh proyek pendidikan telah memperoleh status kebenaran dan secara efektif membentuk sekaligus memaksa suatu cara agar kepentingan-kepentingan pasar berbicara dan bertindak terhadap dunia ketiga. Maka sejak lama pula proyek-proyek pendidikan didesain oleh para perancang dan penggagasnya sebagai sebagai proyek yang seakan-akan ’netral’ dan ’bebas nilai’ (10) yang lebih didorong oleh semangat humanisme. Narasi pendidikan kemudian selalu menghindari analisis yang bersifat ’politis’ dan ’ideologis’ Pembahasan tentang tema-tema pendidikan dalam banyak hal kemudian dipisahkan dari lingkungan ’produksi sosialnya’ dan dijauhkan dari aspek ’relasi kuasa’
Sejak ’neoliberalisme’ diangkat sebagai ’mantra suci’ bagi pembangunan pendidikan saat ini, maka pasar telah menciptakan komoditas baru yang disebut ’pendidikan’. Pertimbangan itu mempengaruhi kepentingan pasar melalui negara-negara maju untuk memaksakan agenda-agenda penting dalam ’komersialisasi’ sektor ilmu pengetahuan ini. Pendidikan kemudian menjadikan jembatan bagi masuknya ide-ide dan gagasan bagi kepentingan neoliberal. Tidak heran jika kepentingan pasar saat ini telah berhasil memasukkan ’klausul pendidikan’ sebagai salah satu sektor jasa yang bisa dijual dan diperdsgangkan.
Problem sekolah mahal, problem kurikulum dan menjamurnya kebijakan privatisasi pendidikan, dan gagasan polemik standarisasi pendidikan sangat terkait dengan bagaimana perubahan pada tingkatan makro ini terjadi. Sebagai mana kedigdayaan ’neoliberalisme’ yang telah mampu memaksa semua negara untuk membuka pasar dan mencabut semua subsidi yang penting bagi masyarakat. Pasar selalu menjanjikan bahwa dalam situasi ’pasar terbuka’ maka kompetisi dapat berjalan dan selanjutnya membuka tingkat pertumbuhan dan kemjuan masyarakat secara lebih sehat. Inilah mitos yang selalu dibangun. Mungkin ’kompetisi’ menjadi sangat menyenangkan bagi kekuatan-kekuatan negara dengan tingkat modal raksasa yang dimilikinya dan tentu sangat menyakitkan bagi negeri-negeri miskin yang selalu tergantung seperti Indonesia.
Dari akar masalah ini tentu amat urgen untuk merekonstruksi berbagai pendalilan dan kerangka nalar yang salah atas berbagai teks pendidikan. Bisa jadi bukan hanya pada implementasi yang bermasalah, tetapi pijakan perspektif awal yang harus mendapat perhatian. Secara normatif sebenarnya terlihat tak ada persoalan dengan teks rujukan UUD 45 mengenai pendidikan (11) Tetapi celah kosong yang tertinggal adalah ketiadaan kesatuan paradigma yang masih sering membawa catatan masalah. Interpretasi atas teks UUD sering mudah diselewengkan karena nalar yang dominan (yang berkuasa) memang belum berkehendak serius untuk mencderivasinya dalam tingkat praksis yang memang berorientas pada keadilan sosial.
Problem pendidikan di daerah akhirnya juga terpengaruh karena ia menjadi entitas yang juga terkena dampak, mengingat perubahan-perubahan dalam tingkatan global memaksa daerah sekaligus telah menjadi ruang sekaligus aktor dalam percaturan politik ekonomi internasional. Bagi kepentingan modal, daerah adalah peluang. Iklim pasar membutuhkan berbagai kebijakan daerah yang harus merespon secara positif. Desentralisasi merupakan jargon dan narasi yang dianggap menjanjikan bagi kepentingan daerah. Inilah titik masalah yang perlu kita kaji dan kita angkat berkait dengan harapan desentralisasi yang juga nerambah pada sektor kebijakan pendidikan.
Dalam sistem ekonomi politik yang masih timpang, harapan pada kemajuan pendidikan yang juga berdampak pada pembangunan daerah kerap terjebak pada logika-logika ekonomis praktis. Pertumbuhan pembangunan daerah tetap masih akrab dengan roh perspektif ’develommantelisme’. Kemajuan pendidikan menjadi sarat dengan hitungan-hitungan angka ekonomis yang meletakkan ’kebijakan pendidikan’ bak entitas mesin penghasil keuntungan. Inilah ironi pasar yang saat ini Indonesia hadapi. Tanpa disadari Indonesia akan memasuki babak besar terjadinya ’korporatokrasi dunia pendidikan’. Karaktersitik awalnya ketika investasi modal dan kepentingan pragmatisme pasar menjadi orientasi dasarnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa siapa yang mempunyai akses dan jaringan modal besar, dialah yang bisa memenuhi tuntutan logika pasar tersebut.



Pembenahan Ekonomi Politik :
Menuju Pendidikan Berkeadilan Sosial

Tentu sangat naif jika penyelesaian polemik standarisasi ini hanya diselesaikan pada ranah ’kebijakan pendidikan’ semata. Ia akan menyertakan berbagai mata rantai. Pilar ekonomi politik bangsa perlu kembali ditinjau ulang. AQkan sangat mustahil kita bisa membaca ulang dan membenahi hal ini semua tanpa menyentuh bagaimana kebijakan ’ekonomi politik’ ini dibangun. Jika saja bangunan besar ekonomi politik mengarah pada kecenderungan pasar maka tentu saja bidang-bidang yang lain akan mengikutinya. Bagi saya tawaran besarnya adalah merubah dan mendekonstruksi kembali pilihan paradigma ekonomi politik tersebut. Memang bukan perkara mudah karena kita akan berhadapan dengan konfrontasi bangunan kuasa yang lebih besar.
Bagus jika kita tidak mengulangi apa yang menjadi kesalahan sejarah kolonialisasi pada masa lalu. Apa yang menjadi karakter pendidikan Indonesia yang berpotens menjadi penghambat nalar ’kolonialisasi’ akan dihambat dan dilarang. Kaum kolonial tentu tahu bahwa pendidikan adalah sektor aparatus hegemonik yang strategis untuk menjadi sarana ’ideologisasi’ dan ’propaganda’ kepentingan-kepentingan penjajah. Saat ini situasi tentu belum jauh berbeda. Hanya warna dan bentuknya telah bermetamorfosis demikian rupa. Negara-negara maju tentu amat berkepentingan untuk membawa nilai, budaya dan pengaruh politik ekonomi pada negara-negara yang lebih lemah dan tergantung. Sarana yang tidak bisa dilupakan adalah pendidikan. Politik etis baru telah disusun sedemikian rupa. Masyarakat Indonesia perlahan dididik dalam kerangka paradigma barat tersebut. Pola standarisasi internasional hanyalah salah satu dari modus besarnya. Masyarakat Indonesia diam-diam diminta melahap standar-standar pengetahuan yang disusun sedemikian rupa. Bisa akan ditebak, bukan pendidikan Indonesia yang akan menjadi kuat dan pemenang tetapi negara-negara majulah yang akan menikmati hasl jangka panjangnya.
Langkah serius dan mendesak yang harus dilakukan adalah, pertama-tama tentu adalah mengkaji dan merumuskan kembali secara mendalam persoalan mendasar ’bangunan ideologi’ pendidikan terutama untuk menghindari dasar orientasi yang selalu menghamba pada kepentingan laba. Di titik ini, strukur kepentingan pendidikan selalu akan menyentuh pada mata rantai struktur ekonomi politik yang lebih besar. Dalam catatan sejarah, pendidikan adalah bagian sektor yang selalu menjadi tarik-menarik untuk diperebutkan. Apa yang menjadi gagasan Louis Althusser barangkali menjadi benar bahwa pendidikan mampu menjadi ’mesin aparatus ideologis’ yang paling efektif untuk membangun berbagai narasi pengetahuan yang mendukung formasi sosial yang dibangun oleh kekuasaan. Tinggal yang terpenting bagi kita saat ini adalah ’formasi hubungan sosial’ apa yang saat ini akan Indoneisia rumuskan untuk membangun model-model pendidikan yang tepat bagi masyarakat.
Sekali lagi, tulisan ini memang tidak bermaksud berdiskusi pada ranah problem-problem teknis, tetapi menyentuh perbincangan soal ’narasi besar’ yang merupakan prinsip dan dasar pijakan penting bagaimana seharusnya pendidikan diarahkan. Dalam jangka panjang, di titik perdebatan perpektif dan ideologi inilah sejatinya pengembangan dunia pendidikan bisa disusun ulang lebih baik. Sepantasnya pendidikan tidak berbicara manusia hanya dilihat sebagai kapital tetapi meletakkanya sebagai subjek manusia yang harus dihargai sepenuhnya melebihi apapun. Jika demikian, maka cita-cita pendidikan yang bisa membawa jalan keadilan sosial tentu tidak akan teramat sulit diwujudkan Selamat berdiskusi!!!


***


Catatan Kaki :

(1) Ada sedikitnya 8 kriteria standar yakni : standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

(2) Secara eksplisit dalam kebijakan tentang SBI, telah mewajibkan untuk masing masing ‘sekolah berstandar internasional’ untuk menjalin kerjasama (sister school) dan mengacu standar pendidikannya pada negara-negara maju yang sudah tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Sarat ini juga diberlakukan juga pada pemberlakukan ‘sertifikasi’ tentang ‘akreditasi’ yang harus merujuk pada beberapa negara maju yang sudah tergabung dalam OECD atau negara maju yang tidak tergabung tetapi mempunyai keunggulan tertentu.

(3) Lihat, PP. No 17 Th. 2010 tentang” Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan”.

(4) Dalam karakteristik pengelolaan harus bisa ditunjukan dengan beberapa sertifikasi internasional seperti ISO 9001 : 2000 atau sesudahnya dan ISO 14000 sekaligus menjalin kerjasama dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri.

(5) Lihat, Darmaningtyas, dkk, Tirani Kapital dalam Pendidikan, Penerbit Pustaka Yashiba dan Damar Press, Jakarta, 2009, hal.30.

(6) Lihat, Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan : Antara Kompetisi dan Keadilan, Penerbit Insist Press bekerja sama dengan Cindelaras dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 6.

(7) Lihat pada tujuan besar dari ‘Sekolah Berstandar Internasional” yang mempunyai kepentingan untuk ‘peningkatan produk lulusan yang berkontribusi pada daya saing pasar kerja baik nasional maupun internasional.’

(8) Ibid, Francis Wahono, hal. 90. Paradigma ‘kompetisi’ mengimplikasikan satu cara pandang yang sangat ‘kapitalis liberalis’ Pendekatan ini menempatkan pendidikan sebagai sumber berjalannya produksi kapital dan manusia didik disejajarkan dengan ‘modal kapital’. Pendekatan ini juga sangat cenderung untuk menghitung kentungan pendidikan dari segi ongkos investasi uang dan hasil upah gaji ketika diterima dala pasar kerja.

(9) ‘Diskriminasi’ dan ‘ketimpangan sosial’ yang makin meluas ini ditampakan dengan makin besarnya biaya pendidikan yang harus diberikan pada sekolah berstandar internasional dan akhirnya hanya banyak memberi kesempatan yang lebih luas pada kelompok-kelompok sosial yang mampu atau kaya. Beberapa fakta mencatat bahwa biaya untuk masuk pada kelas sekolah berstandar internasional adalah hampir 20an juta lebih dan itu belum uang pengeluaran rutin. bulanan yang lain. Lihat, Darmaningstyas, op.cit, hal. 189-190.

(10) Mitos bebas nilai mengasumsikan bahwa pengetahuan adalah entitas ‘netral’ yang tidak mempunyai relasi atau keterkaitan dengan nilai-nilai apapun. Mitos ini juga menyebut bahwa untuk membangun dan menciptakan pengetahuan yang benar maka harus tidak tercemari dengan ‘nilai’, ‘keyakinan’ atau ‘kepentingan ideologin’ apapun. Pengetahuan adalah ‘objektif’ di luar itu adalah ‘nonsense’. Lihat, Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi :Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Habermas, Penerbit Buku Baik, Yogyakarta, 2005, hal. 10.

(11) Pasal 28C ayat 1 UUD 45 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup umat manusia”.

Jumat, 06 Agustus 2010

Riset Tantangan HAM dan Polmas di Wilayah Polda Kalimantan Timur

Tantangan Polmas dan HAM : Di Tengah
Ketegangan Relasi Modal, Masyarakat dan
Rekonfigurasi Bisnis Keamanan

(Riset Kualitatif Dinamika Kerja Perwira Remaja Lulusan Akpol
dalam Tantangan Polmas dan HAM
di Wilayah Polda Kalimantan Timur)


Oleh : ST. Tri Guntur Narwaya, M.Si
(Peneliti Pusham UII)





“Kalimantan Timur sebagai daerah penghasil
tambang batubara terbesar,
sangat riskan terjadi sengketa yang berkaitan HAM”
(Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM)




Pendahuluan

Sebagai bagian institusi negara yang diberi mandat besar untuk menyentuh tanggungjawab besar keamanan, institusi kepolisian akan selalu berhadapan dengan tantangan yang semakin berkembang. Tantangan ini terutama karena problem sosial kini berkembang semakin komplek dan tidak mudah jika hanya dihadapi dengan kacamata sederhana. Perjalanan dan dinamika masyarakat kian waktu berjalan cukup cepat. Institusi kepolisian mau tidak mau berhadapan dengan cepatnya dinamika perubahan tersebut. Sewajarnya pula institusi kepolisian turut bersentuhan, terlibat dan mencebur dalam tiap problem keamanan yang muncul. Selanjutnya apa yang menarik dicermati adalah bagaimana kemampuan kepolisian untuk menjawab dan menangkap setiap tantangan yang muncul. Penting pula untu melihat bagaimana strategi kepolisian membangun model dan pola keamanan yang lebih bermanfaat bagi perubahan.

Cepatnya perubahan memaksa dan menggiring lahirnya bentuk-bentuk baru ketidakamanan, terutama bagi masyarakat yang ada dalam posisi rentan. Banyak perspektif penanganan tradisional telah kewalahan untuk menjamah problem tersebut. Tidak hanya karena sering ketinggalan, tetapi penanganan keamanan yang hanya berorientasi pada titik tekan keamanan an sich sering kali terbukti gagal membaca dan menangkap problem-problem kontenporer yang lahir dari masyarakat modern yang semakin bergerak maju. Proyeksi keamanan dengan nalar kepatuhan, koersi dan disiplin mati hanya akan memberi peluang pada tumbuhnya lingkaran persoalan baru. Proyeksi keamanan yang hanya beroreintasi pada pemihakan keuntungan kelompok-kelompok dominan tertentu juga menjadi celah kelemahan tersebut. Persoalan keamanan mengandung dimensi variabel yang maha luas. Serangkaian mata rantainya harus secara holistik tersentuh jika tidak ingin celah ketidakamanan hadir dalam rupa-rupa yang berbeda.

Jika saja perspektif baru penanganan keamanan tidak mampu menyentuh gugus mendasar struktural dan kultural yang lebih luas akan justru menyisakan banyak celah masalah. Jika ia hanya meletakan pada gugus yang terbatas dan hanya melemparkannya pada tanggungjawab otonom masyarakat, maka alih-alih otoritas keamanan mampu untuk meresponnya dengan bijak, justru persoalan keamanan akan membiak menjadi ‘banalitas-banalitas kekerasan’ yang subur di masyarakat termasuk didalamnya adalah kultur ‘kambing hitam’1. Problem keamanan tidak ubahnya hanya difahami sebagai residu atau bentuk penyimpangan semata. Relasi antar mata rantai sruktural ini sering kali gagal dimengerti sebagai bagian utuh tak terpisahkan. Mengabaikan diantara dimensi yang lain sering memberi celah dan ruang munculkan kegagalan untuk menangka jantung problem masyarakat.

Akibat terparah dari problem keamanan ‘berdimensi struktural’ yang tidak tertangani, tidak sekedar menunjukan dampak kuantitatif yang membesar seperti jumlah korban dan kerusakan-kerusakan fisik lainnya, tetapi justru memperlihatkan wajah sistem yang berpeluang melanggengkan “reproduksi kekerasan” dan pada dimensi yang lebih besar telah menciptakan ‘pasar atau komoditi kekerasan” 2 yang merebak di masyarakat. Komodifikasi keamanan juga secara sengaja banyak mengajarkan berbagai tindakan-tindakan di luar kontrol yang menyulut radikalitas kekerasan sosial berikutnya. Dalam efek yang lebih luas akan memungkinkan terjadinya potensi pelanggaran HAM sistematik luar biasa. Kritik ini saat ini banyak mencuat manakala institus kepolisian masih saja menempatkan diri pada kecenderungan untuk meletakkan keperpihakan pada kekuatan-kekuatan yang dominan baik secara politik dan ekonomi.

Geneologi tantangan baru keamanan ini penting dibaca, terutama bagaimana polisi berhadapan dengan problem-problem keamanan yang lebih kompleks dan rumit dengan tetap meletakkan kesetiaan untuk menghargai prinsip-prinsip HAM. 3 Materi-materi pokok tentang pemahaman HAM berkait dengan tugas pokok kepolisian secara praktik sudah diberikan kepada setiap perwira polisi baik dalam bentuk ‘materi kurikulum formal’ di Akademi Kepolisian (Akpol) maupun beberapa tambahan seperti ‘workshop-workshop pelatihan HAM’ untuk mereka. Tentu, diharapkan penambahan beberapa materi penting HAM dan juga Polmas bisa memberikan injeksi perubahan-perubahan mendasar pada karakter, watak, budaya dan praktik kerja kepolisian.


Rumusan Permasalahan dan Pilihan Analisis Data

Dalam rangka membaca seberapa jauh penambahan materi-materi HAM dan Polmas itu relevan dan juga signifikan terhadap peningkatan penghormatan HAM oleh polisi, tentu tidak bisa hanya dibaca selintas secara normatif semata. Oleh karenanya, dasar berpijak riset ini menjadi amat penting untuk mengkaji, membaca dan sekaligus mengevaluasi sejauh mana harapan itu tercapai. Ada beberapa poin mendasar yang sengaja ditempatkan menjadi variabel penting untuk melihat dan menggali sejauh mana lulusan perwira remaja Akpol memahami keseluruhan nilai-nilai HAM dan Polmas dalam setiap sikap perilaku, praktik dan kebijakan baik dalam ranah konseptual sampai pada praktik kongkrit yang dipakai mereka dalam penanganan-penanganan masalah. Pertama, tentu pengamatan terhadap perspektif, pandangan, sikap dan apa yang saat ini telah dikerjakan oleh mereka dalam rangka memperjuangan prinsip-prinsip HAM dan Polmas tersebut; Kedua, menggali dan mengamati situasi konteks wilayah di mana para perwira remaja lulusan Akpol ini ditugaskan. Poin ini banyak megekplorasi seluruh variabel sosial, ekonomi politik dan situasi keamanan yang saat ini dihadapi oleh wilayah di mana mereka bekerja dan sekaligus ikut mempengaruhi kecenderungan-kencenderungan sikap kebijakan kepolisian; Ketiga, adalah situasi sistem dan ruang kebijakan internal institusi kepolisian di mana mereka ditugaskan. Poin kerja ‘institusionalisasi’ tidak bisa dihindarkan sangat berpengaruh karena di sanalah ruang amat menentukan bagaimana gagasan tentang HAM dan Polmas terpraktikan atau tidak. Pertanyaan utamanya dalam poin ini adalah ‘apakah kebijakan secara kelembagaan’ telah berorientasi pada pengejowantahan nilai-nilai prinsip HAM ini? Ketiga poin tersebut tentu tidak bisa berdiri sendiri. Ketiganya memberi relasi kontribusi satu dengan yang lain.

Tulisan dalam paper laporan ini keseluruhan adalah catatan rangkuman dari hasil perjalanan riset selama 6 hari di wilayah Polda Kalimantan Timur. Seperti panduan draf awal, riset ini memilih untuk mengembangkan model pendekatan kualitatif. Wawancara mendalam terhadap informan dan beberapa temuan data primer dan sekunder yang lain menjadi catatan penting yang bisa menjadi bahan analisis selanjutnya. Penyediaan logistik pendanaan dan rentang waktu riset yang terbilang singkat tentu membuat beberapa potensi data dan fakta yang bisa dikembangkan lebih lanjut masih belum bisa didapat.

Tidak keseluruhan tempat berhasil dijangkau mengingat letak jangkauan geografis yang ckup luas. Riset hanya menetapkan beberapa sasaran wilayah. Ada minimal dua pertimbangan. Pertama, wilayah yang strategis dan cukup berpotensi memberi informasi penting, terutama terdapat adanya penempatan lulusan perwira remaja Akpol 2006-2008. Kedua, adanya basis kasus (problem masalah) yang amat urgen untuk dicermati yang pernah atau masih berlangsung saat ini. Kasus tersebut melibatkan peran unsur kepolisian baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada tiga sasaran wilayah yang berhasil dikunjungi yakni Polresta Balikpapan, Poltabes Samarinda dan Polres Kutai Kertanegara. Ada 3 (tiga) perwira remaja berhasil diwawancarai di Polresta Balikpapan, 2 (dua) Perwira remaja di Poltabes Samarinda dan 4 (empat) yang lain di Polres Kutai Kertanegara.

Khusus berkait dengan riset terhadap perwira remaja lulusan Akpol, ada sedikitnya tiga instrumen penting untuk melihat sejauh mana pandangan para perwira remaja lulusan akpol terhadap seluruh keterlibatan mereka bertugas, tantangan-tantangan penting apa yang mereka hadapi dalam konteks kekhususan wilayah dan cara mereka melakukan sikap-sikap dan strategi penanganan dengan selalu berpegang pada prinsip penghormatan HAM. Pertama, wawancara mendalam menjangkau lebih jauh pada pentingnya membaca ‘struktur ingatan’4 para perwira remaja lulusan Akpol, terutama tentang prinsip-prinsip penting materi HAM dan Polmas. Capaian wawancara ini berguna sekaligus untuk mereview (melihat kembali) sejauh mana materi-materi tersebut sudah ‘terinternalisasi’ dan ‘tersubjektifikasi’ pada prinsip kerja mereka. Poin pertama berkepentingan untuk membaca ‘tutur argumentatif secara kritis’5 yang membantu melihat sejauh mana perspektif tentang HAM yang saat ini masih tersimpan oleh mereka; Kedua, lebih menggali secara mendalam pengalaman-pengalaman kongkrit mereka berhadapan dengan tantangan-tantangan penghormatan HAM dalam setiap keterlibatan kerja kepolisian. Poin ini amat penting karena praktik penghormaan HAM tidak hanya bisa dibaca dalam wawancara-wawancara yang sifatnya normatif, melainkan masuk pada situasi kasus-kasus khusus. Harapannya, verifikasi setiap pernyataan normatif bisa dilakukan; Ketiga, eksplorasi wawancara berkait dengan tubuh ruang dan situasi sistem hirarkhis kebijakan kepolisian yang ikut serta mempengaruhi pilihan-pilihan strategis dalam kerja-kerja harian perwira remaja. Poin ketiga ini amatlah penting karena sifat dan karakteristik kelembagaan kepolisian yang hirarkhis. Karakteristik struktur hirarkhi kebijakan terpusat menjadi variabel yang tidak boleh dihilangkan.

Untuk kepentingan mendapatkan ‘validitas data’, riset ini juga mengembangkan ‘triangulasi sumber’6 dengan menjangkau baik narasumber dan data-data primer lainnya. Wawancara juga kami kembangkan dengan beberapa nara sumber seperti pimpinan-pimpinan kepolisian, warga masyarakat, aktifis, NGO, dan tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung dalam kasus-kasus yang kami pilih sebagai background utama riset ini. Sementara dalam riset ini, kami memilih sebuah kasus besar yang dipertimbangkan bisa merepresentasikan wujud problem sosial penting yang menyeret banyak aktor dengan berbagai kepentingan-kepentingan yang dibawa. Terkhusus dan terutama, kasus ini kami pilih karena begitu sarat dengan berbagai persoalan dan potensi pelanggaran HAM berat di kawasan Kalimantan Timur dengan ‘dimensi struktural’7 yang lebih luas. Waktu kejadiannya yang masih tidak begitu lama berlangsung, memungkinkan masih banyak pihak mengingatnya dengan baik seperti ingatan kronologis peristiwa dan dampak sosial yang dimunculkan. Terakhir, kasus ini juga diangkat karena menjadi salah satu bagian penting realitas dominan sesungguhnya atas potensi yang saat ini sering muncul menjadi problem besar pelanggaran HAM di wilayah Kalimantan Timur.

Riset ini memberikan maping problem-problem struktural dan kultural Kalimantan Timur yang mau tidak mau menjadi variabel sangat berpengaruh. Relasinya dengan berbagai komponen kekuatan masyarakat dan sumber kekuasaan dominan seperti perusahaan, pemerintah daerah, kekuatan politik, aktor-aktor sosial beserta kelompok-kelompok masyarakat lain, menjadi sumber data yang harus dibaca. Berbagai praktik kebijakan kerja kepolisian tidak bisa melepaskan pengaruhnya dengan analisis terhadap akar-akar dan problem-problem struktural yang melatarbelakanginya.

Merujuk pada pilihan metode kualitatif dan pendekatan kasus, maka riset ini memilih satu kasus utama yang secara proposional mengangkat gambaran besar problem riil tantangan HAM untuk kepolisian. Dengan sebelumnya telah membaca peta kecenderungan problem wilayah (pra riset), tidak sulit untuk mencari pilihan kasus tersebut karena problem yang dialami sebagian besar wilayah Kalimantan Timur hampir tidakm jauh beda. Meskipun dengan kuantitas dan kualitasnya yang sedikit beragam, jantung persoalannya sama, yakni problem yang menyangkut dinamika konflik tanah (lahan) pertambangan dengan segala dampak yang dimunculkan.

Asas ’purposif’ diambil sebagai pilihan untuk tidak memilih data secara acak (random). Riset tidak berorientasi pada jumlah (kuantitas) kasus yang berhasil direkam. melainkan kedalaman masalah yang berhasil diangkat. Sebagai catatan kritis pada riset-riset yang pernah dilakukan sebelumnya tentang fokus tema yang sama, maka penelitian menghindari obsesi untuk mendapatkan jumlah informan perwira remaja Akpol yang tersebar pada keseluruhan wilayah penempatan mereka. Plihan ini sekaligus untuk menghindari analisis general yang tidak terfokus.

Analisis tentang relevansi dan pengaruh pengajaran Akpol terhadap dinamika kerja kepolisian memang masih amat berbau ’positivistik’ karena membangun nalar kausalitas ’sebab akibat’ secara linier yang menjadi karakteristik perpektif penelitian semacam itu. Dengan nalar kausalitas tersebut, kecuali bahwa variabel ini sangatlah membutuhkan pertimbangan instrumen penelitian yang sangat rigid, juga akan banyak menghadirkan ’bias simplifikasi’ terhadap hasil temuan mengingat pembelajaran HAM dan Polmas masih hanya menjadi tambahan materi yang prosentasi ’kuantitas’ dan ’intensitas’ pembelajarannya masih kecil dan terbatas. Nilai pengaruh ini tentu tidak terburu-buru bisa kita simpulkan tidak ada, hanya saja nalar risetnya tidak dibangun dari metode berpikir demikian. Berbagai temuan fakta, data, informasi dan relasi keterkaitan di antara merekalah yang membentuk sebuah gambaran besar masalah yang selanjutnya akan dinterpretasi dengani pilihan ’analisis data’ yang sudah dirumuskan sebelumnya. Di titik inilah basis kasus menjadi dasar amat penting untuk menggambarkan kesemua relasi-relas penting tersebut, termasuk pertanyaan tentang sejauh mana nilai HAM sudah terinternalisasi dalam prinsip kerja kepolisian.



Ekspansi Modal Pertambangan, Komodifikasi Keamanan
dan Lingkaran Kekerasan


“Karakteristik konflik di Kalimantan Timur yang dominan
cenderung diakibatkan oleh konflik sumber daya alam”
(Merah Johansyah, Divisi Hukum
dan Advokasi JATAM Kaltim)



Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas di Indonesia, dengan luas wilayah lebih 245.237,80 Km2 atau sekitar satu setengah kali pulau Jawa dan Madura atau 11 % dari total luas wilayah Indonesia. Dengan kondisi begitu banyaknya sumber kekayaan alam yang tersedia terutama hutan, gas, minyak dan batu bara, Kalimantan Timur relatif termasuk wilayah yang secara penghasilan daerah termasuk yang tertinggi di Indonesia. Terkhusus untuk batubara saja, tidak kurang dalam 6 tahun terakhir, 33 PKP2B dan 1.180 KP diterbitkan secara gotong royong oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengobral batu bara mengepung Kalimantan Timur. Otonomi daerah telah menjadi pintu gerbang bagi penghancuran lingkungan yang berkelanjutan dan mempermudah massif-nya Ekspansi korporasi-korporasi tambang bermodal besar. Saat ini 3.112.690,38 hektar dari 21.767.76 hektar luas Kaltim telah berubah menjadi Konsesi Tambang Batubara. Luasan konsesi tersebut hamper sama dengan luas Provinsi Kalimantan Selatan, 3.727.750 hektar. 8

Berlimpahnya kekayaan yang diasumsikan mampu memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masayarakat ternyata jauh dari harapan sebenarnya. Memang ada beberapa perubahan signifikan yang bisa dilihat semisal kemajuan infrastruktur daerah seperti pertumbuhan jalan, pusat-pusat kota dan sarana-sarana ekonomi yang kemudian berkembang, namun beberapa residu dampak yang dihadirkan juga tidak sederhana dan bahkan di beberapa hal sangat mengerikan. Dalam jangka panjang, dampak persoalan yang dimungkinkan bagi generasi masyarakat selanjutnya amatlah besar.

Sebanyak 262 kilometer jalan publik telah rusak karena aktivitas kendaraan berat dari operasi tambang batu bara di Kaltim. Dampak lain adalah meningkatnya pengidap penyakit ISPA dan berbagai penyakit gangguan pernafasan lainnya, anak-anak dan perempuan menjadi kelompok yang paling rentan soal ini. Sementara itu di saat masyarakat Kaltim masih bergulat dengan problem kemiskinan di saat yang sama pula eksploitasi SDA termasuk komoditas Batubara terus dikeruk dari perut bumi Kaltim. 9 630 ribu jiwa atau 21 persen rakyat kaltim masih miskin, tidak sebanding dengan 58 trilyun hasil penjualan batubara kaltim yang menguap entah kemana. Sekitar 116, 8 juta ton total produksi Batubara kaltim sementara Kaltim masih selalu tetimpa krisis listrik. Pembangkit-pembangkit kekurangan daya, ribuan pelanggan dikecewakan oleh tata kelola energi yang buruk oleh pemerintah. Pemenuhan kebutuhan domestik batubara diletakkan dalam daftar dengan nomor buntut, sementara 82 persen batubara Kaltim diekspor secara kolosal keberbagai negara Eropa dan Asia seperti Korea, Taiwan hingga India.

Ribuan warga mesti selalu berhadapan-hadapan dengan militer, polisi dan milisi-milisi sipil bayaran korporasi tambang batubara, mereka kehilangan tanah, sumber air, sungai hingga bukit bukit yang diselimuti kebun-kebun rindang dan nyanyian burung-burung kini berubah menjadi lubang-lubang tambang dan digantikan oleh silih berganti bunyi ledakan dinamit. Intimidasi serta terror selalu mengiringi pembebasan lahan dan penentuan harga sepihak oleh Korporasi Tambang Batubara, banyak korban tercatat tewas, pelanggaran HAM adalah potret paling nyata dari daya rusak komoditas ini. Tercatat kasus pelanggaran HAM pernah terjadi di 5 desa di kabupaten Paser oleh PT. Kideco Jaya Agung, perusahaan tambang milik Korea Selatan. Pernah juga terjadi gerakan protes rakyat di Bangun Rejo terhadap PT. Banpu Kitadin, Tambang milik Thailand. Yang masih begitu teringat karena kasusnya cukup besar adalah kasus bentrokan warga dengan PT. Arkon yang bermuara penembakan warga di Kota Bangun, Kutai Kertanegara.

Dampak perubahan yang rutin kini dihadapi masyarakat adalah sering hadirnya banjir besar di Samarinda karena hancurnya tata ruang kota dan juga pengerukan hasil hutan yang begitu mengahncurkan tata serap tanah. Dalam beberapa tahun terakhir. 10.204 KK, 5 Kelurahan, 3 Kecamatan menjadi langganan terendam banjir di Samarinda. Bisnis kotor korupsi dan kolusi dalam memuluskan Penerbitan Ijin Tambang Batubara juga menjadi catatan tersendiri. Pasca penutupan Tambang, lebih 232 lubang bekas tambang Batubara “menganga” diseluruh Kaltim, ditinggalkan begitu saja dan telah menjadi danau-danau beracun.

Berbagai persoalan daerah tersebut saat ini masih saja hadir menjadi potensi krisis besar karena tidak adanya sikap kebijakan negara yang signifikan terhadap tata pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan Timur. Sebaliknya, sering kali diantara kekuatan-kekuatan dominan yakni pemerintah daerah, pemerintah pusat maupun kekuasaan-kekuasaan modal sering bermutualisme melahirkan kebijakan yang kontraproduktif bagi kesejahteraan masyarakat. Kepentingan korporatokrasi mengambil hampir sebagain besar kebijakan strategis yang diambil. Bahaya akan lahirnya potensi bentuk-bentuk pelanggaran HAM seringkali hanya difahami secara normatif di atas kertas. 10 Praktiknya, berbagai kebijakan yang bermasalah masih sering diambil hanya karena rasio dan nalar keuntungan pragmatis. Dominasi nalar pragmatis inilah yang berpeluang melahirkan terjadinya kongkalingkong kepentingan yang merupa dalam bentuk-bentuk korupsi dan simbiosis mutualisme pada politik daerah soal kebijakan pertambangan. 11

Begitu terkosentrasinya kepentingan akan keuntungan pragmatis perusahaan, menyebabkan banyak penentuan dan pemberian ijin pertambangan oleh pemerintah daerah dilakukan dengan berbagai alasan yang kadang tidak masuk akal. Ia seringkali tidak melibatkan partisipasi sepenuhnya masyarakat. Di banyak kasus, modus yang dipakai untuk mengantisipasi resistensi dan penolakan warga atas rencana pertambangan menggunakan modus dan pola yang paling halusn (hegemonik) sampai yang paling kasar (koersi). Pendekatan melalui pemberian dana (sejumlah uang) tertentu bagi orang-orang kunci seperti kepala suku, kepala kampung atau tokoh masyarakat menjadi modus yang digemari perusahaan. Pola-pola ini terbukti sangat efektif memuluskan berjalannya ijin perusahaan.

Sebelum memasuki ijin formal ke tingkat pemerintah daerah atau pusat, pihak perusahaan telah menyelinap memasuki para kepala adat dan kepala kampong. Capaian pertemuan untuk membangun klaim bahwa seluruh masyarakat telah menerima kehadiran perusahaan-perusahaan tersebut. Dalam wawancara dengan Pastur Kopong, SVD salah satu pendamping kasus tragedi Kota Bangun sekaligus anggota ‘Forum Pelangi’12 Kalimantan Timur memberikan keterangan bahwa pemberian ‘jaminan uang’ sangat efektif berhasil menjinakkan potensi perlawanan warga.


“Tidak hanya di Kota Bangun, hampir di sebagian besar wilayah Kutai Barat, kepala adat, kepala suku, kampung sampai kepala camatnya semua pro perusahaan, semuanya karena kepentingan uang. Bukan masalah mereka mempertahankan tanahnya atau tidak tetap karena ‘uang’. Setelah amplop diberikan, mereka (masyarakat - pen) sudah tidak berbuat apa-apa. Harapannya kepala adat diharapkan menjadi kunci pemersatu, tetapi setelah diberi uang para kepala adat kemudian menyebrang tidak mendukung masyarakat ” 13


Ketika dengan mudahnya kritik masyarakat diredam dengan mekanisme uang, menjadikan pola ini menjadi modus paling digemari yang dipakai diberbagai kesempatan. Bertemunya kesempatan untuk mengambil keuntungan dan sekaligus ketiadaan alternatif untuk membangun bargaining kekuatan masyarakat atas berkuasanya ekspansi perusahaan di Kalimantan Timur, menyebabkan perlawanan-perlawanan warga sering patah dan tidak bernafas lama. Di tengah jalan, siapapun yang berani mengambil sikap berbeda selalu berhadapan dengan bujukan dan godaan. Terbukanya godaan secara pragmatis untuk mendapatkan posisi keuntungan, membuat gerakan sering terbuai untuk memilih jalan kompromistis. Kecenderungan di atas membuat banyak warga mengalami rasa ketidakpercayaan bukan hanya pada polisi maupun pemerintah tetapi juga terhadap peran para aktifis, LSM atau ormas-ormas yang mengaku memperjuangkan masyarakat..

Nalar pragmatisme pemerintah daerah dan juga elemen gerakan warga selama ini di satu sisi semakin memperkuat lancarnya mekanisme ekspansi perusahaan. Dengan alasan sederhana dan seringkali tidak masuk akal, ijin penguasaan tanah bisa dikeluarkan dengan mudah. Contohnya, di beberapa kasus perijinan, hanya dengan alasan bahwa tanah yang disasar adalah lahan tidur yang tidak produktif maka surat ijin pengelolaan tambang bisa dikeluarkan. Dengan iming-iming peningkatan kemajuan ekonomi masayarakat, para pelaku perusahaan mudah untuk mendapatkan ijin usaha pertambangan. Dari beberapa data yang berhasil dihimpun hampir ribuan ijin pertambangan sudah diterbitkan. Dengan berbagai kiprahnya dari skala yang besar sampai yang kecil, perusahaan-perusahaan tersebut nyaris telah memberi kontribusi besar pada munculnya berbagai krisis seperti lingkungan hidup, kerusakan hutan, dan problem-problem sosial yang lain.

Beberapa organisasi sosial yang konsisten kritis dalam mengawal kecenderungan terjadinya eksploitasi lahan di Kaltim seperti Walhi, Jatam, Ilegal Logging Watch (ILW), Forum Pelangi, dan Petisi 30 memberikan beberapa catatan data kasus yang amat penting seperti pernah dilakukan Jatam dalam mengawal kasus PT Kideco Jaya Agung, perusahaan asal Korea Selatan. Kasus tersebut terjadi di Kabupaten Paser. PT. Kideco Jaya Agung menandatangani Kontrak PKP2B Pada 14 September 1982. Sejak memulai operasi pada tahun 1993, sudah 170 juta ton Batubara dikeruk dari perut Kabupaten Paser. 85 persen dari produksi Kideco diekspor ke Asia Terutama Ke Korea, Taiwan dan India. Aktivitas Tambang Kideco seperti putaran kejahatan, mulai dari hulu hingga hilir, kejahatan bagai sudah menjadi “identitas hitam” perusahaan milik Korea Selatan ini.

Dalam catatan yang didapat dari Jaringan Tambang (Jatam) Kalimantam Timur, sudah ada tiga indikiasi kejahatan yang berhasil dipotret yang dilakukan PT Kideco Jaya Agung14:


1. Indikasi Kasus Pelanggaran HAM

PT. KJA Menandatangani PKP2B pada September 1982, dan mulai berproduksi tahun 1993. Hingga awal 2010, mereka telah mengeruk lebih dari 170 juta ton batubara dari kabupaten Pasir. Hampir 10 persen batubara PT KJA diekspor ke Netherland. Luas kawasan pertambangan PT. KJA di kecamatan batu Sopang sekitar 50.399 ha.

Lebih setengahnya didapatkan melalui pelanggaran HAM. Salah satunya pada masyarakat adapt dayak Paser. 5 Desa digusur dan diberi ganti rugi yang tidak manusiawi. 5 desa itu adalah desa Biu, desa Suwito, desa Lempesu, desa Damit dan desa Suatang. Kawasan tersebut termasuk perkampungan masyarakat, hutan, ladang juga kuburan nenek moyang. Kini kuburan disana telah berubah menjadi kawasan penggalian. Salah satunya di kampung Biu, di sini ada 23 lokasi kuburan adat yang tergusur.

Pelanggaran HAM juga berbentuk pelarangan aktivitas berladang masyarakat lewat surat larangan peladang liar oleh Kideco, 16 agustus 1999. keadilan bagi masyarakat masih jauh. Perwakilan masyarakat sudah melaporkan ini ke Komnas HAM dan DPR-RI sejak Agustus 2007 hingga sekarang tak ada lagi kelanjutannya


2. Indikasi Kasus Pengemplangan Pajak Alat Berat

Akhir Januari 2010, Kideco diminta oleh DPRD Kaltim Membayar Pajak Alat Berat. Kideco Mengemplang Pajak Alat Berat Sebesar 2,6 Miliar Rupiah. Dalam perjalanannya sejak beroperasi 1993 sebagai perusahaan tambang generasi pertama. Kideco adalah satu dari 6 perusahaan tambang yang pernah bermasalah dengan pajak. Selain dengan pajak alat berat juga dengan tunggakan royalti batubara dan dana pengembangan batubara (DPB) telah menjadi jejak hitam perusahaan milik korea ini.

3. Indikasi Kasus Pelanggaran Kawasan Cagar Alam

Kasus pelanggaran UU Kehutanan, No 41 Tahun 1999 dan UU Tentang Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistem No 5 tahun 1990. Pelanggaran Kawasan Konservasi Dan Cagar Alam melalui tindakan penggunaan lahan seluas 11,7 hektar untuk Penampungan Limbah, Kolam Penampungan Dan Penumpukan Batubara diluar Kawasan Ijin Pinjam Pakai itu sudah berlangsung lebih



Di catatan yang lain, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) juga memberikan gambaran amat jelas mengenai berbagai kondisi menyedihkan di alam Kalimantan Timur terutama problem kerusakan hutan dan berbagai dampak sistematis yang telah dimunculkan. WALHI dalam banyak kesempatan medesak pemerintah provinsi Kaltim untuk melakukan penghentian kebijakan ‘konversi’ atau ‘alih fungsi hutan’ yang telah begitu mengkhawatirkan. Tingginya tingkat konversi hutan, menurut WALHI, disebabkan politik kebijakan kepala daerah yang masih mengandalkan industri ekstraktif untuk mengeruk sumber-sumber penghidupan rakyat (SDA). Menurut Isal Wardhana, Direktur WALHI Kaltim, dampak kerusakan ekologis yang ditimbulkan oleh kebijakan ini akan sangat begitu besar.


"Saat ini bencana ekologis seperti banjir besar yang terjadi selama tiga kali setahun, longsor dan meningkatnya rawan bencana di Kaltim serta semakin tingginya tingkat eksploitasi sumber-sumber penghidupan rakyat (SDA) di Kalimantan Timur cenderung meningkat." 15


Dalam satu wawancara khusus dengan Kahar Al Bahri, Koordinator Jatam Kalimantan Timur, sumber kekayaan alam yang begitu melimpah justru telah menjadi bencana bagi masyarakat Kaltim pada khususnya. Tidak ada kebijakan yang strategis untuk mengantisipasi berbagai proses kerusakan Kaltim yang semakin massif. Semua kepentingan yang terlibat hanya berlaku mencari posisi keuntungan masing-masing. Jikapun ada usaha ke arah sana, selalu berhenti di tengah jalan karena hanya menjadi bagian kepentingan kampanye kelompok-kelompok yang diuntungkan. Menurutnya, situasi tersebut begitu amat rumit karena kekuatan-kekuatan raksasa modal perusahaan dan kepentingan politik dominan turut memainkan seluruh kebijakan di Kalimantan Timur. 16 Sampai pada tingkat kebijakan yang terkecil di tingkat kampung mudah untuk dikooptasi. Ia mencontohkan betapa mutualisme kepentingan itu bertemu. Contoh kasus illegal mining yang cukup besar, dilakukan oleh perusahaan PT. Kaltim Prima Coal (KPC) di areal HPH dan PT. Porodisa Trading & Industrial Co. Ltd. Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur.

Kedua perusahaan besar ini dalam praktik memuluskan operasinya ditengarai bukan hanya melibatkan pejabat pemerintahan di Departemen Kehutanan, Departemen ESDM, Gubernur, Bupati dan Dinas Kehutanan, tetapi juga aparat kepolisian, dalam hal ini Kapolda Kalimantan Timur. Dalam kasus tersebut, Kapolda Kaltim Irjen Pol. Andi Masmiat diduga telah menerima gratifikasi miliaran rupiah dari PT. Kaltim Prima Coal (KPC) dengan berkedok Program Pemolisian Masyarakat (Polmas) di areal sengketa tersebut. 17 Sebagaimana telah diketahui, PT. KPC telah melakukan alih fungsi areal hutan yang telah dibebani IUPHHK PT. Porodisa menjadi areal tambang batubara. Mutualisme berbagai kepentingan besar itulah, menurut Kahar Al Bahri yang menjadikan sebagian kebijakan pertambangan sulit untuk ditembus. Lebih parahnya ketika masyarakat melakukan tuntutan dan pernyataan sikap terhadap kasus-kasus besar semacam ini, tindak lanjutnya berbelit-belit dan tidak cukup jelas siapa yang harus bertanggungjawab.



Konflik Lahan, Kekerasan Struktural dan Peran
Milisi Sipil Berbasis Etnisitas


“Ormas-ormas etnis itu lama-lama sebenarnya kerjaannya
justru banyak memihak kepentingan besar”
(Berto, Pedagang Klontong ‘Pasar Pagi’ Samarinda)



Mau tidak mau kesemrawutan dan sistem kebijakan pengelolaaan sumber daya alam dan juga membanjirnya ekspansi banak perusahan modal besar di Kalimantan Timur telah melahirkan begitu besar persoalan yang berdampak terhadap masyarakat. Data kasus yang berhasil ditemui dalam riset ini adalah problem merebaknya konflik sengketa lahan18 yang berujung pada kekerasan sosial. Sebagian melihat konflik itu selalu meletakkan entitas hadap berhadapan antara perusahaan dan masyarakat yang sekaligus turut serta melibatkan berbagai aktor kekuatan seperti militer, polisi dan ormas-ormas etnis kesukuan19 di Kalimantan Timur. Kehendak warga masyarakat untuk mempertahankan tanahnya berhadapan dengan kepentingan perusahaan untuk mengeruk sumber alam tak jarang melahirkan benturan dan bentrok besar yang melahirkan banyak korban. Namun juga tidak sedikit benturan itu lahir dari problem lahan perseorangan, konflik lahan antara masyarakat dan pemerintah.


“Saking karena banyak dikeluarkannya ijin kuasa pertambangan yang tidak terkendali, konflik lahan juga terjadi antar perusahaan missal antara perusahaan tambang dan perusahaan sawit (HGU), missal konflik karena HPH dan PKP2B tambang misalkan yang paling terkenal (PT KPC (tambang) dan PT Porodisa (perusahaan kayu) yang terjadi sekitar tahun 2007. 20


Data dan keterangan yang didapat dalam riset 6 hari, menunjukan bahwa berkembangnya berbagai konflik lahan atau konflik sumber daya alam justru semakin terbuka21 dan meluas didorong oleh diberlakukannya politik otonomi daerah. Tidak kurang hampir 1269 ijin Kuasa Pertambangan (KP) yang telah dikeluarkan Pemerintah Daerah di 14 Kabupaten Kota se Kalimantan Timur. Ditambah ada kurang lebih 33 PKP2B (Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara) yakni ijin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Ijin ini jauh diberikan sebelum otonomi daerah. Pada masa pemerintahan Orde Baru biasa dikenal dengan Kontrak Kaya (KK).

Bersamaan dengan pemberlakuan politik ‘otonomi daerah’, muncul juga kecenderungan berkembangnya gerakan politik identitas yang membawa bendera kesukuan. Kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi massa ini selalu mengatasnamakan kepentingan suku dan etnis untuk aktifitas dan geraknya. Dalam kiprahnya, mereka cukup berpengaruh dan tidak jarang memainkan peran cukup menonjol dalam konflik-konflik yang terjadi. Menurut keterangan AKBP Sigit Haryadi, Wakapolresta Balikpapan ataupun juga catatan yang diberikan oleh AKBP Faizal, Wakapoltabes Samarinda, problem sosial yang dominan yang muncul di Kalimantan Timur adalah kiprah ormas-ormas etnis yang kadang sering berpotensi pada kekerasan-kekerasan horisontal. Masalah tanah (lahan) ini menurut mereka sangat komplek, ada yang muncul perorangan, ada yang pemerintah dan yang masyarakat dengan perusahaan. Ormas-ormas ini akan membawa masyarakat dan jika sudah menyangkut masalah konflik tanah maka sering menyulitkan dalam penanganan hukum positifnya. “Jika sudah masalah tanah itu sulit, lama dan berlarut-larut”, ujar AKBP Sigit Haryadi.

Dalam catatan kritis yang berbeda, Satri, aktifis PMKRI dan pernah menjadi anggota pokja 30 Kalimantan Timur, melihat bahwa kehadiran ormas-ormas ini kebanyakan amat kuat didorong oleh motif-motif politik dan ekonomi. Masyarakat biasa akan cenderung malas dan takut ketika sudah berhadapan dengan laskar-laskar etnis ini. “Tidak jarang mereka menggunakan cara-cara intimidatif untuk mempengaruhi masyarakat”, ujar Satri. 22 Keberadaannya lebih banyak menguntungkan kepentingan dan kekuatan politik ekonomi yang dominan seperti kepentingan perusahaan. Ormas-ormas ini juga banyak memainkan peran penting dalam ‘bisnis keamanan’ di Kalimantan Timur.


“Bicara komposisi masyarakat maka kadang tidak lagi bisa disebut masyarakat secara murni. Karena sudah ada kelompok-kelompok baru kepentingan yang dibawa. Bersamaan dengan otonomi daerah maka muncul politik identitas. Banyak muncul laskar-laskar berbaju etnis. Paska konflik etnis Dayak-Madura d Sampit, kemudian banyak muncul dan berkembang politik identitas ini. Salah satu bisnis mereka adalah ‘bisnis keamanan’. Perusahaan banyak menggunakan peran laskar-laskar ini untuk kepentingannya.” 23


Dalam wawancara dengan beberapa perwira remaja baik di Polresta Balikpapan, Poltabes Samarinda dan Polres Kutai Kartanegara, mereka dengan keragaman daya tangkap dan analisisnya sebenarnya juga membenarkan bahwa, kehadiran laskar dan ormas kesukuan ini merupakan fenomena yang besar terjadi di fenomena kasus Kalimantan Timur. Tercatat, sebagian besar didominasi oleh ormas Dayak. Suku yang juga cukup besar ada di sebagian besar wilayah Kaltim tercatat adalah Bugis, Banjar dan Jawa.
Terlihat ada perbedaan cara pandang yang cukup besar untuk melihat kehadiran laskar-laskar ini. Pandangan kepolisian terlihat setengah-setengah melihat keterlibatan laskar berbaju etnis ini. Satu sisi dianggap menjadi problem sosial yang berpotensi pada konflik horisontal, tetapi di sisi lain menurut mereka sangat positif untuk membantu problem-problem keamanan. 24 Faktor salah satunya juga karena ada sebagian dari ormas-ormas kesukuan tersebut yang tidak selalu berpihak pada program-program aparat keamanan. Seperti juga keterangan yang disampaikan oleh Kompol Ruskan, Kabid Binamitra Poltabes Samarinda menyebutkan bahwa ormas-ormas adapt kesukuan ini kini dilibatkan juga dalam proses penerapan program polmas. 25 Diakui oleh Kompol Ruskan, bahwa sebelumnya memang antara polmas dan ormas-ormas yang bergerak dalam bidang keamanan ini tidak ada relasi sebelumnya. Dalam perjalannya di beberapa wilayah tertentu, Poltabes Samarinda mengikutsertakan keterlibatan mereka. Analisis lain lebih mensinyalir bahwa paska penerapan program Polmas, ada banyak kekawatiran dari ormas-ormas etnis ini terutama lahan kerja keamanan yang selama ini mereka juga dapatkan.

Pada awal penerapan program sistem keamanan dengan berbasis ‘polmas’, beberapa ormas daerah setempat melakukan penolakan tetapi tidak sedikit banyak kelompok-kelompok laskar yang secara terang-terangan mendukung program polmas tersebut. Dukungan terhadap Polmas datang dari Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) dan Gerakan Pemuda Asli Kalimantan (Gepak). 26 Sambutan dan dukungan juga datang dari Gerakan Pemuda Dayak (GPD) Kalimantan. 27 Pada prinsipnya ormas-ormas ini berkeyakinan bahwa polmas ini wadah positif untuk menjadi ruang interaksi untuk memecahkan persoalan keamanan, sehingga gejolak-gejolak sosial yang mungkin ada dan berpotensi menganggu keamananan di sekitar tambang bisa dibantu untuk segera dicarikan solusinya dengan baik.

Salah satu ormas yang pernah melakukan penolakan datang dari Komando Pertahanan Adat Dayak Kalimantan (KPAD) Kaltim. Yulianus Henock, Panglima KPAD pernah menyampaikan hal penolakan. Dia khawatir, kepolisian hanya akan menjadi satpam perusahaan. 28


"Polmas itu kan bahasa halus yang dipakai polisi. Ujung-ujungnya ya harus ada biaya, ada ongkos yang dikeluarkan oleh perusahaan. Saya kira ini tidak gratis. Perusahaan sendiri mau tidak mau ya akan keluarkan dana untuk peningkatan pengamanan yang kemungkinan diambilkan dari pos dana CSR (Corporate Social Responsibility)."


Kecenderungan peran program polmas yang justru ditengarai menjadi bagian dari modus kepentingan perusahaan ini sempat secara eksplisit datang dari Kepolisian Daerah Kalimantan Timur pada pertengahan September 2009 terutama menyangkut proyek pengamanan Obyek Vital Nasional29 seperti perlindungan perusahaan-perusahaan tambang besar. “Polmas ini tugasnya mengamankan lokasi obyek vital tambang, termasuk PT. KPC," kata mantan Kepala Polda Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Andi Masmiyat saat itu. Terkait terpilihnya PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebagai perusahaan tambang batubara yang dijadikan Polda Kaltim sebagai contoh penerapan Sistem Manajemen Pengamanan (SMP) berbasis Polmas, mantan Kapolda Kaltim Andi Masmiyat pernah mengatakan bahwa sejak ia bertugas di Kaltim pada awal September 2008, hanya KPC perusahaan berskala nasional yang siap dan mau memulai dengan sistem pengamanan tersebut. 30

Sedikitnya, ada 20 lokasi tambang batubara yang termasuk ‘obyek vital nasional’. 31 Tidak salah jika proyek percontohan program polmas terbesar yang relatif dianggap berhasil ada tidak jauh dalam lokasi eksplorasi pertambangan. Contoh amat kentara adalah kebanggan keberhasilan program Polmas di Sangata Kalimantan Timur yang selalu didengungkan, yang juga berada dalam wilayah lokasi pertambangan PT KPC milik Aburizal Bakrie. Dalam siaran pers release yang dilakukan oleh Ileggal Mining Watch (ILW) pada tanggal 30 April 2009, dalam persoalan PT KPC mensinyalir adanya bukti-bukti kuat pelibatan Polmas dalam kasus ini.


“Kebijakan Kapolda tersebut tidak terlepas dari adanya dugaan gratifikasi yang dilakukan Kapolda Kaltim melalui Program Polmas. Dengan berkedok Program Polmas, Kapolda Kaltim diduga telah menerima miliaran rupiah dari KPC sebagai imbalan atas dihentikannya penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut.” 32


Relasi mutualisme ini menjadikan beberapa kalangan mencurigai bahwa program ‘polmas’ dianggap hanya sebagai ‘perpanjangan’ kepentingan kepolisian dan akan justru berdampak pada potensi konflik antara kelompok masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. 33 Kahar Al Bahri, Kordinator Jatam bahkan memberi tafsir berbeda terhadap adanya peran Polmas ini. Jika di wilayah Jawa, program polmas berkait dengan berbagai solusi keamanan di wilayah ‘padat huni’ penduduk, maka di Kalimantan Timur bisa diselewengkan menjadi program kemanan dengan target ‘padat modal’. Kecurigaan dan penolakan beberapa aktifis ini jika dikonfrontasikan dengan data-data yang ada memang sedikit beralasan. Salah satunya tentang proyek kedekatan dalam mengamankan berbagai investasi padat modal di wilayah Kaltim.

Penerapan sistem pengamanan ‘obvitnas berbasis polma’s ini dianggap selaras dengan Keputusan Presiden (Keppres) No 63 Tahun 2004 tentang Obvitnas, Peraturan Kapolri (Perkap) No 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar dan Implementasi Polmas dan Penyelenggaraan Tugas Polri, serta Keputusan Menteri ESDM No 2288/08/MEM/2008 tentang ‘Pengamanan Obvitnas di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral’. 34 Fakta juga menunjukan bahwa terpilihnya PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebagai perusahaan tambang batubara yang dijadikan Polda Kaltim sebagai contoh penerapan Sistem Manajemen Pengamanan (SMP) berbasis polmas, menunjukan kecenderungan orientasi tersebut. Hal tersebut juga secara eksplisit dibenarkan oleh Wakapoltabes Samarinda AKBP. Faisal yang pernah sebelumnya bertugas menjabat sebagai Kapolres Kutai Timur dan pernah menangani secara langsung kasus yang menimpa PT KPC. 35 Titik tekan keamanan objek vital nasional menjadi kunci dalam menjelaskan polmas di Kaltim.
Pada sekitar akhir tahun 2008, polemik tentang keberadaan ‘polmas’ cukup santer dan hangat. Kahar Al Bahri yang biasa dipanggil Ocha ini menyebutkan bahwa polemik tersebut secara terbuka sempat termuat cukup lama di media massa lokal Kaltim. Salah satunya data tentang itu bisa dilihat di dokumentasi Tribun Kaltim, Kaltim Post, dan media lokal lainnya. Koordinator Jatam ini mencurigai, dengan penawaran pengamanan ekstra pada kawasan tambang yang merupakan ‘Objek Vital Nasional’, Polda sebenarnya telah melakukan praktik menawarkan jasa keamanan kepada puluhan perusahaan tambang batu bara itu. Ujung-ujungnya adalah perusahaan harus menyediakan biaya lebih untuk hanya untuk keamanan. 36


“Ocha mengingatkan, yang harus lebih dikawatirkan adalah polisi akan cenderung menjadi pelindung perusahaan saat terlibat konflik dengan masyarakat setempat."Polisi yang mestinya menjadi pengayom masyarakat akan bersebrangan dengan masyarakat karena jasa itu tadi. Karena itu ini tidak boleh dibiarkan," tegasnya. 37


Sebaliknya beberapa pihak yang mendukung penerapan program polmas ini berpendapat bahwa proyek ini sebagai bagian untuk menjawab problem-problem riil tentang kemitraan masyarakat dan pihak aparat keamanan yang selama ini mengalamai masalah. Polmas menjadi media bersama untuk saling bisa bertemu memecahkan masalah-masalah yang timbul. Tuduhan terjadinya wujud komodifikasi keamanan, menurut mereka yang mendukung tidaklah beralasan sama sekali. Proyek polmas sangat membantu kerja penanganan keamanan lebih manusiawi. Problem masyarakat bisa diselesaikan tanpa harus diangkat dalam meja formal. Dalam wawancara khusus dengan Kompol Ruskan, Kabag Binamitra Poltabes Samarinda, program polmas telah dianggap cukup berhasil di Samarinda. Menurut keterangan pak Ruskan, hampir di 6 Polsek sudah terbentuk FKPM sebagai bukti keberhasilan program. Data yang ada di Kabag Binamitra Poltabes Samarinda38, sudah ada 153 kasus yang menurutnya bisa ditangani dengan baik. Sebagian besar yang tertangani adalah masalah-masalah sosial seperti perjudian dan perkelahian. Sebagian besar lebih pada penanganan masalah-masalah horisontal masyarakat yakni konflik orang per orang. Fungsi kerja Polmas belum merambah untuk memasuki problem-problem struktural yang melibatkan aktor-aktor lebih luas seperti pemerintah.



Tragedi Kota Bangun : Kekerasan Polisi dan
Catatan Buruk HAM


“Kami menilai bahwa penanganan repressif terhadap
masyarakat yang melakukan pendudukan lahan,
sebagai perbuatan melawan hukum, karena penggunaan kekuasaan
secara berlebihan (excessive use of power) dan menciderai
upaya membangun Demokrasi dan penegakan
Hak Asasi Manusia di Indonesia sebagaimana
yang terdapat di dalam Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia,
baik hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob),
maupun hak sipil dan politik (sipol).”

(Pernyataan Sikap “Forum Pelangi” Kalimantan Timur
atas kejadian ‘Tragedi Kota Bangun’)


Kerangka riset ini awalnya memang ingin memilih studi kasus sebagai pijakan analisis lebih kualitatif terhadap tema penelitian yang diangkat. Pertimbangan besarnya ingin memberikan titik tekan lebih fokus pada fakta dan data yang ingin diambil. Apa yang dimengerti sebagai evaluasi lulusan perwira remaja dalam konteks pembelajaran HAM dan Polmas harus didekatkan dengan apa yang dekat dengan yang mereka ketahui dan alami. Jikapun pada konteks tertentu, peran dan fungsi mereka tidak berelas langsung dengan kejadian kasus yang diangkat, setidaknya mereka dekat dengan situasi yang mereka alami dalam kerja-kerja kepolisian di wilayahnya.

Fakta-fakta masalah yang dieksplorasi dari berbaga sumber luar polisi amat membantu untuk memverifikasi dan mengkonfrontasikan dengan apa yang selalu dituturkan secara normatif dalam setiap wawancara. Setidaknya, background kasus riil ini bisa menjadi cermin akan keterlibatan dan kondisi kepolisian semacam apa yang bisa diteropong secara lebih kritis. Jikapun tidak ada kasus-kasus besar yang berjalan saat penelitian ini berlangsung, setidaknya kasus tersebut masih memiliki efek lebih luas terhadap kebijakan-kebijakan lainnya. Dalam hasil penelusuran peneliti, kasus utama yang dipilih tentu berdasar pertimbangan bahwa kasus tersebut memiliki dimensi persoalan yang cukup kompleks, besar dan berdampak pada dimensi-dimensi yang lain terutama menyangkut problem persoalan polmas dan HAM. Ia juga dipilih berdasar besar kecilnya peristiwa dan polemik sosial yang tercipta. Terutama kedekatan yang intens terhadap relasinya terhadap kerja-kerja kepolisian.

Banyak kasus yang hadir dua tahun terakhir di Kalimantan Timur berkait isu besar tentang konflik lahan antara perusahaan dan warga masyarakat biasa. 39 Salah satu yang cukup besar dan meletakkannya sebagai problem cukup komplek adalah ‘Tragedi Berdarah Kota Bangun”. Sebuah peristiwa konflik sengketa lahan yang memuncal pada bentrok besar yang menyeret dugaan adanya tindakann represi kekerasan pihak kepolisian terhadap warga masyarakat. Sengketa lahan it terjadi antara perusahaan tambang batubara PT Arkon Mirenatama dan warga desa Semaleh, Kota Bangun, Kutai Kertanegara. Kasus Kota Bangun amat menyentuh problem HAM karena kualitas kasusnya yang membawa banyak korban terhadap penduduk sipil. Tercatat satu orang meninggal tertembak peluru aparat dan puluhan orang luka berat termasuk juga pada pihak kepolisian.

Kasus sengketa lahan ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Pada tahun 2006 PT. Arkon masuk ke wilayah Kota Bangun. Awal waktu itulah problem sengketa mulai terjadi. PT. Arkon menganggap bahwa ijin penggunaan lahan tambang itu sudah sah dan resmi. Sebaliknya, warga melihat bahwa ijin yang ada adalah tidak sah karena kepemilikan lahan masih dalam hak kepemilikan warga Samaleh yang tergabung dalam KUD Rima Etam. Problem sengketa lahan tersebut kemudian mulai menjadi agenda yang melibatkan berbagai pihak. Dalam catatan kronologis kasus yang diberikan oleh kordinator Jatam, Kahar Al Bahri pada peneliti, terlihat bahwa kasus tersebut juga sudah dibawa sampai tingkat Bupati dan DPRD Kuta Kartanegara. 40 Terjadi beberapa kali negosiasi yang akhirnya berjalan buntu sampai memuncak pada pendudukan lahan sengketa yakni areal tambang PT Arkon dan melakukan blokade penutupan areal jalan menuju pertambangan. Di saat itulah bentrok dan tindakan represi polisi terjadi hingga jatuhnya banyak korban.

Saat dikonfirmasi tentang pandangan, sikap dan pendapat menyangkut kasus tragedi di Kota Bangun tersebut, pihak kepolisian di Polres Kutai Kertanegara terkesan tidak terlalu terbuka terhadap kasus tersebut. Dari analisis dan catatan fakta wawancara, pihak kepolisian Kukar cenderung menyalahkan pihak masyarakat dan membenarkan tindakan kekerasan mereka. Masih dengan pembenaran atas tindakan tersebut, apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah sudah sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku. Bahkan kematian salah satu warga dari dusun Semaleh tersebut dilihat sebagai karena pihak kepolisian hanya melakukan tindakan ‘pembelaan diri’ di lapangan. Pola dan substansi jawaban tersebut ternyata juga berlaku sama ketika peneliti mewancarai beberapa perwira remaja lulusan akpol. 41 Secara prinsip apa yang dilakukan dalam tindakan pengamanan tambang tersebut menurut kepolisian adalah sudah benar dan tepat. Lebih lagi pihak kepolisian malah melarikan adanya oknum-oknum provokator yang harus bertanggungjawab atas kejadian Kota Bangun.


“Saat itu, anggota terdesak sehingga terpaksa melepaskan tembakan peringatan namun massa tetap menyerang polisi hingga anggota saya terluka dan terpaksa kami mengambil tindakan tegas," ungkap Heru Dwi Pratondo (Mantan Kapolres Kutai Kartanegara-pen). 42


Karena keterbatasan akses pada kasus tersebut dengan jauhnya jarak lokasi peristiwa dan sekaligus keterbatasan narasumber, maka apa yang pernah termuat dalam pemberitaan di beberapa media massa baik lokal maupun nasional sangat terkesan bahwa tindakan represi aparat yang berlebih itu tidak terjadi. 43 Unsur pembelaan diri karena akan diserang warga menjadi argumen dominan dalam semua isi pemberitaan tersebut. Bahkan kronologis kasus yang dikeluarkan pihak kepolisian memperlihatkan secara terang-terangan bahwa telah terjadi ‘bentrok’ yang didahului adanya ‘penyerangan warga’ terhadap polisi, demontrasi warga dilakukan dengan anarkhis, dan para warga yang melakukan penutupan jalan disebut sebagai bukan warga asli yang selanjutnya dianggap sebagai ‘penyusup’ dan ‘provokator’. Apa yang digambarkan dalam kasus ini sangat berbeda dibandingkan ketika peneliti berhasil mewancarai beberapa aktifis yang terlibat langsung dalam pendampingan kasus Kota Bangun. Informasi terhadap fakta kejadian yang peneliti dapatkan berbicara justru sebaliknya.

Rekaman fakta yang lebih lengkap amatlah berbeda dengan apa yang termuat di media massa atau laporan resmi kepolisian. Gambaran fakta kronologis kasus tersebut bahkan terpampang sangat jelas dalam ‘rekaman video’ yang berhasil peneliti dapat dari pihak Jatam. Rekaman video ini diambil oleh salah satu warga Semaleh saat mereka ikut langsung di lapangan kejadian. Dalam gambaran video, nampak sangat jelas ketika polisi memang terliput telah di luar batas melakukan tindakan kekerasan terhadap warga yang sedang memblokade jalan masuk ke areal tambang. Bahkan gelar pasukan yang datang di tempat kejadian perkara tidaklah sebanding dengan jumlah warga masyarakat. Pasukan Brimob dari Polda Kaltim bahkan harus didatangkan. 44 Memberi kesan situasinya memang amat genting dan membahayakan. Setelah peristiwa bentrok tersebut, Polres Kutai Kertanegara menetapkan status keamanan Siaga Satu di Kota Bangun.

Dalam video yang lain tentang rekaman terhadap korban meninggal dan beberapa warga yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Perikesit, Tenggarong Kutai Kertanegara, menunjukan tambahan fakta yang lebih jelas. Serin, warga Semaleh yang meninggal dalam persitiwa itu terlihat terkapar dengan banyak bekas luka tembakan. Dari beberapa informasi yang di dapat, Serin adalah termasuk pimpinan kelompok warga yang dianggap paling berani dalam memperjuangkan hak atas lahan. Ia sejak lama memang sudah menjadi sasaran dan target utama dari kepolisian. Beberapa yang lain juga terlihat mengalami luka tembakan dan pukulan aparat yang serius. Setelah kejadian itu, sekitar 24 orang warga akhirnya ditangkap. Mereka dianggap melakukan ‘tindakan melawan aparat’ dan sekaligus terkena jerat hukum berlapis karena ‘membawa senjata tajam’. Pihak kepolisian akhirnya juga menetapkan beberapa aktifis dari LSM Koreksi sebagai otak provokator kasus tersebut. 45

Peristiwa ‘Tragedi Kota Bangun’ bisa diletakkan sebagai catatan kasus besar dan menarik, yang secara langsung berelasi dengan gambaran sesungguhnya wajah dan citra kepolisian yang saat ini masih berlangsung di Kalimantan Timur. Pesrsentuhan dengan dimensi struktural politik dan ekonomi amatlah terasa. Sebagai kasus, Tragedi Kota Bangun juga dapat ditempatkan menjadi pintu awal menarik untuk memotret sejauh mana nilai-nilai HAM dan Polmas sudah riil digunakan sebagai model pendekatan keamanan.

Kasus Kota Bangun hanya mewakili dari berbagai kasus yang sempat muncul dan menjadi trend kecenderungan yang masih bertahan. Jika variabel HAM dan Polmas menjadi penting untuk dilihat, maka sudah pasti masih ada problem amat serius dalam pengembangan pendekatan keamanan. Masih ada persoalan dalam dimensi pengembangan keamanan yang menghargai masyarakat terutama komunitas warga yang rentan terhadap bentuk pelanggaran HAM. Paska peristiwa dan sesudahnya, kasus tersebut belum menjadi catatan reflektif untuk pembenahan bagi pengembangan pola keamanan yang lebih baik. Dari beberapa informasi yang peneliti dapat, perubahan kearah tersebut belum menjadi perhatian serius dari pihak kepolisian. Efek besarnya kepercayaan terhadap tubuh institusi ini semakin merosot drastic dan bahkan berkurang sama sekali. Seperti yang ditunjukan Pastur Kopong, SVD saat berhasil diwawancarai.



“…ya kalau untuk saya sekarang, untuk aparat…bagi saya saya sudah tidak percaya mereka lagi, dengan slogan bahwa mereka itu pengayom dan pelindung masyarakat, pelayan publik, saya tidak percaya lagi terhadap mereka, itu semua hanya janji – janji kosong dalam arti itu. Bagi saya lebih baik, bahwa ya… ini juga untuk saya itu dari atasannya, memberi kebijakan yang…yang tegak, bahwa setiap tindakan kita harus berpihak pada masyarakat…tapi kan sekarang ‘uang’ yang lebih banyak dikejar. Jadi saya hanya mengatakan saya sudah agak tidak percaya lagi dengan kelompok masyarakat, dan juga termasuk sampai pada masalah penegakan hukum. 46


Beberapa perwira remaja lulusan akpol 2006 sampai 2008, saat riset ini dilakukan masih bertugas di wilayah Polres Kutai Kertanegara yakni Ipda Egidio Fernando Alfamantar, IpdaHendry Ibnu Indarto, Ipda Bayu Kurniawan, Ipda La Ode Prasetyo Fuad . Sebagian dari mereka ikut dalam bagian (untuk tidak menyebutkan sebagai pemimpin atau penentu keputusan) dalam penanganan kasus Tragedi Kota Bangun. Tidak ada pandangan yang berbeda dengan apa yang secara umum telah menjadi kebijakan dalam penanganan kasus tersebut, termasuk fakta kronologis yang diinformasikan ke peniliti. Keseragaman pandangan itu bisa karena beberapa hal, Pertama, karena para lulusan perwira remaja bukanlah penentu utama keputusan atas penentuan kebijakan tersebut. Saat penanganan kasus kejadian mereka masih bertugas dalam fungsi-fungsi yang terbatas dan belum menentukan. Unsur hirarkhi kebijakan ini teramat menjadi sangat kuat dalam menentukan operasi, tindakan dan penanganan kasus yang dilakukan kepolisian. Kedua, secara prinsip sikap pandangan mereka juga tidak terlalu berbeda dengan apa yang menjadi prinsip pilihan kebijakan secara keseluruhan atas penanganan kasus tersebut. Sebagai bawahan, fungsi menjalankan tugas dari mandat yang diberikan pimpinan menjadi yang terutama.

Meskipun menyadari bahwa penelitian belum sempat memasuki beberapa sumber informasi dan fakta tambahan yang lain, terutama narasumber-narasumber kejadian yang lebih luas dan juga dokumen-dokumen penting yang menunjang47, riset ini tetap berusaha untuk bisa menemukan ‘celah kosong’ yang menjadi poin penting untuk membaca sejauh mana prinsip HAM dan Polmas sudah diikutsertakan dalam prinsip kerja mereka. Setidaknya jika kedekatan dan keterlibatan secara langsung kurang bisa ditemukan, namun secara normatifpun ia akan bisa ditelusuri terutama sikap mereka tentang kasus tersebut dan masalah-masalah riil yang bersentuhan dengan persoalan HAM dan Polmas. Celah kosong inilah yang menjadi catatan penting untuk dicermati. Selanjutnya, catatan ini akan menjadi saran dan rekomendasi bagi perbaikan kinerja kepolisian termasuk usaha pengembangan pembelajaran HAM yang lebih baik.



Ingatan terhadap Nilai HAM : Diantara Problem ‘Konsepsi’ dan ‘Praktik kelembagaan’


“HAM merupakan hak dasar yang dimiliki manusia sejak lahir,
yang melekat pada setiap manusia,
yang merupakan anugerah Tuhan yang Maha Esa,
yang wajib dihormati oleh setiap orang
tanpa membedakan statusnya apa, jabatannya apa”
(Ipda Bayu Kurniawan. Lulusan Akpol 2008)


Catatan wawancara terhadap para perwira remaja membuktikan bahwa antara apa yang mereka fahami secara mendalam tentang konsepsi HAM masih juga bermasalah dan secara praktik tidak juga dibekali secara lebih mendalam tentang metodologi-metodologi yang lebih kongkrit semacam apa untuk melakukan bentuk penanganan kasus yang berperspektif HAM. Lebih ekstrimnya, bisa dikatakan masih ada disparitas kesenjangan antara apa yang secara normatif mereka fahami dengan tindakan perilaku kongkrit mereka di lapangan. 48 Ketika ingatan mereka harus dipaksa untuk menjelaskan apa yang dimaknai tentang prinsip HAM, sebagian komentar yang didapat cenderung serupa. Apa yang keluar dalam pemahaman kognisi sebatas masih hanya melihat HAM secara sederhana dan terbatas sebagai sesuatu hak dasar yang sejak lahir ada dan harus dihormati. Pengertiannya ta lebih dari itu. Artinya, sebagai nilai ia tidak menjadi bagian ‘menubuh’49 dari sebuah prinsip keyakinan yang benar-benar telah ‘terinternalisasi’ dalam watak, karakter, dan praktik perilaku mereka dalam bekerja. Kesan hanya ‘menghafal’ ketimbang ‘menghayati’ sebagai pilar prinsip keyakinan dasar belum ditemukan dalam wawancara.

Dibeberapa temuan wawancara, tidak jarang masih didapat tutur komentar pembelaan diri terhadap diri kepolisian berkait dengan pemahaman dasar HAM. Menurut pemahaman yang didapat dari jawaban mereka, “HAM juga seharusnya dimiliki oleh polisi dan bukan hanya diberikan kepada masyarakat”. Mereka merasa ‘polisi’ selalu saja ada dipihak yang selalu ‘dipersalahkan’ dan didakwa dengan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi. Sedangkan masyarakat yang juga terlibat tidak pernah dikritik. Menurut argumentasi mereka, situasi ini terasa ‘tidak adil’.

Pandangan bahwa “polisi juga manusia biasa” yang secara prinsip sama dengan masyarakat lain, dilihat bukan sebagai wacana ilmiah yang didasari dalam pandangan filosofis yan mendalam, tetapi mengerucut pada bentuk ‘kekesalan’ dan ‘frustasi’ yang tersirat terhadap bertubi-tubinya kritik yang diberikan kepada aparat ketimbang masyarakat. Jika ditarik dalam prinsip keyakinan mereka, pandangan sebelah ini menurut beberapa perwira remaja ini adalah ‘bermasalah’. Seharusnya juga dibutuhkan bentuk pemahaman-pemahaman nilai HAM bagi masyarakat agar bisa menghormati HAM ketika berhadapan dengan aparat. Beberapa contoh konsepsi dan cara pandang demikian bisa ditemukan dalam beberapa kutipan wawancara dengan mereka.


“…Ketika masyarakat yang kena, terus pemberitaan terus, kalau polisi yang kena, itu sudah tugasnya dia….sudah tanggungjawabnya dia…jadi kalau sudah tanggungjawabnya ya begitu. Jadi kalau masyarakat mau menempatkan diri di posisi kita, mungkin akan lebih besar pelanggaran HAM yang terjadi, kalau dia mau merasakan menempatkan diri di posisi kita” 50

“…Bahwa sebenarnya masyarakat itu perlu disosialisasikan dan sekali – kalilah kita tegaskan, bahwa tidak hanya polisi saja, yang dituntut agar tidak melanggar HAM, tapi masyarakat juga, yaitu apa, misalnya dengan sikap – sikap pada saat demo, mungkin itu. Dan perlu juga e…melakukan koordinasi dengan pihak, dalam artian seperti stasiun TV. Karena apa, karena saya lihat itu muncul terus di-blow up. Kenapa pada saat polisi yang terkena injak – injak, tidak pernah, hanya sesekali saja, kalau misalnya lapisan masyarakat yang terkena, terus- terusan, kenapa seperti itu, berat sebalah.” 51

“..Aturan HAM itu pada dasarnya yang tidak diatur adalah hak itu sebagai seorang pejabat negara, apakah dia itu sebagai masyarakat sipil ataukah dia pedagang. Tapi HAM itu adalah hak yang melekat gitu lo, seperti saya, saya adalah polisi, polisi adalah pekerjaan, dan..tapi status sosial saya di masyarakat, masyarakat bisa melihat bahwa saya sebagai individu, sendiri, kalau pada dasarnya itu dilanggar ya harus dikenakan HAM”. 52

“…Tapi dari sisi lain juga, yang selama ini kita tahu, seperti yang saya katakan tadi juga, HAM ini terlalu terfokus pada, ketika masyarakat mendapat tindakan yang dilakukan oleh aparat, aparat selalu dinyatakan salah gitu. Jadi perlunya e…keseimbangan antara, HAM antara masyarakat dengan HAM yang dimiliki oleh aparat, karena kita tahu juga bahwa HAM itu hak yang dimiliki oleh seseorang sejak lahir, dan ketika saya lahir saya bukan polisi, tapi ketika saya sudah sebesar ini, saya polisi, sedangkan hak itu saya dapatkan sejak saya lahir. Jadi HAM itu dimiliki oleh setiap orang.” 53

“..kalau saya melihat lebih dari sisi polisi itu sendiri sebagai seorang individu, karena ya… pada dasarnya dia sebagai polisi dan sebagai individu sendiri kan adalah suatu kesatuan di dalam lingkup masyarakat, walau dia sebagai polisi kewenangannya, tetapi apabila kejadian itu juga berakibat pelanggaran HAM pada dirinya, selama ini saya belum pernah denger Pak, ada hal seperti itu gitu lo, yang di-blow up dan menjadi proses sendiri.” 54

“..polisi itu kan kelembagaan negara ya, jadi kita yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, tapi kita dibatasi dengan segala sesuatu yang harus memperhatikan HAM, sedangkan masyarakat itu, masyarakat adalah orang sipil yang bebas, yang hanya menuntut HAMnya, kalau menurut saya gini aja, itu balik lagi ke yang tadi kan, polisi juga manusia, ada batas - batasnya juga, dia punya hak - haknya juga yang harus dipertahankan itu dari tingkat pendidikan masyarakat” 55


Apa yang sejatinya terungkap dala beberapa ungkapan dan komentar di atas sebenarnya tidak merujuk pada bagaimana masyarakat harus belajar HAM untuk membekali masyarakat hingga mampu mempunyai pandangan yang luas tentang Ham dan berguna untuk pembelaan nasib masyarakat, tetapi lebih banyak ungkapan untuk meminta masyarakat juga sadar, memahami dan tahu diri atas tugas polisi dan tidak justru selalu menyudutkan. Apa yang terkembang dalam argumentasi semacam itu, kembali lagi mengkesankan bentuk nalar ‘apologi’ dari kewajibannya sebagai ‘aparat negara’ yang mempunyai ‘tugas’ dan ‘mandat’ yang lebih dari masyarakat. Pemahaman terhadap prinsip HAM masi difahami secara naïf dan tidak menyentuh posisi ataupun relasi negara dan masyarakat yang secara hakikat memang dibedakan.

Dari sebagian kecenderungan jawaban di atas, memang masih ada juga sebagian perwira remaja yang berpendapat lebih maju. Secara prinsip melihat bahwa polisilah yang sebenarnya sebagai institusi yang mempunyai kewenangan dan mandat tanggungjawab lebih harus menghormati HAM. Aspek kewenangan inilah poin kuncinya. Kewenangan untuk ‘menindak’, ‘menangkap’ dan ‘menginvestigasi’ inilah yang membuat polisi selalu harus penting menerapkan HAM. Potensi pelanggaran HAM bisa saja akan selalu muncul dalam posisi kewenangan tindakan tersebut. Dari 9 perwira remaja yang berhasil ditemui dan diwawancara hanya tidak lebih satu orang yang melihat peran dan tanggungjawab aparat memang harus lebih dalam kewajiban penghormatan HAM. Sayangnya, ada proses budaya dan sikap kelembagaan sebagai variabel berpengaruh yang belum memberi ruang besar, sehingga pandangan maju tentang HAM ini belum mendapat lahan praktiknya. Sekali lagi, terlihat masih ada ‘disparitas ‘yang amat kentara dengan’ konsepsi kognisi’ pandangan dengan ‘praktik’ yang dihadirkan.

Contoh menarik ada dalam konteks pengalaman Tragedi Kota Bangun. Salah satu perwira remaja yang saat itu bertugas di Polres Kutai Kertanegara yakni Ipda Hendry Ibnu Indarto, Kanit IV SAT Reskrim Polres Kukar yang memberikan pengalaman langsung dalam keterlibatan penanganan kasus tersebut. Kebetulan ia adalah salah satu perwira remaja yang bisa dikatakan terlihat cukup mempunyai jawaban dan tanggapan yang mendalam mengenai prinsip HAM dalam tugas-tugas kepolisian. Menariknya, dari cerita yang dimunculkan, tetap masih melihat bahwa penanganan dan tindakan polisi pada waktu itu sudah sesuai dengan SOP yang benar sehingga dengan demikian bisa secara eksplisit membenarkan apa yang dilakukan oleh aparat pada waktu itu. Cerita pengalaman ini jauh berbeda dengan sementara jawaban yang diberikan dalam wawancara FGD tentang peran Polisi dalam kewajiban penghormatan HAM. Ini bisa dilihat dalam dua kutipan yang ia berikan sebagai bukti catatan tersebut.


“…dan pada nilai – nilai HAM yang terkandung, di dalamnya itu wajib kita junjung tinggi bersama, HAM, pelajaran HAM di Akademi Kepolisian sangat penting sekali untuk menunjang kita sebagai aparat penegak hukum, karena e..kemungkinan besar yang melanggar adalah, e…adalah pihak yang berkuasa, maksud kita adalah yang mempunyai wewenang, e…kita sebagai penegak hukum, makanya kita harus benar – benar..e…mempelajari nilai – nilai HAM, sehingga apa yang kita pelajari tentang HAM itu bisa kita aplikasikan di dalam pelaksanaan tugas, sehingga dalam pelaksanaan tugas kita akan selalu berpegang teguh pada SOP yang ada, sehingga kita diharapkan seminimal mungkin tidak elanggar dari hak asasi manusia tersebut.” 56

“…Namun dalam peristiwa seperti itu saya juga pada waktu itu ada di situ dan kita sudah melaksanakan prosedur yang ada. Cuma dari masyarakat…dia itu ada tindakan anarkis, yaitu dengan ‘menombak’ anggota polisi, itu dua orang, makanya kita mau nggak mau harus melakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Karena itu sudah, kalau saya bilang anggota dari polisi itu sudah tidak berdaya, dia sudah rebah, mau di ini…makanya tindakan yang diambil adalah dengan menembak tadi.” 57


Tentu kita bisa menelisik mengapa di antara keterangan yang disampaikan terdapat realitas yang berbalikan. Apakah memang semata bahwa telah terjadi disparitas diantara ‘ingatan konsepsi’ dengan praktik sikap sebenarnya? Sedikitnya tentu ada celah yang bisa dicermati. Pertama, karena konteks riset ini berbicara pada lulusan perwira remaja yang dalam kebijakan kelembagaan belum merupakan penentu dari grand kebijakan penanganan kasus Kota Bangun, maka sedikit tergambar bahwa jikalaupun ada pemahaman yang utuh terhadap prinsip HAM yang dimiliki perwira remaja, maka tidak akan dengan sendirinya ia bisa teraktualisasi dalam praktik. Struktur ‘grand kebijakan’ ini terlalu tidak mudah untuk sekedar dijamah dengan ide atau pandangan yang sifatnya personal. Artinya pula peran pimpinan hirarkhi kebijakan memberi andil besar pada kebuntuan praktik implementasi HAM di tubuh kepolisian. Kedua, secara riil perwira remaja masih belum cukup terbekali dengan berbagai praktik kongkrit bagaimana implementasi HAM ini bisa diwujudkan. 58 Artinya, taraf yang masih ditemukan hanya sebatas konsep pengertian. Ketika dihadapkan dengan kebutuhan menerapkan praktik metodologi dan pelaksanaan kongkrit seringkali gagap dan mengalami kebingungan. Ketiga, masih terbatasnya materi wawasan terhadap rangkaian akar masalah dan mata rantai problem yang muncul. Kajian analisis terhadap problem berhenti pada ‘kacamata positivistik’ dengan problem-problem yang sangat teknis seperti ditunjukan dalam SOP yang banyak bicara pada bentuk-bentuk teknis operasional dalam penanganan di lapangan. ‘Perspektif positivistik’59 ini cenderung memiliki kelemahan mendasar untuk membaca dan menangkap kerumitan problem HAM yang muncul.

Ketiga catatan itu bisa dicermati sedikitnya dalam beberapa riset wawancara yang berhasil didapat. Beberapa ditemukan bahwa, pertama, problem masalah nilai-nilai dan prinsip pemahaman tentang bentuk pelanggaran HAM masih terbatas pada wujud pelanggaran fisik seperti yang ditunjukan dalam bentrok kekerasan. 60 Nilai-nilai dan pelanggaran HAM yang lebih luas dan struktural seperti masalah-masalah sosial budaya dan politik masih jarang difahami dengan baik. Sehingga apa yang ditangkap dan dilihat selalu terbatas hanya apa yang kemudian hadir sebagai akibat dari mata rantai dan akar masalah yang lebih besar. Ketika diminta untuk mencermati sebuah kasus tertentu seperti Tragedi Kota Bangun maka yang tertangkap tidak menjelaskan pada aspek yang lebih besar semisal tentang bagaimana ‘akar eksploitasi sumber daya alam atas lahan warga’. Kunci analisis sosial yang terbatas inilah yang memberikan celah kosong amat besar bagi catatan kelemahan perspektif kepolisian. Ujung yang lebih luas, kemudian mengembalikan analisis berhenti pada tingkat ‘prosedural’. 61 Usulan terhadap semua ini akhirnya merujuk pada permintaan pelatihan dan tambahan materi tentang ketrampilan teknis dalam penanganan kasus yang berperspektif HAM.



“…Kalau menurut saya, untuk memperkenalkan HAM ini, tentunya perlu dukungan – dukungan. Tapi kalau kita lihat dari institusi ini, kan institusi ini udah punya namanya ‘fungsi Binamitra’, maka dari petugas – petugas Binamitra itulah yang memperkenalkan HAM itu kepada masyarakat sehingga yang mengerti HAM itu tidak hanya polisi tapi juga masyarakat” 62

“…agar supaya polisi bisa melaksanakan nilai – nilai itu, sesuai dengan standar SOP yang ada, kalau misalnya polisi sudah bisa melaksanakan SOP yang ada, walaupun istilahnya e…masyarakat tetap ini terus polisi disalahkan ya kita sebagai aparat hukum, kita harus sudah melaksanakan sesuai SOP yang ada. Kecuali kalau misalnya kita menangkap seseorang tetapi tanpa dasar, ya itu yang dikatakan tidak sesuai dengan SOP.” 63


Keterbatasan para informan terkhusus para perwira remaja dalam mengkaitkan mata rantai setiap problem sosial muncul masih amat terlihat dominan. Kunci ‘analisis sosial’ cenderung dimaknai menjadi soal yang sangat teknis dan meletakkannya secara naif. 64 Struktur ingatan tentang prinsip HAM meloncat langsung hanya pada ‘apa yang harus dikerjakan secara teknis’ di lapangan dengan berpijak pada asas-asas legalitas formal penanganan kasus kepolisian. Jika ingatan para perwira remaja di Polres Kutai Kertanegara banyak mengangkat dasar pengertian tentang HAM, berbeda dengan apa yang tertangkap di saat wawancara di Poltabes Samarinda dengan dua lulusan Akpol. Ipda Maradona Armin Mapaseng dan Ipda Tri Buana Yudha. Apa yang terekam di mereka masih terbatas pada prinsip-prinsip prosedur lapangan. Ingatan awal yang muncul ketika pertanyaan ini diberikan ke mereka adalah tentang teknis cara dan prosedur penanganan ketika sebuah kasus muncul. “Kalau materi yang paling saya ingat di dalam HAM itu, mungkin soal eskalasi. Eskalasi jadi itu adalah salah satu tindakan polisi dimana dia harus melihat lawan arahnya”, ungkap Tri Buana Yudha. Contoh yang ia kemukakan sebagai representasi kasus HAM adalah tentang penanganan demonstrasi. Prinsip yang terus juga ditekankan berulang adalah pedoman fungsi dan tugas kepolisian yang harus menjaga ‘netralitas’. Menyangkut prinsip penanganan kasus di lapangan, menurut mereka polisi harus ‘nol’ dan ‘netral’.


“..Ya kalau pada prinsipnya kan… jadi yang paling prinsip yang paling pertama saya pandang itu, saya sebagai polisi, dan dalam situasi seperti ini sebagai polisi saya harus netral, yang penting tugas saya, saya laksanakan dulu sesuai dengan norma - norma yang ada, yang paling penting kan menjaga ketertiban dan keamanan, dan pada saat demo itu, kalau memang tertib dan misalnya penyampaiannya juga sesuai dengan peraturan yang berlaku, ya silakan…”65

“…yang jelas sebagai polisi harus nol, ga boleh, memang nyata… ga boleh berpihak, harus netral. Jadi kan itu kita menganalisa kalau pemerintah salah, tetap kita tindak...ya untuk itu, kita ada di situ ya untuk itu netral 66



Kesimpulan dan Saran

Jika bisa diringkas dalam beberapa catatan kritis penting, hasil riset tentang ‘Dinamika kerja perwira remaja lulusan Akpol dalam tantangan polmas dan HAM di wilayah Polda Kalimantan Timur’, mendapatkan beberapa temuan penting. Jikapun tidak harus dibaca sebagai kesimpulan akhir yang final, temuan-temuan tersebut merupakan catatan yang amat berharga untuk dilihat. Kecuali ‘catatan kesimpulan’, paper laporan ini juga akan memberikan ‘catatan saran’ sebagai hal yang penting untuk selanjutnya dijadikan pembenahan-pembenahan dan pengembangan lebih baik terutama dalam pengemangan pembelajaran HAM dan Polmas di Akpol. Catatan saran juga untuk pembenahan secara kritis terhadap model riset yang perlu dikembangkan untuk melihat fokus tema tersebut. Catatan saran ini sekaligus memberikan ‘orokritik pembenahan’ terhadap berbagai hal yang telah dlakukan dalam mengevaluasi kinerja kepolisian berkait dengan prinsip nilai HAM dan Polmas.

Temuan kesimpulan tetap merujuk pada rumusan permasalahan yang telah disusun. Pertama, terhadap catatan perspektif, pandangan, sikap, pengalaman dan apa yang saat ini telah dikerjakan oleh para perwira remaja dalam rangka memperjuangan prinsip-prinsip HAM dan Polmas tersebut; Kedua, bagaimana situasi dan dinamika konteks wilayah ikut berpengaruh pada kencenderungan sikap, kebijakan dan penanganan keamanan oleh aparat; Ketiga, adalah bagaimana dinamika sistem dan ruang kebijakan internal institusi kepolisian di mana mereka ditugaskan. Terakhir yang juga menarik adalah evaluasi kritis terhadap pembelajaran HAM dan Polmas terkait dengan beberapa catatan yang terberikan dalam seluruh temuan riset ini.

Temuan pertama terhadap prinsip pandangan para perwira remaja dalam keseluruhan pengalaman mereka berhadapan dengan kewajiban penerapan prinsip-prinsip HAM menunjukan fakta gambaran yang masih lemah. Dengan metode membaca “struktur ingatan” melalui “interpretasi argumentatif” menunjukan adanya celah kelemahan dan kekurangan prinsipiil yang terlihat dalam pemahaman dan pemaknaan mendasar tentang apa yang dimengerti sebagai ‘prinsip dan nilai HAM’. Struktur kognisi untuk membangun konsepsi awal tentang pemaknaan HAM masih terbatas sebagai sekedar hafalan, simplistik, prosedural, naif, fungsional, positivistik dan masih membangun kecenderungan nalar pembelaan diri. Kondisi umum perspektif ini amat berpengaruh pada nalar pandangan mereka terhadap pola penanganan masalah. Karakteristik sikap dan pandangan ini secara umum menjadi ciri seragam dari semua perwira remaja yang berhasil ditemui. Temuan ini beralasan karena masih adanya celah kelemahan mendasar baik pada tataran konseptual secara normatif dengan fakta kongkrit yang ada di lapangan. Pada sisi yang lain terjadi ‘disparitas’ antara konsepsi dan praktik yang berjalan.

Bagaimana akar, relasi dan mata rantai problem-problem besar yang hadir di Kalimantan Timur terutama ‘pelanggaran HAM akibat eksploitasi perusahaan-perusahaan besar’ masih belum bisa dibaca dan dianalisis secara kritis oleh para perwira remaja. Perspektif analisis masih sangat fungsional dan prosedural sehingga seringkali mengabaikan banyak variabel penting dalam analisis sosial. Lebih jaunya akan memposisikan mereka pada sikap pembenaran diri. Atas nama prosedural yang benar sesuai dengan standar operasional kepolisian mendorong hadirnya dalih pembenaran. Prinsip nalar inilah yang masih banyak mendorong munculnya berbagai pembenaran atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan kepolisian. Contoh kongkrit yang berhasil ditemukan adalah penanganan konflik lahan melalui cara-cara kekerasan. Berlindung atas nama ‘prosedur yang benar’ maka tindakan apapun seringkali bisa dibenarkan. Bercermin pada Tragedi Kota Bangun, nalar inilah yang menyebabkan banyak terjadinya bentuk-bentuk pelanggaran HAM. Apalagi kondisi objektif Kaltim memungkinakan potensi konflik dan kekerasan sering dan tetap akan terjadi.

Menggejalanya pertumbuhan milisi-milisi sipil yang lebih berorientasi membangun mutualisme kepentingan keamanan dengan struktur kekuatan-kekuatan dominan. termasuk dengan pihak kepolisian tidak selalu menunjukan gambaran produktif yakni situasi keamanan yang lebih baik. Kehadiran para milisi sipil membuka satu bentuk kecenderungan ‘rekonfigurasi’ politik keamanan yang memberi tantangan baru. Pada aspek tertentu telah terjadi perkembangan baru yakni ‘komodifikasi keamanan’. Proyek Polmas yang diharapkan menjadi jawaban atas tantangan keamanan masih bergerak dalam ranah yang terbatas. Ia belum bergerak untuk menyentuh problem yang luas di luar persoalan-persoalan masyarakat secara horizontal. Pada sisi yang lain, Polmas justru masih dimaknai hanya sebagai kerja-kerja fungsional terbatas di Binamitra dan belum terinternalisiasi pada prinsip kerja masing-masing fungsi dalam tubuh kerja kepolisian.

Kerumitan dan kompleksitas dinamika keamanan yang makin berkembang pesat tidak sebanding dengan percepatan peningkatan proyeksi dan cara pandang kepolisian yang saat ini dipersiapkan. Ruang kebijakan hirarkhi kepolisian terlihat masih lambat dan belum berorientasi serius dan sepenuhnya dalam penerapan prinsip-prinsip HAM dalam kerja mereka. Pengembangan wawasan dan gagasan tentang bagaimana prinsip HAM bisa diterapkan belum menjadi kebutuhan penting dan dimaknai sambil lalu. Kecenderungan nalar orientasi pragmatis prosedural masih menjadi pola yang dominan. Karakteristik pandangan yang masih fungsional menempatkan tugas dan peran mereka sebatas apa yang tercatat dalam aturan kebijakan kerja kepolisian, pada titik lain justru menghambat ruang kreatifitas gagasan untuk melakukan terobosan-terobosan baru dalam merespon problem masyarakat yang hadir secara cepat.

Beberapa catatan temuan di atas sejatinya memberikan poin amat penting pada pentingnya pembenahan dan pengembangan kembali orientasi pembelajaran HAM yang diberikan pada taruna-taruna Akpol. Pertama, terutama pada konten perluasan dan pendalaman wawasan tentang HAM dalam dimensi ’aksiologis’ yang lebih jelas dan terfokus. Pengembangan proses pembelajaran yang lebih membangun ruang afeksi lebih menjadi kebutuhan mendasar ketimbang hafalan-hafalan teoritik yang jauh dari proyeksi keperpihakan. Catatan ini penting untuk mengurangi disparitas yang sering muncul antara apa yang terhafal secara normatif dengan apa yang sepantasnya dimaknai dan diyakini menjadi prinsip nilai yang harus selalu dibawa. Lebih luasnya catatan ini akan memberi poin berguna bagi pentingnya membangun pijakan dan perspektif awal tentang nilai-nilai HAM terutama dalam rangka mendorong orientasi keperpihakan kepolisian pada korban dan masyarakat yang lemah. Kedua, pengembangan metodologi pembelajaran materi HAM yang seyogyanya banyak memberi peluang adanya pendalaman-pendalaman analisis kasus yang berkembang. Penting kiranya menghindari nalar fungsional, prosedural dan pragmatis dalam memahami prinsip nilai HAM sehingga ia bisa menjadi modal pemahaman yang dibawa dalam setiap penanganan kasus. Bila dimungkinkan perlu kiranya adanya penambahan kuantitas maupun intensitas pembelajaran baik dari sisi waktu dan perluasan model-model pembelajaran HAM da Polmas sehingga memberi asupan bekal yang jauh lebih berisi dan mendalam. Hampir semua perwira remaja mengatakan menerima dan mengakui pentingnya HAM untuk kepolisian. Ia baru dalam tarah ’penerimaan ide secara kognisi’ dan belum menginternalisasikan dalam pemahaman-pemahaman yang lebih mendalam dan terutama bisa menjadikan prinsip nilai yang kuat di keyakinan mereka .



***

Catatan kaki :

1. Kultur kebijakan ‘kambing hitam’ sebenarnya merupakan bagian dari cermin kegagalan model pembacaan keamanan. Pada model penanganan keamanan masa Orde Baru, hal ini sangat digemari. Pengertian penting yang dikembangkan oleh ‘Rene Girard’ ini bisa untuk merujuk pada upaya membangun diskursus ‘kesertamertaan’ dukungan atas sebuah konsepsi ‘musuh negara’ yang selalu dibangun. Salah satu contoh kecilnya ada dalam kebiasaan pihak keamanan menyebutkan pihak lain sebagai ‘provokator’, ‘pihak ketiga’ atau ‘penyusup’ dalam setiap penanganan problem keamanan. Ujung dari kultur tersebut cenderung meletakan warga masyarakat sebagai ‘terdakwa’ dan bukan menunjuk pada kelemahan aparat.

2. Pengertian ini pernah diungkapkan oleh antropolog Jerman, Georg Elwert dengan sebuah istilah “ekonomi politik kekerasan” (Political economy of Violence). Istilah ini untuk mengungkapkan satu fenomena khusus tentang komodifikasi kekerasan. Komodifikasi kekerasan yang dimaksud Elwert nampak dalam fenomena-fenomena ‘perang sipil’ yang banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan bisnis tersembunyi.

3. Pada UU No 2 Tahun 2002, pasal 4, secara eksplisit menyebutkan kewajiban ini, yakni “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”

4. “Ingatan” tidak selalu hanya pada apa yang terekam dalam struktur kognisi seseorang tetapi merupakan cermin besar relasi ketegangan makna atas berkuasanya sebuah gagasan pada masa lalu dan masih melekat di masa kini. Dominasi pengetahuan dan pengetahuan tentang HAM yang terberikan sebelumnya bisa terbantukan untuk dilihat kembali di masa kini melalui struktur ingatan yang dimiliki.

5. Pada praktik analisis dan interpretasi hasil wawancara, membaca ‘formasi diskursif’ informan (narasumber) sangat dibutuhkan. Sejatinya gramatika bahasa yang tersampaikan membawa posisi dan ideologi tertentu. Aspek ideologi atau perspektif informan bisa dibaca pada pilihan bahasa dan struktur ujaran yang dipakai.

6. “Triangulasi sumber” memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-beda untuk menggali daa yang sejenis. Tekanannya pada penggalian sumber data buka pada teknik pengumpulan data. Lihat, H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002, hal. 79.

7. Dimensi struktural memberi cakupan cara pandang lebih luas dan mendalam terhadap pemecahan masalah. Pertama, dimensi struktural lebih mempunyai aspek yang cukup dalam untuk menangkap berbagai perkembangan struktur fondasi sistem politik ekonomi dan berbagai keterkaitannya dengan struktur dan aktor-aktor lain. Kedua, dimensi struktrural lebih kritis menjelaskan determinasi mata rantai antara kepentingan basis kekuasaan ekonomi politik dengan perubahan-perubahan struktur tatanan masyarakat yang ada. Ketiga, dimensi struktural setidaknya lebih tajam untuk membongkar faktor-faktor kepentingan di balik berbagai problem keamanan yang nampak di permukaan. Perspektif ini juga berupaya memusatkan perhatian pada perubahan historis sistem dalam skala yang besar dan pengamatan yang tajam mengenai kontradiksi-kontradiksi dan problem keamanan.

8. Beberapa data diambil dari Sumber : Media Briefing JATAM KALTIM, 15 Juli 2009

9. Ibid, Sumber : Media Briefing JATAM KALTIM, 15 Juli 2009

10. Salah satu contoh nyata telah terjadi penandatanganan MOU kont5rak kerjasama tentang upaya penegakan HAM antara Pemerintahann provinsi Kalimantan Timur dan Komnas HAM. Secara normatif ada kesan dan kehendak dari pemerintah daerah untuk mengawal kebijakannya dengan berprinsip pada nilai-nilai HAM. Lihat, www.komisikepolisianindonesia.com atau http://www.kaltimpost.co.id. Diakui baik dari Pemprov Kaltim atau Komnas HAM, bahwa Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Kaltim mayoritas terkait sengketa tambang batubara antara hak adat masyarakat dengan perusahaan tambang. Pada tahun 2009 misalnya, sedikitnya 6 (enam) kasus HAM soal tambang yang ditangani Komisi Nasional (Komnas) HAM.

11. Pada 31 Mei hingga 4 Juni 2010, dalam laporan catatan Tim Hukum dan Advokasi JATAM Kalimantan Timur, 16 Anggota DPRD Menerima amplop masing-masing 1000 USD, totalnya mencapai 16 Ribu USD dari PT. Kideco Jaya Agung. Modus berbau suap atas nama uang fasilitas kunjungan kerja ke Seoul, Korea Selatan yang difasilitasi oleh Samtan Co.Ltd pemegang saham mayoritas Kideco. Dalam laporan BPK Tahun 2008, No 14/LHP/XVII/02/2008, Kideco kepergok memproduksi 18,9 Juta ton (2007) melampaui batas realisasi produksi AMDAL yang disetujui yakni 15 juta ton. Hingga 2007, luas areal yg terganggu dari aktivitas tambang Kideco sudah seluas 4.706 hektar dan masih menunggak setoran Jamrek sebesar 6,6 milyar. Lihat, laporan tulisan Merah Johansyah, Divisi Hukum dan Advokasi JATAM Kalimantan Timur : “Korupsi dan Kekerasan adalah Praktik Kotor Industri Pertambangan Batubara”.

12. ‘Forum Pelangi’ adalah forum para aktifis, LSM dan kelompok ormas yang peduli dan besrsikap kritis atas berbagai bentuk pelanggaran kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah terutama pada kasus-kasus konflik pertambangan, termasuk yang paling besar adalah ‘Tragedi Berdarah Kota Bangun’. Forum ini di dalamnya terdiri dari : Pokja 30, Naladwipa Institute, Bebsic, JATAM, Walhi Kaltim, PC. PMII Metro Kukar, JEFF, PRP Samarinda, SHI Kaltim, Paguyuban PKL Oedah Etam, ABM Kaltim, PC. PMII Samarinda, KPRM Kaltim

13. Wawancara dengan Pastur Kopong, SVD, rohaniawan, pegiat dan pendamping sosial dan anggota Forum Pelangi Kalimantan Timur. 24 Juni 2010.

14. Lihat, “Jatam Desak Satgas Mafia Hukum Ikut Periksa Kasus Kideco”, diambil di http://www.pme-indonesia.com/news/ 10 Mei 2010

15. Lihat “WALHI Desak Pemprov Kalimanta Timur untuk Menghentikan Konversi Hutan”. Dikutip dari http://kaltim.antaranews.com, 4 Juni 2010.

16. Wawancara dengan Kahar Al Bahri, Koordinator Jatam Kalimantan Timur pada 24 Juni 2010.

17. Sebagian ‘data sekunder’ juga diambil dari catatan pernyataan sikap Illegal Logging Watch (ILW) yang dikeluarkan tanggal 30 April 2009, “Stop Illegal Mining PT KPC”. Menurut tambahan catatan ILW, Selain telah melakukan kegiatan ‘illegal logging’, KPC juga telah melakukan aktivitas penambangan batubara secara liar (illegal mining) di kawasan hutan produksi seluas 2.200 Ha yang berada di dalam kawasan konsesi PT. Porodisa. Pihak KPC mengklaim bahwa areal perluasan tambang tersebut merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) sebagaimana surat keterangan yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa No. 720/Menhut-VII/2002 tanggal 13 Juni 2002. Surat Keterangan Menhut ini telah menimbulkan distorsi dan pertentangan dengan SK Perpanjangan HPH No. 823/Kpts-II/1993 tentang hak pengelolaan hutan PT. Porodisa. Berdasarkan SK Perpanjangan tersebut, areal yang digunakan untuk aktivitas pertambangan KPC ternyata masuk ke dalam kawasan hutan milik PT. Porodisa. Menteri Kehutanan belum pernah menerbitkan SK Perubahan yang mengeluarkan areal perluasan KPC dari kawasan konsesi HPH PT. Porodisa sehingga kesalahan yang dilakukan Menhut pada waktu itu tidak dapat menghapus aspek pelanggaran hukumnya, meskipun Menhut MS Kaban mengeluarkan Surat No. S.460/Menhut-II/2008 tangal 14 Agustus 2008 yang menegaskan kembali status APL kawasan tersebut.

18. Hampir sebagian besar hasil temuan wawancara baik dengan pihak kepolisian, waga masyarakat biasa dan juga para aktifis organisasi sosial dengan segala perbedaan perspektifnya menyebutkan bahwa problem ‘konflik sengketa lahan’ menjadi urutan yang paling besar berkemungkinan melahirkan bentuk pelanggaran HAM di Kalimantan Timur.

19. Maraknya kemunculan ormas-ormas etnis (kesukuan) berbareng dengan makin bekembangnya pertumbuhan ekonomi terkhusus pada meningkatnya problem atas tanah dan juga hadirnya kebijakan ‘politik otonomi daerah’ yang melahirkan perkembangan ‘politik identitas’ berbaju etnis kesukuan. Kebanyakan yang terbesar dari etnis Dayak seperti GEPAK (Gerakan Pemuda Asli Kalimantan), KOPAD (Komando Pengawal Adat Dayak), LKK (Lembaga Kebangkitan Kutai), PDKT (Persekutuan Dayak Kalimantan Timur), KPADK (Komando Pertahanan Adat Dayak Kalimantan),

20. Wawancara dengan Merah Johansyah, Divisi Hukum dan Advokasi Jatam Kalimantan Timur, 23 Juni 2010, di Hotel Mesra Samarinda.

21. “Konflik terbuka” biasanya terjadi antara perusahaan dan masyarakat pemilik tanah. Konflik antara perusahaan dengan perusahaan sifatnya lebih ‘tertutup’ dan sering diselesaikan melalui jalan negosiasi tertutup antara mereka.

22. Wawancara dengan Satri, Aktifis Perhimpunan Mahasiswa Katlik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Samarinda dan pernah aktif di Pokja 30 dan bergiat di Forum Pelangi.

23. Ibid, wawancara dengan Merah Johansyah. Dalam keterangannya juga, menyebutkan bahwa memang tidak keseluruhan ormas-ormas kesukuan ini selalu mendukung kepentingan perusahaan tambang. Dalam contoh kasus konflik lahan antara perusahaan tambang PT Arkion dan warga Semaleh, Kota Bangun yang tergabung dalam KUD. Rima Etam, ormas yang menyebut diri dengan LAD (Lembaga Adat Dayak) sangat gigih membantu masyarakat pemilik lahan. Salah satu warga yang meninggal dala kasus tersebut termasuk orang yang disegani dalam lembaga tersebut.

24. Pola ‘kemitraan polisi dan masyarakat’ yang tertuang dalam program Polmas diartikan masih sebagai cara untuk membantu program kepolisian dalam penanganan keamanan murni. Capaian yang ingin didapat adalah meringankan dan mempermudah pelaksanaan kerja kepolisian. Problem-problem kasus yang masih banyak ditemukan masih bersifat kecil terbatas yang muncul dalam kasus-kasus harian seperti perjudian, perceraian, perkelahian perorangan, dan kriminalitas yang lain. Problem-problem struktural yang melibatkan kepentingan besar seperti problem besar perusahaan masih jarang ditangani. Jikapun ada peran Polmas justru seakan sering menjadi jurubicara dari kepentingan perusahaan.

25. Wawancara dengan Kompol Ruskan, Kabag Binamitra, Poltabes Samarinda, 23 Juni 2010.

26. Lihat, Tribun Kaltim, 21 September 2008, “PDKT dan GEPAK Kaltim dukung Polmas”, Diambil dari http://www.tribunkaltim.co.id, tanggal akses 25 Juni 2010.

27. Lihat, Tribun Kaltim,15 Oktober 2010, “Pemuda Dayak Dukung Polmas”, Diambil darihttp://www.tribunkaltim.co.id, tanggal akses 25 Juni 2010. Dukungan ini secara formal diberikan melalui audiensi dan pernyataan resmi dukungan dengan Kapolda Kaltim Irjen Pol Andi Masmiyat pada saat itu. Pertemuan dilaksanakan di ruang rapat kapolda lantai dua Mapolda Kaltim, Jl Syafruddin Yoes Balikpapan, Selasa, 10 Oktober 2008.

28. Lihat, Tribun Kaltim, 20 September 2008, “KPAD : Polisi Jangan Jadi Satpam Perusahaan”. Diambil di http://www.tribunkaltim.co.id, tanggal akses 25 Juni 2010.

29. Pemahaman “Objek Vital Nasional” adalah perusahaan-perusahan besar berskala nasional ataupun internasional beroperasi di wilayah Indonesia yang dianggap strategis bagi kepentingan ekonomi nasional. Dan jika ada gangguan terhadap objek vital ini maka dikawatirkan akan mengganggu dan berdampak pada ekonomi secara nasional. Contoh yang ada di Kaltim adalah seperti PT KPC dan PT Kideco Jaya Agung yang menjadi perusahaan tambang terbesar pertama dan kedua di wilayah Kalimantan Timur.

33. Lihat, Kaltim Post, 27 Mei 2009, “Kapolda : Polisi Tidak Cari Duit Terkait Penerapan Polmas di Obvitnas Batu Bara, Diakses di http://www.kaltimpost.co.id, tanggal akses 25 Juni 2010.

31. Lihat, Koran Tempo 20 Juli 2008, “Mahasiswa Tolak Polisi Masyarakat”, diambil dari http://www.korantempo.com, tanggal akses 25 Juni 2010.

32. Lihat, http://illegalloggingwatch.blogspot.com, tanggal akses 27 Jni 2010.

33. Pada awal-awal kemunculan program polmas di Kaltim tahun 2008, tidak sedikit yang memberikan reaksi penolakan seperti yang dilakukan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), JATAM Kaltim, LBH, ILW dan beberapa kelompok sosial yang lain. Lihat, Koran Tempo, 20 Juli 2008.

34. Lihat, Kaltim Post, “Kapolda : Polisi Tidak Cari Duit Terkait Penerapan Polmas di Obvitnas Batubara”. 27 Mei 2009

35. Wawancara dengan Wakapoltabes Samarinda, AKBP Faisal. Tanggal wawancara 23 Juni 2010.

36. Lihat, “Jatam Curigai Polmas”, dimuat di Koran Tribun Kaltim, 20 September 2008. Diakses di http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/7663, tanggal akses 25 Juni 2008

37. Ibid, Koran Tribun Kaltim, 20 September 2008.

38. Beberapa contoh dokumen data diberikan ke peneliti. Data itu berbentuk ‘Laporan Rekapitulasi Penyelesaian Masalah dan Jumlah Penyelesaian Masalah yang Ditangani oleh FKPM/Polmas Triwulan I Bulan Januari sampai Maret 2010 Poltabes Samarinda”.

39. Lihat, “Pelanggaran HAM Banyak Terkait Tambang”, diambil dari www.komisikepolisianindonesia.com Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Kaltim mayoritas terkait sengketa tambang batubara antara ‘hak adat masyarakat’ dengan ‘perusahaan tambang’. Pada tahun 2009 misalnya, sedikitnya enam kasus HAM soal tambang telah ditangani Komisi Nasional (Komnas) HAM. Lihat juga Kaltim Post, 19 Februari 2010, “Komnas terima 6 Laporan Pelanggaran HAM Didominasi Konflik Perusahaan-Warga”. Diambil dari http://www.kaltimpost.co.id, tanggal akses 15 Juli 2010.
40. Lihat Data “Kronologis Bentrok Warga Kota Bangun dengan PT. Arkon”, diambil dari Media Briefing JATAM Kaltim, 15 Juli 2009, yang diberikan oleh Kahar Al Bahri, Koordinator Jatam Kaltim saat wawancara.

41. Dalam ‘Forum Group Discusion’ (FGD) yang dilakukan bersama empat perwira remaja di Polres Kutai Kartanegara, 23 Juni 2010, yakni dengan Ipda Hendry Ibnu Indarto, Ipda Bayu Kurniawan, Ipda La Ode Prasetyo Fuad dan Ipda Egidio Fernando Alfamantar memberikan catatan argumentasi yang sama terhadap tindakan kepolisian yang dianggap benar dalam kasus Kota Bangun. Ipda Hendry Ibnu Indarto yang juga hadir dalam kasus itu menyebutkan bahwa “Namun dalam peristiwa seperti itu saya juga pada waktu itu ada di situ dan kita sudah melaksanakan prosedur yang ada. Cuma dari masyarakat, dia itu ada tindakan anarkis, yaitu dengan menombak anggota polisi, itu dua orang, makanya kita mau nggak mau harus melakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Karena itu sudah, kalau saya bilang anggota dari polisi itu sudah tidak berdaya, dia sudah rebah, mau di ini makanya tindakan yang diambil adalah dengan menembak tadi.”

42. Lihat, www.Kapanlagi.com, Kamis, 21 Agustus 2008

43. Lihat beberarapa cuplikan kalimat pemberitaan yang berhasil didapat. Kesan pemberitaan jelas-jelas lebih cenderung menunjukan pihak masyarakat yang bersalah salam hal ini. Misal situs pemberitaan www.Kapanlagi.com memberikan pemberitaan “Kejadian yang terjadi di lokasi tambang batubara milik PT. Arcon Mineratama berawal ketika polisi mencoba mengamankan salah seorang pengunjuk rasa yang dicurigai sebagai provokator. Namun, saat polisi menggiringnya, pengunjuk rasa langsung menyerang petugas dengan berbagai senjata tajam. Lihat juga “Detik News” yang memberikan ulasan berita “Bentrokan berawal dari upaya petugas untuk melerai ketegangan antara warga dan PT Arcon Mineratama sekitar pukul 10.00 WIB. Namun kedatangan petugas ini disambut kemarahan warga yang membekali diri dengan senjata tajam”. Lihat www.Kaltim.polri.co.id yang memberitakan, “Tidak disangka, kehadiran polisi malah disambut amarah ratusan massa. Mereka tidak mau dibubarkan dan menolak menyerahkan senjata tajam masing-masing. Setelah selesai menyampaikan penjelasan, polisi akhirnya bergerak maju untuk melucuti senjata pengunjukrasa. Nah, ketika itulah terjadi bentrok karena massa melakukan perlawanan. Bahkan, ketika polisi mulai melepaskan tembakan ke udara, beberapa malah berusaha warga menyerang petugas. Terutama seorang pemuda yang belakangan diketahui bernama Serin (32), beralamat di Kecamatan Jempang Kabupaten Kubar, menyerang polisi dengan sebatang tombak dan berhasil melukai.” Pemberitaan di Liputan6.com juga serupa. Misal kalimat pemberitaan yang menyebutkan bahwa “Menurut polisi, bentrokan terjadi ketika anggota Polres Kutai Kartanegara berupaya menangkap sejumlah provokator yang diduga menghasut warga untuk memblokade areal pertambangan. Warga yang tergabung dalam ‘Kelompok Tani Prima Etam’ mengklaim areal tambang adalah milik mereka. Padahal surat yang mereka miliki diduga palsu. Seorang warga tewas ditembak karena melawan dan melukai polisi.”

44. Lihat, http://www.antaranews.com, 22 Agustus 2008, “Dua Pleton Brimob Siaga Di Kutai Menyusul Bentrokan Berdarah.” Tanggal akses, 25 Juni 2010.

45. Lihat, http://www.okezone.com, Sabtu 23 Agustus 2008, “Bentrok Kukar, Dua Anggota LSM Masuk DPO.” Tanggal akses 25 Juni 2010.

46. Wawancara dengan Pastur Kopong SVD, anggota Pokja 30 dan Forum Pelangi Kalimantan Timur, 24 Juni 2010.

47. Sekali lagi, keterbatasan waktu riset mempengaruhi jumlah temuan-temuan data dan narasumber yang dibutuhkan.

48. Sebagaimana mengutip apa yang pernah dituliskan oleh Satjipto Raharjo bahwa “Pekerjaan perpolisian bukan hanya pekerjaan normatif, tetapi juga cultural yang kompleks, pekerjaan kemanusiaan yang berdimensi sangat luas. Pekerjaan sosia cultural ini antara lain menjalankan ‘fungsi ombudsman’ bagi orang-orang yang sakit, lapar, putus asa, kebingungan dan tidak tahu….Di sini mulai masuk pertimbangan ‘moralitas’ dari peran yang dijalankan (role morality). Lihat, Satjipto Raharjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial Budaya, Penerbit Kompas, Jakarta, 2002, hal. 65.

49. “Menubuh” mengandung dasar pengertian bahwa sebuah nilai tertentu telah diyakini sepenuhnya dan dihayati menjadi bentuk ‘keimanan’ seseorang yang akan mempengaruhi kapan dan dimanapun ia melakukan aktifitas kerja. Bahkan dalam pandangan yang lebih jauh ia sudah dijadikan visi hidup yang dihayati dann terafeksi dalam praktik habitus keseharian seseorang.

50. Wawancara dengan Ipda Nyoma Sri Oktarini, Kanit PPA SAT Reskrim Polresta Balikpapan, Lulusan Akpol tahun 2007. Tanggal wawancara 22 Juni 2010.

51. Wawancara dengan Ipda Rizky Pratama Wida Prastianto, Kanit Reskrim Plsek Balikpapan Selatan, Polres Balikpapan, Lulusan Akpol tahun 2008. Tanggal wawancara, 22 Juni 2010.

52. Wawancara dengan Ipda Bayu Kurniawan, Kanit I SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara, Lulusan Akpol tahun 2008. Tanggal wawancara 24 Juni 2010.

53. Wawancara dengan Ipda La Ode Prasetyo Fuad, Kanit Regident SAT Lantas Polres Kutai Kertanegara, tanggal wawancara 24 Juni 2010.

54. Wawancara dengan Ipda Egidio Fernando Alfamantar, Kanit III SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara, tanggal wawancara 24 Juni 2010.

55. Wawancara dengan Ipda Tri Buana Yudha, Kanit Reskrim Polsekta Sungai Kunjang Poltabes Samarinda, tanggal wawancara 23 Juni 2010.

56. Wawancara dengan Ipda Hendry Ibnu Indarto, Kanit IV SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara, tanggal wawancara 24 Juni 2010
.
57. Wawancara dengan Ipda Hendry Ibnu Indarto, Kanit IV SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara, tanggal wawancara 24 Juni 2010.

58. Kebanyakan keluhan dan catatan terbesar yang diberikan oleh para perwira remaja adalah belum tercukupinya bekal yang lebih mendalam soal pembelajaran HAM yang kontekstual dengan kebutuhan wilayah. Catatan ini merujuk pada pemberian materi pembelajaran di Akademi Kepolisian (Akpol) tentang HAM dan Polmas. Banyak pengajar yang hanya memberikan bekal-bekal yang makro dan normatif secara teoritis.

59. Kecenderungan perspektif ini selalu ditampakan pada kecenderungan penggunaan asas legalitas formal oleh aparat. Pemahaman problem masalah kerap dimengerti sebagai masalah yang sudah begitu saja hadir (eksis) di permukaan. Hal yang menjangkau akar terdalam mengapa dan pertimbangan apa sebuah problem (fakta) bisa hadir. Poin dasar terdalam mengapa sebuah fakta bisa eksis seringkali tidak menjadi sesuatu yang dianggap penting.

60. Dari hasil wawancara kesemua Perwira Remaja baik di Polresta Balikpapan, Poltabes samarinda dan Polres Kutai Kertanegara masih menunjukan kecenderungan seragam pemahaman terbatas ini. Salah satu contoh ungkapan yang paling sering hadir “Kalau misalnya opini publik, sejauh ini saya lihat ya HAM itu pasti hubungannya dengan kekerasan gitu lo.” Diambil dari petikan wawancara dengan Ipda Egidio Fernando Alfamantar, Kanit III SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara, 24 Juni 2010.

61. Prosedural kelembagaan yang sering difahami menyebutkan bahwa tugas dalam rangka menanamkan nilai dan prinsip HAM sudah ada fungsinya tersendiri, selama ini masih terbatas pada tugas ‘Binamitra’ dan belum menjadi bagian penting dan utuh dari keseluruhan fungsi kerja kelembagaan yang lain.

62. Wawancara dengan Ipda Bayu Kurniawan, Kanit I SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara, Lulusan Akpol tahun 2008. Tanggal wawancara 24 Juni 2010.

63. Wawancara dengan Ipda Hendry Ibnu Indarto, Kanit IV SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara, tanggal wawancara 24 Juni 2010. Pelaksanaan yang benar terhadap SOP dimaknai sebagai ukuran yang benar untuk bisa mengawal prinsip-prinsip nilai HAM. Pemahamn ini terlihat konsisten dengan sikap ‘pembenaran’ atas analisis kejadian Tragedi Kota Bangun’ bahwa pihak aparat sudah menggunakan standar operasional yang benar. Sehingga kalaupun terjadi korban dalam peristiwa tersebut tetap diyakini bukan merupakan kesalahan dan bukan bentuk pelanggaran HAM.]

64. Kecenderungan nalar pikir ‘naif’ lebih memperlihatkan bahwa problem HAM dibaca sebagai sekedar masalah hak manusia biasa. Subjek HAM hanya dilihat dalam pengertian terbatas tersebut. Ketika polisi harus bersentuhan dengan persoalan kasus tertentu, missal penanganan ‘demonstrasi massa’ menuntut pemerintah, maka polisi harus tetap bersifat netral. “Pemerintah kan juga manusia”. Inilah salah satu ungkapan informan yang menunjukan keterbatasan cara pandang tersebut. Mereka masih terbatas dalam menganalisis problem HAM yang lebih struktural (misal berkait dengan variabel peran negara) dan bagaimana ‘peran negara’ harus mewujudkannya.


65. Wawancara dengan Ipda Maradona Armin Mapaseng, Kanit I SAT Reskoba Poltabes Samarinda. Tanggal wawancara 23 Juni 2010.

66. Wawancara dengan Ipda Tri Buana Yudha, Kanit Reskrim Polsekta Sungai Kunjang Poltabes Samarinda. Tanggal wawancara 23 Juni 2010.



Refrensi :


Buku :

H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2002

Satjipto Raharjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial Budaya, Penerbit Kompas, Jakarta, 2002

Veronika Sintha Saraswati, Imperium Perang Militer Swasta, Penerbit Resist, Yogyakarta, 2010.

Tim Pusham UII, Modul Training HAM dan Polmas, Yogyakarta, 2008.


Makalah dan Dokumen :

Merah Johansyah, Divisi Hukum dan Advokasi JATAM Kalimantan Timur : “Korupsi dan Kekerasan adalah Praktik Kotor Industri Pertambangan Batubara”.

Dokumen Pernyataan sikap Illegal Logging Watch (ILW) yang dikeluarkan tanggal 30 April 2009, “Stop Illegal Mining PT KPC”.

Dokumen Pernyataan Sikap dan Siaran Pers “Tragedi Kota Bangun Berdarah”, 24 Agustus 2008.

Media Briefing JATAM KALTIM, 15 Juli 2009

Dokumen Laporan Rekapitulasi Penyelesaian Masalah dan Jumlah Penyelesaian Masalah yang Ditangani oleh FKPM/Polmas Triwulan I Bulan Januari sampai Maret 2010 Poltabes Samarinda

UU No 2 Tahun 2002



Video Film :

Video ‘Tragedi Berdarah Kota Bangun : Bentrok Antara Polisi dengan Warga Dusun Semaleh Kota Bangun, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur”, 2008.

Video Tentang Korban Meninggal dan Luka Parah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Perikesit, Tenggarong Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur


Wawancara :

Wawancara dengan Pastur Kopong, SVD, rohaniawan, pegiat dan pendamping sosial dan anggota Forum Pelangi Kalimantan Timur

Wawancara dengan Kahar Al Bahri, Koordinator Jatam Kalimantan Timur pada 24 Juni 2010.

Wawancara dengan Satri, Aktifis Perhimpunan Mahasiswa Katlik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Samarinda dan pernah aktif di Pokja 30 dan bergiat di Forum Pelangi.

Wawancara dengan Merah Johansyah, Divisi Hukum dan Advokasi JATAM Kalimantan Timur

Wawancara dengan Berto, Pedagang Klontong, Pasar Pagi Samarinda.

Wawancara dengan Wakapoltabes Samarinda, AKBP Faisal.

Wawancara dengan Wakapolresta Balikpapan, AKBP Sigit Haryadi

Wawancara dengan Kabag Binamitra, Poltabes Samarinda, Kompol Ruskan

Wawancara dengan Ipda Nyoma Sri Oktarini, Kanit PPA SAT Reskrim Polresta Balikpapan, Lulusan Akpol tahun 2007

Wawancara dengan Ipda Rizky Pratama Wida Prastianto, Kanit Reskrim Plsek Balikpapan Selatan, Polres Balikpapan, Lulusan Akpol tahun 2008.

Wawancara dengan Ipda Sarifah Nurul Huda, Kanit Regident SAT Lantas Polresta Balikpapan, Lulusan Akpol 2007

Wawancara dengan Ipda La Ode Prasetyo Fuad, Kanit Regident SAT Lantas Polres Kutai Kertanegara, Lulusan Akpol tahun 2008

Wawancara dengan Ipda Egidio Fernando Alfamantar, Kanit III SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara, Lulusan Akpol tahun 2007

Wawancara dengan Ipda Hendry Ibnu Indarto, Kanit IV SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara,. Lulusan Akpol tahun 2007

Wawancara dengan Ipda Bayu Kurniawan, Kanit I SAT Reskrim Polres Kutai Kertanegara, Lulusan Akpol tahun 2008.

Wawancara dengan Ipda Maradona Armin Mapaseng, Kanit I SAT Reskoba Poltabes Samarinda. Lulusan Akpol tahun 2008

Wawancara dengan Ipda Tri Buana Yudha, Kanit Reskrim Polsekta Sungai Kunjang Poltabes Samarinda. Lulusan Akpol tahun 2008


Internet :

http://www.komisikepolisianindonesia.com

http://www.pme-indonesia.com

http://kaltim.antaranews.com

http://www.tribunkaltim.co.id

http://www.kaltimpost.co.id

http://illegalloggingwatch.blogspot.com

http://www.kapanlagi.com

http://www. detik News

http://www.kaltim.polri.co.id

http://www.liputan6.com

http://www.antaranews.com

http://www.okezone.com

http://www.berpolitik.com