Rabu, 24 Februari 2010

Catatan Pengantar untuk Karya Rosalia

St Tri Guntur Narwaya
Pengantar Penulis

Untuk Karya Akhir Riset Rosalia Primarini Nurdiarti
Mahasiswa Akhir Ilmu Komunikasi Atmajaya Yogyakarta

Judul :
Studi Potret Pendidikan dalam Puisi
(Studi Semiotik atas kondisipendidikan di Indonesia dalam puisi "Potret Pembangunan dalam puisi karya W.S Rendra)



To Tell the Truth is Revolutionary
(Antonio Gramsci)


Bagaimana “ingatan” dan ”pengetahuan” saat ini bisa terbang jauh dalam usaha menangkap situasi jaman yang sudah berlalu? Bagaimana pikiran saat ini bisa menyentuh berbagai gagasan, pikiran dan jiwa kata-kata yang sudah sekian lama hadir? Kalaupun secara fisik kata-kata, kalimat-kalimat dan ucapan-ucapan itu masih terekam dengan baik, belumlah berarti bukti bahwa ”saat ini” bisa diangap memahami ”masa lalu”. Inilah problem tersulit dan sekaligus paling menantang berbagai studi tentang berbagai kejadian masa lampau termasuk kajian tradisi ”semiotika”. Disiplin ilmu seperti tradisi ilmu sejarah merupakan salah satu kajian yang paling banyak harus berhadapan dengan problem ketegangan-ketegangan ini.

Perspektif baru metodologi sejarah yang saat ini berkembang masih juga sarat menyisakan perdebatan tentang bagaimana posisi ”sejarawan” harus menempatkan diri dalam usaha besar menemukan pendekatan sejarah. Sudah banyak perkembangan dan terobosan baru untuk mendorong sejarah keluar dari mainstream dan tendensi ”positivistiknya” yang sekedar menampilkan etalase data ketimbang usaha membangun kembali kepentingan sejarah yang benar. Kecuali bahwa mainstream pendekatan sejarah yang dominan masih berkecenderungan elitis dan selalu memihak kekuasaan, sejarah semacam ini kerap kali hanyalah bagian dari upaya membangun dominasi kekuasaan yang asimetris.

Kecuali bidang sejarah, kajian yang tidak luput dari problem pengungkapan masa lalu adalah dunia pendekatan dan tradisi sastra. Ketika seseorang dipaksa untuk mengkaji dan memahami sebuah karya sastra masa lalu, seseorang peneliti (penafsir) dengan apapun pendekatannya, ia harus memposisikan diri dalam spektrum horizon yang lebih luas. Sang penafsir harus juga mampu sejenak kembali ke belakang masa lalu dan sekaligus tidak melepaskan kerikatan dengan spirit jiwa saat ini. Dengan posisi semacam ini peristiwa-peristiwa masa lalu akan sanggup tertangkap dan dihayati dalam konteks saat ini.

Memang tidak ada sebuah epistemologi baku yang bisa menjadi klaim paling sempurna akan usaha pencarian jiwa dari peristiwa masa lalu tersebut. Sejajar dengan watak peristiwa jaman yang tidak bisa dimaknai dalam kesempurnaan penafsiran, maka kecenderungan akan hadirnya tafsir masa lalu yang beragam menjadi sebuah keniscayaan. Kecenderungan ini membentuk ruang tarik-menarik antar berbagai tafsir yang muncul. Usaha mengangkat cukilan-cukilan karya masa lalu yang sekaligus hidup dalam konteks waktu yang ”sudah lewat” adalah pekerjaan yang rumit dan tidak cukup mudah. Apa yang ingin kita gali dari ”makna” masa lalu telah bercampur dengan ”makna masa kini” yang juga bertebaran dalam medan tafsir kita. Bagi seorang peneliti yang ingin mengeksplorasi ”makna” sebuah karya masa lalu dengan sendiri telah mebuka ”ruang dialog” dengan berbagai makna masa kini.

Melalui sebuah pendekatan ”semiotika” karya riset ini mencoba dan berusaha ingin melihat sebuah makna karya sastra dengan potret peristiwa yang telah melahirkannya. Tentu yang cukup menarik dan menantang, karya sastra itu hadir dalam rentang waktu yang sudah cukup lama dengan sekian problem dan dinamika masalah yang kompleks turut sekaligus menyumbang lahirnya karya-karya sastra . Beberapa puisi karya sastra tahun 1970’an WS Rendra yang banyak mengangkat tema-tema pendidikan diangkat sebagai titik fokus dalam riset ini. Dengan menjelajah makna karya puisi Rendra maka, serta merta riset penelitian ini sebenarnya akan mengaja untuk memahami bagaimana Rendra dengan puisinya memahami dan mengartikulasi segala pesannya dalam konteks yang ia hadapi waktu itu.

Seperti yang seharusnya menjadi harapan akan ditemukan totalitas makna, maka tugas memahami puisi harus bisa menangkap dua variabe penting dan mendasar yang harus dieksplorasi lebih dalam. Pertama, yakni tentang ”ruang batin” dan konteks sejarah yang mnjadi latar sebuah karya hadir. Kedua yang tidak kalah penting adalah variabek ”internal teks” yakni dimensi linguistik itu sendiri. Dalam kacamata struktural sebuah teks adalah, memiliki dasar-dasar pengertian yang saling terkait antara teks yang satu dengan teks yang lain. Totalitas memahami makna teks karya sastra selalu berangkat dari interrelasi variabel pengaruh yang saling menentukan.

Tidak ada sebuah bahasa teks yang pada hakekatnya berdiri secara stabil, permanen dan absolut. Sebuah teks bukanlah ”nomenclatura” yang tidak tergoyahkan. Sebuah teks pada prinsip poststrukturalis tidaklah mempunyai pengertian pada dirinya sendiri. Ia selalu ditentukan dan dipengaruhi oleh kondisi dan setting tertentu. Ia akan merujuk pada sesuatu yang menjadi proses pembentukan sebuah teks. Kesadaran semiotik sebagai buah kesadaran yang memaham teks sebagai yang bersifat ”formal”, ”kultural” dan ”relasional”. Jika seseorang mengatakan sesuatu ”kata” tertentu sejatinya ia sedang merujukan pada entitas seuatu yang lain. Di sinilah pengertian teks sebaga yang ”formal” dan bukan yang ”substansial”. Dimensi kultural lebih mempertegas pengertian bahwa ”maknna teks” akan bisa berubah dan berkembana. Apa yang bisa merubahnya adalah berbagai konteks historis di mana berbaga kepentingan sosial. Politik, budaya dan lainnya telah ikut mempengaruhi keberadaan makna teks. Dan pengertian yang ”rasional” lebih memberi dasar pemahaman bahwa teks akan selalu berinteraksi dan berdialektika dengan berbagai teks yang lain.

Ketika seseorang hendak melihat sejauh mana pengertian makna dari sebuah hamparan teks maka sudah ssemestinya menyertakan ”tiga kesadaran semiotika” yang menyadari sepenuhnya bahwa sebuah teks tidaklah barang mati yang tidak bisa diutak-atik dan direinterpretasikan kembali. Kesadaran semiotika ini yang merupakan modal bagi seseorang untuk bisa memahami makna teks bukan hanya pada ”hal ihwal pengertian semata” tetapi jauh melampuinya untuk memahami ruh dan jiwa sebuah setting historis tertentu. Ungkapan bahasa sastra lebih mampu untu membantu memahami ruang batin jaman karena sifat dirinya yang bisa menerobos batas-batas logika bahasa yang kadang memenjara. Keluwesan bahasa satra nampak pada kemampuannya untuk melampui kekeringan bahasa yang biasa ditunjukan dalam rasio-rasio mekanis yang banyak mengasah logika berpikir ketimbang kedalaman pemahaman.

Karya riset ini sekaligus meyakini bahwa melalui penelusuran berbaga makna teks-teks sastra maka akan bisa membantu bagaimana manusia bisa memahami sebuah ruang jaman ”mengada”. Ketika pesan masa lalu tertangkap maka akan membantu dalam melewati masa kini. Dua beban yang harus ditanggung dalam riset ini adalah menemukan interelasi makna teks dengan situasi kongkrit masa lalu tanpa hanya meletakkan sebagai etalase data yang dipaksakan dan pada kenyataannya tidak saling terkait sama sekali. Sebagai salah seorang sastrawan, WS. Rendra bisa diletakkan menjadi bagian dari ”penafsir sejarah”. Ia ingin mengatakan tentang ”sejarah” yang dilaluinya melalui sebuah karya puisi. Dengan begitu riset ini sekaligus sebenarnya ingin menjawab kebutuhan pengungkapan dua sejarah sekaligus yakni sejarah tentang teks sastra WS Rendra yang pernah muncul dengan berbagai makna yang dihadirkan dan juga seting sejarah yang menjadi ruang hidup di mana karya Rendra juga pernah dihadirkan. Dengan pendekatan semiotik, riset penelitian ini sekaligus meyakini bahwa ”yang lalu” bisa diangkat dan diinterpretasikan kembali dalam spirit dan semangat masa kini.

Merebut Makna (Politik) Gerakan

Merebut Makna (Politik) Gerakan
(Reorientasi Kritis Gerakan Mahasiswa
Mengatasi Kemandegan Teoritik)


Oleh : ST Tri Guntur Narwaya, M.Si



Anda dapat melawan serbuan bala tentara…
tetapi anda tak dapat menahan gagasan yang tiba
tepat pada waktunya
(Victor Hugo)


Diskursus tentang bagaimana sebuah ’gerakan kaum muda’(1) dimimpikan bisa sanggup melakukan kejutan-kejutan perubahan masih tetap menarik untuk didiskusikan. Tidak sekedar untuk mencukupi nafsu kegemaran dan nalar kegenitan bermain-main dalam spekulasi-spekulasi teoritik, tetapi meletakkannya menjadi bagian utuh dari proses pembacaan gerakan secara jangka panjang. Membaca kembali bagaimana wajah peta perubahan yang berjalan dengan mengkaitkan pada keseluruhan pergolakan penting sejarah, merupakan cara penting untuk membangun evaluasi dan reflektif gerakan. Keyakinan ini merupakan jantung dari premis penting bahwa kebersatuan dari ‘teori’ dan ‘praksis’ untuk mengawal gerakan adalah nalar fondasi yang sangat krusial.(2 )

Mengapa kita perlu serius untuk memikirkan dasar problem gerakan ini? Barangkali ada dua pertimbangan penting yang hari-hari ini sangat mendesak untuk digagas. Pertama, menyangkut kondisi ‘objektif’ gerakan dan terutama situasi kongkrit lingkungan politik di mana entitas organisasi gerakan hidup. Kondisi objektif yang dimaksudkan juga menyangkut serluruh persoalan kekinian yang dihadapi oleh seluruh masyarakat berkait dengan dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik jamannya. Potret secara empiris bagaimana nalar lingkungan ini bekerja merupakan medan penting untuk dikupas. Kedua, menyangkut kondisi ‘subjektif’ gerakan rakyat. Ia merupakan pembacaan terhadap kekuatan-kekuatan politik strategis yang posisinya dimaknai sebagai kekuatan-kekuatan perubahan. Entitas ini terdiri dari berbagai jenis, pola, bentuk, strategi dalam berbagai kekuatan yang menyebar termasuk ‘gerakan pemuda/mahasiswa’.

Jika ditarik pada pengalaman sejarah politik gerakan di Indonesia, memang tidak akan pernah bisa membaca problerm ini secara tunggal atau diametral belaka. Seperti halnya dalam melihat gambaran hidup masyarakat, banyak terjadi pola ketegangan, kerumitan, perbedaan dan tentu keunikan-keunikan tersendiri untuk membaca wajah dinamika gerakan secara lebih mendalam. Apa yang kemudian bisa penting membantu adalah bagaimana membacanya secara kritis dalam kecenderungan pola-pola, katagorisasi, tipologisasi atau juga eksplorasi-eksplorasi fakta sosial gerakan yang lebih luas.(3)

Sudah lebih sepuluh tahun lebih perjalanan reformasi berjalan, sebenarnya sudah harus cukup memberi banyak catatan bagi bangsa. Bagi gerakan pemuda/mahasiswa, menjadi penting untuk membaca kembali berbagai perubahan selama waktu yang sudah panjang itu. Terpenting yang harus dimulai dalam setiap refleksi adalah keberanian diri untuk membangun otokritik bagi tubuh gerakan. Bisa jadi mentalitas otokritik belum membudaya dalam sikap gerakan. Sikap kebijakan ini tidaklah sama dengan sikap menyalahkan diri sendiri dan larut dalam sikap kenaifan untuk tidak mau kritis terhadap dimensi-dimesi pengaruh yang lebih besar. Otokritik gerakan memberi kunci pendalaman analisis pada proses dan bentuk gerakan yang diambil. Otokritik gerakan selalu bersentuhan dengan apa dan bagaimana pilihan-pilihan ideologi, pilihan politik dan juga format organisasi gerakan harus dibangun.

Sejarah persentuhan politik dengan gerakan pemuda/mahasiswa memberikan catatan penting dalam pergumulan negara dalam skala yang lebih luas. Sejarah politik Indonesia memberi banyak bahan bagaimana keterlibatan kaum muda ini bisa dibaca dalam konteks ruang waktu yang terus berkembang. Persentuhan dengan semangat awal kemerdekan, mendorong letupan cita-cita ’nasionalisme’ dan ’patriotisme’ menjadi ruh gagasan yang dibawa secara heorik. Semboyan kecintaan tanah air (patria) terus didorong untuk mengawal transisi politik menuju kemerdekaan. Tidak salah jika kemudian hampir seluruh entitas gerakan kaum muda pada waktu itu selalu bangga mengusung panji-panji perlawanan terhadap setiap ganguan atau ancaman terhadap ’kemerdekaan’ tanah air.

Kondisi mengalami perubahan, ketika fase politik yang hadir memberi banyak ruang dalam polemik-polemik domestik internal berkait dinamika politik untuk mengisi kemerdekaan. Sekiranya fase 1928 kearah sekarang situasi itu belum justru mengalami penurunan daya energi gerakan. Terutama fase transisi 1966 dengan segala polemik tragedi yang luar biasa menghancurkan seluruh dimensi dasar politik. Renegosiasi politik dominan menampilkan wajah-wajah konfliktual dalam merebut posisi-posisi kekuasaan. Kalaupun ada semangat nasionalisme yang bertahan, kadarnya barangkali telah berubah dan tergerus dalam subordinasi kepentingan pragmatis belaka. Kesetiaan pada persatuan dan nasionalisme yang mengerucut pada pemberhalaan negara secara membabi buta (chauvinis) sesudah memasuki kadar yang genting terutama masa-masa kekuasaan Orde Baru. Mobilisasi terhadap kesetiap negara berbareng dengan gencarnya usaha depolitisasi gerakan pemuda/mahasiswa yang ditempatkan sebagai entitas yang ’jinak’.

Perjalanan satu dasawarsa reformasi 1998 belum memberikan kabar baik apapun. Kemandegan bukan semata karena proses itu belum berjalan tetapi karena secara ’ontologi’ dan ’epistemologi’ tawaran reformasi membawa cacat bawaan yang cukup besar. Parahnya bahwa ’ilusi reformasi’ begitu sering dipercaya menjadi ’kata kunci’ untuk membaca maju atau tidaknya gerakan. Apa yang terjadi masa reformasi dan sesudahnya bukanlah tawaran yang kongkrit mampu memecahkan ’kontradiksi pokok’ persoalanan bangsa Indonesia. Kepercayaan kepadanya hanya akan membawa ilusi yang berlebihan dan menjatuhkan gerakan pada harapan-harapan yang palsu. Proses ini justru secara mendasar akan terus-menerus menjadi kelemahan yang amat besar bagi capaian gerakan. Konsekuensi ini terasa dalam semakin melemahnya kekuatan-kekuatan perubahan dan semakin solidnya mesin-mesin kekuasaan.


Politik Penjinakan : Keberulangan Sejarah.

Marginalisasi gerakan ini pada saat yang sama membawa kepentingan pragmatis untuk menjinakkan kekuatan progresif intelektual secara keseluruhan. Secara politis mahasiswa disterilkan untuk diarahkan mengunakan tafsiran-tafsiran dan epitemologi gerakan yang taraf lebih besar tidak ’mengganggu’ pada kemapanan kekuasaan yang sudah ada. Cara ini bisa menggunakan berbagai pola-pola dari mobilisasi politik partisan sampai melemparkan mahasiswa menjadi entitas ’massa mengambang’ yang benar-benar dibutakan secara politik. Saat ini, kondisi belum bergeser dari problem pokok terbesar ’gerakan pemuda/mahasiswa’ yakni mudahnya tergelincir dalam politik penjinakan kekuasaan. Sejarah kembali berulang, di mana mereka yang kritis dan lantang berteriak di jalan menyuarakan ’perlawanan’ harus mudah luluh dan terbuai fasilitas kekuasaan.

Tentu tidak semerta-merta mudah untuk memberi vonis atas terciptanya watak-watak oportunisme dan pragmatisme gerakan ini. Kecenderungan ini hanya bisa dibaca dan diletakkan dengan melihat entitas tubuh gerakan secara lebih utuh. Tentu tidak boleh meninggalkan faktor pentingnya pembacaan dialektika kesejarahan yang sarat dengan berbagai kontradiksi kepentingan yang membentuk termasuk di sana adalah pentingnya kebudayaan. Kebudayaan yang lebih dimaknai sebagai ruang dan pergulatan hidup kongkrit dari sebuah jaman. Sebuah kebudayaan yang tentu kehadiranya tida bisa ’steril’ dan ’bebas nilai’ dari berbagai konfrontasi dan konflik.

Yang sedikit bergeser pada wajah gerakan pemuda/mahasiswa bukan hanya semakin redup dan sepinya teriakan-teriakan untuk berkata ’tidak’ bagi segala bentuk penindasan, tetapi lebih jauh adalah kering dan sepinya gagasan-gagasan imajinatif baru untuk tawaran-tawaran perubahan yang lebih maju berhadapan dengan kekuasaan yang cepat bermetamorfosis. Ada basis dasar yang penting dan saat ini kerap dilupakan yakni ’tradisi intelektual’. Kalaupun saat ini masih tetap ada, derunya kian redup tergencet oleh bombardir tradisi-tradisi baru yang lebih menggiurkan dan kadangkala dianggap sesuatu yang menguntungkan secara duniawi. Kaum muda lebih akrab dengan sepatah-sepatah bahasa yang instant ketimbang harus bersibuk diri dengan belajar kedalaman. Pemuda/mahasiswa akan lebih tertarik untuk menjiplak, meniru dan menghafal ketimbang harus repot-repot untuk menggali jauh dasar-dasar teoritik bagi asumsi-asumsi yang dibangun. Ada referensi kultural yang hilang, yakni kultur intelektual tentang pentingnya belajar atas pendasaran teoritik dan praksis pengalaman.

Setidaknya Subcomandante Marcos, pejuang tanah adat Chiapas Mexico pernah memberi pelajaran berharga bahwa ”gagasan bisa menjadi senjata”.(4) Imajinasi dan gagasan yang keluar dari rahim kebutuhan untuk keperpihakan tentu merupakan tiang penting untuk membangun senjata-senjata perubahan. Keberulangan kaum intelektual tergelincir lubang yang sama dalan gelayut kekuasaan, memberi gambaran sebagian pantulan ekspresi dari patahnya gagasan, ketidaksabaran, chauvistik, watak kelas dan kebuntuan untuk merumuskan gagasan-gagasan kongkrit yang mampu menerobos kemungkinan-kemungkinan perubahan yang masih terbuka lebar.

Macetnya harapan akan keberhasilan perjuangan politis seringkali bergayung sambut dengan hadirnya bujukan dan tawaran kekuasaan yang medorong potensi laten anasir-anasir oportunisme yang kerap menelikung dengan begitu mudah. Apologi yang kerap terdengar atas sikap ini tidak jarang harus menyentuh pada aspek pilihan epitemologi gerakan. Sebuah polemik yang akhir-akhir ini masih sering muncul dalam perdebatan tentang metodologi gerakan ketimbang wujud bukti gerakan itu sendiri. Apalagi tipologi gerakan pemuda/mahasiswa sampai saat ini masih dominan membangun pola-pola ’reformis’ dengan ketiadaan prinsip ’ideologi kelas’ yang jelas. Watak abu-abu sering hanya membawa pada kemungkinan terjadinya ’pembusuka’ politik gerakan yang mengganggu kepercayaan massa kepada gerakan pemuda/mahasiswa.


Kritik Kekinian : Berani Membongkar Mitos Kekuasaan

Penting mengawalinya dengan membaca situasi riil yang saat ini hadir dalam masyarakat. Jika dicermati dan harus digarisbawahi, ada catatan keprihatinan luas biasa yang dihadapi oleh Indonesia sebagai bangsa sekarang ini. Apa yang pernah dicita-citakan dalam spirit reformasi yakni perlunya perubahan mendasar atas segala kondisi kemasyarakatan, kenegaraan dan kebangsaan masih berhenti di tengah jalan. Ekspetasi perubahan itu seakan terbentur tembok yang cukup tebal. Ia tidak pernah dijawab di tengah situasi ekonomi politik yang tidak lagi mernunjukan perbaikan. Panggung Indonesia tetap saja menunjukan relasi yang timpang. Peminggiran masyarakat oleh dominasi kekuasaan dengan segala manifestasinya masih saja berlangsung. Angka kemiskinan terus menaik. Harapan atas tuntutan keadilan hidup yang layak bagi seluruh masyarakat masih jauh dari tercukupi. Disparitas keadilan dan kesenjangan sosial makin melebar dan ekstrim.

Ketergantungan politik ekonomi, hegemoni asing dan ketiadaan kewibawaan, kemerdekaan dan kemandirian menjadi karakteristik khas setiap generasi kekuasaan. Bahkan dibanyak kesempatan, wajah kekuasaan semakin mernunjukan rupa angkernya dengan ekspresi-ekspresi kekerasan yang menjadi habitus hari-hari ini. Tiap hari kekuasaan negara tidak pernah absen untuk menggusur hak-hak dasar masyarakat. Di ujung lain, akses kesempatan terhadap rakyat miskin semakin terkunci rapat. Agenda-agenda perubahan selalu berbentur dengan kecerdikan kekuasaan untuk selalu mudah berkelit dan menghindar.

Nyaris tidak ada pembaharuan mendasar pada komitmen negara. Alih-alih ada peningkatan harapan kesejahteraan, wajah politik hanya penuh sesak dengan drama teater politik yang manipulatif, ilusif dan hegemonik. Negara makin kehilangan ‘elan mandatnya’ untuk berkewajiban memberi jaminan penuh atas hak-hak dasar bagi seluruh warganya. Inilah rupa kekinian dari panggung politik ekonomi yang dibangun negara. Keresahan ini semakin hari semakin berkembang. Ada potensi-potensi krisis luar biasa yang lebih massif dan meluas yang bisa dirasakan masyarakat.

Jika kondisi objektif itu disandingkan dengan pengaruh pada gerakan, seakan dia mempunyai garis determinasi yang kuat. Ilusi besarnya selalu mengacu pada prinsip keyakinan bahwa setiap krisis ataupun absolutisme kekuasaan akan pasti mendorong lahirnya penolakan, kritik dan resistensi. Tetapi jika premis ini kita letakkan untuk membaca kondisi gerakan saat ini, terlihat ada ruang kosong yang masih menimbulkan pertanyaan. Bukan berarti menafikan bahwa ‘resistensi’ itu tidak sepenuhnya hadir, tetapi bahwa wajah kontradiksi itu belum sertamerta memanifestasi dalam membesar dan menguatnya gerakan.(5) Pada titik inilah, perlu kiranya secara kritis membaca kembali “wajah evolusi dan transformasi kekuasaan” satu sisi dan pentingnya mengupayakan “metamorefosis gerakan” dalam sisi yang lain.

Mengapa dua variabel ini penting di awal dikemukakan? Pertama, dalam kenyataan, meskipun esensi yang dibawa oleh kekuasaan sama, tetapi pola, modus dan wajah kekuasaan selalu berkembang dalam berbagai manifestasinya. Ia bisa merupa pada wujud yang paling ‘sublim’ sampai yang paling ‘vulgar’. Kekuasaan adalah relasi produktif (6)yang dimatangkan oleh situasi sejarah terkhusus oleh kontribusi lawan-lawannya. kekuasaan belajar banyak dari kesalahan dan kritik. Di sanalahlah wujud kekuasaan tidak pernah ‘stagnan’ dan’ final’. Ia bisa bermetamorfosis dalam rupa dan taktik apa saja. Dari ujung yang dominatif sampai ujung yang paling hegemonik.

Mengandaikan pola kekuasaan adalah ‘ajeg’ dan tidak berubah adalah nalar mitologi yang kadang justru mermbuat gerakan terlena, cepat puas, tidak belajar, gagap dan ahistoris. Kedua, integreasi ‘teori’ dan ‘praktik’ yang harus diusung oleh gerakan mengandaikan sebuah pelibatan diri sepenuhnya pada jantung dinamika historis, kultural, struktural dan relasional sejarah yang terus berkembang. Kekuatan politik gerakan semestinya harus mampu menjawab seluruh tantangan dinamika teresebut. Dengan begitu, eksplorasi dan pengembangan gerakan selalu menjadi kebutuhan yang tidak boleh ditinggalkan. Tidak berarti larut dan bersifat kompromi adaptif, tertapi cerdik dan kritis menempatkan strategi gerakan dalam spirit dan tuntutan jaman yang tepat.


Menegaskan Tantangan di Depan Mata

Menarik kepada kesadaran yang lebih dalam, problem sosial bukanlah entitas yang secara otonom mampu berdiri sendiri. Problem sosial bukan lahir tiba-tiba, melainkan hasil dari bentukan sejarah panjang. Ia adalah produk pergulatan seluruh mata rantai dalam dinamika sejarah masayarakat. Problem sosial selalu bergerak. Ia akan lahir dalam setiap kontradiuksi yang berjalan. Setiap peristiwa, kejadian ataupun problem sosial harus dibaca dalam jantung kesadaran teoritik ini.(7)

Hari-hari ini, masyarakat berhadapan dengan problem maha besar dari proses perjalanan pengelolaan dunia yang serba timpang. Laju globalisasi dengan kekuatan ekonominya sedang berjalan memicu suatu kondisi yang semakin rapuh dan timpang terutama di negeri-negeri yang berkembang. Proses pembangunan ekonomi sedang gencar digalakkan, namun ironisnya proses ini tidak mampu dirasakan secara adil oleh seluruh rakyat. Rakyat berhadapan dengan imperium yang berhasil mendikte seluruh aktifitas hidup planet ini. Sejak rezim neoliberal digulirkan menjadi kredo tunggal,(8) mainstream perspektif yang ada telah mandul untuk menjadi alat pembentuk kesadaran kritis. Banyak kekuatan rakyat mudah dilumpuhkan. Penguasaan pengetahuan dan cara berpikir rakyat telah menjadi modal atas relasi ketimpangan yang ada. Di satu sisi, negara begitu mudah terkooptasi oleh nalar-nalar kekuasaan. Mereka selalu terepresi pada struktur dan sistem sosial yang berjalan sublim dan hegemonik.

Relasi kuasa yang timpang mempengaruhi semakin lemahnya ’rakyat’ untuk mendapat akses. Banyak kebijakan negara yang semakin berjarak dengan realitas hidup rakyat. Imperium neoliberal dengan motif keuntungannya selalu memasang tembok kuat untuk kebertahanannya. Siapapun yang menghambat bagi pasar akan disisihkan dan tanpa ampun harus ditiadakan. Disanalah watak kritis terhadap kekuasaan dianggap sebagai sumber masalah. Karakteristik neoliberal banyak membentuk kesadaran massa yang terfragmentasi. Budaya individualisme, egoisme dan hedonisme lebih gemar dipuja. Masyarakat diletakkan sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi.Tatanan dunia yang serba timpang ini tidak jarang justru dilanggengkan sebagai cara menjamin keberlangsungan ketergantungan. Sebagaimana corak masyarakat yang berkelas, mayoritas rakyat seringkali harus ‘dikorbankan’ demi lancarnya arus pasar


Pergolakan Melawan Hegemoni dan Konflik (Perebutan) Makna

Sejarah kekuasaan berhasil memberi imajinasi tersendiri bahwa pemuda/mahasiswa adalah aktor perubahan (agen of change). Kesan makna semacam ini memberi sugesti besar bahwa gerakan pemuda/mahasiswa seakan memang mempunyai potensi maha besar untuk merombak kemapanan dengan fundamental. Di beberapa diskursus politik, penggulingan setiap rezim amat dilekatkan dengan peran sentral pemuda/mahasiswa. Premis semacam ini tidak keseluruhan salah,(9) tetapi perlu mendapat catatan kaki. Pertama, sejarah evolusi dan transformasi sistem politik nasional belum pernah mencatat sedikitpun secara sempurna bahwa peran dan kekuatan itu berdiri mandiri dan dominan.(10)

Tentu penting memberi catatan mengapa lahir imajinasi demikian. Perlu diketahui, persentuhan gerakan pemuda/mahasiswa seringkali mendapat ‘lahan subur’ pada momen dan kondisi krisis politik. Krisis telah menyeret keterlibatan sektor menengah untuk mengambil bagian tanggungjawab. Kontradiksi penting yang nampak bukan pada berduyunnya pemuda/mahasiswa di jalan, namun kondisi objektif sejarah yang memberi kontribusi pada berbagai pergolakan yang muncul. Kesan membesar-besarkan seringkali menjebak pemuda/mahasiswa dalam perangkap diskursus yang sengaja dimainkan kekuasaan. Catatan kaki ini bukan untuk menafikan unsur penting proses gerakan.

Kedua, jika kritis dan lebih mendalami, pemuda/mahasiswa sesungguhnya berdiri dalam sektor dengan sekian tarik-menarik kepentingan yang kompleks. dengan 'jenis kelamin' yang tidak sejeniss. Ia hanya bagian dari salah sektor sosial yang maih terfragmentasi dalam berbagai kepentingan yang tidak tunggal. Pada poin ini, ia bisa dinyatakan pula sebagai "golongan yang memiliki potensi energi gerak yang luar biasa sekaligus masih mudah mengalami kebimbangan" dan mudah untuk mereposisikan dirinya dalam kecenderungan kepentingan yang berbeda bahkan kontradiksi. Maka mempersepsikan bahwa pemuda/mahasiswa adalah sektor perubahan yang berjenis kelamin sama, pada dasarnya masih lemah secara teoritik. Universalisasi makna ini seringkali membuka banyak bias terhadap ilusi kepentingan yang hegemonik

Ketiga, meminjam perspektif Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe tentang hegemoni (11) dalam kaitan "diskursus", maka 'universalisasi' makna tentang 'peran mahasiswa' yang sebenarnya hanyalah bagian "partikular" dan sekian partikular yang lain merupakan modus tahapan hegemonik dan representasi makna bekerja. Dan karena diskursus bagi Laclau adalah bersifat "contingent" maka representasi semacam ini mudah rentan terhadap bias kepentingan politik siapa dan demi apa artikulasi dan pemaknaan ini dirumuskan.

Fakta beberapa kejadian politik memberi ilustrasi yang bagus, "ketika pemuda/mahasiwa hadir dengan identitas kolektifnya, maka subjektifitas politik sebagai perumusan identitas "kita" yang membedakan dengan "the other" (mereka) dengan sendirinya muncul. Artikulasi ini berdampingan dengan gesekan artikulasi makna yang lain misalnya tentang wacana "aksi yang baik". "demo tampa penyusupan" dan "aksi murni" yang mengarah pada artikulasi makna "pemurnian aksi politik mahasiswa". Maka di luar dari rumusan itu akan disebut "penyusup", "pendompleng", atau "provokator".

Tentu bagi kekuasaan, ruang ‘kontingensi atas makna’ akan mudah untuk diintervensi. Atas kepandaian rezim pula maka garis batas pemaknaan diciptakan semisal bahwa "seyogyanya aksi harus dijaga agar tidak dimasuki oleh pihak-pihak ketiga". Jika dalam kacamata teori hegemonik Laclau, proses ini sudah merupakan "subversi diskursus hegemonik" di mana subjek-subjek mahasiswa juga "dipaksa" untuk mengambil pemaknaan dari artikulasi yang sudah dibentuk sebelumnya. Tidak ayal dalam banyak kasus, proses intervensi pemaknaan ini mulai banyak membelah dan memfragmentasi berbagai kekuatan gerakan mahasiswa.

Lantas, siapakah yang dicurigai sebagai penyusup dan pendompleng? Apakah orang-orang yang tidak masuk dalam katagori artikulasi makna itu kemudian menjadi "the others" dari identitas sebuah aksi mahasiswa? Menghindari pihak-pihak ketiga yang memang secara riil hanya untuk membajak kepentingan nilai yang diusung mahasiswa tentu baik. Tetapi, kecenderungan menghindar dari pihak ketiga bukankah segaris dengan artikulasi "menjaga jarak" dengan yang lain dan menciptakan "esklusifitas" gerakan. Padahal dalam kenyataan, kita hanya bagian dari "partikular kecil" yang hidup dalam ruang-ruang ketegangan dan lagi-lagi kita bukan aktor satu-satunya perubahan.

Keempat, jika dibalik logikanya, maka artikulasi ini bisa mengatakan bahwa penguasa sebenarnya takut ada pihak-pihak ketiga yang menyusup dalam kepentingan mahasiswa. Diam-diam apa yang ditakuti oleh kekuasaan sebenarnya justru ‘pihak ketiga’. Apa yang kemudian dimaksudkan sebagai ‘penyusup’, ‘provokator’, ‘pendompleng’ bisa jadi hanya bagian modus stigmatisasi seperti halnya yang terjadi pada stigma komunisme atau terorisme yang kerap diusung penguasa untuk memberi tanda bagi oran atau kelompok yang perlu dipinggirkan. Lepas apakah dia mahluk yang kongkrit atau hanya politik makna, dalam banyak hal ia telah mendorong terjadinya jarak dan pemisahan secara sistematis antara mahasiswa dengan masyarakat.

Kembali meminjam pemikiran Ernesto Laclau, representasi dan artikulasi makna dalam membangun 'identitas gerakan', dalam perjalanan historis bisa bergeser dan berubah. Titik penting ‘counter hegemony’ seperti yang diserukan Gramsci menjadi relevan. Kekuatan masyarakat dan mahasiswa bisa mematahkan dan mendekonstruksi artikulasi yang hegemonik ini. Artinya kita bisa mengambil kesimpulan secara tegas bahwa "memurnikan gerakan mahasiswa dari keterlibatan pihak ketiga" bisa saja justru upaya pemangkasan sistematik terhadap 'menyatunya seluruh gerakan rakyat yang terpinggirkan". Relevansinya pentingnya adalah bahwa bersatu bersama pihak ketiga: kelas-kelas masyarakat yang terpinggirkan, pihak keempat: kekuatan-kekuatan demokratik yang maju, pihak kelima : jaringan-jaringan aksi solidaritas sedunia dan pihak keenam : rakyat miskin sedua yang menderita merupakan "artikulasi" yang bisa kita suarakan untuk menciptakan misi-misi perubahan yang sebenarnya


Epilog

Tugas terberat yang perlu dipersiapkan bagi gerakan pemuda/mahasiswa adalah bahwa problem gerakan membutuhkan banyak transformasi pemikiran dan pisau metodologi yang lebih maju. Pertama, bahwa struktur perubahan di tingkatan makro ekonomi politik mau tidak mau ikut merias wajah baru tantangan gerakan. Dalam fenomena itu, posisi negara juga akan mengalami proses perubahan dalam bentuk dan wajahnya yang semakin rumit. Kedua, problem tantangan gerakan seringkali tumpul jika tidak pernah menyentuh problem struktural yang mendasar ini. Lagi-lagi gerakan hanya akan jatuh pada gesekan-gesekan polemik yang enak untuk dibicarakan tetapi mandul dalam merumuskan pemecahan.

Ketiga, ‘negara’ yang diharapkan hadir sebagai intitusi yang mengerjakan mandat menegakkan kesejahteraan justru terlibat dalam perselingkuhan dan praktik mutualisme dengan kekuatan modal. Di titik in peran negara telah nyata-nyata menjadi sumber masalah. Jika negara justru akrab dengan kepentingan pasar dan meninggalkan tugas utamanya untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan masyarakat sebagai tugas pokok, maka tahapan pembangunan gerakan harus bisa menyelesaikan ironi dan polemik tersebut. Pada titik ini, pembenahan perspektif, orientasi dan ideologi gerakan sebagai fondasi transformasi perubahan di tubuh gerakan menjadi sangat relevan.

Pembacaan kritis yang tidak tuntas, alih-alih akan melahirkan gerakan mahasiswa yang maju dan berkembang. Dibanyak kesempatan, ia justru banyak menyemai kader-kader mahasiswa yang oportunistik dan mudah jatuh dalam nalar kekuasaan. Tentu siapa saja akan berpeluang terkena jerat penyakit oportunistik ini. Hanya dengan pembangunan dan pendidikan organisasasi yang kuat, banyak hal akan meminimalisis persoalan tersebut muncul. Dari dasar organisasilah visi solidaritas dan keperpihakan itu bisa disemai dan diinternaslisasi. Organisasi adalah modal kekuatan yang bisa digerakkan. Disanalah nadi pergerakan bisa berdenyut. Menolak kebutuhan untuk berkumpul dan berorganisasi justru akan semakin menjauhkan ‘kaum muda’ dari mandat utamanya yakni terlibat bagi keadilan untuk semua orang.



“Kita semua telah dijajah dalam sebuah masyarakat modern
di mana hampir dari seluruh transaksi untuk pangan, papan,
transportasi, pendidikan anak-anak dan jaminan orang tua
dilakukan dengan uang”
(David C. Korten)



Catatan kaki :


1 Terminologi dan ‘gerakan’ yang menjadi pusat perbincangan ini lebih jelas mengerucutkan pengertiannya pada keseluruhan bentuk, kesejarahan, sifat, pola, jenis dan strategi gerakan yang eksis di luar mainstream kekuasaan yang ada dan memposisikan sebagai entitas bersebrangan dengan kekuatan-kekuatan dominan yang berkuasa. Dalam penyebutan yang lerbih eksplisit banyak para penulis meletakannya dalam istilah ‘gerakan rakyat’ atau ‘gerakan-gerakan pro perubahan’

2 Teori yang terpisah dengan ‘realitas kenyataan praktik’ hanya akan menjadi seruan dan jargon semata dan kehilangan akar pendasarannya yang empiris. Ia akan banyak melahirkan ‘subjektivisme’ gerakan yang jauh berdasar dari praktik kongkrit. Sebaliknya praktik tanpa landasan teoritik yang benar bisa menjadi ‘aktivisme’ berbahaya dengan segala karakteristiknya yang tidak terencana, spontan, visi yang tidak jelas dan sepi akan ‘ruang reflektif’ untuk membangun setiap gerakan massa menjadi bermakna.

3 Fakta ‘gerakan’ dalam lintasan sejarah selalu hadir dalam rentangan relasi pengaruh eksternal dan internal gerakan yang komplek. Meminjam pemetaan Robert Mirsel, ada temporalisasi waktu yang berpengaruh terhadap kecenderungan gerakan. Menurutnya ada tiga periode penting karakteristik gerakan yang bisa dibaca. Pertama, periode pertama yang masih sangat berpoandangan negatif terhadap ‘gerakan’ Lebih menekankan pada penanganan gejala-gejala irasionalitas dengan pendekatan-pendekatan besar seperti psikologi sosial, psikoanalisis, dan teori-teori perkumpulan massa; Kedua, periode kedua yang lebih menekankan aspek raionalitas dalam menerima gerakan rakyat dengan tugasnya untuk mengngkap fenomena-fenomena struktural yang berkembang, Gerakan-gerakan berbasis analisis-analisis ideologis banyak menampakan diri menjadi kekuatan-kekuatan utama; Ketiga, periode ketiga yang banyak menghadirkan fenomena postmodernisme yang menekankan partikularitas isu, keluar dari grand narasi besar dan lebih mengangkat aspek dekonstruksi dalam gerakan dengan teori-teori yang lebih poststrukturalis. Lihat, Robert Mirsel, Teori Pergerakan Sosial, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2004, hal. 16-20. Dalam konteks riset yang berbeda, pemetaan ini menarik untuk membaca perkembangan gerakan sosial yang terjadi dalam sejarah politik Indonesia hingga sampai saat ini

4 Lihat, Subcomandante Marcos, Bayang Tak Berwajah, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2003.

5 Keresahan, ketidakpercayaan dan sikap pembangkangan masyarakat biasanya masih berjalan diam-diam, sifat cakupannya tidak meluas, menyebar dalam berbagai fragmentasi gerakan yang sulit menyatu, dan makin jauh dari kebutuhan untuk ‘mengorganisir diri’ dalam kesatuan gerakan yang lebih besar dan diam-diam lebih nyaman untuk menjawab ketiadaan akses hak-hak mereka (yang seharusnya diberikan oleh kekuasaan negara) dengan pola-pola seperti yang pernah dibaca oleh pemikir seperti James C Scott sebagai tindakan ‘subsistensi’. Jawaban problemnya menjadi tercurahkan pada ‘cara bertahan diri’ ketimbang ‘membangun kritik dan resistensi’ kepada kekuasaan dalam tindakan-tindakan politis yang lebih meluas.

6 Terminologi ‘Foucoultian’ ini menarik untuk menambah khasanah pemahaman yang lebih dalam tentang ‘mekanisme berjalannya kekuasaan’. Ia tidak sekedar dilihat sebagai melalui kekerasan atau hasil suatu persetujuan (Hobbes, Locke, Rousseau), tidak sekedar melalui represi (Freud, Reich), bukan sekedar pertarungan kekuatan (Machiavelli), bukan sekedar dominasi suatu kelas atau manipulasi ideologi (Marx) dan bukan sekedar berkaity suatu kharisma (Weber). Tetapi seluruh situasi tindakan yang menekan dan mendorong tindakan-tindakan lain melalui persuasi, rangsangan, rayuan, paksaan dan larangan. Ia bukan wajah determinasi yang sifatnya linier. Kekuasaan bukan sekedar dimiliki tetapi menyebar dalam seluruh jaringan yang produktif dalam masyarakat.

7 Setiap problem sosial selalu mengacu pada berbagai dimensi variabel yang hidup dan berkembang dalam lintasan tahapan sejarah. Faktor-faktor itu bisa diteluri dengan berbagai kaitannya. Melampaui kesadaran naif, ‘kemiskinan’ bukanlah fenomena mistik, gaib dan adikodrati yang jauh dari kebersentuhan dengan ‘nalar rasional masyarakat’. Kemiskinan bisa dimengerti sebagai produk sejarah kongkrit dengan sekian kecenderungan-kecenderungan yang dibentuk o0leh hukum-hukum sejarah. Prinsip pemahaman ini yang kerap disebut sebagai ‘kesadaran historis’.

8 Untuk beberapa catatan penting dari pengertian dasar dan problem-problem khusus berkait dengan proses berkuasanya rezim neoliberal bisa dilihat di : I Wibowo, dkk, Neoliberalisme, Penerbit Cindelaras, Yogyakarta. 2003. Mempelajari dan mencermati arus neoliberalisme sama artinya kita akan diajak untuk mencermati secara lebih mendasar mengenai segala ciri-ciri dan neoliberilme, bagi aktor-aktor yang saat ini bermain dan juga seluruh produk kebijakan yang dihadirkan. Tentunya kita tidak boleh melupakan bahwa dari sekian aktor dan kebijakan-kebijakan itu ada sasaran-sasaran pokok yang harus dipilih untuk menentukan titik darimana perubahan dimulai. Karena apa yang kita bicarakan tentang imperialisme ataupun neoliberalisme selalu akan menyentuh ranah-ranah kekuasaan. Dari situlah kita mulai berpijak bahwa peubahan apapun akan selalu dituntut untuk berbicara bagaimana kita bisa merumuskan model perubahan kekuasaan apa yang harus kita tawarkan. Bdk, Coen Husain Pontoh, Malapetaka Demokrasi Pasar, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2005.

9 Fakta sejarah memang selalu penuh dengan cerita yang luar biasa atas peran kaum muda yang berkontribusi pada perjalanan politik Indonesia. Namun tidak jarang pula, peran yang seharusnya dimainkan secara lebih oleh kaum muda selalu bisa dibajak oleh kekuatan-kekuatan konservatif politik yang masih melenggang dalam dominasi kekuasaan yang masih berjalan.

10 Untuk beberapa dinamika kesejarahan dan pembentukan identitas peran mahasiswa dapt dilihat di Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Penerbit Insist Press, Yogyakarta, 1999. Bdk, Ign. Mahendra & Suharsih, Bergerak Bersama Rakyat (Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia), Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2007.

11 Lihat, Ernesto Laclau & Chantal Mouffe. Hegemoni dan Strategi Sosialis, Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2008.

Kuasa Media Massa dan Politik Identitas

Kuasa Media Massa dan
Politik Identitas


Oleh : ST Tri Guntur Narwaya, M.Si1





Sepanjang hidupku, aku telah melihat orang Perancis, orang Italia, Rusia;
Aku bahkan tahu bahwa seseorang bisa menjadi orang Persia;
sayang, aku belum pernah berjumpa dengan ‘manusia’
(Joseph de Maistre)





Tepat pada pertengahan Mei 1998, kota Solo pernah mengalami situasi dan peristiwa politik yang begitu keras. Suhu transisi politik meledak menjadi letupan amuk massa yang menyeret berbagai tindakan kekerasan yang meluas. Diantara catatan sejarah tersebut ikut menyeret pergolakan ‘sentimen rasis yang tidak terelakan. Slogan ‘pribumi dan non pribumi (Tionghoa)’ menjalar berbarengan dengan ledakan kerusuhan Mei yang hampir menghanguskan keseluruhan bagian kota Solo. Sentimen tersebut seakan mengingatkan kembali sejarah tahun-tahun sebelumnya yang juga pernah meluluhlantakan kawasan ini. Dalam ingatan sejarah, lebih dari puluhan kali kawasan ini harus mengalami benturan kekerasan yang begitu meluas.2 Sebagian besar diantaranya melibatkan ketegangan-ketegangan yang membawa politik identitas.


Mengapa ‘identitas’?

Di antara yang amat penting dikaji dari sekian analisis tentang kerusuhan tersebut adalah betapa amat mudahnya ‘identitas’ dipakai untuk menjadi cara, senjata dan modal untuk membunuh dan menyerang yang lain (the other). Memang tidak terlalu sederhana untuk meletakkannya pada determinasi sebab akibat yang tunggal. Dimensi-dimensi pertaliannya selalu menyertakan banyak faktor pendorong. Tentu saja problem itu juga pernah amat keras dialami bangsa Indonesia dalam beberapa kasus penting. Kerusuhan etnis Madura-Dayak, kerusuhan Ambon, ledakan krisis Poso, perang antar suku di Papua, hingga kesusuhan-kerusuhan kota yang relatif kecil seperti perang antar Suporter sepak bola yang menggejala dalam masyarakat. Masyarakat mudah bergesekan hanya karena identitas baju yang disandangnya berbeda. Kohesifitas masyarakat kadang mudah terbelah dalam pemicu-pemicu yang sepele. Menyederhanakan diagnosa terhadapnya, seringkali justru menambah daftar problem selanjutnya.

Menengok dalam skala global, tidak terhitung lagi banyaknya peristiwa kekerasan dan konflik amat keras yang meluas karena perbedaan identitas baik yang mengatasnamakan suku, agama, kelompok, bangsa, ataupun ras tertentu dalam masyarakat. Kita tentu akan mengingat gesekan-gesekan besar di abad 20 dengan beberapa letupan-letupan besarnya. Yang paling fenomenal tentu kita mengenal peristiwa dan tragedi ‘holocoust’ yang dilakukan rezim Fasisme Hitler dalam menghabisi jutaan warga Yahudi di Jerman.3 Kalaupun variabel pendorongnya tidak tunggal namun bisa menggambarkan bahwa sikap ‘cauvinsitik nasionalisme’ yang diangkat oleh kekuasaan dominan Jerman telah berubah menjadi mesin pembunuh yang amat mengerikan.

Pada skala yang meluas di berbagai kawasan, sejarah juga pernah mencatat berbagai konflik kekerasan seperti konflik Serbia-Bosnia di bekas negara Yugoslavia, konflik suku Hutu – Tutsi, keteganan politik Ceko dan Slovakia. A wal abad 21, intensitas dan kualitas konflik tidaklah menurun tetapi justru mengalami penyebaran dalam berbagai pola dan kecenderungan. Penyebarannya kadang tidak serupa. Apa yang dulu menjadi ‘pembunuh’ dan ‘korban’ bisa bergeser dan tidak tetap. Kasus yang amat lengkap bisa dibaca dalam problem Yahudi Israel. Gambaran politik perburuan yang dilakukan oleh kekuatan Nazi tidak lagi nampak. Sebaliknya, Yahudi Israel justru kini banyak disorot dunia karena sikap dan kebijakan politiknya yang amat brutal terhadap penduduk bangsa Palestina. Sejarah terus berubah walau gambaran konfliknya terus hadir.

Amin Maalouf dalam karyanya ‘in the Name of Identity’, amat kritis untuk memberi refleksi bahwa ada kecenderungan benang merah yang serupa bahwa konflik-konflik identitas tersebut selalu dipicu oleh gagasan ‘fatalistik’ yang mereduksi ‘identitas’ menjadi sekedar sebuah ‘pertalian tunggal’. Bagi Maalouf, ia akan selalu mendorong sikap parsial, sektarian, intoleran, mendominasi, kadang bunuh diri, dan acap kali mendorong sikap untuk suka membunuh.4 Dalam komunitas homogen yang samapun tetap berpeluang terjadinya keretakan identitas. Identitas tidak akan berdiri mapan dan tetap. Ada ruang dan waktu yang amat mempengaruhi. Ia juga ditentukan oleh kondisi-kondisi material yang melingkupinya. Bagaimana ia melemah dan bagaimana ia bisa menguat tidak bisa diliihat secara mekanis. Kadang letupannya hadir tidak terduga dan tidak terbayangkan sebelumnya. Berapa waktu ‘identitas’ bisa dipuji dan disakralkan, tetapi di lain waktu ia bisa dihujat dan dihakimi.

Dengan beberapa fakta tersebut, apakah kita dengan demikian harus menyalahkan ‘identitas’ sebagai sumber masalah? Kalaupun tidak, apa yang bisa dilakukan subjek individu atau masyarakat untuk menempatkan identitas ini secara benar? Tentu amat sukar untuk kita bisa menghindar dari keberadaan “identitas’. Berhadapan dengan realitas, dihadapan kita adalah sebuah hamparan mahaluas ‘identitas’. Bahkan ketika nseseorang mengatakan pada kita “siapakah kamu?” maka satu jawaban penjelasan tentang ‘aku’ tentu saja tidaklah mencukupi. ‘Aku’bisa seorang mahasiswa. ‘Aku bisa warga suku tertentu’. ‘Aku bisa anak warga sebuah bangsa’ dan ‘Aku bisa seorang penggemar hoby tertentu’. Banyak identitas yang melekat pada diri individu bahkan sampai sang individu tak mampu untuk menggenggam pengetahuan tentang dirinya. Tetapi, bagaimana sebuah atribut identitas bisa hadir? Apakah ia adalah essensi yang lahir dari karakter otonom individu? Apakah dia adalah produk dari persinggungan dengan entitas yang lain?


Mengenal lebih jauh ‘identitas yang menjadi’

Dalam tulisannya di “Cultural Identity and Diaspora”, Stuart Hall memberikan pengertiannya kritisnya tentang identitas. Ia adalah suatu produksi, bukan esensi yang tetap dan menetap. Dengan begitu, identitas selalu berproses, selalu membentuk, di dalam—bukan di luar—representasi.5 Jika melihat pengertian ini maka pandangan fatalistik yang menganggap bahwa ada ‘otoritas’ dan ‘otenstisitas’ atas identitas merupakan premis yang keliru. Keberadaannya tidak bisa berdiri sendiri. Ia ntidak menyebutkan apa-apa tampa pertaliannya dengan yang lain. Identitas hanya bisa ditandai dalam perbedaan sebagai suatu bentuk representasi dalam sistem simbolik maupun sosial, untuk melihat diri sendiri tidak seperti yang lain.6 Dalam tambahan yang lain Identitas selalu dalam proses menjadi dan tidak akan pernah selesai secara final. identitas merupakan sesuatu yang secara aktual terbentuk melalui proses tidak sadar yang melampaui waktu, bukan kondisi yang terberi begitu saja dalam kesadaran semenjak lahir.

Jika pemahaman ‘identitas’ diletakkan dalam analisis pascastruktural, ia bisa menyerupai dengan pemahaman teoritik tentang fenomena ‘tanda’. Identitas adalah sebuah persoalan ‘bahasa’ dan ‘tanda’.7 Sebagai sebuah tanda, maka identitas bukanlah simbol aktual. Ia adalah abstraksi konseptual yang merujuk pada entitas tanda yang lain. Misalkan kita menyebut identitas “Saya seorang Muslim’, tidak akan pernah menunjuk makna pada dirinya sendiri. Makna tentang identitas ‘Saya seorang Muslim’ tidak dihasilkan dari ‘esensi’ pada dirinya sendiri. Makna tanda akan diperoleh dari luar dirinya sendiri.8

Dalam pemahaman fundamental yang dikembangkan oleh Saussure, makna tanda diperoleh dari ‘sistem perbedaan’. Jika merujuk dalam kasus identitas yang dicontohkan di atas maka ‘seorang Muslim’ sekaligus identitas itu ingin mengatakan bahwa ia berbeda dengan ‘seorang Kristen, seorang Hindu atau seorang Yahudi’. Identias tersebut selalu ingin merujuk pada sesuatu di luar dirinya (referensial). Maka perubahan pada rujukan dan tanda-tanda lain yang ada di luar sekaligus akan mempengaruhi makna dari tanda.

Namun pada pengalaman ketika terjadi ‘krisis identitas’ dimana seseorang mengalami problem disparitas dan keterpisahan dengan pemahaman identitas dirinya, premis tentang ‘makna tanda sebagai sistem perbedaan’ bisa seakan-akan dimaknai sebagai berbeda.9 Kondisi krisis memaksa seseorang atau masyarakat untuk mencari afirmasi persamaan dari identitas pada dirinya. Identitas kemudian menjadi sesuatu yang amat penting dan berharga ketika manusia atau masyarakat mengalami krisis atasnya. Eric Fromm memberikan catatan penting bahwa pada titik inilah ‘identifikasi’ menyamakan diri dengan identitas yang lain menjadi sangat penting. Cara ini untuk menghindari kondisi ‘keterasingan diri’ dari dunia di luar dirinya.

Bagaimana kemudian bisa menjelaskan bahwa perkembangan ‘identitas’ menjadi bermasalah seperti yang terjadi dalam ‘konflik-konflik identitas. selama ini? Kemabli ke resep awal pengertian bahwa ‘identitas sebagai tanda tidaklah esensi tetapi entitas kultural yang berelasi dengan banyak tanda yang lain. Sebagai tanda, identitas juga hidup dan dikembangkan dalam relasi-relasi pengaruh baik ruang politik, ruang ekonomi ataupun ruang sosial yang juga terus berdinamika. Jika relasi-relasi yang berjalan berjalan timpang (asimetris) maka cenderung akan melahirkan berbagai ‘ketimpangan-ketimpangan’ dan ‘dominasi-dominasi’ dari tanda yang satu terhadap tanda yang lain. Sekaligus ini juga berlaku sebaliknya. Ruang institusional ini juga dimaknai sebagai struktur yang akan mempengaruhi bagaimana identitas sebagai tanda akan dimaknai.

Sebelum Yugoslavia pecah, para penduduk akan terbiasa bangga untuk menjawab ‘Saya warga Yugoslavia’ ketika ditanya tentang identitasnya. Situasi tentu sangat berbeda setelahnya, warga Bosnia yang muslim akan dengan keyakinannya selalu lebih mengedepankan “Saya muslim Bosnia” ketimbang hanya menyebut identitas negara. Artinya, struktur ruang konflik politik di Yigoslavia mendorong perubahan-perubahan pemaknaan atas identitas warganya.

Semakin menjadi persoalan, ketika ‘identitas’ dimaknai sebagai entitas yang beressensi ketimbang dimaknai sebagai ‘forma’ ungkapan semata. Yang terjadi maka ia diyakini mempunyai karakter yang stabil dan tetap. Jika ia diyakini sebagai kebenaran, maka ia dianggap berlaku tetap. Karena makna identitas merujuk pada perbedaan identitas yang lain, maka ‘yang lain’ (the other) dianggap sebagai hal yang harus dibuang dan disingkirkan. Problem ini semakin diperparah dengan dorongan kepentingan yang membawa identitas ini sebagai ‘modus’ untuk menyingkirkan kepentingan yang lain. Kekuasaan menjadi satu variabel amat signifikan menyebabkan ‘konflik identitas’ bertumbuh dan berkembang. Bagi kekuasaan dominan ia akan selalu membangun ‘representasi diri secara positif’. Sebaliknya bagi musuh-musuhnya ia cenderung akan membangun ‘representasi diri yang negatif’.


Stigmatisasi dan Dominasi atas Identitas : Sebuah Kasus

Konsep ’stigma’ sampai saat ini belum mempunyai rumusan teoritik dan penjelasan ilmiah yang baku. Tetapi beberapa ahli di bidang psikologi maupun sosiologi mulai banyak mengembangkan gagasan ini. Salah satunya sebagai cara untuk membantu penyembuhan individu-individu yang mengalami depresi dan ketakutan. Beberapa ahli meletakkan pengertian ini pada situasi khusus psikologi yang dihadapi manusia. Misalnya Erving Goffman memahami ’stigma’ sebagai identifikasi terhadap situasi manusia yang dianggap menyimpang dan berbeda dengan identitas masyarakat (publik). Menurutnya Stigma adalah ”differentness about an individual which is given a negative evaluation by others and thus distorts and discredits the public identity of the person.”10 Stigma dalam pengertian sosiologis juga bisa berarti ‘aib sosial’ atau ‘noda sosial’.

Dalam hidup sosialnya, manusia pada dasarnya memiliki ‘atribut’ atau “identitas’ baik diberikan maupun diciptakan sendiri. Kebertahanan identitas banyak ditentukan oleh berbagai faktor pengaruh yang hadir. Ia bisa dicipta sekaligus bisa dimatikan. Ia bisa cepat tumbuh tetapi juga bisa melenyap dengan begitu cepatnya. Identitas sebagai bentuk ‘tanda’ mengandung makna dan nilai-nilai dalam dirinya. Nilai dan makna itu terbangun sejalan dengan dialektika makna itu dalam interaksinya dengan nilai yang lain. Kemungkinan hadirnya konflik identitas bisa sering terjadi. Stigma cenderung muncul dalam ruang interaksi identitas yang berjalan timpang. Stigmatisasi bisa berkembang hanya ketika komponen ‘pengawasan sosial’ dikenakan pada identitas-identitas tertentu yang tidak diinginkan,11 Ketika ada kuasa yang menolak perbedaan, mendominasi, memonopoli, memberi pembatasan secara fisik maupun moral dan tidak membiarkan perorangan untuk mengembangkan potensi identitasnya, maka ruang subur bagi stigmatisasi akan mudah bersemi.

Meminjam pengertian Erving Goffman, stigmatisasi adalah gambaran adanya sikap, perilaku atau sistem yang tidak memberi ruang adanya perbedaan. Yang berbeda tidak diberi tempat. Yang berbeda akan menjadi ‘cacat’. Coleman bahkan memberi penegasan analisis bahwa stigmatisasi adalah bentuk ‘penghakiman nilai dari kelompok yang dominan, yakni, mereka yang mempunyai kuasa di dalam konteks kultur tertentu terhadap mereka yang tidak diinginkan.12

Dalam pandangan Coleman, ada tiga variabel penting yang menjadi penyebab munculnya ‘stigmatisasi’.13 Pertama, adalah “ketakutan”. Oleh berbagai sebab, manusia cenderung untuk “takut terhadap perbedaan-perbedaan”, “takut terhadap masa depan”, dan “takut akan tidak dikenal”. Konsekuensinya, subjek individu menggambarkan dengan sinis apa yang dimaknai sebagai ‘yang tak dikenal’ atau ‘yang berbeda’. Kedua, adalah “meniru-niru” sebuah kecenderungan manusia untuk menggolong-golongkan dengan identitas orang lain. Kecenderungan ‘meniru’ ini bagian dari cara manusia menginterpretasikan diri dan sekaligus ia akan membuka jarak identitas berbeda yang tidak disukai. Inilah wajah kepentingan ‘identitas’ yang bisa hadir dalam dua wajah yang masing-masing bisa bertentangan. Identitas bisa saja menjadi cara efektif untuk ‘afirmasi’ dan ‘integrasi’, tetapi ia juga bisa menjadi cara ampuh untuk ‘konfrontasi’ sekaligus ‘penguasaan atas yang lain’. Katagorisasi ini sekaligus bisa memperuncing relasi sosial yang ada, apalagi jika ditambah dengan variabel ketiga yakni ketatnya ‘pengawasan’. Stigmatisasi sering dipakai untuk menjaga ‘hirarki sosial’ di mana hirarki yang dominan akan menguasai hirarki yang lebih rendah.

Meminjam pengertian dasar di atas, ‘stigma’ memberikan pemahaman menarik tentang situasi bagaimana individu atau kelompok sosial tertentu telah terkatagorikan secara negatif sebagai ”liyan” oleh mereka yang menguasai kendali identitas. Katagori negatif membentuk penjara makna dan sekaligus bekerja untuk melakukan batasan-batasan terhadap ‘korban’. Stigma membentuk ’katagori-katagori’ dan ’identitas-identitas’ bagi orang-orang yang dikenainya.14 Katagori-katagori tersebut, bahkan pada prakteknya sudah keluar jauh dan mengalami penyimpangan sekaligus pembiasan. Dalam praktik stigmatisasi, ”liyan” akan selalu diawasi dan dikontrol. ”Liyan’ adalah musuh. Ia adalah entitas antagonistik yang bisa mengganggu eksistensi identitas yang sudah mapan. Mekanisme kontrol, dalam efek yang lain mendorong ’korban’ selalu merasa diawasi. Seperti efek penjara ’panopticon’, ketakutan korban sasaran dan sekaligus target terpentingnya.

‘Stigma’ di banyak kesempatan bisa membangun ‘mitos’. ’Mitos’ yang dipahami sebagai ”cerita yang dianggap benar” tetapi ”tidak diakui sebagai benar”. Mitos awalnya bisa digambarkan pada pemaparan kisah dan kejadian dramatis tentang kekuatan-kekuatan adi-manusiawi yang bekerja dalam pembentukan alam semesta. Mitos juga bisa berbentuk bangunan ’metafora’ untuk mendiskripsikan sesuatu yang dianggap benar meskipun masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Stigma bisa mengacu pada “narativisasi”. Sebuah pengertian tentang pembentukan klaim kebenaran. Klaim yang bekerja dalam cerita, narasi dan wacana. Ia diciptakan tuntuk mendukung kepentingan ideologi tertentu.15 Kepentingan akhirnya adalah kondisi ketaatan dan kepatuhan masyarakat. Jika dilihat pada aspek psikologis trauma, stigmatisasi bisa berarti sebagai modus dominasi kekuasaan. Ia bekerja melalui politik makna yang tersebar dalam ruang-ruang gagasan, pengetahuan dan wacana.

Mengacu pada pengertian dasarnya, ‘stigma’ bisa dimaknai sebagai problem ’politik identitas’. Memberi ‘stigma’ bisa diartikan memberi ‘label buruk’ dan ‘label negatif’ bagi individu. ‘Labelisasii’ dan ‘penandaan’ terhadap individu atau masyarakat bisa dijalankan dengan berbagai praktik diskursif. Harapannya, masyarakat menerima apa yang menjadi tujuan dari ’labelisasi’ tersebut. Apa yang diulang terus-menerus selanjutnya bisa menjadi kebenaran. Dibandingkan dengan fenomena ‘stereotype’, pemahaman tentang stigma memberi pengertian berbeda, terutama berkait dengan kepentingan yang dibangun. Jika ’stereotype’ beroperasi pada diskursus yang bisa berarti positif dan negatif, ’stigma’ digunakan untuk menjelaskan kondisi-kondisi diskurus yang negatif dan cenderung merusak.


Ketika Media Massa Berkuasa : Komodifikasi Identitas

Tentu cukup penting untuk meletakkan posisi media massa terutama dalam sejarah perkembangan kontemporer saat ini untuk meninjau perubahan-perubahan dalam pembentukan identitas-identitas baru dalam masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, citra-citra baru banyak dibangun oleh media. Media massa juga merupakan mesin angkut dan media produksi gaya hidup yang sangat luar biasa. Dengan laur biasa ia mampu menjadi magnet kesadaran dan citra diri atas apa yang harus dilakuakan individu. Media massa menjadi tempat rujukan terpenting abad ini. Poin inilah yang akan dieksplorasi lebih lanjut. Kecuali mengupas lebih lanjut tentang beberapa dimensi perkembangan media massa, yang lebih terpenting lagi adalah relasinya dengan ‘nasib identitas’ yang sedang dibincangkan dalam paper ini dan kian lama bertalian pada rujukan entitas tunggal yakni dominasi makna yang dibangun oleh ‘media massa’.

Dimensi kekuasaan media massa tidak sekedar pada pesan yang dibawa tetapi juga keseluruhan entitas pengaturannya yang selama ini dibangun. Pertama, apa yang dibawa dan apa yang disusun dalam pesan-pesan media tentu saja amat ditentukan oleh kepemilikan kekuasaan atas media massa. Ada rasionalitas ekonomi politik yang bertalian dengan rasionalitas pesan yang kemudian tercermin. Pesan media dalam logika ini lebih cenderung merujuk pada siapa yang berkuasa untuk menentukan setiap tanda, setiap teks dan setiap bahasa yang tepat untuk disiarkan. Tentu ada dinamika ‘tanda’ selanjutnya ketika pesan itu sudah diterbitkan atau disiarkan. Masyarakat bukan entitas pasif sama sekali. Masyarakat juga bukanlah tabula rasa yang kosong untuk sekedar diisi. Ia juga entitas kreatif yang juga menemukan ‘kebermaknaan’ sebuah ‘tanda’ atau ‘pesan’. Namun demikian, dalam dominasi media massa selama ini, ada keterbatasan-keterbatasan kreatifitas karena, beberapa hal. Pertama, ruang referensi sebagai rujukan sudah banyak terdominasi oleh apa yang kemudian sudah terkontaminasi media massa; Kedua, institusi media massa bukanlah ruang yang netral tetapi juga terisi banyak motivasi kecenderungan yang sudah dibentuk sedemikian rupa; Ketiga, ketiadaan akses yang adil bagi semua untuk menentukan apa dan bagaimana pesan harus disusun membuat, masyarakat mau tidak mau harus mengunyah dan menelan sesuatu yang sudah terberi oleh media massa. Dalam proses yang panjang, ia akan membangun relasi ketergantungan yang amat erat pada media massa.

Titik ketimpangan inilah yang akan mencuatkan problem tersendiri. Tak berkuasanya masyarakat untuk terlibat secara penuh menentukan bagaimana isi media selalu menjadi celah kosong yang dimanfaatkan media. Apalagi ketika masyarakat sudah begitu tergantung dan terikat oleh kebutuhan akan media massa. Tidak sedikit kasus-kasus konflik identitas yang meluas juga terpicu oleh efek-efek yang tidak terhindarkan dari sebuah pemberitaan media massa. Bahkan dalam hal tertentu, konflik telah menjadi ‘komoditas menguntungkan ’ kecuali konten-konten yang lain seperti berita-berita tentang sensasi dan pornografi. Kontroversi tentang KPK, Kepolisian dan Kejaksaan yang hangat bulan-bulan ini begitu meluasnya menjadi pemberitaan utama dan ikut mendorong berbagai perluasan konflik tersendiri dalam masyarakat. Kesan realitas kedua yang ditampilkan media massa seakan justru telah menjadi ‘realitas’ itu sendiri yang orisionil.

Ketika masyarakat menonton dan menyimak perkembangan pemberitaan oleh berbagai media massa, seakan apa yang dibaca, apa yang didengar dan apa yang dilihat sebagai realitas apa adanya. Pada kenyataannya, apa yang media tampilkan hanyalah realitas kedua yang sudah banyak mengalami perubahan baik dalam teknis penyampaian, editing ataupun juga karena dimensi ruang media itu sendiri. Apa yang kita lihat dan dengar bukanlah ‘realitas sesungguhnya’ tetapi sekumpulan kode bahasa yang khusus dan termodifikasi dalam kemampuan teknologi audio visual maupun cetak yang menyerupai gambaran realitas. Walaupun sebanarnya ia tidak akan pernah menyamai atau mewujud seperti realitas itu sendiri.

Ketika rujukan terhadap pembentukan identitas adalah realitas yang sudah terkomodifikasi dalam kepentingan-kepentingan tertentu yang jarang disadari oleh masyarakat dan diterima begitu saja menjadi kebenaran, maka di titik inilah persoalan terbesar dari ‘krisis identitas’ yang timpang dan dominatif. Kesadaran ‘nomenclatura’ terhadap rujukan media massa inilah yang membuat manusia akan rentan terhadap letupan-letupan krisis tertentu yang dimainkan media massa. Bagaimana selanjutnya kita bisa keluar dari kesadaran "nomenclatura" di dalam ruang-ruang "simulacrum" yang sudah terdominasi media massa? Inilah persoalan yang bisa jadi penting untuk kita diskusikan. Kesadaran "nomenclatura" sangat dipengaruhi oleh pandangan luas bahwa "di dalam teks, pesan, atau tanda terdapat substansi". Apakah demikian? Ataukan sebenarnya teks tersebut hanyalah menunjukan pada sifat bahasa yang ‘abriter’. Dengan teks itu sebenarnya ia ingin merujuk pada "pengertian yang lain" dan bukan pada makna dirinya sendiri.

Meminjam para pemikir "poststrukturalis" dalam memahami teks, tanda ataupun identitas seperti Lacan, Norman Fairclough, Sara Mills, Michel Foucoult atau para pemikiran Gramscian, penting untuk mengembangkan prinsip kesadaran yang harus digunakan dalam memahami identitas yakni tiga kesadaran : Yakni kesadaran kultural, relasional dan formal. Sebuah identitas selalu akan dipengaruhi oleh perkembangan konteks ruang yang lain seperti kebudayaan politik, ekonomi dll. Identitas juga selalu merujuk pada relasi-relasi dengan kepentingan- kepentingan yang lain. Sebuh teks bahasa juga hanyalah ungkapan "forma" tertentu dalam merujuk dan menunjuk sesuatu. Dan sama sekali dalam tiga kesadaran ini, kultus "nomenclatura" harus dibuang jauh-jauh. Bisa dibayangkan kalau spirit ini menjadi tradisi bertutur dan rujukan wacana masyarakat, yang semula hanyalah problem sepele dan biasa bisa menjadi pemicu lahirnya konflik yang lebih besar. Krisis kesadaran semacam ini biasanya justru banyak menguntungkan bagi siapa yang mampu mengendalikan dan menguasi media. Walaupun prinsip ini kadangkala tidak bisa selalu berjalan dalam logika yang sempurna. Transformasi dan perkembangan identitas yang dibangun media massa kadang bertumbuh cepat dan melesat melebihi dari apa yang dibayangkan sebelumnya sebelum ada kehadiran media massa.


Catatan kaki :

1. Mantan Ketua Presidium DPC PMKRI Surakarta “Santo Pulus” Periode 2000 – 2001 dan sekarang aktif di Resistbook Yogyakarta.

2 Lih, Nurhadiantomo, Konflik-konflik Sosial Pri Non-Pri dan Hukum Keadilan Sosial, Muhamadiyah University Press, 2004

3 Lihat, Hugh Purcell, Fasisme, Penerbit Insist, Yogyakarta, 2000, hal. 98. Kepercayaan akan superioritas identitas ras tertentu atas ras yang lain mendorong keyakinan bahwa perlu kekuatan besar dan kepemimpinan politik yang amat kuat untuk menjaga bangsa atas serangan identitas yang lain. Bahkan dalam dimensi yang luas, seperti yang dilontarkan tokoh berpengaruh Fasisme Italia, Musollini “Fasisme bukan hanya kepercayaan tetapi agama’

4 Lihat, Amin Maalouf, In the Name of Identity (terjemahan), Penerbit Resistbook, Yogyakarta, 2004, hal. 31.

5 Lihat, Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora”, dalam Kathryn Woodward (ed.), Identity and Difference (1997), hal. 51.

6 Lihat, Kathryn Woodward (ed.), Identity and Difference (1997), Ibid, 8 – 15.

7 Lihat, Tony Thwaites, Llyod Davis dan Warwick Mules, Introduction Cultural and Media Studies (terjemahan), Penerbit jalasutra, Yogyakarta, 2009, hal. 13 - 14‘Tanda’ biasanya dimengerti secara umum sebagai ‘apapun yang memproduksi makna’. Ada beberapa tambahan penjelasan yang menarik bahwa : Pertama, tanda bukan sekedar ulasan tentang dunia tetapi menyangkut hal ihwal tentang dunia; Kedua, tanda tidak hanya menyampaikan makna tetapi memproduksi makna; Ketiga, tanda memproduksi banyak makna, bukan sekedar satu makna per tanda.

8 Lihat, Tony Thwaites, Llyod Davis dan Warwick Mules, Introduction Cultural and Media Studies, Ibid, hal. 49. Makna sebuah tanda bergantung berbagai faktor, termasuk situasi dan konvensi di mana tanda digunakan. Makna sebuah tanda menurut buku ini adalah tergantung dengan apa yang mengitarinya. Makna bukanlah isi yang tersembunyi di dalam ‘tanda’.

9 Jikapun dalam kondisi krisis, individu mengidentifikasikan dirinya dengan ‘yang lain’ seakan sebagai fenomena kebersatuan identitas, tetap saja ia akan merujuk identifikasi ini pada sesuatu identitas yang berbeda atas dirinya. Dalam hal tertentu, justru karena kita memberi makna ‘berbeda’ tersebut maka justru mendorong penyamaan identitas bersama-sama. Maka semakin menggenapi premis utama bahwa ‘makna tanda’ bukanlah sebuah gambaran konsep bahasa yang nomenclatur, tetapi hanyalah ‘kesan mental’ sesorang yang membangun ‘konsep terbayang tentang sesuatu’

10 Lih, Erving Goffman (1963). Stigma: Notes on the management of spoiled identity. New York: Simon & Schuster, Inc.

11 Lih, L M Coleman. (1986). Stigma: An enigma demystified. In S. C. Ainlay, G. Becker, & L M. Coleman (Eds.), The dilemma of difference (pp. 211-232). New York: Plenum Press, p.228

12 Lih, L M Coleman. Ibid. P, 228

13 Lih, L M Coleman. Ibid. P, 219.

14 Bisa dibandingkan dengan konsepsi ‘stereotype’ yang kerap kita dengar semisal kita menujuk pada sebuh ciri-ciri umum yang kemudian kita lekatkan pada diri seseorang tanpa harus memverifikasi terlebih dahulu kebenarannya. Seakan-akan katagori-katagori umum bisa diletakan pada semua orang yang hidup di dalamnya. Seperti stereotype orang Jawa sebagai komunitas masyarakat yang berperadaban halus, harmonis dan bertatakrama tinggi, juga stereotype orang Dayak yang primitif, terbelakang dan ‘barbar/kejam’ atau lihat juga pemberian stereotype bagi Orang Batak yang selalu dianggap mempunyai perangai ‘keras’. Padahal pada kenyataannya masih banyak orang yang dikatagorikan tersebut mempunyai karakter yang tidak harus sama dengan yang dituduhkan. Pada praktiknya wujud stereotype ini jika kemudian dilembagakan bisa menjadi berwujud sebuah ‘mitos’. Mengenai bagaimana sebuah mitos ini dibangun dan apa yang menjadi kepentingannya dalam beberapa kasus di Indonesia, bisa dilihat dalam beberapa karya seperti : Geoffrey Robinson, Sisi Gelap Pulau Dewata : Sejarah Kekerasan Politik. (Terj: Arif B. Prasetyo), Penerbit, LKIS, Yogyakarta; I Ngurah Suryawan, Bali narasi dalam Kuasa : Politik dan kekerasan di Bali; Jacques Leclerc, Gadis-gadis dan Buaya-buaya dalam Henk Schulte Nordholt, Outward Apperances, (terj : M Imam Aziz), Penerbit LKIS, Yogyakarta.

15 Lih, John B. Thompson, Kritik Ideologi Global. (terj : Haqqul Yaqin), Yogyakarta, Penerbit IRCISOD, 2004, hal. 97.

Ketika Sejarah (Kekuasaan) Berkuasa

Ketika Sejarah (Kekuasaan) Berkuasa

Mengetengahkan cerita dan gambaran masa lalu adalah penting untuk membangun wacana ‘ikatan relasional’ antara ‘yang silam’ dengan ‘yang kini’. Legitimasi ‘masa kini’ sangat ditentukan oleh bagaimana ‘masa lalu’ dikonstruksi sehingga terbentang kesejarahan yang saling mendukung. Tidaklah mengherankan jika di mana-mana, penguasaan terhadap gambaran masa lampau menjadi sanga penting untuk penjagaan sistem.

Sedikitnya ada dua cara pengendalian narasi dalam sejarah yang berkait dengan modus kerja ‘narativasi’ dalam ideologi. Pertama, dengan penambahan unsur-unsur tertentu dalam sejarah. Praktik ini bisa dilakukan dengan pembuatan dokumen, buku sejarah, ataupun film yang mengisahkan keberhasilan, kejayaan dan tentu saja mitos-mitos yang menyertainya. Kedua, dilakukan dengan ‘kebisuan sejarah’. Praktik ini sangat berkait dengan pembangunan legitimasi. Sejarah yang bisa diakui benar hanyalah narasi sejarah yang disusun oleh institusi resmi yang ditunjuk negara.

Ada banyak rahasia sejarah yang sengaja disembunyikan untuk kepentingan tersebut. Dibanyak hal, kekuasaan harus menggunakan regulasi hukum resmi untuk mengontrol dan membentengi setiap usaha pembongkaran sejarah. Jika saja kekeliruan dan manipulasi sejarah sampai terbongkar, ia akan mereduksi legitimasi yang ada pada penguasa.

Kekuatan yang sanggup mengontrol dan menguasai isi sejarah, dialah yang mampu membangun opini dan pendapat umum bagi masyarakat. Untuk metode pertama, penguasa benar-benar akan sangat teliti dan jeli bagaimana narasi-narasi sejarah disusun dan diolah. ‘Penipuan’ (dissimulation) adalah salah satu modus operandi ideologi yang lain. Pada praktik ini, relasi dominasi dapat dibangun dan dipelihara dengan cara ‘disembunyikan’, ‘diingkari’ atau ‘dikaburkan’, atau dihadirkan dengan cara mengalihkan perhatian dari proses yang sedang berlangsung.

Sejarah sepertinya tetap menjadi medan pertempuran bagi yang berkuasa dan dikuasai. Ia hidup dan berkembang dalam setiap tarik menarik kepentingan. Sejarah yang kalah tentu saja akan dipinggirkan dan dilupakan. Sejarah yang menang akan dipuja dan dikenang dalam setiap upacara peringatan. Ia menjadi ’bahan ajar’ dan ’matakuliah wajib’ untuk semua saja. Sejarah yang kalah cenderung akan ditutup sebagai bahan bacaan. Kehadirannya adalah barang tabu yang bisa mengusik narasi yang sudah mapan.

Dialektika sejarah dalam praktiknya membawa pertarungan menang dan kalah. Bagi para pemenang, kisah yang bisa membangun legitimasi akan selalu dikenang. Reproduksi sejarah menjadi barang penting untuk dipompakan dalam kesadaran masyarakat. Seberapa jauh benar dan validnya bukan sesuatu yang penting. Bagi kekuasaan, pemanipulasian sejarah tidak lagi ditabukan. Ketundukan dan ketaatan adalah ujung akhirnya. Fakta sejarah yang tidak berkompromi dengan kehendak kekuasaan akan dikubur. Alih-alih membukanya untuk bisa dibaca sebagai keragaman sejarah, ‘sejarah lain’ adalah hantu yang bisa mengganggu kekuasaan.

Dalam kacamata ideal sejarah, kebenarannya tidak bisa berwujud tunggal. Kebenaran sejarah selalu hidup unik dengan seluruh keragamannya. Problemnya, sejarah pinggiran seringkali jauh dari penghormatan. Banyak kebenaran justru bisa digali di sana. Lebih jauhnya, menuliskan sejarah dengan benar merupakan jawaban kongkrit untuk mengembangkan peradaban manusia lebih adil. Cita-cita rekonsiliasi selalu membutuhkan ruang politik yang demokratis. Walau usaha kearah sana akan berhadapan dengan sekian tantangan, memberi kesempatan luas untuk ’ruang tutur korban’ merupakan langkah yang sangat tepat.

Pertanyaan besarnya, bagaimana sejarah bisa ditempatkan secara benar dalam ruang politik yang despotik dan otoritatif? Seperti yang digagas oleh Heather Sutherland sebagai “historizing history”, penting sekali menempatkan sejarah dalam konteksnya yang benar. Upaya ini barangkali terkesan sangat utopis. Negara sebagai medan ketegangan belum menunjukan keperpihakan tersebut. Wajah kongkritnya bisa ditengok dalam isi pendidikan sejarah. Buku sejarah secara umum masih syarat dengan berbagai bias kekuasaan. Apa yang pernah dipaparkan oleh McGregor dalam buku ‘Ketika Sejarah Berseragam’ barangkali masih relevan, pengajaran sekolah masih sering dimaknai menjadi proyek bahasa negara ketimbang proyek pencerahan bagi siswa untuk memahami realitas hidup sejarahnya dengan benar.

Meskipun beberapa metodologi pendidikan sudah mengalami perkembangan, pengajaran sejarah masih berlaku timpang. Pengajaran bahkan lebih baik menghindar dari perdebatan-perdebatan kontroversial. Polemik sejarah yang seharusnya dibaca lebih proposional, tetap saja diterabas dengan begitu saja. Ada fakta lain yang terus-menerus “disembunyikan” dengan berbagai pertimbangan politis ketimbang rasionalitas ilmiah. Sejarah masih belum mendekat pada nasib mereka yang dihilangkan dari historiografi indonesia. Sejarah menjadi sekedar catatan peristiwa yang tidak hidup. Sejarah menjadi mengasingkan diri dari jantung cita-cita sejarah sebenarnya.

Dalam beberapa kasus, sejarah bagi McGregor sejarah tidak luput dari proses pembinasaan ‘sejarah lain’. Sejarah menjadi “berseragam” dalam pengertian sebenarnya, karena kekuasaan mampu memaksa homogenisasi sejarah dengan berbagai politik kontrolnya seperti pengendalian yang ketat terhadap media dan pendidikan, manipulasi pemilihan umum, pengurangan kebebasan berpendapat, dan tradisi menggunakan militer untuk menangani apa yang disebut sebagai “ancaman terhadap keamanan nasional”. Apa yang dianggap berseberangan dengan “sejarah resmi” akan segera ditutup, dilarang dan dibreidel.