Senin, 22 Juni 2009

Melampaui Nalar Kuasa Pendidikan

Melampaui Nalar Kuasa Pendidikan



’Pengetahuan’ dan ’kekuasaan’ saling terkait satu sama yang lain.
Kita tidak bisa membayangkan bahwa suatu ketika
’pengetahuan’ tidak lagi bergantung pada ’kekuasaan’,
sebagaimaa mustahil ’pengetahuan’ tidak mengandung kekuasaan
(Michel Foucault)



Kerumitan dalam pembacaan tentang ‘problem pendidikan’, hadir sejalan dengan kerumitan menemukan problem mendalam tentang ‘manusia’ dan ‘kemanusiaan’. Bagaimana nalar pendidikan meletakan ‘subjek manusia’ dalam seluruh orientasi yang dikembangkannya. Berbagai perspektif teoritik tentu mencoba meletakkan dalam berbagai cara pandang dan pendekatan yang konsekuensinya amat beragam. Ketegangan yang bertahan hingga hari ini adalah upaya mendiskusikan pijakan gagasan pendidikan yang mengorientasikan spirit ‘humanisme’ yang lebih ‘antroposentris’ dan pijakan pendidikan yang lebih berorientasi pada ‘teosentrisme’ dengan keutamaan-keutamaan ‘religiositas’, ‘ahlak’ dan ‘moralitas’. Keduanya memberikan batasan yang cukup berbeda terutama dalam pengembangan ‘rasionalitas’ manusia’. Tidak sedikit pula yang membacanya tidak ‘dikotomis’, tetapi dua persoalan tersebut dipercayai bisa diintegrasikan bersama-sama. Tawaran jawaban atas problem pendidikan menjadi cukup beragam. Ia tercermin dalam kecenderungan pendekatan yang ditampilkannya. Secara epistemologis jawaban atas problem dunia pendidikan dalam dua terminologi itu tidaklah hadir dalam pola-pola yang linier dan seragam. Artinya di masing-masing kecenderungan juga menmgandung variasi dan pluralitas kecenderungan yang lain.

Memang, agak lebih mudah membaca problem pendidikan pada kasus-kasus yang manifest dan spontan. Sebaliknya, perlu pembacaan analisis yang lebih mendalam pada persoalan pendidikan yang lebih diakibatkan dari akar problem yang lebih terstruktur dan sistematis. Isu tentang mahalnya biaya pendidikan, privatisasi dan swastanisasi pendidikan, problem kesejahteraan guru, kekacauan sistem ujian nasioanl, kekerasan dunia pendidikan, problem kebijakan anggaran sampai menurunnya kualitas anak didik hanyalah sebagian tampakan problem pendidikan yang hingga hari ini terus mengemuka. Dimensinya melebar tidak semata problem pendidikan an sich. Ia menyeret problem ekonomi, politik, kebudayaan, dan juga problem sosial yang lain. Bahkan jika terus ditelisik, ia akan menyeret pula problem filsafat dan paradigma berpikir yang hari ini dominan dikembangkan. Fakta di atas telah mematahkan stereotipe dan mitos lama tentang ‘pendidikan sebagai wahana ilmiah yang bebas nilai. Fakta amat jelas membuktikan bahwa pendidikan tidaklah berdiri dalam kaki yang independen. Pendidikan tidaklah sosok mahluk yang netral. Ia selalu memiliki kecenderungan nilai yang sarat dengan berbagai nalar dan sekaligus kontradiksi kepentingan. Bahkan lebih jauh pendidikan bukanlah entitas sakral yang steril dari “nalar-nalar kekuasaan”.


Problem Pendidikan : Cara Pandang Foucaultian.

Cara baca ‘Foucaultian’ dalam ‘geneologi’ untuk menelaah ‘problem pendidikan adalah upaya untuk ‘melampui’ cara baca ‘fungsional’ dan sekaligus ‘istrumentalis’. Meskipun teori ini tidak secara khusus mengkaji persoalan pendidikan secara mikro tetapi amatlah dekat dengan dimensi kajian tentang ‘kekuasaan’ yang sedang ditekuninya termasuk yang saat ini banyak dikembangkan oleh tema-tema kajian ‘poststrukturalis’. Aparatus institusi pendidikan bisa dipandang menjadi salah satu bentuk mekanisme kerja kekuasaan yang sangat efektif. Sebagaimana ‘kekuasaan’, pendidikan pada tubuhnya banyak termuat berbagai relasi dominasi yang hidup. Pada praktiknya ia sekaligus merupakan jaringan relasi kekuasaan yang membentuk wajah peradaban manusia hingga saat ini. Pembahasan mendalam tentang realitas pendidikan sejatinya harus dipusatkan pada kompleksitas jaringan relasi kekuasaan tersebut. Bagaimana pendidikan hadir dan termodernisasi sampai hari ini tidak semata dilihat sebagai telaah atas sejarah pendidikan yang berkembang dalam ruang hidupnya sendiri. Ia harus selalu dilihat dalam kesalinghubungan berbagai matarantai dan relasi yang membentuknya.

Problem pendidikan berkembang bukan dalam kehadiran sebab yang determinan tunggal dalam garis yang linier. Atas sikap ini pula, perspektif Foucaultian menolak ‘sejarah asul-asul sebab yang linier seperti pengandaian ‘metafisika kehadiran’ ataupun ‘sebab permulaan’. Geneologi yang dikembangkannya tidak sedang bersibuk diri dengan mencari ‘asal usul’ dalam arti ‘esensi’ atau ‘kontinuitas’. Kita tidak sedang berusaha untuk mencari orisionalitas sebab-sebab munculnya problem pendidikan. Geneologi membantu untuk membongkar segala rahasia yang selama ini dianggap mapan sebagai ‘kebenaran’. Dalam cara pandang ini, kita tidak sedanng berusaha untuk menemukan esensi dari sesuatu. Karena sebenarnyalah ‘esensi’ menurut keyakinan nilai ini pada prinsipnya tidak ada. Titik pijak pendekatan ini ingin mempertegas bahwa apa yang semula kita anggap rasional dan benar berakar dari ‘dominasi’, ‘penaklukan’ dan ‘hubungan-hubungan kekuasaan’ yang biasa kita sebut sebagai ’nalar kuasa’.

Skema cara pandang tradisional dalam menganalisa problem pendidikan selalu berambisi menemukan akar muasal tunggal, kontinu serta permanen. Cara pandang “poststrukturalisme” pada nalar geneologi justru lebih jauh melampaui untuk melihat ‘entitas kekuasaan’ sebagai hal yang plural dan diskontinu dalam tautan kreatif terus-menerus seluruh kekuatan yang ada baik yang ‘manifest’ maupun yang ‘laten’. Di titik inilah pendekatan ini berguna untuk menghilangkan kecenderungan ‘ortodoksi’ berpikir di satu sisi dan juga ‘liberalisme’ berpikir di sisi yang lain. Dalam beberapa hal, batas rentangnya ada dalam menjebatani dialog teoritis antara ‘absolutisme‘ dan ‘nihilisme’.

Masalah dunia pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih menyita banyak energi dan perhatian. Diskusi-siskusi pendidikan tidak urung selalu menarik untuk dilakukan, tetapi anehnya sekian waktu proses berjalan, pendidikan justru terasa bergerak sangat lamban dan terasa berjalan ditempat. Problem pendidikan tidak berkurang melainkan justru semakin melahirkan species-species problem yang baru. Problemnya kemudian bergerak semakin tidak ada kepastian. Tentu kesemrawutan kebijakan persoalan pendidikan tidak serta merta datang tiba-tiba. Secara historis problem ini bertumbuh seiring dengan pertumbuhan Indonesia sebagai bangsa. Pendidikan bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Ada mata rantai yang kerap terputus dalam membaca proses pendidikan.

Bertahun-tahun wacana yang dikonstruksi oleh proyek pendidikan telah memperoleh status kebenaran dan secara efektif membentuk dan memaksa agar kepentingan-kepentingan kekuasaan berbicara dan bertindak. Sejak lama pula proyek-proyek pendidikan didesain oleh para perancang dan penggagasnya sebagai sebagai proyek yang seakan-akan ’netral’ dan ’bebas nilai’ Sebagai sebuah kredo dari paradigma Positivisme, ’netralitas’ dan ’bebas nilai’ sebenarnya mempunyai banyak cacat bawaan. Kecuali bahwa tesis tentang ‘bebas nilai’ ilusif dan menutupi kenyataan tersembunyi pengetahuan, paradigma ini melupakan kenyataan bahwa realitas sosial merupakan kenyataan hidup yang bergerak, berubah dan penuh dengan dialektika kepentingan yang lebih didorong oleh semangat humanisme. Narasi pendidikan kemudian selalu menghindari analisis yang bersifat ’politis’ dan ’ideologis’ Pembahasan tentang tema-tema pendidikan dalam banyak hal kemudian dipisahkan dari lingkungan ’produksi sosialnya’ dan dijauhkan dari aspek ’relasi kuasa’. Sebagai bagian aparatus yang penting bagi negara, sektor pendidikan selalu dibangun dan diorientasikan untuk menopang gagasan-gagasan kekuatan yang dominan.


Pendidikan dan Matai Rantai Kuasa

Tidak ada sesuatu hal yang begitu saja ’ada’ dan ’a-historis’, yang sesungguhnya muncul adalah ’diadakan’ demikianlah yang pernah dilontarkan Edward W.Said. Seperti juga yang pernah diungkapkan Michel Foucault bahwa ”tidak ada relasi kuasa tanpa keberadaan wilayah pengetahuan, dan juga tidak ada pengetahuan yang tidak menimbulkan relasi kuasa.” Ketika pengetahuan dalam pendidikan jatuh pada relasi kuasa ini maka ia membentuk apa yang dinamakan oleh Rita Abrahamsen sebagai ’rezim kebenaran”. Atas kepentingan itu pula maka sejak ’neoliberalisme’ diangkat sebagai ’matra suci’ bagi pembangunan pendidikan saat ini, pasar telah menciptakan komoditas baru yang sangat menguntungkan yakni mahluk yang bernama ’pendidikan’. Pertimbangan itu mempengaruhi kepentingan pasar untuk memaksakan agenda-agenda penting dalam ’komersialisasi’ sektor ilmu pengetahuan ini. Pendidikan kemudian menjadi jembatan bagi masuknya ide-ide dan gagasan bagi kepentingan neoliberal. Tidak heran jika kepentingan pasar telah berhasil memasukkan ’pendidikan’ sebagai salah satu ”sektor jasa” yang disepakati dalam forum perdagangan dunia (WTO) untuk bisa dijual dan diperdagangkan.

Fase sejarah pendidikan Indonesia sebenarnya memberi catatan berharga bahwa problem pendidikan dan politik kekuasaan merupakan sesuatu entitas yang tidak bisa terpisahkan. Masa kolonial menggambarkan bagaimana pendidikan tidak ubahnya merupakan cara penanaman kesadaran Kolonial sebagai pemenuhan dari mekanisme pendisiplinan pribumi. Pendidikan adalah upaya kekuasaan yang lebih halus untuk mentransferkan gagasan dan kepentingan penguasa kolonial. Ki Hajar Dewantara sebagai pemikir awal pendidikan Indonesia bahkan sudah jauh-jauh memperingatkan bahwa ”Pendidikan Kolonial bertujuan mendidik rakyat kita supaya mereka cakap menjadi pembantunya kekuasaan Kolonial”. Situasi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masa kekuasaan Orde Baru sampai sekarang. Warna kapitalisme yang tersentral dalam oligarki Orde Baru benar-benar secara vulgar menempatkan pendidikan sebagai entitas pengawal persemaian ide-ide Orde Baru. Dari sisi isi, sistem dan struktur kebijakan, pendidikan telah menempatkan diri menjadi entitas peengabdi bagi berjalannya mekanisme kekuasaan.

Transisi reformasi 1998 juga tidak membawa kabar perbaikan pendidikan yang lebih baik. Neoliberalisme pasar justru lihai membajak ruang-ruang kerapuhan pendidikan dengan membawa pola yang lebih mengerikan. Sistem ini telah membawa perpindahan yang sangat masif dari tubuh negara kepada ’kekuasaan pasar’ yang lebih hegemonik. Pendidikan telah dilempar dalam bursa kepentingan neoliberal. Bagi pemikir-pemikir pendidikan kritis seperti Michael W. Apple situasi ini yang disebutkan sebagai ’kolonisasi pengetahuan’ di mana ”Pengetahuan telah menjadi sejenis modal yang dikelola dan didistribusikan oleh institusi pendidikan kepada anak didik sebagaimana intitusi ekonomi mengelola modal finansial”. Bahkan juga menurutnya yang sangat menarik bahwa kurikulum pendidikan tidak pernah menjadi susunan pengetahuan yang netral. Kurikulum selalu menjadi bagian dari tradisi tertentu.

Keputusan untuk menentukan pengetahuan sebagai pengetahuan yang sah dan pengetahuan mana yang tidak sah dan diabaikan akan menggambarkan dan memperlihatkan sesungguhnya siapa yang berkuasa dalam masayarakat. Pendidikan tidak ubahnya dalam perspektif yang lebih poststruktural sebagai matarantai bangunan kekuasaan dan kekerasan sekaligus. Subjek-subjek pendidikan tidak diberi kesempatan yang adil dalam relasi-relasi yang lebih manusiawi. Mandat emansipasi bagi seiap subjek pendidikan masih berhenti. Subjek anak didik akhirnya hanya menjadi komoditi yang bisa dikalkulasi demi nalar meraup keuntungan. Kecenderungan orientasi pendidikan juga masih terbatas berhenti pada formalitas dan fungsional semata. Pemikiran-pemikiran kritis alternatif tidak jarang masih dianggap sebagai niat subversif yang akan mengganggu kemapanan kekuasaan yang sudah establish. Alih-alih memberi kesempatan berbagai potensi kritis untuk berdialog, kekuasaan masih sering alergi untuk membuka kran demokratisasi pendidikan hanya kadang karena subjektifitas ketakutan terhadap munculnya gejolak perubahan yang dianggap mengancam kekuasaan.


Kuasa Tersembunyi Kapitalisme

Sistem neoliberal dengan jantung kapitalismenya semakin berkembang dan eksis. Bertahan dan tidaknya sistem ini tidak semata dibangun dengan logika penguasaan material semata. Eksisnya sistem dan aturan yang dianut hampir sebagain besar negara-negara di dunia juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan diskursif yang terus mengikutinya. Kekuasaan selalu membutuhkan tangan keduanya yaitu ’gagasan’ atau ’pengetahuan’ tentangnya. Kemampuan penguasaan diskursif yang dominan inilah yang oleh analisis-analisis ”poststruktural’ menjadi bagian yag amat penting. Kekuatan teknologi informasi dan media massa sekaligus menjadi corong yang sangat vital untuk membangun dominasi pemahaman yang titik akhirnya menciptakan kepatuhan. Dalam banyak hal, aturan main yang menjadi hukum yang harus dipatuhi oleh setiap negara dalam sistem neoliberal tidak semata-mata karena memang secara definitif aturan itu benar-benar disepakati secara sadar tetapi ada pretensi ideologis yang selalu menyertainya. Lebih pentingnya, jaringan matarantai kekuasaan kapital dan sekaligus kesadaran neoliberal sudah meresap dala seluruh matarantai kuasa yang lebih kecil

Berkembangnya berbagai kemampuan media menjadi komponen penting terhadap pembangunan legitimasi dan rasionalisasi kepentingan bisnis yang dibangun negara maju. Media dengan kekuatan “bahasa dan pengetahuan” mampu menjadi mesin mekanisme kekuasaan di dalam menggiring opini masyarakat dunia atas wacana-wacana perdagangan yang dibentuk negara-negara maju John B, Thompson pernah mencatat bahwa dalam setiap konsepsi “bahasa dan pengetahuan ” mengandung banyak manifestasi ideologi. Thompson melihat salah satu cara kerja ideologi yang saat ini berjalan adalah dengan menggunaan modus-modus penipuan bahasa (dissimulation). Relasi dominasi kekuasaan dapat dibangun dan dipelihara melalui cara ’penyembunyian’, ’pengingkaran’ dan ’pengkaburan’ makna. Negara-negara barat berkempetingan untuk membuat “dissimulasi-dissimulasi” sehingga konstruksi pencitraan bisa dibentuk sesuai kepentingan yang mau diambil. Dalam cara pandang Althuserian, inilah yang disebut sebagai proyek ideologis yang mampu membentuk ’ruang-ruang hegemoni’ kelas-kelas berkuasa atas kelas-kelas yang dikuasai. Nalar kuasa pengetahuan adalah domain gerbang utama dalam penciptaan politik hegemoni secara meluas.

Kekuatan-kekuatan dan relasi-relasi kuasa penopang neoliberal yang membangun konstruksi dan legitimasi terhadap kinerja ekonomi mereka tersebar dibeberapa kelompok intelektual yang cukup penting. Mereka merupakan kekuatan penyangga yang berhasil membangun sistem kepatuhan secara ’hegemonik’ terhadap pentingnya pasar terbuka dalam paradigma neoliberalisme dalam dunia pendidikan. Praktik membangun diskursus ini juga merayap pada program-program kebijakan pendidikan seperti ”privatisasi pendidikan” terbukti sering hanya menjadi dalil yang menipu ketimbang capaian yang sebenarnya. Gagasan wacana privatisasi pendidikan meraih status “kebenaran” dan secara efektif membentuk dan memaksakan suatu cara agar negara kemudian merelakan diri untuk mengalihkan kontrol dunia pendidikan pada mekanisme pasar swasta.

James Petras pernah mengungkapnya cukup kritis bahwa wacana-wacana pengetahuan yang selama ini biasa kita anggap wajar harus dibaca secara kritis sebagai mekanisme penguasaan bangsa satu terhadap bangsa yang lain. Ujung-ujungnya ia kerab hanya melahirkan proses ketimpangan ekonomi yang semakin tajam. Globalisasi dan propaganda atas keniscayaan pasar ekonomi tidak lebih hanyalah mitos yang selalu dibangun untuk membangun relasi imperial. Ide-ide terhadapnya perlunya membuka pasar global seluas-luasnya sebagai cara untuk memajukan pendidikan seperti yang tergambar dalam kebijakan privatisasi pendiidkan sering berujung terhadap hancurnya mandat sejatinya pendidikan sebagai ruang emansipasi anak didik menjadi mesin komodifikasi yang menguntungkan bagi keuntungan pasar. Di titik inilah kita akan menyaksikan gambaran kolonialisasi bentuk baru yang lebih membuat banyak ketimpangan bagi warga bangsa yang sejatinya mempunyai hak penuh atas pendidikan.

Apa yang kemudian dibayangkan sebagai ’problem dunia pendidikan’ lebih meluas mencakup keseluruhan masalah yang mengemuka hari9 ini bahkan sampai pada nalar yang paling ’sublim’ sekaligus. Dalam kacamata poststrukturali, tidak ada sesuatu entitas yang bisa berdiri otonom tunggal. Ia selalu ’dibentuk’ dan ’terbentuk’ melalui medan kreatif berbagai pergesekan relasi-relasi kekuasaan yang ada. Maka relasi-relasi kekuasaan dalam dunia pendidikan tidaklah semata muncul dalam bentuk yang spontan dan kasat mata. Pada prinsipnya tidak ada problem dunia pendiikan yang pada hakikatnya hadir dalam ruang yang kosong. Pembacaan terhadapnya lebih mendalam jika saja dilakukan dengan berbagai dimensi disiplin ilmu yang lebih beragam. Sebagaimana pendidikan bukanlah tanggungjawab institusi pendidikan semata, ia haruslah menjadi pekerjaan menyeluruh dari berbagai matarantai kuasa yang ada. Sebagaimana secara teoritik bahwa amatlah sulit untuk menghilangkan ’nalar kuasa’ dalam keseluruhan relasi masyarakat, kiranya yang cukup penting adalah bagaimana membangun keseluruhan interaksi dan kesalingkaitan kuasa tersebut hingga membentuk relasi-relasi kekuasaan yang tidak ’asimetris’ dan dominatif melainkan ruang pendidikan yang mengedepankan gagasan-gagasan ’keadilan’ bagi semua.




“Satu-satunya yang benar adalah ‘kuasa’ yang selalu muncul
dalam topeng yang baru melalui
perubahan proses-proses penundukan yang anonim”
(Jurgen Habermas)

Selasa, 09 Juni 2009

Radikalisme Daerah dan Minggirnya Kekuasaan Feodal

Radikalisme Daerah dan
Minggirnya Kekuasaan Feodal

Surakarta merupakan daerah yang secara historis banyak menyimpan kisah tentang benih-benih radikalisme dan dinamika sosial politik yang sangat menarik untuk dieksplorasi. Memang dalam catatan sejarahnya, Surakarta memiliki deretan kisah yang panjang tentang benih-benih pergerakan yang cukup mempengaruhi panggung politik di Indonesia. Banyak tokoh dan sekaligus pemikiran yang berkembang dari wilayah ini. Karisedenan Surakarta secara kewilayahan terbagi dalam beberapa pemerintahan daerah yaitu Kabupaten Dati II Boyolali, Kabupaten Dati II Sukoharjo, Kabupaten Dati II Klaten, Kabupaten Dati II Wonogiri, Kabupaten Dati II Karanganyar, Kabupaten Dati II Sragen dan Kotamadya Dati II Surakarta yang lebih dikenal dengan sebutan “Kota Solo”.

Surakarta bertumbuh tidak lepas dari berbagai dinamika konflik sosial politik yang hadir baik dalam intensitas kecil maupun besar. Kota ini menyimpan torehan panjang tentang ketegangan-ketegangan struktural dan horisontal yang dipicu oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya yang kompleks. Dala deretan tahun, kota ini tidak sepi dengan pergolakan dan kerusuhan kota. Sekedar untuk mengingat, ledakan konflik ketegangan berbau ras “pri-nonpri” menjadi daftar terbanyak pemicu konflik. Pertama, dalam rekaman sejarah sekitar tanggal 30 Juni 1742, laskar Cina dibantu dengan beberapa kelompok pemberontak berhasil menjebol benteng Istana Kartasura dan akhirnya kekautan pemberontak berhasil menduduki kota itu untuk beberapa bulan. Akibat kekalahan, pihak Sunan kembali mengkonsolidasikan kekuatannya untuk merebut kembali kota Kartasuro. Sekitar bulan Desember 1742, pihak keraton kasunanan berhasil merebut kembali wilayah Kartasuro dan karena beberapa hal maka kemudian keraton dipindahkan ke kota Solo (Sudarmono dan Susanto, 2001).Konflik ini menjadi bagian torehan dan catatan akan dinamika sosial politik yang sangat keras di Surakarta.

Dalam sekian waktu proses sejarah, beberapa wilayah di Karisedenan Surakarta memiliki aroma dinamika sosial politik yang keras terkhusus di kota Solo yang menyimpan mitos sendiri sebagai cikal bakal lahirnya embrio-embrio gerakan radikal rakyat baik yang berpayung gerakan lokal maupun nasional. (Tim LPTP, 1999) Munculnya tradisi dan pergerakan rakyat (wong cilik) tidak bisa dilepaskan juga dengan berbagai perubahan struktural kekuasaan yang dialami oleh Surakarta. Sejarah intervensi dan kepentingan kolonialisme telah merubah banyak struktur sosial politik masyarakat. Pergeseran dari sistem feodalisme ke arah kemunculan kapitalisme modern bisa menjadi satu variabel penting melihat perubahan-perubahan ini. Perluasan kepentingan ekonomi kolonial menimbulkan perubahan perubahan berarti terutama pada basis produksi ekonomi rakyat Surakarta.

Sistem tanah feodal yang dikuasai tuan tanah dalam “sistem lungguh” yang selama itu dikuasai oleh para ‘patuh’ berubah kepada penguasaan para penyewa asing (Nurhadiantomo, 2004 : 75 – 76). Akhirnya berbagai tansformasi sosial politik terjadi terutama pada sistem birokrasi pemerintahan. Pada level bawah, perubahan ini tidak ubahnya menjadi sarana kepanjangan dari kekuasaan kolonialisme Belanda. Kepala Desa dengan segala aparatusnya lebih condong menjadi perpanjangan tangan dan lembaga kontrol pengawas dari kepentingan kekuasaan kolonial Belanda. Contoh besarnya nampak pada kebijakan “reorganisasi tanah” yang selama ini dibangun melalui garis pemerintahan kerajaan yang disebut dengan lembaga “ke-bekel-an” akhirnya hilang dan diganti dengan sistem sewa tanah yang dikoordinasi oleh pihak kolonial melalui lembaga kelurahan atau desa.

Sistem sewa kontrak tanah merupakan sistem yang dibawa oleh kepentingan kapitalisme Belanda dan menyebabkan kerugian banyak pada para petani penggarap. Ujung dari semakin terpuruknya kondisi petani ini, munculah berbagai resistensi lokal dalam berbagai aksi protes petani di Surakarta. Masa akhir abad 19 dan awal abad 20 merupakan masa-masa lahirnya berbagai pergolakan terutama protes petani. Di daerah Surakarta pada akhir bad 19 misalnya terjadi gerakan ‘revivalisme Suradi’ alias RM Kapiten tahun 1871 di Boyolali, Gerakan Ali Suwongso di desa Jatinom tahun 1881, gerakan ‘messianisme’ di desa Merbung Klaten tahun 1865, Gerakan Imam Mahdi Tirtowiyat (Raden Djoko) di desa Bakalan kartasura tahun 1886, dan gerakan Srikaton di desa Girilayu Karanganyar (Nurhadiantomo, 2994 : 77).

Meskipun harus melalui berbagai fase pembentukan yang cukup lama, benih muculnya organisasi rakyat modern dengan cita-cita maju pernah lahir dan berkembang di wilayah ini. Melalui gagasan dan kerja Haji Samanhoedi dan beberapa rekan, pada tahun 1912 mendirikan sebuah organisasi yang bernama Rekso Rumekso, yang sebenarnya dahulu hanyalah sebuah “kelompok penjaga” (kelompok ronda) untuk melindungi perdagangan pribumi Jawa di Solo untuk berhadapan dengan kelompok dagang Kong Sing Tionghoa. Melalui bantuan dan kerjasama dengan Tirtoadhisoerjo maka terbentuklak nama baru yaitu Sarikat Islam (SI) dan orang Solo kerap akrab menyebutnya dengan Sarikat Dagang Islam (SDI) (Takashi Shiraisi, 1990 : 55 – 107). Pada dasarnya Sarikat Islam merupakan organisasi pergerakan yang yang dibangun dengan watak kesadaran rasional dan modern. Pada masa-masa saat itu berbagai tuntutan-tuntutan telah banyak digulirkan melalui organisasi ini.

Ada harapan-harapan dan gagasan-gagasan yang berbeda yang ditampilkan oleh Sarikat Islam dengan organisasi-organisasi tradisional sebelumnya. Pertama, mitos seperti Ratu Adil sebagai paham yang bersifat mistis religius , beralih pada kesadaran ideologis yang bersifat rasional dan realistis, banyak dari para pemimpin di SI seperti HOS Cokroaminoto, Agus Salim Adul Muis merupakan orang-orang yang terpelajar dan berfikiran rasional. Kedua, mistis-religius yang bersifat lokal beralih pada kesadaran yang bersifat nasional; ketiga, gerakan-gerakan petani yang pada awalnya mengandalkan kharisma pemimpin secara tertutup beralih pada kekuatan organisasi yang lebih bersifat terbuka; keempat, pusat-pusat gerakan yang selama ini tersebar di desa-desa beralih ke pusat-pusat kota.

Sarikat Islam (SI) semakin tumbuh dan berkembang pesat menjadi organisasi yang banyak mengusung ide-ide kritis dan gagasan-gagasan emansipasi ( A.P.E Korver, 1990 : 43). Tidak jarang kemunculan SI mendorong keberanian dan sekaligus watak-watak perlawanan kelompok pribumi untuk menentang sistem kolonialisme yang semakin menindas. Residen Surakarta sebagi penguasa wilayah ini semakin resah atas kehadiran SI. Beberapa protes dan tindakan perlawanan ditunjukan oleh kelompok-kelompok petani yang sudah diorganisir di tubuh SI. Petani tebu Ceper dan beberapa anggota SI di Tempel semakin menunjukan watak ketidakpatuhan pada Residen. Situasi ini yang menyebabkan berbagai hal penguasa kolonial melalui Residen melakukan penggrebekan dan penghentian atas seluruh aktifitas SI di Surakarta (Takashi Shiraisi, 1990 : 64).

Situasi keterpurukan pribumi dengan hadirnya sistem eksploitasi kolonialisme nampak dengan dibukanya Surakarta menjadi salah satu sumber kebutuhan pasar Eropa terhadap hasil-hasil perkebunan. Pada akhir kekuasaan Hindia Belanda di Surakarta, terutama di kabupaten-kabupaten Sragen dan Klaten, terdapat lebih dari seratus perusahaan perkebunan. Hasil ekploitasi itu berhasil sukses menghantarkan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan Eropa namun satu sisi juga menjadi akar dari konflik antara penguasa kerajaan dan penduduk pribumi di Surakarta.

Dengan kemunculan para pengusaha perkebunan Eropa maka terjadi perubahan-perubahan mendasar pada hubungan-hubungan produksi terutama menyangkut sistem tanah “lungguh”. Sistem tanah “lungguh” biasanya diberikan kepada para pejabat-pejabat kerajaan atau pemerintahan dengan menghasilakan kontribusi dalam bentuk pajak “in natura” dari kelompok-kelopok tani yang menggarap lahan pertanian tersebut. Sedangkan proses pengumpulan hasil pajak itu dilakukan oleh “bekel” yang mendapat hasil dalam bentuk komisi.Sistem tanah “lungguh” yang semula menghasilkan pajak yang dibayarkan melalui “pajak in natura’ telah diganti dengan pajak dalam bentuk uang. Karena perubahan itu pula maka hubungan sewa tanah langsung dilakukan antara pengusaha perkebunan dan pihak pejabat kelurahan. Sistem ini juga membawa perubahan pada sistem kerja, terhapuskannya sistem kerja rodi dan dimulainya sistem kontrak kerja dengan buruh tani. Peralihan dari dari pekerja rodi menjadi buruh upahan di perkebunan bukan lagi pertentangan , antara penduduk pedesaan secara keseluruhan dengan perkebunan tetapi merupakan pertentangan antara perorangan kaum tani dengan perkebunan (Imam Soedjono, 2006 : 128).

Sistem ini mendorong banyak munculnya petani-petani melarat yang biasa disebut dengan ploletariat desa. Kondisi terpuruknya mayoritas rakyat Surakarta tersebut banyak membawa konsekuensi pada memudar dan merosotnya pamor kekuasaan Kerajaan. Ditambah lagi konflik-konflik internal keraton yang terus menerus membawa ketidakpercayaan rakyat terhadap kepemimpinan keraton. Benih-benih ketidakpercayaan itu memuncak pada munculnya “gerakan anti swapraja.” Terhitung sampai sebelum meletusnya peristiwa tragedi ’65, kekuatan yang mengatasnamakan ‘gerakan anti-swapraja’ semakin menunjukan kiprahnya dalam menentukan warna politik Surakarta.

Tercatat tanggal 19 April 1946, Barisan Banteng beserta satuan-satuan pemuda yang lain memasuki keraton dan memaksa Sesuhunan agar supaya menyatakan kesediannya untuk menyerahkan kekuasaan kepada rakyat. Tiga hari setelah itu pula BP KNI Klaten mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil dari 60 organisasi partai dan ormas-ormas yang lain seperti PBI, BTI, Laskar Buruh, Laskar Rakyat, Pesindo dan Barisan Banteng dan pamong praja setempat. Pertemuan itu menghasilkan sebuah seruan keputusan mengenai protes anti-swapraja ini. Tuntuan itu diantaranya adalah selekas mungkin menghapuskan daerah istimewa, menghapuskan pemerintahan feodal dan menghendaki adanya satu pemerintahan kerakyatan untuk seluruh daerah Surakarta. Petemuan itu akhirnya menghasilkan sebuah tuntutan yang sangat keras sebagai wujud perombakan sistem feodalisme dalam pemerintahan di wilayah Surakarta. Tuntutan itu antara lain : Pertama, Selekas mungkin menghapuskan Daerah Istimewa; Kedua, Menghapuskan pemerintahan feodal; Ketiga, Menghendaki adanya satu pemerintahan kerakyatan untuk Daerah Surakarta.

Empat hari setelah disuarakannya tuntutan itu maka diangkat bupati Klaten yang baru dan terlepas dari hubungan dengan keraton. Tindakan Klaten itu kemudian diikuti oleh BP KNI Sragen yang melakukan tindakan serupa (Imam Soedjono, 2006 : 130). Tuntutan gerakan anti-swapraja seiring dengan waktu semakin meluas dan disambut oleh sebagian besar rakyat Surakarta. Tuntutan kemudian berkembang dengan usulan untuk diserahkannya pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan yang mulanya dikuasai oleh Kasunanan dan Mangkunagaran kepada rakyat Surakarta.

Problem daerah yang semakin tinggi tersebut memaksa pemerintah pusat melalui Dr. Sudarsono sebagai Menteri Dalam Negeri melakukan usaha pertemuan dengan dua pihak yang bertikai baik yang anti maupun pro swapraja. Dialog menghasilkan kesepakatan dibentuknya badan pekerja (Imam Soedjono, 2006 : 131). Pada praktiknya tercatat bahwa tampa menghiraukan apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, keempat wilayah pemerintahan kabupaten memutuskan hubungan dengan Susuhunan Keraton. Situasi Surakarta itu memaksa lahirlah keputusan pemerintahan pusat dengan perencanaan dibentuknya Pemerintah Daerah Rakyat dan Tentara (PDRT). Dengan lahirnya PDRT tersebut maka pemerintahan mangkunegaran, Kasunanan dan Direktorium akhirnya dihapuskan. Dan praktis maka setelah terbentuknya badan pekerja dalam PDRT tersebut berarti telah tergulingnya kekuasaan swapraja dan merupakan kemenangan “revolusi sosial rakyat” di Surakarta. Dan selanjutnya peran dari kekuatan swapraja Surakarta tidak dominan dan nyaris tidak menentukan dalam dinamika sosial politik Surakarta. Sekilas dari cataan di atas, terlihat amat jelas bahwa resistensi terhadap feodalisme pernah terukir begitu fantastisnya dalam penggalan sejarah kota Surakarta.

Polemik dan Krisis Kepemimpinan Arab

Polemik dan Krisis
Kepemimpinan Arab



“saya ingin memberikan Chaves paspor
sehingga ia dapat menjadi warga Palestina.
Kemudian kami memilih dia menjadi presiden Presiden,”

(Mahmud Zwahreh, walikota Al-Masar,
dekat kota Bethlehem)




Kawasan Timur Tengah terus dan kian bergolak. Setiap waktu catatan tentang konflik dari skala kecil sampai yang besar tidak pernah terhenti terdengar. Kawasan ekonomi politik yang basah dengan segala potensi kekayaan dan sekaligus problem konflik berkepanjangan. Dalam catatan sejarah, di wilayah inilah medan laboratorium tempur berbagai ketegangan politik dan perang bersenjata pernah digelar. Tidak tanggung-tanggung ‘proyek bisnis perang’ terhitung mendapat lahan basahnya di kawasan ini. beberapa kekuatan penting saling berebut peran dalam kepemimpinan politik di kawasan ini. Menurut catatan, mayoritas perlawanan sebagian besar ditunjukan kepada hegemoni dan dominasi dunia Barat atas politik ekonomi negeri-negeri Arab. Namunpun demikian, kesadaran atas ‘musuh bersama’ kadang berhenti hanya pada tingkat yang normatif. Ia tidak mendorong solidaritas kekuatan yang lebih massif besar. Banyak gerakan justru masih terfragmentasi dalam pengelompokan yang masing-masing belum menunjukan ‘kebersatuannya’. Polarisasi ideologi gerakan dan pengelompokan atas sentimen primodial masih menjadi warna dari model aktifitas gerakan di dunia Arab. Dalam banyak hal, Barat mmpu memanfatkan celah-celah kelemahan ini untuk membangun dominasinya atas tanah Timur Tengah.

Terkecuali catatan gemilang perjuangan revolusioner seperti yang pernah dialami oleh revolusi di Iran, beberapa kekuatan cenderung mudah patah dan dikalahkan. Tidak semata karena ancaman musuh dari luar yang begitu kuat. Jika dibaca serius, problem pokoknya justru datang dari kebersatuan orientasi gerakan yang masih lemah. Banyak faksi kelompok yang masih belum selesai sependapat mengenai format dan metodologi yang dibangun. Tidak msedikit pula yang masih berpolemik mengeni rumusan akhir bentuk kepemimpinaan politik semacam apa yang ingin dibentuk. Pada konflik-konflik tertentu yang dialami negara kawasan Timur Tengah seperti Irak, Plestin dan Afghanistan, masing-masing negara besar seperti Mesir, Yordania ataupun Arab Saudi tidak menemukan titik kesamaan dalam bersikap. Dalam kasus Palestina, rakyat negeri ini justru banyk menaruh kebanggan dan pujian dengan sikap negara-negara seperti Vnezuela, Kuba dn negeri-negeri Amerika Latin lainnya yang justru mengambil sikap cukup berani dan tegas terhadp tindakan agresif Israel. Hugo Chaves, Raul Castro, Evo Morales dan presiden Lula justru telah dianggap pahlawan baru bagi negara Palestina.

Kegundahan arus bawah terhadap krisis kepemimpinan di negara-negara Arab sempat menguat terutama berbareng dengan hadirnya peristiwa-peristiwa konflik di kawasan ini. Meluasnya kritik dan ketidakpercayaan ini sempat ramai ketika sebagian negeri-negeri muslim tidak terlalu berani dalam mensikapi krisis Plestina-Israel. Kebungkaman ini ditunjukan dengan praktik kepemimpinan yang terlalu memberi keleluasaan politik bagi Israel untuk melakukan tindakan arogansinya bagi Israel. Konflik Palestina sebenarnya sebuah momen penting untuk menguji kepedulian dan solidaritas di kalangan negara-negara Islam di dunia. Anehnya apa yang ditunggu sebagai solidaritas besar itu tidak pernah tercapai. Masing-masing justru lambat untuk bersikap. Catatan hubungan harmonis Barat dan negara-negra besar Islam semakin membuat sikap politik ini semakin menumpul.

Dalam peta sejarah kawasan, dunia Arab memang tidak terlepas dengan dinamika politik yang beragam. Keberagmana sikap ini juga terdorong oleh sikap politik yang terkait dengan basis-basis kepentingan ekonomi yang dibangun. Bahkan konflik-konflik yang mencuatpun tidak jauh-jauh dari problem ekonomi politik kawasan ini. Masih cukup ingat perang Irak-Iran yang begitu meluluhlantakan energi dan korban amat besar di masing-masing masing negara. Kawasan Arab adalah surga bagi para pemodal namun sekaligus bisa menjadi bencana bagi masyarakat yang selalu dikorbankan dalam setiap konflik dan peperangan. Minyak bumi dan gas yang begitu berlimpah adalah pemicu konflik terbesar abad ini. Ia begitu diperebutkan oleh siapa saja. Di titik inilah kisah tentang berbagai dinamika perang bisa dijelaskan.

Landasan dasar berpikir yang dibangun dalam ‘perspektif ekonomi politik’ akan lebih menggigit ketimbang berpiak pada sentimen-sentimen subjektifitas gerakan. Dasar kepentingan ekonomi membuat pembacaan gerakan tidak bisa dilihat secara tunggal dan permanen. Ia akan berkembang sesuai dengan dinamika kepentingan ekonomi yang berjalan. Sentimen-sentimen identitas kadang hanya sering dipakai untuk menutupi basis kepentingan yang lebih besar. Seperti dalam premis dasar ‘perang modern’, konflik tidaklah muncul ‘alamiah’. Ia bisa ‘diadakan’ dan ‘dimunculkan’ sedemikan rupa. Konflik dan perang bisa menjadi medan rekayasa bagi perlindungan bisnis kepentingan yang sedang beroperasi. Setiap gerakan yang ada dalam pentas konflik juga tidak hanya bisa dibaca sebagai kenyataan apa adanya. Sejarah politik kawasan Arab juga bukanlah sejarah garis lurus yang tanpa dinamika perubahan. Setiap pergerakan politik apapun, bukanlah entitas abadi yang bersih dari pergesekan dan perubahan. Di titik inilah terjadinya berbagai cerita menarik tentang ‘evolusi’ dan ‘transformasi’ gerakan yang kadang berjalan tidak linier, tidak terduga dan penuh kejutan..


Palestina sebagai sebuah kasus

Secara prinsip memang penting kita memahami segala problem politik sampai kepada "jantung" masalah yang sebenarnya. Seperti problem Palestina yang dalam taraf tertentu mengandung kerumitan-kerumitan karena banyaknya variabel masalah yang mempengaruhi. Bahkan, problem "Hamas versus Israel" terlalu menyita perhatian kita menjadi titik pusat persoalan, Padahal banyak kenyataan yang bisa kita masuki untuk mensikapi problem politik Negara tersebut dengan lebih luas. Semisal tidak harus terjebak pada identitas-identitas yang sengaja kadang ‘ditonjolkan’ media massa ketimbang ranah persoalan yang lain. Mungkin juga banyak orang belum mendalami lebih jauh bahwa kekuatan politik HAMAS (Harakat al-Muqawama al-Islamiya) memiliki cerita sejarah yang amat rumit. Dalam beberapa hal, gerakan ini awal mulanya merupakan entitas ‘religius nonpolitis Palestina’ yang sejarahnaya pernah bersentuhan dengan donasi ‘monarkhi Arab Saudi’. Secara tidak langsung pula, kepentingan beberapa kekuatan politik Israel ikut membidani perkembangannya. Sejarah berbalik saat ini, kekuatan HAMAS bertumbuh dan berevolusi menjadi satu kekuatan politik yang justru berhadapan dengan Israel.

Problem politik kadang tidak hanya bisa dibaca secara ‘intrumentalis’ dan ‘literar’ saja. Medan politik bisa bergeser dan meregang dalam konstalasi-konstalasi yang tidak ajeg. Inilah karakter politik yang sebenarnya. Bagi kekuasaan rumus intinya hanya ada satu "bagi kekuatan yang bisa mendukung pastilah akan dirawat sedemikian rupa tetapi ketika sudah tidak lagi penting dan bahkan mengganggu intabilitas maka dengan mudah akan "dibinasakan" . Pragmatisme politik kadang sering tidak masuk dalam nalar rasio awam yang melihat dalam pandangan lurus. Ujung kanal politik kadang sering tidak mudah jika hanya dilihat dalam kacamata sederhana. Entitas-entitas bayangan yang dibentuk "kekuasaan negara" dalam skup luas sering menyebar pada berbagai kelompok sosial, ekonomi dan politik. Ia bisa dibaca sebagai modal yang berharga jika ia akan menguntungkan. Tetapi ia akan bisa dianggap kerikil dan ancaman jika kejadirannya justru mengganggu.



Rekayasa konflik dan Agenda Politik Tersembunyi

Entitas politik bisa muncul tidak semata hanya karena tendensi alamiah. tetapi dirancang sedemikian rupa menjadi buah atau bidak catur yang suatu saat akan kemungkinan bisa dimainkan. Dia bisa merentang dari pendulum yang paling ekstrim sekalipun, baik "kiri" maupun "kanan".Lagi-lagi sejarah telah banyak memberi "memory" pada kita. Sebuah pelajaran bagaimana "pendulum-pendulum" tersebut bisa menjadi "bom waktu" yang sangat mengerikan. Siapa yang tidak kenal kasus fenomenal kekuatan DI/TII yang awalnya sangat dekat bersentuhan dengan kepentingan dan konspirasi untuk menghadapi ancaman ideologi kiri dari Vietnan Selatan tetapi kemudian harus bernasib malang karena peminggiran dan pengejaran oleh negara. Siapa yang tidak kenal dengan berbagai kemunculan laskar-laskar dan milisi sipil yang terbentuk dalam era-era rezim Habibie berkuasa. Hampir sebagian besar diantaranya mempunyai kedekatan historis dengan politik keamanan negara.

Dalam rasionalisasi kekuasaan, selama laskar-laskar bentukan itu tidak melanggar batas yang digariskan oleh kekuasaan maka ia masih "aman" tetapi jika sudah terlalu jauh maka ia mudah akan dibabat begitu rupa. Kasus-kasus di atas hampir senada dengan nasib para "gali" dan "preman" yang di era tahun 70'an begitu produktif dimanfaatkan oleh kekuasaan Orde Baru untuk pendulangan suara pemilih tetapi tidak lebih 10 tahun nasibnya justru berubah drastis. Pembantaian ribuan orang yang dikatagorikan sebagai "preman" yang terkenal dengan istilah"PETRUS" adalah fenomena politik kekuasaan yang amat mengerikan. Ia bias lahir karena perlembangan politik telah mengubahnya menjadi "mutan politik", tetapi ia bisa merupakan modus taktik untuk "munutup mulut" sejarah di mana fakta dan kesaksian kemudian dilenyapkan.

Membaca pergerakan Palestina cukup butuh kemampuan menangkap kerumitan-kerumitan yang ada. Pertumbuhan ‘front politik’, ‘aliansi poitik’ serta "blok politik" seringkali tidak permanen. HAMAS bisa saja merupakan gambaran wujud "mutan" dan juga bisa dibaca sebagai "bagian politik rezim kekuasaan" sebenarnya. Tentu kita tidak boleh simplistis melihat problem tersebut. Apalagi membacanya dalam ketertutupan litaretaur teks tanpa menyentuh konteks yang semakin berkembang. Pemberitaan Palestina yang terfokus pada "Hamas versus Israel" semata kadang telah menutup mata bahwa target dari serangan Israel sebanarnya bukanlah sekedar kekuatan politk Hamas, tetapi lebih jauh adalah seluruh "daya kekuatan dan energi rakyat Palestina" yang saat ini sering hanya menjadi komoditas politik tidak hanya di Timur Tengah tetapi politik secara internasional. Konflik Palestina adalah "medan pertaruhan", Konflik Palestina adalah laboratorium bisnis perang yang cukup menjanjikan. Konflik Palestina sekaligus merupakan "pendulum" dan "kartu kunci" yang suatu saat tetap akan bisa dimainkan.

Tetapi dari sekian kerumitan tersebut ada hal yang justru menjadi prinsip cara pandang yang lebih maju, yakni prinsip yang mampu membaca lebih kritis bahwa konflik "Hamas - Israel" bukanlah keseluruhan dari representasi konflik dan krisis yang dihadapi Palestina. Konflik Hamas – Israel masih cenderung berdiri dalam ‘medan negara’ dan terbatas pada "ketegangan faksi-faksi dominan tertentu yang berkuasa". Apa relevansi dengan premis ini? Teramat penting untuk dibaca adalah bahwa yang menanggung dari keseluruhan konflik dan perang adalah "rakyat palestina" dan beberapa hal juga "rakyat Israel" dan sekaligus seluruh "komunitas rakyat di dunia".

Konsekuensi perang secara langsung berdampak pada hancurnya berbagai infrastruktur penting bagi rakyat dan juga psikologi rakyat berupa trauma memori atas dampak perang yang amat mengerikan. Konsekuensi ini akan dutanggungkan oleh rakyat sipil keseluruhan. Konsekuensi perang secara tidak langsung telah meningkatkan belanja perang dan selanjutnya turut meningkatkan jumlah ‘pajak rakyat’ untuk negara dan sekaligus berarti resiko peminggiran prioritas-prioritas penting yang lain yang harus didahulukan. Tuntutan menghentikan perang merupakan pilihan paling rasional yang baik dilakukan. Tuntutan ini tidak serta merta harus dicerna sebagai sikap dukungan salah satu pihak. Pilihan untuk menempel pada "matarantai terlemah" dan "sangat rentan" terhadap lahirnya korban adalah keniscayaan terbaik dari "aksi solidaritas kemanusian".

Pada poin ini diperlukannya cara baca dan analisis problem politik sampai pada jantung persoalan dan tidak menutup diri pada "aksi-aksi kemanusiaan yang lebih kongkrit" untuk membuka "insting kemanusiaan" pada dasar terdalam. Problem Palestina bukanlah problem agama seperti yang begitu hangat dihembuskan. Jikapun ia hadir, memang dalam sejarahnya "agama" kerap menjadi bagian komoditi paling luwes untuk kepentingan kekuasaan. Problem agama tidak bisa dipersempit menjadi identitas politik ataupun mesin pengeruk dukungan suara. Mandat terbesar dari setiap agama harusnya bisa didorong untuk memperjuangkan kondisi kemanusiaan yang sebenarnya bukan berhenti pada kebanggaan label-label yang melekat.


Belajar dari Amerika Latin

Semakin terbukanya pintu hubungan di berbagai blok kawasan Negara, memungkinkan terjadinya relasi-relasi hubunga politik yang juga semakin baru dan berkembang. Prinsipnya, sebuah negara tentu saja tidak bisa memungkiri bahwa hubungan-hubungan ekonomi politik itu amat penting. Tidak ada satu negarapun yang bisa menyepi dan menyendiri dalam setiap pemecahan problem politik yang dihadapi. Kerjasama pada tingkat kawasan misalnya, tidak semata hanya sebagai manifestasi pertukaran kepentingan. Kerjasama kawasan bisa berarti adalah cara membangun fondasi ‘blok historis’. Landasan pengikatnya tidak lagi berdasar persentuhan kesamaan ‘identitas’ yang kadang hanya bersifat primodial. Dalam dinamika politik modern, fondasinya bisa lahir dari kesamaan visi ideologi dan tentu saja arah kebijakan ekonomi politik yang sedang dan ingin dibangun ke depan. Wujudnya kadang tidak selalu permanen. Ia bisa bertumbuh baru. Politik blok kawasan kadang bisa bergeser dan tidak selalu tetap. Tentu saja, pembangunan blok-blok kawasan yang lahir hanya dari pertimbangan geografis kewilayahan sudah banyak ditinggalkan.

Baru-baru ini, belum lama berselang, sebuah hubungan kerjasama blok kawasan antar negara-negara di kawasan Timur Tengah dan Amerika Latin telah terbentuk. Sebuah pentas kerjasama ekonomi politik kontemporer yang melampuai ssentimen-sentimen ideologi yang sempat ada. Kita amat tahu bahwa dalam persepsi umum, kedua kawasan ini mempunyai karakteristik ideologi politik yang berbeda. Namun asumsi ini juga tidak seluruhnya bisa dikatakan benar ketika hanya diletakan pada perspesi-persepsi identitas yang masih menggunakan cara pandang simplistik terhadap pergerakan peta ideologi politik lama. Cukup menarik membaca transformasi politik negara-negara Arab untuk mulai membuka satu bentuk kerjasama yang strategis untuk sebuah pembangun blok politik yang kuat. Menarik juga bahwa latar identitas yang berbeda tidak menutup pintu untuk terbentuknya kerjasama.

Pilihan maju ini tidak semata juga dari pencetusan gagasan orisinal para pemimpin masing-masing negara. Berbagai kekuatan politik di basis rakyat ikut menyumbang andil cukup besar. Kita masih cukup ingat bagaimna massa rakyat di Palestina begitu sangat mengelu-elukan sikap para pemimpin Amerik Latin dalam permasalahan krisis Palestina. Di tengah sikap diam dn ketidaktegasan dunia Arab, massa rakyat justru tersadarkan bahwa banyak bangsa lain ikut ambil bagian dalam pemecahan krisis Palestina. Ketika negara-negara Arab masih ragu-ragu untuk menentukn pilihan, justru Venezuela dengan gagah berani mengusir duta besar Irael dari negara tersebut. Sebuah langkah sangat tegas dan berani yang belum tentu dimiliki oleh para pemimpin negara-negra Arab.

Sikap politik Hugo Chaves disambut gegap gempita rakyat Palestina. Setiap aksi protes terhadap agresi Israel selalu tidak lupa membawa berbagai poster-poster besar Hugo Chaves seperti layaknya pemimpin mereka sendiri. Tentu saja bukan hanya dari cara pandang dan sikap tentang simbol ‘pengusiran’. Venezuela merepresentasikan cara pandang politik yang melampui pandangan-pandangan primodial atas klaim-klaim identitas yang banyak mengalami jalan buntu. Sikap negara-negara Amerika Latin banyak didasarkan dari pertimbangan yang lebih rasional, yakni bahwa segala kebijakan agresi dan penindasan haruslah dilawan untuk menghargai harkat kemanusiaan seluruh rakyat yang telah menjadi korban. Terlebih, sikap Hugo Chaves dan para pemimpin Amerik Latin lainnya banyak menimbang pilihan solidaritas yang lebih luas yang bisa mengembangkan tata dunia yang lebih aman, adil dan tidak tersekat oleh sentimen-sentimen lama yang banyak memicu konflik dan perang. Setiap relasi hubungan ekonomi politik yang eksploitatif haruslah dilawan untuk membangun cita-cita keadilan dunia. Kebijakan Israel haruslah dilawan karena ia merepresentasikan sebuah model relasi ekonomi politik yang timpang dan menindas. Dominasi dan hegemoni negara-negara kapitalisme maju hanya bisa dilawan jika seluruh kekuatan gerakan bisa membangun solidaritas yang lebih besar dan kuat. Pembangunan blok bersama antara kedua kawasan ini adalah bentuk dan alternatif cara untuk membangun agenda perlawanan global secara lebih luas.



"Chavez adalah simbol perjuangan
untuk kemerdekaan seperti Che Guevara.
Itulah yang membedakannya
dari pemimpin dunia lainnya,"

(Mohammad al-Lahham,
anggota parlemen Palestina).